02 September 2023

Makna Merdeka Bagi Ibu Tunggal

Tanggal 30 Agustus kemarin saya menghadiri Diversity, Equity and Inclusion (DEI) Summit yang diselenggarakan oleh Manulife Indonesia. Acara yang saya hadiri sebagai perwakilan Single Moms Indonesia ini membawa pesan “Bring DEI to Life.” 

Hubungannya apa sama merdeka?

Ada satu pesan yang saya dengar di DEI Summit pertama di Indonesia ini yang membuat saya berpikir tentang makna merdeka. Kira-kira begini: Coba bayangkan betapa tidak nyamannya kita ketika harus menyembunyikan sesuatu agar terlihat normal dan tidak dikucilkan oleh orang lain. Apa yang terjadi jika kita harus merahasiakan kondisi kita, dan struggling sendirian. 

Yang dibahas di DEI Summit kemarin lebih kepada disabilitas, terutama disabilitas fisik. Namun memang disebutkan bahwa disabilitas ini bukan hanya fisik tapi juga mental dan kondisi. Perbedaan bukan hanya apa yang terlihat langsung di depan mata. Misalnya seorang karyawan yang memiliki ADHD tentunya akan lebih sulit fokus dibandingkan rekan-rekannya yang tidak ADHD. Namun ADHD yang tidak berani diakui ini menghalangi kinerja dan menyebabkan karyawan tersebut dicap tidak perform. Begitu juga dengan status ibu tunggal. 

Banyak single mom yang menyembunyikan status mereka ketika melamar pekerjaan karena takut diperlakukan berbeda, misalnya diganggu rekan kerja atau atasan lawan jenis. Bisa juga malah jadi tidak diterima karena perusahaan khawatir mereka akan banyak ijin karena harus mengurus anak sendirian. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan equity dan melakukan inclusion untuk mereka yang berbeda.

Jadinya ya, para ibu tunggal ini belum merdeka. Bukan hanya dalam pekerjaan, namun juga dalam kehidupan sehari-harinya. Stigma yang muncul membuat mereka kurang nyaman menjadi diri sendiri, dan akhirnya stress karena harus terus berpura-pura. Padahal masih terluka. Karena itulah saya ingin menciptakan sebuah kondisi di mana para ibu tunggal ini bisa merdeka. 

Merdeka yang bagaimana?

29 August 2023

Apakah Kelinci Cocok Sebagai Peliharaan Pertama Anak?

Sejak saya dan Dudu memelihara kelinci, beberapa orang tua bertanya pada saya tentang kelinci. Anaknya ingin punya kelinci. Daripada kucing atau anjing, lebih baik kelinci dulu sebagai peliharaan pertama anak. Apakah benar kelinci cocok buat jadi peliharaan pertama anak? Coba kita telusuri pro dan kontranya sebelum memutuskan untuk memelihara.

Sulitkah memelihara kelinci?

Dibandingkan anjing dan kucing, kelinci termasuk mudah dipelihara karena herbivora. Kebetulan lingkungan rumah mendukung dengan adanya taman di belakang. Ukuran kelinci yang tidak terlalu besar dan tidak berisik juga membuat kelinci jadi mudah untuk dirawat dan dipelihara. Karena itulah, ketika Dudu ingin punya binatang peliharaan, kelinci jadi pilihan pertama saya. 

Apa saja yang harus diperhatikan ketika memelihara kelinci?

Jika mengenalkan kelinci sebagai binatang peliharaan anak yang pertama, harap diingat bahwa kelinci mudah mati. Kepanasan mati, kedinginan juga mati. Kebanyakan makan mati. Salah makan mati. Kaget juga bisa mati. Jadi, persiapkan anak dan diri anda sendiri untuk menghadapi kematian kelinci sejak mulai memelihara.

Meskipun terlihat jinak dan lucu, kelinci saya dulu pernah menang berantem lawan kucing liar. Kelinci memiliki cakar tajam dan gigi yang kuat. Selain itu, tendangan kaki belakangnya juga tidak boleh diremehkan. Jadi, ketika mengenalkan kelinci pada anak, awasi juga interaksi mereka. Kelinci tidak boleh dipegang kupingnya, jadi jangan sampai anak yang masih kecil menarik kuping kelinci. Selain itu, kelinci dewasa juga bisa tumbuh besar dan berat. Hati-hati saat menggendongnya.

26 August 2023

Reza Permadi Menggandeng Teknologi Sebagai Sahabat Pariwisata Lewat Virtual Tour

Traveling adalah bagian dari kegiatan rutin saya dan Dudu. Sebelum pandemi, biasanya kami jalan-jalan setidaknya 2 kali dalam setahun ketika si Dudu libur sekolah. Lalu pandemi datang, dan jalan-jalan jadi tertunda. 

Di rumah saja bosan. Namun apa yang bisa dilakukan? 

Karena sering bermain media sosial, saya jadi paham dengan yang namanya wisata virtual. Beberapa grup travelling dan grup pekerja nomad yang saya ikuti di Facebook mulai mengadakan acara wisata virtual. Ada yang di Jepang, ada yang di Turki dan negara-negara lainnya. Ketika lockdown sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, wisata virtual mulai menjamur di semua platform. Semua orang kangen jalan-jalan tapi masih belum berani ke luar rumah. 

Konsep virtual tour atau wisata virtual ini menarik karena sebenarnya orang seperti saya, yang senang cek lokasi lewat google maps sebelum beneran sampai di tempatnya, secara tidak sadar sudah melakukannya. Saya senang merencanakan perjalanan, membuat itinerary dan mencari informasi tentang tempat yang saya tuju. Apalagi jaman sekarang sudah ada teknologi canggih yang memungkinkan kita “jalan-jalan” di layar laptop. Tinggal klik lalu bisa lihat 360 view dari satu tempat wisata. Atau bisa cek street view dari satu daerah dan menyusuri jalanannya, seakan-akan kita ada di sana. 


Kalau dipikir-pikir, ini jadi mirip main game RPG. 

Eh, di Indonesia juga bisa dong. Apalagi ada banyak daerah yang memiliki pemandangan indah namun sulit dijangkau secara offline. Dengan banyaknya orang jadi melek teknologi ketika pandemi, wisata virtual ke daerah-daerah ini sekarang bukan hanya wacana. Yang penting ada tour guide-nya. Karena biasanya jalan-jalan tanpa cerita itu jadi tidak ada maknanya. Salah satu penyedia jasa layanan virtual tour ini adalah Atourin.

Cerita Reza Permadi dan Atourin

Atourin adalah milik Reza Permadi, salah seorang penerima SATU Indonesia Awards tingkat Provinsi untuk DKI Jakarta di tahun 2021 kemarin. Gagasannya di bidang teknologi, yaitu Atourin, mengusung Wisata Virtual untuk Pegiat Pariwisata. Atourin yang didirikan pada tahun 2019 ini bertekad untuk memajukan industri pariwisata Indonesia sekaligus dapat berkontribusi meningkatkan perekonomian Indonesia melalui implementasi teknologi, mulai dari memberikan pelatihan untuk virtual tour bagi para pemandu wisata di Indonesia ketika pandemi menyerang.

17 August 2023

Tujuhbelasan Berkesan dan Pesan untuk Indonesia

Sudah puluhan kali melewati 17 Agustus, namun entah kenapa tidak ada acara berkesan yang muncul di kepala. Ketika sekolah dulu, 17-an identik dengan upacara. Baik ikutan secara langsung di sekolah atau nonton TV. Lalu ketika mulai bekerja, maknanya mulai hilang karena saya seringnya bekerja di tanggal merah. Pertama ketika bekerja sebagai wartawan, harus menghadiri event 17-an dan menuliskan reportasenya. Lalu saya pindah ke e-commerce, di mana kemerdekaan ini adalah waktunya promosi dan diskon belanja. Ujung-ujungnya ya 17an dihabiskan dengan bekerja.

Karena bukan tim aktif lomba, saya juga jarang berpartisipasi di perlombaan selain yang ada di sekolah. Sekolahan Dudu yang internasional juga tidak terlalu punya perayaan 17 Agustus yang meriah. Lalu momen berkesannya apa? 

Setelah browsing foto, ternyata ada dua momen yang unik di perayaan 17 Agustus sepanjang hidup saya.

Momen pertama adalah jalan-jalan. Kita pernah naik pesawat pas 17 Agustus. Haha. Jadi spesial karena Halim Perdana Kusuma waktu itu dihias dengan bendera merah putih. Dudu juga ikutan excited dengan semangat kemerdekaan, mau saja disuruh foto-foto pakai ikat kepala merah putih. Yang lebih memorable-nya lagi, karena kita penerbangan dari Halim Perdana Kusuma, semua pesawat delay. Baru bisa terbang setelah pesawat tempur selesai acara 17an. Airportnya ramai tapi tidak ada yang protes.

Jadi tambah spesial karena perjalanan kita saat itu adalah ke Jogjakarta untuk lamaran adik saya, sekaligus survey lokasi pernikahannya. Seru!

Momen yang kedua adalah ketika secara random, kami sekeluarga memutuskan untuk mengadakan Korean BBQ di rumah. Saat itu masih pandemi dan PPKM masih lumayan ketat. Kami memesan peralatan BBQ mulai dari kompor gas, panggangan, daging dan bumbu dari toko online. Lalu, mulai mencari side dish dari restoran favorit yang untungnya berhasil survive selama pandemi. Setelah lockdown dan kemudian PPKM, 17an tahun itu terasa lebih merdeka.

Berkumpul bersama keluarga, menikmati hidangan setelah sekian lama terperangkap di rumah masing-masing selama pandemi.


Harapan untuk Indonesia

Almarhum Papa selalu bilang kalau orang tambah tua jadi tambah kuno. Kalah cepat dengan teknologi dan perkembangan zaman. Semakin ketinggalan dalam hal ilmu. Mau belajar pun, sudah tua dan otak terkadang sudah tidak mampu. Sulit, tapi bukan berarti tidak bisa.

Nenek saya yang usianya 92 tahun masih bisa belajar belanja online. Sekarang dia bisa browsing aplikasi e-commerce dan shopping sendiri. Tante saya yang usianya 70an punya instagram sendiri. Meskipun masih sering terjebak hoax yang beredar di grup keluarga, namun para lansia ini mau maju dan belajar dengan caranya.

Saya berharap Indonesia juga begitu.

78 tahun bukan usia muda. Indonesia akan terus bertambah tua. Namun bukan berarti negara ini akan jadi gaptek, kolot dan terjebak nostalgia. Manusia berubah. Zaman dan teknologi jadi maju. Saya berharap Indonesia mau belajar mengerti, mau menerima edukasi sebelum menghakimi. Jangan takut akan sesuatu yang baru, lalu membatasi kreativitas dengan alasan melindungi generasi penerus bangsa. Sebaiknya Indonesia belajar memahami, dan bersama-sama mencari solusi yang tepat. 

Jangan jadi nenek-nenek yang merasa internet itu ancaman. Teman bule cucunya sebagai keturunan kompeni yang harus dicurigai. Sulit menerima ketika anak cucu punya moral compass yang berbeda akibat mudahnya akses eksposure ke negara asing. 

Semoga Indonesia bisa semakin bijak menyikapi transformasi dalam negeri. Mampu merangkul perbedaan yang ada dan setia pada semangat bhineka tunggal ika. Keras tak harus benci. Jangan sampai anak cucu pergi dan tak kembali, lalu Indonesia terpaksa menghabiskan masa tuanya di panti jompo. Jadilah sosok yang bijak seiring bertambahnya usia, orang tua yang mencintai dan dicintai.

Ah, kalau menulis begini jadi mellow sendiri. Saya memiliki love-hate relationship dengan tanah air tercinta. Yang sudah banyak berkontribusi pada hidup saya, tapi banyak juga memberikan kekecewaannya. 

 

02 August 2023

Persiapan Nonton Konser di Usia (Hampir) 40

“Apakah seorang idol harus terus berkarir dan promosi di usia 40?”

Judul berita itu muncul di timeline sosmed saya. Kebetulan idol favorit saya, Super Junior, sudah sampai usia 40 tahun. Saya juga. Soalnya saya dan idol saya memang seumuran. Dudu sering komen soal per-konseran-ini karena sepertinya hanya saya mama-mama yang masih mengejar-ngejar Kpop Idol sampai ke negara tetangga.

Idol saya ini pernah bercanda, membuat konser yang penontonnya duduk semua karena “fans kita sudah tua.” Iya juga. Sementara para idol masih bisa nge-dance berjam-jam dan berlari-lari keliling panggung, para fansnya sudah jompo. Berdiri 3 jam sepanjang Supershow sudah tidak kuat. Apalagi setelah pandemi, badan jadi lebih tidak fit karena kebanyakan rebahan di rumah. 

Sepanjang pandemi, konser diadakan online. Menyaksikan SMTown Live di televisi di tahun baru sudah jadi tradisi beberapa tahun terakhir ini. Belum lagi konser online di beberapa platform yang bisa kita saksikan di layar komputer masing-masing hanya dengan membeli tiket. Idol terlihat lebih jelas, tidak perlu lelah antri masuk karena bisa sambil duduk, dan tidak perlu dandan rapih. Sebenarnya yang seperti ini ideal buat saya yang umurnya sudah mendekati kepala 4. Tapi jadi malu, ya. Masa artisnya sanggup, fans-nya kalah? Hahaha.

Nonton konser di TV tidak seseru nonton aslinya.

Apa yang harus disiapkan ketika mau nonton konser, sementara usia sudah semakin tinggi?

Pertama tentunya uang. 

Meskipun sekarang sudah punya tabungan, tapi pengeluaran dan tanggung jawab juga sudah semakin banyak. Jadi, agar dana konser tidak mengganggu cash flow, sebaiknya kita tetap memiliki pos terpisah untuk konser. Apalagi harga tiket konser kan biasanya juga tidak murah. Begitu juga dengan artis yang ingin didatangi konsernya. Saat ini, saya sendiri hanya membatasi dua artis yang konsernya bisa saya datangi karena keterbatasan dana: Super Junior dan Backstreet Boys. Karena pemberitahuan penjualan tiket konser biasanya mendadak, jadi saya punya tabungan khusus tiket konser yang tidak bisa diganggu gugat. Ketika tiket beserta harganya diumumkan, biasanya saya sudah punya uang untuk membeli. 

Kalau ada rejeki lebih, nonton konsernya sekalian liburan ke negara tetangga. Dudu? Ya dititipkan dulu di rumah adik saya yang kebetulan bermukim di sana haha.

Kedua, jaga kesehatan dan sadar diri. 

Sudah bukan anak kuliahan atau di awal karir yang masih berprinsip “you only live once,” jadi tentukan prioritas. Tidak perlu ikut jemput ke airport, stalking dan keliling kota demi papasan di jalan. Persiapkan diri nonton konsernya. Dari sisi kesehatan dan dari sisi kerjaan. Jangan sampai di hari konser, kita terpaksa lembur, atau sakit karena kebanyakan lembur di minggu sebelumnya. Jangan memaksakan diri ambil kelas yang berdiri kalau memang lebih nyaman duduk. Kalau seat sudah ada numbernya, tidak perlu datang terlalu pagi. Ini yang saya lakukan ketika menonton Super Junior KRY beberapa tahun lalu. Sudah ada seat number, jadi tidak perlu antri sejak pagi.

Ketiga, maksimalkan momen untuk ‘me time’. 

Sebagai seorang ibu, jarang-jarang saya punya waktu heboh sendiri. Dan biasanya ketika sedang ‘me time’ pun, saya tetap membuka handphone memantau keadaan sekitar. Nah, kalo konser, karena sibuk fangirling dan berusaha tidak terhimpit massa, jadi lupa sama yang namanya memeriksa chat. Yang ada handphone dimatikan sinyalnya agar tidak mengganggu atau habis baterai saat merekam aksi idol idaman. Ketika nontonnya di negara tetangga, saya sekalian “solo traveling” meskipun cuma setengah hari di Singapore dan hanya di sekitar tempat konser. Haha.

Jadi, apakah saya akan berhenti nonton konser di usia 40?

Well, sepertinya sih tidak. Kalau para idol saya belum berhenti berkarya, saya sih akan terus menabung untuk menonton konser. Sama waktu Backstreet Boys akhirnya world tour lagi dan nyampe di Jakarta dengan formasi lengkap, bahagianya bisa konser pakai uang gaji sendiri itu tidak terlukiskan. 


31 July 2023

Satu Catatan Berkesan Seorang Ibu-Ibu Banyak Mau

Membuka kembali buku harian lama berarti membaca kembali mimpi yang tertunda. 

Puitis ya hehe.

Satu cerita lama yang saya baca ulang adalah mimpi saya buat kuliah lagi. Ketika saya punya anak kemarin, yang namanya kuliah S2 jadi prioritas kesekian. Soalnya jurusan kuliah yang saya mau bukan jurusan yang akan membuat karir lebih maju atau jurusan komersil. Jurusannya dipilih karena saya ingin belajar ilmu itu. Makanya jadi hal yang tidak urgent. Lalu ketika si Dudu mau kuliah, kita pergi college shopping. Saya jadi keingetan kalau saya pernah punya mimpi mau kuliah lagi.

Ternyata selama bertahun-tahun ini, jurusan yang saya inginkan tidak berubah. Antara melanjutkan studi master di bidang Religious Studies atau Cultural Anthropology.

Ketika saya utarakan itu, sekeliling saya menanyakan kenapa saya tidak mau ambil MBA. Alasannya, saya sekarang bekerja di bidang marketing. Tentunya gelar MBA akan sangat membantu karir dan gaji, sehingga finansial saya bisa membaik juga. Lah, tapi itu tadi. Saya mau kuliah mengambil jurusan yang saya suka lalu mencari karir yang sesuai dengan jurusan tersebut. Bukan sebaliknya. Lalu karirnya bagaimana? 

Membuka kembali catatan lama, saya jadi sadar kalau memang saya belum memikirkan karir mau jadi apa kalau sudah lulus S2. Dan itu dulu, ketika saya baru lulus S1. Sekarang, setelah lebih dari 15 tahun malang melintang jadi karyawan dan berpindah karir dari jurnalis ke marketing, jadi kepikiran juga. Mau jadi apa kalo sudah S2?

Google jadi tujuan. 

What can you do with a Religious Studies degree?

Sebelum masuk ke karir, Religious Studies adalah jurusan yang mempelajari agama dan kepercayaan di seluruh dunia. Mempelajari hubungan kepercayaan (termasuk agama) dan aspek sosial, politik serta budaya. 

Melirik website karir di beberapa universitas, lulusan Religious Studies biasanya jadi guru atau researcher. Banyak yang menggabungkan jurusan ini dengan bidang studi lain seperti sosiologi, jurnalistik, pendidikan, hukum dan social work. Meskipun kebanyakan mengarah ke karir yang berhubungan dengan agama, seperti evangelist, tapi banyak juga pekerjaan lebih netral yang bisa dilamar. Misalnya, community outreach, yang berhubungan dengan komunitas, dan non-profit administrator, yang berhubungan dengan organisasi kemanusiaan. 

Bagaimana dengan Cultural Anthropology? 

Cultural Anthropology adalah jurusan yang berfokus pada aspek masyarakat dan budaya manusia, termasuk dengan perkembangannya. Kalau tinggal di Indonesia, rasanya jurusan ini menarik banget ya. Cultural Anthropology mempelajari interaksi manusia dan bagaimana “peraturan” serta norma dibuat. Bagaimana dengan karirnya? Bisa di bidang kemanusiaan, misalnya di dinas sosial, peneliti atau guru, di museum sebagai juru arsip, kurator hingga direktur museum. Bisa jadi ahli sejarah, program manager dan pindah sedikit ke HRD bidang people & culture.

Setelah melihat karir choice yang ada untuk kedua jurusan itu, saya malah makin mantap untuk mengejar studi lebih lanjut. Soalnya, karir yang ada, sesuai dengan passion saya sekarang di bidang komunitas dan organisasi non-profit. Banting setir lagi dong dari marketing. Yah, namanya juga mimpi yang tertunda. Sayangnya, mungkin di Indonesia, karir di bidang ini masih sangat jarang. Karir di Dinas Sosial dan organisasi non-profit memang kurang populer dan kalaupun ada, gaji yang didapat pastinya tidak sebanyak kalau berkarir di start-up. 

Makanya kalau saya menyebutkan jurusan-jurusan yang ingin saya ambil, banyak yang mengernyitkan dahi. Tapi, ya, kenapa nggak? Ada banyak jurusan di luar sana. Temukan yang memang sesuai kebutuhan dan keinginan. 

07 July 2023

Our Best Family Moment Happens On the Road

“Just how many pictures are you taking on the road?”
Komentar Dudu kesekian kalinya ketika saya memfoto jalanan.
“Well, most of them are. I just love being on the road.”



Setelah lebih dari satu dekade, saya dan Dudu kembali lagi road trip berdua. Jalan-jalan pertama setelah pandemi berakhir dan langsung lompat jauh ke benua seberang. Tapi ya, apalah #DateWithDudu tanpa road trip cross country? Meskipun kali ini cross Texas doang, tapi karena luas negara bagian yang satu ini setara dengan beberapa negara bagian sekaligus, ya anggaplah kita sedang cross country. 

Salah satu yang paling bermakna adalah kemarin, ketika kami pindah kota dari Dallas ke Houston. Perjalanan 3,5 jam yang jadi sedikit lebih panjang karena mampir dulu ke Waco untuk tur keliling Baylor University. Ya, soalnya tujuan utama Dudu mudik kan untuk melihat-lihat universitas di Amerika Serikat. Apa yang membuat road trip tersebut jadi memorable moment buat kami berdua?

Dudu jadi Navigator

Ketika terakhir kami berdua road trip di Midwest, Dudu hanya sebagai penumpang yang duduk di carseat kursi belakang. Sekarang anaknya sudah duduk di kursi penumpang dan bertugas membaca peta di handphone. Mungkin next time kita sudah bisa gantian nyetir. 

Dari masalah baca peta ini kita menemukan banyak insight tentang cara kita berkomunikasi. Ketika Dudu mengarahkan kanan dan kiri, yang kadang terbalik itu, saya lebih paham kalau diarahkan dengan nomor exit serta arah mata angin. Jadi daripada “belok kanan”, biasanya saya lebih paham kalau dibilang “I45 South”. Sempat menimbulkan ketegangan kecil diantara kita berdua karena saya bolak-balik hampir salah exit, tapi kita tetap sampai ke kota tujuan dengan selamat.

Detour sedikit demi pemandangan

Jadi, sebenarnya jalan terdekat dari Waco ke Houston adalah melewati Highway 6S dan US 290E. Namun saya mengambil jalanan yang sedikit memutar agar mendapatkan pemandangan lebih unik dibandingkan naik highway yang besar, yaitu melewati TX-164E.sebelum masuk ke Highway I45. Pemandangan sepanjang jalan ini, selain menunjukkan ke Dudu ada apa di luar sana, juga bisa jadi bahan diskusi karena banyak hal aneh yang ditemui di jalan. Misalnya kincir angin raksasa yang terletak tepat di tepi jalan atau truk macam transformers terdampar. Lalu juga kota-kota kecil yang hanya memiliki beberapa ribu penduduk.


Hujan & Pelangi

“Mah, itu ada rainbow.”

Saya yang sedang menyetir jadi heboh sendiri. Mendekati area greater Houston, pelanginya muncul. Lalu disambut dengan hujan deras dan macet. 

“Aku baru pernah melihat 2 pelangi dengan jelas. Ini yang kedua.”

“Memang satu lagi kapan?”

“Di Apartment.”

“Emang ada di Indonesia?”

Dan ternyata memang dia pernah melihat pelangi dari jendela apartemen kita di Indonesia. Hal-hal seperti ini justru baru ketahuan ketika kita road trip barengan.  

“Ayo kita ke ujung pelangi yang di sana itu, nanti ada emas.”

Dudu menatap saya dengan aneh. Lalu kemudian menjawab, “kenapa tidak ujung yang satunya, Mah? Yang di ujung sana kan gelap pasti hujan.”

Dan sejenak kemudian, kita berdua harus melintasi badai yang mendadak muncul semakin dekatnya kita dengan Houston.


Buat saya, road trip ini seru karena kita berdua stuck dalam satu mobil dan jadi bisa ngobrol. Lalu bisa punya shared memories baru, dan ketika anak sudah sebesar Dudu sekarang, bisa diajak berpartner dalam perjalanan. Baik secara navigasi atau diskusi mau makan apa dan berhenti di mana. Banyak pengalaman baru juga yang bisa didapatkan seperti menyetir dalam hujan, mencari bensin murah dan parkir yang lumayan tricky.

Jadi tidak sabar buat jalan lagi.

 

18 June 2023

Kerokan dalam Bahasa Inggris

“Mau kerokan?”
“Boleh. Sepertinya saya masuk angin.”
“Cuma nanti kalau diliat orang bisa dikira child abuse.”
Dudu cuma angkat bahu.

Hari kelima mudik ke Amerika, dia tidak enak badan. Menjelaskan ke semua orang bahwa masuk angin alias “enter wind” ini ternyata cukup membingungkan. “Feeling under the weather.” atau “just don’t feel well in general” yang biasanya saya gunakan untuk menjawab mereka yang kebingungan. Terus kerokan gimana?

Ini adalah definisi Kerokan menurut beberapa sumber:

  • Kerokan atau Gua Sha (刮痧) adalah “is a traditional Chinese medicine (TCM) practice in which a tool is used to scrape people's skin in order to produce light petechiae.” (Wikipedia).
  • Sebuah jurnal yang dipublikasikan di Sage Publications mendefinisikan Kerokan sebagai “a traditional Indonesian treatment involving abrading the skin over various parts of the body with a blunt object such as a coin or a piece of ginger which may create suspicious injuries.”
  • "Gua sha is an alternative therapy that involves scraping your skin with a massage tool to help improve circulation." (Healthline)
Masuk angin sendiri ternyata lebih sering disebut sebagai “catching a cold” atau “catching a wind” oleh bangsa Vietnam. Jadi bukan “enter wind” ya, teman-teman sekalian. So Kerokan adalah method to “scraping the wind out,” alias mengeluarkan angin yang masuk dengan koin. Banyak juga yang menerjemahkannya dengan coining.

Loh, kok anak bule kerokan.

Nah ya itu masalahnya. Saya saja tidak kuat kerokan karena gampang geli. Kerokan ini pernah bikin berantem sama Mama karena saya susah diam kalo dikerok. Padahal setelahnya, tinggal pakai minyak angin, tidur lalu sembuh.

Apa yang membuat kerokan jadi seampuh itu, dan apakah mereka beneran seampuh itu?

Soalnya, konon, tindakan ini memperbaiki sirkulasi darah. Kerokan memperbaiki chi, membuka energi yang stagnan dan membuat kita jadi lebih sehat. Kerokan dipercaya menjadi penyembuh untuk badan pegal-pegal, masuk angin, sakit kepala dan migrain.

Apa yang dibutuhkan buat kerokan? Di Indonesia, saya bisa menggunakan alat dari besi yang ada pegangannya. Memudahkan untuk membuat garis-garis. Kalau darurat, coining bisa dilakukan dengan koin. Pertanyaannya kemudian berubah jadi koin seperti apa yang bisa digunakan ketika alat kerokan tersebut tidak ada? Yang paling ideal adalah uang 100 Rupiah dengan gambar Rumah Gadang keluaran tahun 1978. Namun ternyata uang dollar 25 sen atau Quarter juga lumayan mudah digunakan untuk kerokan.



Minyak apa yang dipakai? Ada yang pakai minyak angin, minyak kayu putih, pakai Freshcare, dan berbagai minyak lainnya. Setiap orang beda preferensi karena minyak ini berbeda baunya dan tingkat kepanasannya di kulit. Jadi ya tergantung toleransi masing-masing orang.

Yang perlu diperhatikan dari kerokan adalah kenyamanan setiap orang berbeda. Sama seperti saya tidak bisa kerokan karena gampang geli, dan akhirnya malah bikin mama frustasi. Sementara Mama tipe yang kuat banget kerokan, dan sering ngomel kalau saya “gagal” melakukannya dengan benar haha. Habis kan bingung juga ya ke arah mana ini garisnya. Konon kalau emang masuk angin, di tempat angin berkumpul, hasil kerokan akan lebih merah dari bagian tubuh lainnya. Karena di situlah energi kita nyangkut dan dilepaskan oleh kerokan.

Terlepas dari benar tidaknya ini kerokan, Dudu biasanya sembuh habis dikerok.
Jadi kita bisa lanjut jalan-jalan. Untunglah.