Showing posts with label Hal Baru. Show all posts
Showing posts with label Hal Baru. Show all posts

30 November 2024

Ternyata Anak Saya Juga Gen Z

 “Mama ini bagaimana sih, aku kan Gen Z.”

Protes Dudu sering terjadi ketika saya komen soal kelakuan anak Gen Z. 

“Loh, emang Gen Z itu tahun berapa?” 

Pertanyaan saya malah membuat dia tambah kesal. Haha. Yah, habis gimana dong. Saya berpikir Gen Z ini adalah teman-teman di kantor, yang senang bicara mental health dan jajan kopi kekinian. Anak-anak di tim saya yang kerja keras di weekdays, tapi weekend-nya having fun gila-gilaan. Senang belajar hal baru, FOMO dan gampang overthinking. 

Kadang saya berpikir Gen Z seperti kelinci. Foto hanya pemanis.

Kalau ditanya apa yang saya dapatkan dari interaksi dengan Gen Z, ini adalah jawabannya: 

Mental Health itu bukan penyakit yang harus disembunyikan.

Generasi yang ini lebih berani dan terbuka soal kesehatan mental mereka. Dosis obat anti-anxiety, rekomendasi psikolog dan psikiater jadi bahan diskusi seperti makanan dan restoran. Dari mereka jugalah, saya memahami bahwa psikiater memang dibutuhkan dan dapat membantu memecahkan masalah. 

Ketika Mama diagnosa kanker dan sulit berkomunikasi, saya memanggil psikiater rumah sakit untuk berkunjung dan memberikan obat. Hasilnya, Mama jadi sempat pamit dan ngobrol sebelum akhirnya berpulang. Mental Health awareness berguna bukan hanya bagi anak muda, tetapi juga orang tua. Post-power syndrome bagi pekerja pensiun atau lansia aktif yang terkena penyakit berat dan harus bed rest. Ini semua sering membutuhkan bantuan mental health expert, dan saya belajar dari para Gen Z ini untuk tidak mengabaikan kemungkinan ini. 

Overthinking dulu Insecure kemudian. 

Saya langsung merasa overthinking saya normal. Beberapa rekan dan kenalan yang Gen Z. memiliki kemampuan overthinking yang membuat saya jadi overthinking juga. Ini saya yang “normal” atau saya memang kurang memikirkan segala sesuatunya dengan baik? 

Overthinking bukan hal positif jika dilakukan secara berlebihan, tapi ini sebenarnya adalah self-defense mechanism yang dimiliki manusia untuk meminimalisir resiko. Atau setidaknya begitulah yang saya pikirkan. Yang penting jangan sampai kedua hal ini menghambat saya dalam berkembang dan belajar. 

Work-Life Balance itu Penting

Kerja memang harus, tapi bersenang-senang juga jalan terus. Uang kalau hanya mengendap di tabungan juga buat apa? Meskipun ini bukan mindset general Gen Z, beberapa teman saya memilikinya. Gadget dicicil. Ketika cicilannya lunas, sebulan dua bulan kemudian tukar tambah dengan yang baru dan mulai mencicil lagi. Saya yang terbiasa membayar lunas semuanya jadi membandingkan gaya hidup saya juga. 

Menabung itu perlu. Banyak Gen Z yang saya kenal punya emergency fund cukup besar. Soalnya mereka pernah kena layoff dan faham resiko kerja di perusahaan startup. Yes, biasanya mereka kerja di startup karena tantangan dan gaji yang besar. Namun, pengeluaran mereka juga cenderung besar karena mereka suka pakai gadget terbaru. Beberapa juga menghabiskan uang di skincare dan liburan ke luar negeri. Intinya ya itu, ada alokasi dana untuk bersenang-senang. 

Menghadapi rekan kerja yang semakin hari semakin muda, bahkan saya pernah punya intern yang umurnya hanya beda beberapa tahun dengan Dudu, membuat saya berpikir bahwa saya semakin tua haha. Untungnya gap antar generasi biasanya tidak terlalu terasa, dan saya seringkali bisa menyesuaikan diri. 

Kuncinya hanya satu: mau berpikiran terbuka. 


14 October 2024

Museum Forward and The Adaptive Way to Embrace Changes

Whenever I told people that I want to pursue a degree in Cultural Anthropology, people asked, “what do you want to do with it?” I had no clue. I just love the different cultures, different viewpoints, then eventually translated to arts and museums. I started to wonder how these preservation sites work, the curation and the marketing process. So, when a social media post about Museum Forward, the first international best practice forum on museums and heritage, appeared on my timeline, I signed up.

I attended the Museum Forward 2-day public conference which is an eye-opening matter when it comes to museums. Held at BJ Habibie Building, BRIN (National Research and Innovation Agency), the forum brings together museum and heritage practitioners from all over the world, every session presents an interesting subject. What do I bring home from spending two days among these experts?


Museums used to be pictured as a place to preserve artifacts or history for the future generation, and this is where the problem lies. You’ll see museums usually preserve something by limiting interaction with the objects, while they should have made it accessible. Things like traditional music instruments are more meaningful when it’s played, compared to being displayed in a museum. So, museums nowadays have to go beyond preservation, by becoming a cultural hub to conserve what we have for the future.

Some museums, like the Louvre at Abu Dhabi, are moving away from encyclopedic approach to narrative viewpoint. Manuel Rabaté, Director of Louvre Abu Dhabi, France-UAE, shared that to do this, we must “question what stories can we share with the visitors.” Encourage cultural dialogues by taking in global conversations, and make sure to find the best practices to be implemented. Don’t be afraid to learn from children's museums as they know what they are doing and who their target audiences are.

Then the questions are there: how do you create a new narrative?

Sharmini Pereira, Chief Curator Museum of Modern & Contemporary Art Sri Lanka, Colombo, shared what it means to have a modern and contemporary art museum in Sri Lanka, which is known more for its conflicts. She included artworks, programs and conversations to include everyone on different sides of the conflicts. Her narratives go around the conflict itself, with culture and history as the connecting elements.

A different approach came from Victor Cageao, General Coordinator of Conservation, Museo Nacional del Prado, Madrid. Showing the transformations at the museum, where originally, “Europe has the tendency to accumulate collections,” to the current simplistic look with best or curated items on display. Sculptures and paintings which used to be placed in separate rooms are now put together to create a dialogue. “It’s often said that the museum has improved a lot because it has changed little,” he said.

And no, “creating a new narrative doesn’t mean losing its identity,” he assured. One can incorporate other voices. For example, instead of displaying items only from a certain period, a museum may put together similar arts from different periods and places. A room where golden masks from around the world are seen side by side, may bring new narratives on masks and how they are connected to or very different from one another. Another way is to deepen the creative process, as in introducing the artists not just as part of the artworks displayed but as a person.

When day one is about best practices and perspectives, day two highlights collaborative approaches to museums and cultural heritage. What kind of collaborative approach? Indonesia Bertutur brings performances to museums, while Indonesian Heritage Society gathers up the communities for collaboration. M+, Hong Kong hosts experiences to encourage the younger generation to play an active role in protecting, developing and utilizing the cultural heritage.


Collaborative approach is also crucial in building the museum’s brand, which is a public perception of the museum. Some rules to brand-related:
  • You can’t satisfy everybody, so focus on differentiating yourself instead. How? You only get one idea; if you add “and,” the effectiveness evaporates. Narrow down the focus.
  • Add more human interaction because it deepens the belonging.
  • Pay attention to your museum’s communication through different channels like architecture, lighting and atmosphere, art arrangements or label and interpretation.
So, it was a fruitful session, on interesting topics. While I’m simply just a museum enthusiast, most insights are actually applicable in my industry of non-profit organization. How to do branding and what we should shout in our messages. The sessions got me to reflect on how I did my campaigns and developed my programs. Something to keep for 2025.

12 June 2024

Rahasia Sukses Diet Itu Ada di Mindset

Pernah gagal diet? Tenang, kamu tidak sendirian. Banyak yang sudah semangat untuk diet, namun tetap saja ngemil tengah malam sambil nonton Drakor favorit dengan alasan reward. Saya tidak pernah mencoba diet, karena tahu akan gagal duluan dengan keribetan yang datang bersama pola makan sehat. Kemarin, saya mendapatkan sudut pandang baru tentang diet, yang mengajarkan bahwa diet bukan hanya menghitung kalori, tetapi juga cara memahami diri sendiri. Kok bisa?

“Brunch Date with dr. Yovi” bersama Female Digest (photo: Female Digest)

Pada hari Minggu, 9 Juni 2024 saya menghadiri acara “Brunch Date with dr. Yovi” yang digagas oleh Female Digest. Acara yang diselenggarakan di YClinic Bintaro ini dimulai dengan sharing session & bedah buku Conscious Diet oleh dr. Yovi Yoanita, M.Kes (gizi) FAARM, ABRAAM, lalu diikuti assessment pengembangan kepribadian ditinjau dari sisi kesehatan, clinic tour dan ditutup dengan makan siang bersama. Acara yang interaktif ini dihadiri sekitar 20 orang blogger dari Jabodetabek, semuanya antusias untuk sharing dan belajar lebih banyak tentang wellness.

Acara ini juga didukung oleh Radiant, yang mengenalkan produk probiotik serta peranannya dalam membantu menjaga berat badan. Apt. Sylvia Kartika Anggraini, S. Farm menjelaskan bahwa "penurunan berat badan itu harus diperbaiki dari berbagai sisi, misalnya apakah pencernaan saya bagus, supaya apapun yang kita makan itu penyerapannya bisa optimal atau apapun yang kita makan itu bisa dibuang sisanya dengan optimal." Di sinilah probiotik berperan.

Apt. Sylvia Kartika Anggraini S. Farm dari Radiant

Di acara ini, saya belajar bahwa diet bukan semata-mata mengurangi kalori biar cepat kurus. Biasanya orang yang mencoba diet akan terperangkap dalam lingkaran setan, yaitu merasa bentuk tubuh kurang ideal, melakukan diet, frustrasi, gagal diet dan tubuh kembali ke bentuk semula. “Diet itu bukan nggak makan, tetapi mengatur ulang pola makan,” kata dr. Yovi, lalu menjelaskan bahwa biasanya orang tidak bertahan karena memang dietnya salah. Lalu gagal dan kembali lagi ke awal, yaitu tidak happy sama tubuhnya sendiri.

Di sinilah pentingnya kita, sebagai yang punya wacana diet, untuk memahami diri sendiri. Apa bentuk tubuh kita? Lalu, BMI kita berapa? Alasan diet kita apa? Bukan hanya ingin kurus lalu auto mengurangi makan. Bedanya apa dengan diet biasa? Jika kita mengenal diri sendiri, mengurangi kalori yang berlebihan dapat dilakukan dengan tepat dan tanpa tekanan. Semuanya bisa ditemukan di buku Conscious Diet yang ditulis dr. Yovi.

29 August 2023

Apakah Kelinci Cocok Sebagai Peliharaan Pertama Anak?

Sejak saya dan Dudu memelihara kelinci, beberapa orang tua bertanya pada saya tentang kelinci. Anaknya ingin punya kelinci. Daripada kucing atau anjing, lebih baik kelinci dulu sebagai peliharaan pertama anak. Apakah benar kelinci cocok buat jadi peliharaan pertama anak? Coba kita telusuri pro dan kontranya sebelum memutuskan untuk memelihara.

Sulitkah memelihara kelinci?

Dibandingkan anjing dan kucing, kelinci termasuk mudah dipelihara karena herbivora. Kebetulan lingkungan rumah mendukung dengan adanya taman di belakang. Ukuran kelinci yang tidak terlalu besar dan tidak berisik juga membuat kelinci jadi mudah untuk dirawat dan dipelihara. Karena itulah, ketika Dudu ingin punya binatang peliharaan, kelinci jadi pilihan pertama saya. 

Apa saja yang harus diperhatikan ketika memelihara kelinci?

Jika mengenalkan kelinci sebagai binatang peliharaan anak yang pertama, harap diingat bahwa kelinci mudah mati. Kepanasan mati, kedinginan juga mati. Kebanyakan makan mati. Salah makan mati. Kaget juga bisa mati. Jadi, persiapkan anak dan diri anda sendiri untuk menghadapi kematian kelinci sejak mulai memelihara.

Meskipun terlihat jinak dan lucu, kelinci saya dulu pernah menang berantem lawan kucing liar. Kelinci memiliki cakar tajam dan gigi yang kuat. Selain itu, tendangan kaki belakangnya juga tidak boleh diremehkan. Jadi, ketika mengenalkan kelinci pada anak, awasi juga interaksi mereka. Kelinci tidak boleh dipegang kupingnya, jadi jangan sampai anak yang masih kecil menarik kuping kelinci. Selain itu, kelinci dewasa juga bisa tumbuh besar dan berat. Hati-hati saat menggendongnya.

07 July 2023

Our Best Family Moment Happens On the Road

“Just how many pictures are you taking on the road?”
Komentar Dudu kesekian kalinya ketika saya memfoto jalanan.
“Well, most of them are. I just love being on the road.”



Setelah lebih dari satu dekade, saya dan Dudu kembali lagi road trip berdua. Jalan-jalan pertama setelah pandemi berakhir dan langsung lompat jauh ke benua seberang. Tapi ya, apalah #DateWithDudu tanpa road trip cross country? Meskipun kali ini cross Texas doang, tapi karena luas negara bagian yang satu ini setara dengan beberapa negara bagian sekaligus, ya anggaplah kita sedang cross country. 

Salah satu yang paling bermakna adalah kemarin, ketika kami pindah kota dari Dallas ke Houston. Perjalanan 3,5 jam yang jadi sedikit lebih panjang karena mampir dulu ke Waco untuk tur keliling Baylor University. Ya, soalnya tujuan utama Dudu mudik kan untuk melihat-lihat universitas di Amerika Serikat. Apa yang membuat road trip tersebut jadi memorable moment buat kami berdua?

Dudu jadi Navigator

Ketika terakhir kami berdua road trip di Midwest, Dudu hanya sebagai penumpang yang duduk di carseat kursi belakang. Sekarang anaknya sudah duduk di kursi penumpang dan bertugas membaca peta di handphone. Mungkin next time kita sudah bisa gantian nyetir. 

Dari masalah baca peta ini kita menemukan banyak insight tentang cara kita berkomunikasi. Ketika Dudu mengarahkan kanan dan kiri, yang kadang terbalik itu, saya lebih paham kalau diarahkan dengan nomor exit serta arah mata angin. Jadi daripada “belok kanan”, biasanya saya lebih paham kalau dibilang “I45 South”. Sempat menimbulkan ketegangan kecil diantara kita berdua karena saya bolak-balik hampir salah exit, tapi kita tetap sampai ke kota tujuan dengan selamat.

Detour sedikit demi pemandangan

Jadi, sebenarnya jalan terdekat dari Waco ke Houston adalah melewati Highway 6S dan US 290E. Namun saya mengambil jalanan yang sedikit memutar agar mendapatkan pemandangan lebih unik dibandingkan naik highway yang besar, yaitu melewati TX-164E.sebelum masuk ke Highway I45. Pemandangan sepanjang jalan ini, selain menunjukkan ke Dudu ada apa di luar sana, juga bisa jadi bahan diskusi karena banyak hal aneh yang ditemui di jalan. Misalnya kincir angin raksasa yang terletak tepat di tepi jalan atau truk macam transformers terdampar. Lalu juga kota-kota kecil yang hanya memiliki beberapa ribu penduduk.


Hujan & Pelangi

“Mah, itu ada rainbow.”

Saya yang sedang menyetir jadi heboh sendiri. Mendekati area greater Houston, pelanginya muncul. Lalu disambut dengan hujan deras dan macet. 

“Aku baru pernah melihat 2 pelangi dengan jelas. Ini yang kedua.”

“Memang satu lagi kapan?”

“Di Apartment.”

“Emang ada di Indonesia?”

Dan ternyata memang dia pernah melihat pelangi dari jendela apartemen kita di Indonesia. Hal-hal seperti ini justru baru ketahuan ketika kita road trip barengan.  

“Ayo kita ke ujung pelangi yang di sana itu, nanti ada emas.”

Dudu menatap saya dengan aneh. Lalu kemudian menjawab, “kenapa tidak ujung yang satunya, Mah? Yang di ujung sana kan gelap pasti hujan.”

Dan sejenak kemudian, kita berdua harus melintasi badai yang mendadak muncul semakin dekatnya kita dengan Houston.


Buat saya, road trip ini seru karena kita berdua stuck dalam satu mobil dan jadi bisa ngobrol. Lalu bisa punya shared memories baru, dan ketika anak sudah sebesar Dudu sekarang, bisa diajak berpartner dalam perjalanan. Baik secara navigasi atau diskusi mau makan apa dan berhenti di mana. Banyak pengalaman baru juga yang bisa didapatkan seperti menyetir dalam hujan, mencari bensin murah dan parkir yang lumayan tricky.

Jadi tidak sabar buat jalan lagi.

 

06 February 2023

Skill Wajib Punya Tahun Ini: Community Management dan Community Marketing

Setiap tahun, saya selalu ingin belajar bahasa asing. Tahun ini mungkin saatnya mencoba sesuatu yang berbeda.

Tahun lalu saya mencoba serius di community management. Volunteering di bagian Learning & Development komunitas Single Moms Indonesia. Lalu saya menemukan bahwa dunia mengelola komunitas ini menyenangkan. Komunitas bukan hal baru dalam kehidupan saya (dan Dudu). Ketika Dudu lahir, saya ikutan komunitas single moms di kampus. Lalu pulang ke Indonesia, dan bergabung ke komunitas parenting dari Femina Group. Rajin ikutan acara, kenal banyak orang dan akhirnya jadi keterusan berkomunitas. Karena saya menulis, saya ikutan komunitas blogger juga. Lalu yang terakhir ya Single Moms Indonesia, di mana saya memutuskan untuk jadi lebih dari sekedar anggota.


Community management dan yang akhir-akhir ini populer, community marketing, bukan hal baru sih. Tapi baru dapat kesempatan untuk belajarnya tahun kemarin. Belajar yang langsung praktek karena baru volunteer lalu kejeblos dapat tugas. Ujung-ujungnya mendadak jadi learning and development yang bertanggung jawab untuk internal program dan internal communications dari komunitas Single Moms Indonesia. Meskipun sudah learning by doing, saya tetap ingin belajar lagi. Tapi dicari-cari courses yang gratisan dari Coursera tidak ada yang tentang community management. Kebanyakan malah Social Media Marketing.

Tapi ada satu free course berjudul “Transforming Communities” yang merupakan bagian dari Leading Sustainable Community Transformation Specialization yang ditawarkan oleh University of Colorado - Boulder. Kelas ini menarik perhatian saya karena silabusnya menjanjikan bagaimana membangun engagement yang efektif dan encourage perubahan. Sepertinya kelas ini akan saya masukkan to do list di 2023 sambil mencari apa lagi dari community management yang bisa saya pelajari.

Kenapa harus Community Marketing?


Lalu ada Community Marketing, yaitu strategi brand atau penjual untuk engage dengan komunitas konsumennya untuk mendapatkan insight dan/atau customer baru. Di masa sekarang ini, Community Marketing adalah strategi pemasaran yang sering digunakan oleh startup dan merupakan salah satu strategi yang dianggap efektif karena mempertahankan hubungan yang sehat antara brand/perusahaan dengan konsumen/customernya. Strategi pemasaran berbasis komunitas ini seringkali dilakukan melalui media sosial, namun tidak menutup kemungkinan dilakukan secara organik misalnya ada di grup WA atau Telegram.

Berbeda dengan digital marketing yang banyak berinteraksi dengan mesin pencari dan automation, community marketing ada sisi interaksi dengan manusia. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk mempelajarinya lebih lanjut.

Padahal saya introvert haha.



Saya belum menemukan kelas untuk community marketing. Mirip seperti community management, kalau cari di situs gratisan, ketemunya social media marketing, digital marketing dan yang terbaru adalah tentang metaverse. Tapi Community Marketing ini sudah mulai dijalankan oleh beberapa brand di luar negeri, misalnya melalui Convosight. Kalau mencari video tentang Community Marketing di Youtube, misalnya, sudah banyak expert yang menyarankan brand untuk berinvestasi di komunitas.

Meskipun belum ambil kelas dan belum menemukan kelas yang pas, saya beruntung lagi-lagi bisa learning by doing dalam mempelajari community marketing ini.

Tahun ini saya ingin belajar lebih banyak tentang membangun dan memasarkan komunitas. Bagaimana menjaga engagement, bagaimana menyuarakan visi misi dan bagaimana menjaga branding. Beda dengan karyawan perusahaan yang digaji, anggota komunitas bergabung dengan sukarela karena ketertarikan yang sama atas sebuah subject. Dan ini sepertinya menarik.

16 October 2022

Bikin Podcast Gimana Caranya?

Beberapa waktu lalu, ketika Dudu membuka sesi tanya jawab di grup Single Moms Indonesia, ada yang menyarankan untuk membuat podcast. Ini bukan pertama kalinya ada yang melemparkan ide bikin podcast kepada saya dan Dudu. Tapi sampai sekarang, ide ini belum terlaksana.

Padahal katanya bikin podcast gampang.

Ada teman saya yang punya podcast hanya dengan monologue iseng yang direkam. Lalu ada juga yang merekam obrolan berdua sahabatnya lalu diupload. Tidak pakai studio, tidak pakai peralatan profesional. Hanya pakai hape. Tanpa di-edit. Jadi, ini saya yang overthinking atau terlalu perfeksionis?

Pernahnya jadi penyiar Radio

Ketika ada seseorang yang meminta saya jadi project manager buat podcast-nya, saya mencari insight yang lebih serius tentang bagaimana seharusnya kita memulai sebuah podcast. Selain teknis, seperti equipment, ada beberapa hal yang memang perlu diperhatikan.

Misalnya bertanya pada diri sendiri, apa tujuannya bikin podcast? 


Apa yang kita mau share? Ada tidak audiencenya? Menjawab pertanyaan ini cukup mudah buat saya dan Dudu. Sama seperti status Facebook yang sering saya tuliskan, atau isi blog ini, podcast kami bisa jadi obrolan seru ibu dan anak tentang isi dunia. Tujuannya tentu saja berbagi, sharing tentang perspektif ibu dan anak. Audience-nya juga sudah pasti ada, karena sudah ada demand-nya. Banyak yang penasaran dan ingin mendengarkan dari sudut pandang anak namun tidak berani bertanya sama anak sendiri.

Setelah yakin bahwa kita mau memulai podcast, waktunya memilih nama.


Kalau saya, sudah pasti pakai #DateWithDudu. Karena memang sudah menjadi brandingan sejak awal. Namun bagaimana caranya memilih nama podcast? Kalau kita adalah publik figure terkenal, nama kita bisa langsung digunakan karena selain sudah punya fans militan yang akan mendengarkan, nama kita juga sudah menarik general public buat klik. 

Bagaimana kalau kita nobody alias bukan siapa-siapa. Nama podcast sebaiknya dicari yang catchy dan bikin orang penasaran namun masih sesuai konsep yang kita tetapkan. Apa niche podcast-mu? Bisnis? Lifestyle? Komedi? Bentuknya apa? Interview atau monologue atau ngobrol bareng co-host. Dari kedua hal tersebut, nama podcast bisa ditemukan. Kalau saya tidak menggunakan nama #DateWithDudu misalnya, mungkin saya akan memberikan nama "Podcast Bareng Anak" atau "Perspective Anak" atau "Oh, Ternyata Begitu" yang merepresentasikan isi podcast saya.

Terus bisa mulai?

Sebenarnya bisa, jika bikin podcast-nya buat happy-happy tanpa beban. Tapi jika ingin membuat podcast jadi sesuatu yang serius dan dimonetisasi, memulai episode nol atau episode pilot ini berarti sudah siap konsisten update episode secara berkala.

Ada yang bilang podcast ini mirip sama blog.


Saya sendiri menemukan setidaknya dua kesamaan, hal-hal yang saya kerjakan di blog ternyata bisa diaplikasikan ketika merencanakan sebuah podcast. Sama seperti ketika mau memulai one day one post, ketika hendak bikin podcast ya saya menuliskan 10 episode pertama yang mau saya rekam. Topiknya apa, mau membahas apa dan kira-kira perlukah saya mengundang pembicara lain. Semacam content plan beserta timelinenya.

Begitu juga dengan marketingnya. Sharing podcast itu ya per-episode. Sama seperti meninggalkan link blog ketika blogwalking atau sharing postingan di komunitas, yang saya share ya yang relevan dengan audience-nya. Sepertinya podcast juga sama. Setiap episode bisa jadi kesan pertama pendengarnya, dan setiap episode bisa di-share secara mandiri ke komunitas berbeda.

Jadi, kendalanya apa buat saya (dan Dudu)?

Yang pertama sekarang adalah waktu. Podcast membutuhkan komitmen berdua untuk bertemu, ngobrol, briefing, latihan dan akhirnya rekaman. Belum lagi kalau ternyata perlu editing, misalnya ada kata-kata kasar, nama orang lain yang tidak sengaja kesebut. Jadi, dibandingkan dengan blog, podcast tentunya membutuhkan investasi waktu yang cukup besar.

To recap apakah Podcast ini medium yang tepat untuk #DateWithDudu? Tujuan sudah ada, nama juga sudah dapat, yang belum tinggal menyediakan waktu untuk planning dan eksekusinya. Jadi, kayaknya belum sekarang deh.

20 March 2022

Menjawab Pertanyaan dan Rasa Penasaran tentang Inner Child

“Kayaknya gue punya inner child belum selesai deh. Gimana cara menyelesaikannya ya?”

Topik yang muncul di salah satu grup WA baru-baru ini membuat saya penasaran juga. Apa itu inner child? Soalnya topik Inner Child ini memang lagi banyak jadi topik obrolan. Percakapan di WA pun jadi panjang.

“Kayaknya kita perlu tahu dulu inner child artinya apa.”
“Iya bener, lalu perlu dilihat apakah inner child kita terluka sebelum pergi healing-healing.”

Emang ada inner child yang tidak terluka? Lalu, healing-nya gimana?


Daripada banyak pertanyaan dan salah pengertian, saya langsung mendaftar acara #BincangISB yang berjudul “Bertemu dengan Inner Child,” yang diadakan pada Sabtu, 19 Maret kemarin. Acara yang menghadirkan Psikolog Diah Mahmudah S.Psi, dan Psikoterapis Dandi Birdy S. Psi, para founder Biro Psikologi Dandiah ini memberikan pencerahan tentang inner child.

Menurut Teh Diah, inner child ini adalah sosok anak kecil, yang memiliki sisi happy dan sisi unhappy pada orang dewasa di masa kini. Biasanya baru bisa disebut inner child pada orang yang sudah dianggap dewasa, pada usia minimal 21 tahun. Dalam psikologi, definisi inner child ini dijelaskan oleh John Bradshaw, salah satu tokoh di dunia psikologi dan penyembuhan yang menuliskan tentang inner child di bukunya “Homecoming: Reclaiming and Healing Your Inner Child,” sebagai pengalaman masa lalu yang belum atau tidak mendapatkan penyelesaian yang baik. Jadi bisa negatif bisa positif.

21 February 2022

Platform Content Creator adalah Peluang di Saat Pandemi

Ada yang bilang kalau pandemi bikin kita jadi lebih kreatif. Ruang gerak yang terbatas karena di rumah aja membuat kita punya waktu lebih banyak untuk mengeksplorasi sisi kreatif diri kita. Setidaknya, saya merasa, dengan bekerja dari rumah, saya punya ekstra beberapa jam untuk menulis blog, ikutan kelas online, nonton webinar dan video lifehack yang sekarang sepertinya makin beragam. Selain ada waktu, sekarang ada demand, ada supply. Jadi content creator makin banyak juga di sekitar saya.

Dulu, kita suka bikin content juga sih.

Misalnya teman-teman yang tadinya hanya masak, buru-buru menyiapkan bekal anak karena harus segera bertarung dengan kemacetan ibukota untuk berangkat kerja. Sekarang punya ekstra 1 jam untuk menata bekal dengan rapi, difoto dulu atau bahkan bikin video pembuatannya. Semua mendadak jadi sempat. Tidak heran kalau ekonomi kreator jadi bertumbuh pesat.

Beberapa waktu lalu, IDN Media meluncurkan Indonesia Creators Economy (ICE) yang, mengutip penjelasan Winston Utomo, CEO IDN Media, “memiliki visi untuk mendemokratisasi “creators economy” di Indonesia melalui teknologi.” ICE ini sebelumnya dikenal dengan nama IDN Creator Network, yang sudah beroperasi sejak 2017. Jadi mereka bukan pemain baru di dunia content creator.

06 January 2022

Akhirnya Dudu Mau Begadang di Malam Tahun Baru

“So, what are we gonna do for New Year’s Eve? Tidak tidur semalaman lagi?”
“Eh, Mama sih mau nongkrong di rumah teman, kamu mau ikut?”
Wah, tumben!


Si anak yang selalu tidur jam 9 ini sekarang sudah mau bergadang. Beberapa tahun terakhir biasanya dipaksa Mamanya haha. Dari yang marah dan ngambek karena ngantuk, sampai akhirnya mau bergadang sendiri. Selain tahun baru, biasanya kita bergadang buat pergi ke Big Bad Wolf, buat naik pesawat ke Korea, atau buat pergi berangkat road trip ke luar kots . Tapi, sama anak remaja di tengah pandemi begini, mau ngapain malam tahun baru?

Mukanya keliatan ngantuk begadang ngga?

“Kamu bergadang mau ngapain, Du?”

What to do?

Nonton film
Dudu kemarin marathon nonton Star Wars. Soalnya yang datang semuanya orang dewasa haha. “Kalau mengobrol, saya tidak akan nyambung, Ma.” Begitu alasannya. Jadi, sementara kita heboh menyiapkan makan dan gosipan, Dudu nonton film.

Main board game
Paling seru dan yang ampuh mengusir ngantuk ya Uno atau Jenga. Soalnya kalau rubuh, bunyinya keras dan bikin kaget haha. Tapi permainan lainnya yang klasik seperti Monopoli, atau yang bikin mikir seperti Articulate juga lumayan seru untuk mengisi waktu menunggu pergantian tahun.

Karaoke nostalgia
Yang membedakan karaoke kali ini dengan karaoke lainnya adalah ceritanya. Setiap peserta memilih 1 lagu yang menggambarkan tahun 2021, lalu menceritakan kisahnya setelah selesai menyanyikan lagu tersebut.


What to serve?

Malam tahun baru kemarin kita potluck, dan ada satu dish yang menarik. Namanya Charcuterie. Eh apaan nih Charcuterie?

03 January 2022

Mengawali Tahun Baru Dengan Membuat Vision Board di Canva

Hari ke-3 di tahun 2022, hari Senin pertama. Yuk, belum terlambat bikin resolusi dan gol tahun baru!

Setiap tahun, saya selalu berpikir ingin melakukan sesuatu yang baru. Harus ada yang berbeda yang dilakukan tahun ini. Awal tahun jadi kesempatan untuk me-reset semua yang sudah lalu. Begitu juga dengan 2022, yang baru hari ini kepikiran mau bikin apa.

Vision Board
Ini favorit saya. Sebelum pandemi, saya pernah ikutan kegiatan membuat vision board bareng Dudu di acara komunitas Single Moms Indonesia. Tahun kemarin nggak bikin sih. Tahun ini akhirnya bikin sendiri di aplikasi Canva.

Ini Vision Board Saya buat 2022

Eh, tapi vision board itu apa? Sekilas terlihat seperti sebuah papan penuh gambar-gambar dan tulisan. Tapi sebenarnya vision board ini merupakan visualisasi rencana dan mimpi kita. Membuatnya seru, dan setelah jadi, sebaiknya ditaruh di tempat terlihat. Biar kita ingat terus sama goal kita selama setahun penuh, membantu kita fokus dan berusaha mencapainya.

Meskipun nggak se-seru kalau menggunting dan menempel sendiri di papan, digital vision board juga banyak gunanya. Yang pertama tentunya nggak banyak sampah hehe. Karena bikinnya di laptop. Lalu hasilnya bisa dipajang jadi wallpaper laptop biar setiap hari diingatkan. Selain itu, vision board digital juga lebih awet. Kalau yang fisik bisa kotor dan bisa rusak, yang digital bisa disimpan selamanya.

Caranya gimana?
Pertama, pilih aplikasinya.


Yang pasti ada di laptop, dan paling mudah digunakan adalah Powerpoint. Tinggal copy paste gambar-gambar ke sana dan tambahkan tulisan. Tidak perlu sign-up atau mendaftar. Bahkan bisa dikerjakan tanpa koneksi internet karena aplikasinya kan biasanya sudah satu paket dengan MS Office yang ter-install di laptop kita. Downside-nya hanya, ya kurang keren hasilnya kalau dibandingkan dengan yang dibuat lewat aplikasi kekinan seperti Canva hehe.

Di Canva ada banyak template Vision Board yang dapat digunakan, namun sayangnya banyak yang berbayar atau khusus pelanggan Canva Pro.

Jangan khawatir, ada banyak template lain yang dapat digunakan sebagai template vision board. Contohnya Facebook Post (ukuran 940px x 788px) atau ukuran Postcard (148mm x 105mm), lalu cari tema dan element scrapbook untuk mempercantik hasilnya.

Pilihan template Vision Board di Canva

Kedua tentukan tema yang paling mengena, goal yang harus dicapai.
Meskipun vision board umum juga dapat membantu, tapi fokus yang spesifik dapat membuat goal kita lebih mudah tercapai. Cari satu bagian dari hidupmu yang ingin diubah di 2022. Misalnya ingin jalan-jalan, ingin kuliah lagi, ingin karir lebih baik, ingin lebih punya waktu bersama keluarga, atau ingin punya bisnis sendiri. Hm… saya ingin apa ya?

Ketiga, cari gambar yang sesuai.
Kalau mimpi kita ada lebih dari 1, misalnya ingin jalan-jalan dan punya bisnis sendiri, sebaiknya gambar-gambar yang kita temukan dikumpulkan sesuai tema. Yang sebelah kanan bisa penuh dengan gambar pantai, gunung, Jepang, Korea dan negara lainnya. Sementara yang kiri bisa gambar orang presentasi, klien, co-working space incaran dan lain sebagainya.

Jangan lupa pakai tema & element "scrapbook" biar lebih cantik

Setelah semua lengkap, barulah mulai men-desain.

Satu hal yang harus dilakukan adalah meletakkan Vision Board ini di tempat yang kita bisa lihat setiap hari. Makanya kalau digital ya jadikan wallpaper laptop atau ponsel.

Sebenarnya lebih seru lagi kalau bisa dilakukan bersama anak sih.

06 September 2021

Menggunakan Podcast Sebagai Alat Bantu Belajar Bahasa Asing

Ketika lagu-lagu patah hati tidak lagi menarik untuk didengarkan, saya beralih ke podcast.

Banyak research yang menemukan bahwa penggunaan aplikasi seperti podcast pada proses belajar Bahasa asing membantu performa dan meningkatkan motivasi untuk menjadi fasih. Jadi, ketika saya hanya bisa mengikuti kelas Bahasa Korea 2x seminggu, dan tidak bisa menemukan waktu luang untuk mengulang pelajaran sebelum kelas berikutnya, saya beralih ke podcast.


Podcast adalah teman terbaik saya ketika menyetir mobil. Soalnya perjalanan 1-2 jam setiap pergi dan pulang kantor berarti extra time untuk saya belajar Bahasa. Tidak mengganggu konsentrasi karena hanya mendengarkan, dan tidak banyak berbeda dengan mendengarkan music. Pelajarannya pun disesuaikan dengan topik yang sedang dibahas di kelas, dan podcastnya dipilih sesuai dengan kemampuan.

Podcast yang sering saya putar adalah Talk to Me in Korean (TTMIK).

Di website TTMIK, para pengajar ini mendeskripsikan dirinya sebagai “orang –orang yang berkumpul untuk mewujudkan ide yang membantu orang-orang yang ingin belajar Bahasa Korea dengan cara yang praktis dan menyenangkan.” Dan mereka punya semuanya mulai dari Youtube, website, buku pelajaran dan sertifikasi kursus. Makanya ketika saya menemukan mereka punya podcast di Spotify, yang bisa diakses gratis, saya seperti menemukan harta karun. Soalnya saya bisa mendengarkan mereka di mobil.

So what are the courses available?

Talk to Me in Korean – Core Korean Grammar

Untuk yang baru belajar, seri Podcast ini cocok untuk didengarkan karena pelajarannya beneran mulai dari awal. Kurikulumnya juga dibagi berdasarkan tingkat kesulitan dan topik yang dipelajari. Saya sering memutar seri ini ketika di kelas kursus sedang membahas topik yang lumayan sulit dihafalkan atau dipahami. Misalnya belajar angka. Mendengarkan pelajaran angka setiap hari di mobil membantu saya menghafal angka lebih cepat dan tidak tertinggal pelajaran di kelas. Seri podcast ini juga berguna ketika saya ingin mengulang topik tertentu karena lupa. Setiap episode panjangnya sekitar 10-20 menit. Ada 10 level yang bisa didengarkan dan setiap levelnya ada 20-30 lesson yang bisa jadi pelajaran.

20 August 2021

Look Good Feel Good: Scarlett Whitening Glowtening Serum

Kulit kering kembali lagi jadi masalah. Tinggal di rumah saja, plus tingkat stress dan jumlah kerjaan yang semakin banyak di bulan-bulan terakhir tahun 2021, membuat saya perlu menjaga kulit wajah secara ekstra. Belum lagi jadwal yang padat bikin saya sering lupa minum air putih cukup dan lembur yang membutuhkan ekstra asupan kopi. Setelah terbiasa dengan sincare routine yang baru, saya menyadari pentingnya menggunakan serum dalam kehidupan sehari-hari.

Rasanya saya butuh serum baru, terutama setelah Serum Scarlett Brightly Ever After kemarin habis. Pas banget Scarlett Whitening punya serum baru yaitu Face Care Glowtening Serum.



Why serum works?

Serum memiliki tekstur yang ringan, tapi dengan konsentrasi active ingredients yang tinggi. Jadi penyerapan bahan-bahan aktif ini bisa dilakukan secara efektif dalam waktu singkat. Karena itu juga, hasilnya seringkali dapat langsung terlihat. Kulit lebih kenyal, noda bekas jerawat lebih cepat hilang dan kulit jadi lebih cerah.

Jadi bersamaan dengan perpanjangan PPKM kemarin, saya juga ‘memperpanjang’ pemakain serum Scarlett. Tapi kali ini pindah dari series Brightly Ever After serum ke Scarlett Whitening Face Care Glowtening Serum. Memang bisa digabung? Well, penggunaan Brightly Series + Glowtening Serum dapat memaksimalkan hasil, yaitu mendapatkan kulit yang lebih cerah, glowing dan sehat. Jadi untuk step awal dan akhirnya, saya masih menggunakan Scarlett Brightening Facial Wash dan Scarlett Brightly Ever After Day & Night Cream. Tapi yang step yang keduanya, beberapa hari terakhir ini saya mencoba Scarlett Whitening Face Care Glowtening Serum.

Cuci muka tetap jadi step paling penting, karena serum tentunya paling efektif kalau diaplikasikan pada muka yang bersih atau setelah eksfoliasi dan penggunaan toner. Tiga step awal tersebut membersikan pori-pori dari kotoran dan mempersiapkan kulit untuk menyerap serum dengan maksimal.

Bedanya apa?

Kalau Scarlett Brightly Ever After Serum kemarin warnanya bening, Scarlett Whitening Face Care Glowtening Serum ini warnanya lebih putih. Sekilas sedikit mirip dengan face cream atau moisturizer tapi efeknya pas dipakai tetap sama. Pas diusapkan di kulit wajah juga cepat meresapnya. Manfaat Glowtening Serum Scarlett ini lebih fokus ke membuat wajah lebih glowing dengan warna kulit yang rata, sesuai dengan kandungannya: Tranexamide Acid, Niacinamide, Geranium Oil dan Allantoin.

Tranexamide Acid adalah bahan yang popular digunakan di Asia karena manfaatnya yang untuk meredakan peradangan kulit, melindungi kulit dari sinar UV, dan meratakan warna kulit. Aman digunakan untuk semua jenis kulit, bahan ini ampuh untuk yang punya dark spots di wajah atau bekas jerawat yang seringkali membuat wajah jadi belang. Dalam kasus saya, yang jadi masalah bukan jerawat tapi kulit kering yang seringkali saat kembali lembab malah warnanya jadi tidak rata. Lumayan mengganggu kalau sedang meeting virtual, apalagi ada satu bekas kulit kering yang adanya di dagu haha. Jadi pengen pakai filter aja deh meetingnya.

14 July 2021

Bersosialisasi di Tengah Pandemi Lewat Komunitas

Pandemi yang terjadi telah merubah cara kita berinteraksi dengan keluarga, teman dan pekerjaan.

Beberapa waktu belakangan ini saya menyibukkan diri dengan ikutan kelas dan event dari komunitas untuk menjaga sosialisasi. Setelah daftar kelas, saya bergabung di grup whatsapp. Lalu ketika ada challenge, saya ikutan. Saling blogwalking, saling comment di Instagram supaya interaksi tetap terjaga. Meski saya cenderung introvert, yang sebenarnya tidak begitu keberatan kalau harus rebahan dan Netflix-an seharian, tapi saya sadar bahwa menjaga pertemanan ini perlu supaya pas pandemi selesai kelak saya tidak seperti baru keluar dari gua. Dengan ikut kelas dan aktif di komunitas, saya dapat ilmu dan teman baru sambil tetap menjaga prokes di tengah pandemi.

Ikut event sekarang dari rumah aja

Cerita Ikutan Kelas

Kelas apa? Komunitas yang mana? Sesuaikan dengan minat dan waktu yang ada. Saya kerja full-time, meskipun dari rumah. Jadi kalau harus mengambil kelas, saya mencari yang bisa dihadiri setelah jam kerja atau di akhir pekan. Karena saya senang menulis, biasanya kelas yang saya ambil pun berhubungan dengan kepenulisan. Ada yang hanya sekali pertemuan, ada yang serial. Ada yang gratisan, ada yang berbayar seperti waktu saya belajar Bahasa Korea. Kelas yang saya ikuti secara offline di Korean Culture Center menjadi online ketika pandemi. Tapi, saya malah jadi bisa lebih sering ikutan karena tidak perlu melawan macetnya Jakarta untuk datang ke kelasnya.

31 May 2021

Mencoba Skincare Untuk Pemula

“Mama, tadi apa kata peramalnya?”
“Katanya Mama terlalu tomboy, perlu lebih feminin.”


Sebagai anak perempuan super cuek yang hobinya main console, rebahan dan baca komik, yang namanya perawatan muka ini ada di prioritas nomer sekian. Karena satu dan lain hal, saya ikut teman pergi ke semacam peramal, yang kemudian menasehati saya agar lebih feminine sedikit. Lebih dandan, jangan pakai warna gelap dan jangan terlalu cuek sama penampilan. Lalu kata si ‘orang pintar’, yang dapat dukungan dari lingkungan sekitar saya, sepertinya tidak ada yang salah dengan jadi sedikit lebih feminine.

Apalagi kalau menyadari bahwa boyband K-pop kesukaan saya itu punya skincare routine sampai 8 atau 10 step. Masa saya yang perempuan beneran, bisa kalah?

Tidak mungkin langsung 10 step sih memang. Jadi, bagaimana kalau dimulai dari yang super simple dulu: 3 step saja yaitu pembersih wajah, serum dan krim. Let’s start with Skincare, small changes.



Kebetulan Scarlett Whitening punya skincare juga, produk baru dalam bentuk cream untuk wajah. Ada dua macam yaitu Acne Series (yang warnanya ungu), dan Brightly Series (yang warnanya pink). Meskipun saya senang warna ungu, tapi karena kulit wajah saya tidak bermasalah jerawat dan lebih bermasalah dengan pori-pori besar, saya akhirnya mencoba Brightly Series yang lebih fokus untuk menyamarkan pori-pori, garis halus dan mengencangkan kulit wajah. Selain itu, Brightly Series juga meningkatkan kelembaban dan elastisitas kulit, membantu mencerahkan kulit dan memudarkan bekas jerawat. Jadi pas untuk kebutuhan saya.

Anyway, 3 step yang tadi apa saja?

Kiri-kanan: Step 1 (Facial Wash), Step 2 (Serum), Step 3 (Krim)

27 April 2021

Mama ‘Me Time’: Menemukan Rutinitas Mandi Lebih Seru

“Ma, ini sabun?”
Dudu menemukan botol warna ungu di kamar mandi. Biasanya cuma ada sabun cair standard saja.
“Shower Scrub. Mirip sabun, tapi kalau pakai ini mandinya berasa lebih bersih.”

Bingunglah anak cowok semata wayang saya itu. Tiba-tiba Mama-nya jadi suka mencoba hal-hal baru. Haha.

(left to right) Scarlett Whitening Body Lotion Freshy, Brightening Shower Scrub Pomegranate & Body Scrub Romansa

Sejak Work From Home (WFH) setahun yang lalu, saya banyak mager-nya. Semua rutinitas jadi tidak spesial. Bangun tidur, mandi, bikin kopi lalu duduk di ruang tengah untuk bekerja. Kalau weekend, sesekali ke luar rumah bertemu teman atau ‘staycation’ ke rumah adik saya untuk ganti suasana. Meskipun jarang bertemu orang lain secara offline selain si Dudu, saya ternyata tetap butuh ‘me time’, break time dari bekerja biar nggak stress. Jadi, saya memutuskan untuk mengganti sabun dengan body care baru.

24 February 2021

Belajar Bahasa Baru di Usia 30

Sering kita dengar bahwa anak-anak belajar bahasa lebih cepat daripada orang dewasa. Bahkan saat mengikuti kursus belajar bahasa Korea beberapa waktu lalu pun saya merasa bahwa saya tertinggal jauh dibandingkan teman-teman satu kelas yang rata-rata masih kuliah atau baru mulai bekerja.

30 adalah usia sebenarnya menjadi dewasa, setidaknya untuk otak kita. Ahli neuroscience dari Harvard, Leah H. Somerville, menulis di jurnal Neuron bahwa volume otak secara keseluruhan berkembang maksimal pada usia 10 tahun, dan otak bagian belakang berkembang sempurna di usia 20-an. Namun bagian otak depan masih membentuk jaringan baru hingga usia 30 tahun. Rasanya lega, soalnya saya masih bisa belajar bahasa Korea meskipun umur sudah mendekati kepala 4.

Saya vs Dudu pernah belajar bahasa Jawa

Kemampuan berbahasa asing penting karena dapat meningkatkan percaya diri, memperluas networking, menjadi nilai tambah saat melamar kerja serta meningkatkan kerja otak. Mark Antoniou, Psycholinguist dari Western Sydney University-Australia menulis di Annual Review of Linguistics, bahwa menguasai dan menggunakan setidaknya dua bahasa secara rutin dapat menunda timbulnya Alzheimer.

Di kelas-kelas kursus Bahasa Korea, saya sering jadi murid paling tua. Tapi dengan mengetahui teknik yang tepat, terutama setelah menyadari bahwa kemampuan penyerapan bahasa asing saya tentunya lebih lambat dari “anak-anak muda” ini, saya bisa mengikuti pelajaran dan akhirnya lulus les bahasa Korea dengan nilai tak kalah bagus.

Jadi, apa yang saya lakukan?

Berdamai dengan Ekspektasi

Saya terakhir belajar bahasa asing dengan benar ketika saya SMA. Belajar bahasa Perancis dan lulus ikut ujian standardisasi. Hanya dalam waktu 6 bulan ikut kelas intensif sudah bisa ngobrol kanan kiri. Hampir dua dekade kemudian, saya belajar bahasa Korea karena terjerumus ke dunia Kpop. Eh, kok susah. Ikut kursus sudah 6 bulan baru bisa dasarnya, tulisan Hangul saja tidak hafal-hafal. Apalagi menurut penelitian, untuk jadi fasih, sebaiknya mulai belajar bahasa sebelum usia 18 tahun. Saya auto merasa bodoh.

Idol favorit saya pernah acting jadi guru bahasa.

Ternyata ekspektasi saya ketinggian. Tadinya menyalahkan usia, tapi ternyata kesibukan juga turut menyumbang lambatnya perkembangan bahasa Korea saya. Les bahasa 2x seminggu, terkadang bolos karena lembur. Bikin PR last minute karena tidak sempat mengulang pelajaran di luar les. Tentu saja hasilnya tidak sebanding dengan jaman SMA yang bisa review lebih intense. Jadi, sebelum memulai belajar, lihat ke diri sendiri dan jadwal sehari-hari. Berapa banyak waktu yang ada untuk belajar bahasa asing dan sesuaikan ekspektasi kita.

Set Personalized Target

Ada dua macam target: jangka panjang dan jangka pendek. Ketika memutuskan untuk belajar bahasa Korea, saya punya mimpi harus bisa at least bertanya jalan kalau saya nyasar di Korea pas liburan suatu hari kelak. Target jangka panjang saya tidak ada waktunya. Target jangka pendek ada deadline-nya. Misal, saya harus bisa menghafal 10 karakter Hangul setiap minggunya. Dalam 1 bulan, saya harus menambah 10 kosakata baru.

Lebih seru lagi kalau target-target ini dibuat personalized. Saya follow social media penyanyi Kpop favorit saya dan saya punya target setidaknya dapat membaca postingan mereka yang dalam tulisan hangul tanpa melihat kamus. Ketika saya naik ke level berikutnya di tempat kursus, target saya menjadi ‘memahami postingan idol Kpop tanpa melihat kamus’.

Mencari jalan keliling Korea Selatan

Personalized target juga jadi motivasi tersendiri agar tidak mudah menyerah di tengah jalan karena ada reward yang didapatkan. Misalnya, dengan berhasil me-reply postingan idol favorit di media sosial dengan tulisan Hangul, saya merasa kesempatan untuk dipahami oleh sang idol jadi lebih besar. Atau ketika bisa merespon pertanyaan idol di konser tanpa harus menunggu penerjemah, rasanya sudah seperti dapat sertifikat kelulusan. Motivasi yang sama inilah yang membawa saya belajar bahasa Inggris saat SD dulu.

Belajar Secara Konsisten

Sudah set ekspektasi dan punya motivasi, sekarang saatnya tips belajar bahasa asing yang saya praktekan untuk mengejar ketertinggalan dengan teman-teman sekelas.

Yang pertama adalah mengulang tiap hari. Bekerja full-time dan sering lembur, menyisihkan waktu setiap hari untuk belajar adalah tantangan. Jadi instead of 30 menit fokus belajar setelah pulang kantor dengan keadaan lelah, saya menyisipkan 5-10 menit untuk review vocabulary lewat aplikasi belajar bahasa atau scrolling instagram idol Kpop saat jalan dari meja ke kamar mandi. Jaman masih WFO, saya menghabiskan perjalanan di mobil mendengarkan podcast belajar bahasa Korea di Spotify.

Aplikasi kesukaan saya buat belajar Bahasa Korea adalah memrise

Yang kedua, bergabung dengan komunitas di Facebook Group atau mengikuti media sosial komunitas sambil rajin memberikan comment dan interaksi. Kalau ada temannya, belajar jadi lebih mudah dan semangat. Yang terakhir adalah jangan lupa praktek. Menulis dan membaca bisa dari media sosial. Mendengar bisa lewat nonton IG Live atau Youtube idol Kpop. Kalau speaking? Saya mau tidak mau harus ikut kelas untuk bisa ngobrol. Sejak pandemi, banyak conversation class lewat zoom, yang bisa diikuti untuk latihan berbicara.

Buat saya yang lebih suka boyband daripada film, karaoke jadi cara paling efektif buat belajar bahasa. Karena saat karaoke, kita bisa belajar 2 hal sekaligus yaitu membaca dan melafalkan kata dengan benar.

Let me end this story with a happy ending.

Saya akhirnya jalan-jalan ke Korea, setahun setelah saya memutuskan untuk belajar bahasanya. Di sana saya berhasil bukan hanya bertanya jalan seperti target semula tapi bisa mengarahkan supir taksi di Seoul, menjelaskan masalah kepada petugas bandara di Jeju, memesan makanan serta membeli tiket bus di Sokcho yang penduduknya mayoritas tidak mengerti bahasa Inggris.


Akhirnya kami berdua mendarat juga di Korea - dan bisa praktek bahasanya

Intinya, jangan menyerah walaupun progress kita mungkin tidak secepat anak-anak remaja yang baru dengar sekali lagu Kpop bisa langsung hafal liriknya. Belajar bahasa baru sampai lancar di usia lebih dari 30 tahun itu mungkin karena memang tidak ada kata terlambat untuk belajar.

13 February 2021

Mengenalkan Peluang Kerja Green Jobs Kepada Anak Indonesia

Beberapa waktu lalu, saya dan Dudu ngobrolin cita-cita. Pertanyaan yang akan terus selalu ada. “Kamu mau jadi apa?” Waktu TK, Dudu mau jadi Nelayan (atau yang dia sebut Pemancing). Waktu SD pindah haluan jadi Youtuber Game karena dia suka main game. Spesifik banget ya. Sekarang sudah SMP malah tidak tahu mau jadi apa. 

Menyadari bahwa cita-cita seorang anak muncul dari hal-hal yang ada di sekelilingnya, saya merasa wajib mengenalkan konsep dan peluang green jobs kepada Dudu, anak saya yang sekarang sudah berusia 14 tahun ini. Soalnya, tak kenal maka tak sayang.
Mama: Mau coba di sektor green jobs?
Dudu: Apa itu green jobs?
Mama: Yang berhubungan dengan sustainability.
Dudu: Tukang sampah?
Mama: Nggak harus sampah sih.
Dudu: Kalau begitu petani?
Mama: Urban Farming dong. Kan di tengah kota, di atap rumah gitu keren.
Dudu: Itu tetap saja disebut dengan petani, Ma.

Petani kebun sendiri sedang panen jeruk

Perubahan cita-cita si Dudu yang lumayan drastis dari Nelayan jadi Youtuber ini tentunya tidak lepas dari perkembangan teknologi. Anak saya masih merasakan jaman Nokia 3310, ketika telepon ya kalo nggak buat telepon ya buat SMS sama main game snake. Sekarang Dudu yang SMP mau naik SMA ini belum punya cita-cita baru yang dia yakin pasti mau diikuti. Makanya, begitu saya mendengar tentang green jobs ini saya merasa harus ikut webinarnya dan memperkenalkan jenis pekerjaan ini ke Dudu.

06 May 2020

Awas, Biawak Masuk Rumah!

Salah satu fenomena ‘alam’ yang sering muncul jadi meme di masa pandemic Corona adalah kembalinya binatang-binatang ke alam bebas. Lumba-lumba dan angsa yang muncul lagi di Italy (yang lalu dibantah sebagai fake news oleh National Geographic) atau cerita tentang gajah masuk perkampungan (yang dibantah media Tiongkok). Lalu ada cerita lumba-lumba di Turki, babi hutan di tengah kota Israel dan kambing gunung yang muncul di Wales (yang ini diverifikasi BBC, katanya benar).

Semua itu di luar negeri.

Yang paling dekat (dan penting) buat saya dan Dudu adalah Biawak. 

Yang pertama heboh, ya siapa lagi kalo bukan Dudu! Coba cek chatnya di Whatsapp Grup keluarga yang membanggakan binatang peliharaan barunya ini. 

Semangatnya Dudu pamer Biawak
Astaga gede banget! 

Lebih besar dan gemuk dari terakhir bertemu sebelum Corona, meskipun sebenarnya tidak yakin juga kalau ini biawak yang sama. Bahkan saya juga tidak yakin ini biawak, kadal, buaya (buaya darat mungkin haha)? 

03 April 2019

Belajar Menulis Nama Dengan Aksara Jawa

“Kalau orang tuanya memberi nama yang panjang, anaknya merasa seperti dikhianati.”

Kalimat itu keluar ketika saya dan Dudu duduk barengan di kelas Aksara Jawa, belajar menulis nama dengan Hanacaraka. Kok bisa? 



Alkisah di satu Sabtu yang random tapi cerah, kita berdua mampir ke Astori Coffee di pom bensin Pertamina jl. Antasari untuk belajar menulis Aksara Jawa dan pasangannya. Sama-sama mulai dari nol. Gurunya adalah anak muda lulusan Sastra Jawa bernama Sekar. Kelasnya gratis, tapi kita diminta bawa buku dan alat tulis sendiri. Buat yang tidak bisa Bahasa Jawa gimana? Ya tetap bisa ikutan, soalnya kelasnya ini menulis Aksara Jawa tapi bahasanya tetap Indonesia. Misalkan kita menulis “tawa”, yang digunakan adalah huruf “ta” dan “wa” tanpa perlu menterjemahkan kata tersebut ke dalam Bahasa Jawa. Dudu juga tidak bisa Bahasa Jawa kok.

(Baca review Astori Coffee di sini ya)

Berbeda dengan huruf Mandarin, Hiragana Jepang dan Hanggul Korea, aksara Jawa ini lebih mirip melukis dan harus dituliskan dalam sekali coret.Tantangan terbesarnya adalah menghafal huruf yang terlalu mirip satu dengan yang lainnya. Selama 2 jam kita belajar sekitar 20 huruf, 20 aksara Pasangan dan 10 Sandhangan alias aksara tambahan. Pusing tapi seru! 

Aksara Jawa kayak apa sih?