24 June 2024

Review Buku: Conscious Diet oleh dr. Yovi

Judul buku ini membuat saya berpikir dua kali. Conscious Diet. Memangnya selama ini kita tidak sadar ya kalau diet? Ternyata artinya lebih dari sekedar sadar bahwa kita sedang menjalani diet, melainkan sadar akan diri kita dan tujuan diet kita. Mengenali diri kita sepenuhnya agar diet yang dilakukan berhasil.

Buku Conscious Diet oleh dr Yovi

Buku setebal 101 halaman ini isinya padat dan praktis. Bukan hanya narasi tapi juga ada rumus BMI, kuis tipe tubuh dan rekomendasi pola diet serta olahraga yang bisa diikuti. Dan karena bukunya juga ringan, jadi bisa dibawa dalam tas untuk bacaan sembari menunggu, atau dijadikan bahan pembicaraan dengan teman.

Mengenali diri sendiri mulai dari mana? Buku Conscious Diet dimulai dengan Bab berjudul “Anda adalah Gaya Hidup Anda.” Pada Bab ini pembaca diajak berkenalan dengan kalori dan BMI. Membahas diet sebagai kalori masuk dan kalori keluar, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hitung-hitungan simple kalori.

“Kenali jenis tubuhmu sebelum mulai diet,” saran dr. Yovi Yoanita, M.Kes (gizi) FAARM, ABRAAM, pengarang buku Conscious Diet pada acara “Brunch Date with dr Yovi” yang digagas oleh Female Digest di YClinic Bintaro beberapa waktu lalu.

“Brunch Date with dr Yovi” yang membahas tentang buku Conscious Diet ini

Bab 4 yang berjudul “Mengenal Diri, Mengenal Tipe Badan,” ada di halaman 75. Bab ini dimulai dengan kuis sederhana yang membantu kita mengenali apa tipe badan kita. Dari sini kita tahu diet apa yang cocok untuk kita jalani.

Saya jadi tahu bahwa tipe tubuh saya adrenal dan dianjurkan untuk melakukan olahraga yang tidak memicu stress, tidak mengurangi porsi makan secara drastis, dan menjaga kuantitas serta kualitas tidur.

12 June 2024

Rahasia Sukses Diet Itu Ada di Mindset

Pernah gagal diet? Tenang, kamu tidak sendirian. Banyak yang sudah semangat untuk diet, namun tetap saja ngemil tengah malam sambil nonton Drakor favorit dengan alasan reward. Saya tidak pernah mencoba diet, karena tahu akan gagal duluan dengan keribetan yang datang bersama pola makan sehat. Kemarin, saya mendapatkan sudut pandang baru tentang diet, yang mengajarkan bahwa diet bukan hanya menghitung kalori, tetapi juga cara memahami diri sendiri. Kok bisa?

“Brunch Date with dr. Yovi” bersama Female Digest (photo: Female Digest)

Pada hari Minggu, 9 Juni 2024 saya menghadiri acara “Brunch Date with dr. Yovi” yang digagas oleh Female Digest. Acara yang diselenggarakan di YClinic Bintaro ini dimulai dengan sharing session & bedah buku Conscious Diet oleh dr. Yovi Yoanita, M.Kes (gizi) FAARM, ABRAAM, lalu diikuti assessment pengembangan kepribadian ditinjau dari sisi kesehatan, clinic tour dan ditutup dengan makan siang bersama. Acara yang interaktif ini dihadiri sekitar 20 orang blogger dari Jabodetabek, semuanya antusias untuk sharing dan belajar lebih banyak tentang wellness.

Acara ini juga didukung oleh Radiant, yang mengenalkan produk probiotik serta peranannya dalam membantu menjaga berat badan. Apt. Sylvia Kartika Anggraini, S. Farm menjelaskan bahwa "penurunan berat badan itu harus diperbaiki dari berbagai sisi, misalnya apakah pencernaan saya bagus, supaya apapun yang kita makan itu penyerapannya bisa optimal atau apapun yang kita makan itu bisa dibuang sisanya dengan optimal." Di sinilah probiotik berperan.

Apt. Sylvia Kartika Anggraini S. Farm dari Radiant

Di acara ini, saya belajar bahwa diet bukan semata-mata mengurangi kalori biar cepat kurus. Biasanya orang yang mencoba diet akan terperangkap dalam lingkaran setan, yaitu merasa bentuk tubuh kurang ideal, melakukan diet, frustrasi, gagal diet dan tubuh kembali ke bentuk semula. “Diet itu bukan nggak makan, tetapi mengatur ulang pola makan,” kata dr. Yovi, lalu menjelaskan bahwa biasanya orang tidak bertahan karena memang dietnya salah. Lalu gagal dan kembali lagi ke awal, yaitu tidak happy sama tubuhnya sendiri.

Di sinilah pentingnya kita, sebagai yang punya wacana diet, untuk memahami diri sendiri. Apa bentuk tubuh kita? Lalu, BMI kita berapa? Alasan diet kita apa? Bukan hanya ingin kurus lalu auto mengurangi makan. Bedanya apa dengan diet biasa? Jika kita mengenal diri sendiri, mengurangi kalori yang berlebihan dapat dilakukan dengan tepat dan tanpa tekanan. Semuanya bisa ditemukan di buku Conscious Diet yang ditulis dr. Yovi.

11 June 2024

Cafe Inspirasi Latar Belakang Cerita Fiksi

Ini adalah sebuah cerita fiksi.

Awal tahun ini, saya memutuskan untuk membuat sebuah cerita dengan latar belakang cafe sebagai partisipasi dalam tantangan menulis 30 Hari Bercerita di Instagram. Cafe yang ada di bayangan saya adalah sebuah tempat sederhana, alias neighborhood coffee shop, yang terletak di suburban Midwest Amerika. Pengunjungnya adalah para mahasiswa yang sedang menimba ilmu, dan penduduk setempat di sana. Lalu keterusan dan cerita Fresh Start Cafe ini permanen ada di Instagram Fiksi saya.

Kenapa cafe? Selain karena cafe adalah tempat banyak orang bertemu, cafe juga bisa menghadirkan beragam makanan dan minuman yang unik. Saya tidak bisa masak. Tapi bisa membuat makanan dengan bantuan Bing haha.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan di cafe, mulai dari membaca buku, bertemu teman, belajar ujian, hingga mengerjakan tulisan. Setiap cafe punya ceritanya sendiri, dan cafe-cafe inilah yang menjadi inspirasi saya membangun Fresh Start Cafe.

30 May 2024

Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Melakukan Sesuatu yang Disukai

“Kok elo umur kepala 4 masih nonton konser?”
Bukan cuma nonton konser, tapi mengejar idol sampai ke Korea.

“Lah, kalo lo nonton, Dudu ditinggal?”
Soalnya kalo diajak, dia tidur. Terus habis itu ngomel-ngomel sendiri karena mendingan di rumah main PS atau nonton Netflix.

“Kok tega ninggalin anak?”
Jangankan konser ke kabupaten sebelah, saya pernah nonton konser sendirian di Kuala Lumpur. Dudu ya sama opa omanya di rumah. 

Jalan hidup saya terbalik dengan kebanyakan orang. Ketika yang lain sibuk travelling, party, nonton konser dan mengejar idol-nya, saya sedang jadi ibu tunggal. Nah, sekarang ketika semua orang di sekitar saya sedang fokus berkeluarga, saya malah ada di lokasi konser idol Kpop bersama ribuan anak-anak yang umurnya tidak beda jauh dengan Dudu. Ada emak-emak nyasar yang terlambat ngefans sama Kpop. Eh, memangnya itu terlambat?

Akhirnya nonton konser CNBlue, meski beli tiket H-1.

“Kalo Dudu udah kuliah, lo mau apa?”
“Gue mau kuliah lagi, ambil S2.”

Saya memperhatikan kebingungan di raut wajah lawan bicara saya. Sudahkah terlambat untuk ingin mengambil S2, sekolah lagi mencari gelar yang sesuai passion saya? Banyak tawaran kuliah yang hadir di sepanjang karir saya. Namun jurusannya ya itu, bisnis, marketing dan sejenisnya. Sementara saya inginnya belajar antropologi, ethics atau social work. Tidak nyambung dengan pekerjaan sekarang. 

Apakah saya menyesal?

Sempat terlintas, seandainya saya lebih muda, tentu nonton konser sambil berdiri 3,5 jam bukan hal mustahil. Saya tidak perlu pegal-pegal pegal sampai tiga hari dan tumbang seharian hanya karena terlalu euphoria di konser. Atau mungkin, tidak perlu merasa ilfil ketika idol yang ada di panggung mulai gombal kepada penontonnya hanya karena usia mereka setidaknya 5 tahun lebih muda dari saya. Berondong. Tapi menikmati konser Kpop di usia ini, di mana sudah tidak sanggup antri berjam-jam, juga bukan sebuah keterlambatan.

Soalnya waktu semua orang sibuk dengan idol-nya, saya sibuk membesarkan Dudu. Jadi ya mau bagaimana lagi kalau pilihannya begitu?

Pertemuan saya dengan Idol Kpop yang termasuk terlambat itu membawa dampak besar dalam hidup dan mimpi saya. Di usia 30+, saya belajar lagi bahasa baru, bahasa Korea. Yang kalau dipikir-pikir tahun ini adalah tahun ke-7 tahun saya tekuni. Lalu tahun ini, saya juga mendaftar untuk jadi Honorary Reporter di Koreanet. Hanya karena saya kangen dengan kegiatan sebagai jurnalis, sekaligus ingin melakukan sesuatu sebagai fans Kpop. Belum lagi, akhir tahun lalu saya mulai mencoba menulis fiksi dengan lebih serius. Bisa ditebak, latar belakang dan karakter yang muncul ya lagi-lagi berhubungan dengan Kpop dan Korea. Belajar bahasa dan belajar menulis fiksi, semua di usia yang sepertinya kok terlambat. Soalnya teman-teman yang ikutan, semua umurnya lebih muda. 

Kalo nonton, yang diajak si boneka ini

Hal ini mungkin akan terjadi ketika kelak saya beneran kuliah S2. Teman-teman yang usianya lebih dekat dengan Dudu, masih muda-muda dan mungkin sanggup begadang menyelesaikan thesis. Daya ingat yang lebih kuat, lebih mudah menghafal waktu ujian. Kemampuan analisa yang lebih tajam karena belum lama terjeda dari masa kuliah yang sebelumnya. Tapi ini tentunya bukan alasan bagi saya untuk tidak jadi kuliah lagi. Justru mungkin saya akan lebih santai menjalani kuliah karena tidak ada beban karir yang menanti di ujung jalan. 

Memulai sesuatu belakangan, bukan berarti kita tidak bisa mengejarnya dengan senang hati. Ada kok, kebahagiaan yang hadir ketika kita berada selangkah lebih di belakang. Kita jadi punya waktu untuk mengamati jalan yang akan diambil dengan lebih jelas. Misalnya jadi lebih bisa mengatur prioritas ketika menonton konser. Atau jadi punya semangat dan motivasi lebih untuk mencapainya. Terutama kalau kita orangnya kompetitif. Bisa belajar lebih fleksibel juga. Sebagai ibu-ibu, tentunya saya harus berpikir ke mana Dudu harus saya titipkan kalau saya mau pergi nonton konser selama 4 jam? 

Terlambat atau tepat waktu, yang pasti, nikmati saja perjalanannya. Semua toh akan indah pada waktunya.


27 May 2024

Creating Healthy Boundaries Starts With Me

How often are we hesitating to say no to a request? Just because we want to prevent inconveniencing others. Or we want to be seen as this helpful person. How often are we doing things beyond our abilities? Just to prove that we're strong enough. Well, I'm sure you're not alone. I struggled with that too.

3 Things We Should Have to Create Healthy Boundaries:

  1. Self-Awareness
  2. Clear Expectation
  3. Communication

Self Awareness

Setting a healthy boundary starts with knowing who we are, what we want and what our preferences are. We need a clear understanding of our thoughts, emotions, and behaviors. How can we create a boundary when we don't know where to draw the line? So, it starts with self awareness. For example, we're not fond of smoke and alcohol. When our circle invites us to go clubbing or hanging out in a lounge, we can comfortably reject them and say we'll join next time they're in a coffee shop. When we have firm boundaries, know what we want and who we are, people come to respect our choices. 

Recognize the different roles we play everyday, healthy boundaries may vary depending on which hat we're wearing. As a mom, for example, healthy boundaries may be our limit, both physical and emotional. Knowing my patience limit may help me say “no” when needed. I can courageously reject additional responsibilities, admit I’m overwhelmed, take a break and ask for help as needed. Realize that we are responsible for how we feel, and we can’t blame others because they made us feel this way. This goes for the opposite, that we’re not responsible for other people’s emotions.

Clear expectation

This should be a two-way interaction. Expectations towards others and expectations to ourselves. An article published by Joe Sanok on Harvard Business Review, titled “A Guide to Setting Better Boundaries,” mentioned two types of boundaries. Hard boundaries are the one we can't compromise and soft boundaries where things are more flexible. Knowing whether it's hard or soft boundaries that we exercise will help us manage our expectations.

For example, a friend of mine has this rule of no smoking near her children. Upon the birth of her third child, she is asked to move back to her parents house to help care for them. It's also easier for her, who is considering going back to work. The problem is, her father is a rather heavy smoker. 

With a hard boundary regarding smoking, she knows that moving back is impossible. Her expectation of her father taking the cigarettes out to the porch every time he wants to smoke might not be fulfilled. Her father expects her to be lenient, while she expects her father to strictly follow the smoking rule. 

Soft boundaries might be about meeting time or what food to eat. Despite not agreeing to move back due to cigarette presence, her parents are still seeing their grandchildren. While they were with their grandparents, she couldn’t strictly enforce what they should eat. The menu is a soft boundary she could compromise.

Communicating clear expectation like this message

Communication

When we know ourselves, and have set a clear expectation, what’s left is communicating them to the outside world. Boundaries aren’t always as clear as a police line. People may not recognize them and accidentally trespass those lines. Therefore, we have to communicate our boundaries clearly. 

Expressing these boundaries needs some degree of assertiveness. Not everyone has this capability and is comfortable establishing boundaries without feeling aggressive or selfish. So, the first thing we do is stating the facts. In my friend’s case, she can say to her father that “I can’t tolerate smoking around children, therefore I can’t move back home unless you stop smoking.” Add an alternative if setting the boundary makes you feel bad. Something like, “but we can visit on weekends.”

As a mom, I can feel exhausted. When a fellow mom starts a conversation, and I don’t feel like listening to their problems, I should be able to say “As much as I want to help, I don’t have the capacity to listen to your problem right now. I’m really sorry.” The same with unsolicited advice. We have the right to reject them, after saying that we respect their opinion.

Boundaries are indeed important. 

I lost several friends due to the boundaries that I set to myself. Mostly because of communication and time boundaries. I don’t usually reply to chat right away. If it’s urgent and if you want a conversation, you should call. Or we can meet and have a chit chat at a cafe. Some of my friends disagreed and went overboard with my late reply. One of them went berserk over how I managed to add a new admin on a group chat I’m responsible for, while ignoring her request for a phone call. I just don’t have the energy to argue with her. I apologize if I made her uncomfortable, told her what she should have done and ignored her ever since. That’s where I drew the line. 

I don’t say what I did was right, but that’s my boundary. I know enough that responding to her negative energy will just exhaust me. I managed my expectations and told her what she could expect of me. Then I communicate those feelings and expectations. I’m done. I felt bad at first because I tend to be a people pleaser. But then, boundaries aren’t meant to include everyone anyway.


17 May 2024

Manfaat Mengambil Short Course untuk Blogger

Salah satu ‘me time’ favorit saya adalah belajar. Aneh ya? Well, saya senang ikutan kursus maupun webinar yang memberikan pengalaman dan pengetahuan baru. Biasanya saya mencari materi yang relevan dengan kehidupan dan passion saya. Sebagai seorang blogger dengan beragam tanggung jawab di luar dunia menulis, saya harus bijaksana memanfaatkan waktu 'me time' untuk memulihkan kreativitas saya.

Banyak solusi klasik seperti healing, minum kopi, atau mengubah suasana, setiap penulis memiliki pendekatan uniknya sendiri untuk mengatasi krisis kreativitas. Belajar juga bisa jadi ‘me time’ karena seringkali kegiatannya tidak bisa disambi. Kalau kata anak jaman sekarang namanya “mindful.” Meskipun pertemuan diadakan secara online, ketika belajar kita harus fokus menyimak, berinteraksi dengan guru dan murid, serta sepenuhnya berada di kelas. 

Efeknya agak sedikit mirip dengan membaca buku atau menonton film di bioskop, di mana kita memberikan perhatian penuh pada apa yang sedang kita baca atau tonton. Begitu kembali ke dunia nyata, pikiran kita lebih fresh

(Photo courtesy of Ani Berta)

Belajar Bahasa Inggris Online Bersama TBI Bandung

Kali ini, yang saya ikuti adalah “Blogger Short Course for Creative Writing” bersama The British Institute (TBI) Bandung dan Komunitas ISB. Kelasnya dilaksanakan secara online selama 3 hari berturut-turut pada pukul 10:00 hingga 12:00 WIB. Kenapa short course? Mengikuti short course dapat memberikan insight baru tanpa komitmen jangka panjang. Cocok bagi mereka yang sibuk, namun mencari kegiatan bermanfaat. Selain itu, short courses dengan topik spesifik dapat membantu saya me-refresh skill yang dimiliki.

Minggu ini, jadilah hari Senin saya dimulai dengan mengantar anak sekolah, lalu duduk manis depan laptop bersama secangkir kopi untuk mengikuti kelas. Kelasnya tidak terlalu besar, jadi belajarnya juga efektif. Di kelas yang saya ikuti di 13 - 15 Mei 2024 kemarin, ada 9 orang blogger yang berpartisipasi. Blogger yang biasanya hanya berinteraksi di WAG, sekarang bisa tatap muka dan ngobrol meski virtual

Hari pertama dimulai dengan perkenalan, lalu dilanjutkan dengan jalan-jalan ke South Africa. Hari kedua, kami semua membahas musik dan festival musik. Hari terakhir, topiknya street food. Di setiap kelas, belajar Bahasa Inggris dikemas dengan topik yang seru dan sesi interaktif yang mengajak setiap murid berpartisipasi. Pengenalan adjective atau kata sifat dan passive voice atau kalimat pasif, jadi lebih mudah diingat ketika dibawakan melalui topik-topik yang menarik. 

06 March 2024

Permainan Tentang Hidup: The Game of Life

Bagaimana jika seluruh perjalanan hidupmu dirangkum dalam sebuah permainan papan atau board game? The Game of Life, atau yang lebih dikenal dengan LIFE, mengajak pemainnya untuk menjalani hidup secara realistis. 

Perjalanannya dimulai dari apakah kita akan kuliah, atau langsung mulai bekerja. Kalau kuliah berarti kita akan berhutang, namun memiliki pilihan karir yang lebih luas. Sementara jika langsung bekerja, kita memiliki pilihan karir terbatas, namun tidak ada hutang yang harus dibayar. Setelah itu kita harus memilih rumah, menikah, punya anak, dan pensiun.

Permainan ini awalnya dibuat pada tahun 1860 oleh Milton Bradley. LIFE yang kita mainkan sekarang adalah versi modernnya, hasil desain dari Reuben Klamer and Bill Markham di tahun 1960. Pemain mengendarai mobil sendirian, mendaki gunung dan melewati lembah. Ketika menikah dan punya anak, penumpang mobil akan bertambah. 

Foto dari Amazon

Jaman sekarang, LIFE punya versi online dan versi aplikasi. Namun, yang saya mainkan bersama Dudu tetap versi board game offline karena lebih seru ketika dimainkan bersama. Apalagi ketika bermain dengan anak-anak remaja seumuran Dudu yang masih belum memulai Game of Life mereka. Bermain game ini mengajarkan bahwa hal tidak terduga bisa terjadi karena saat kita bekerja sesuai passion, gaji kita belum tentu mengikuti. Lalu kita jadi tidak bisa membayar rumah yang diidamkan. Belum lagi ketika mengendarai mobil, kita berhenti di titik “career change” atau “you’re fired” yang mengharuskan kita ganti pekerjaan dan gaji yang diterima. Atau ketika harus membayar sekolah sesuai jumlah anak yang dimiliki. Bisa juga rumah yang kita sudah cicil dan bangun ternyata hancur terkena badai, dan kita harus membangun ulang karena tidak membayar asuransi.

Rasanya seru melihat anak-anak usia remaja dan pra-remaja mulai memikirkan bagaimana membayar pajak. Mereka juga menghitung jumlah anak yang diinginkan karena takut membayar sekolah mahal. Harus menghitung apakah gaji yang dimiliki cukup untuk membayar cicilan rumah, mengembalikan hutang uang kuliah atau membeli saham. Semuanya seperti realita. Namanya juga The Game of Life.

Main Game of Life di rumah

Versi yang saya miliki masih sangat sederhana. Diterbitkan pada tahun 1991. Konon, LIFE yang baru sudah ada adopsi hewan peliharaan, dan versi-versi kolaborasi dengan tokoh populer seperti Hello Kitty, Star Wars, My Little Pony dan lainnya. 

Permainan ini seru untuk dibawa di pertemuan keluarga, terutama jika ada banyak anak remaja dan pra-remaja di acaranya. Orang tua tentunya bisa mendampingi, sambil memberikan petuah dan penjelasan kalau ada pertanyaan tentang perjalanan hidup. Buat orang tuanya gimana? Sekarang rasanya saya lebih mengerti permainan ini setelah melewatinya sendiri di kehidupan nyata, jadi yang bentuknya permainan tetap seru karena tidak memiliki konsekuensi di realita. Kesempatan untuk mengambil keputusan nekat seperti membeli saham, atau mengambil pekerjaan impian tanpa memusingkan gaji.


24 February 2024

Konferensi Perempuan Indonesia dan Akar Permainan Tradisional

Diadakan pada 9 - 11 Februari 2024 di Royal Orchid Garden Hotel and Condominium, Batu, Malang, Jawa Timur, Konferensi Perempuan Indonesia (KPI) offline masih mengangkat tema “Menguatkan Akar Gerakan Perempuan Indonesia”. Mendengar KPI diadakan secara offline tahun ini oleh Ibu Profesional, sebenarnya saya ingin ikut. Namun, karena lokasinya yang cukup jauh dari domisili saya saat ini, dan waktunya yang bertepatan dengan Chinese New Year, saya jadi hanya bisa memantau lewat beritanya. 

Yang membedakan kedua konferensi tentunya adalah pertemuan tatap muka dan sejumlah kegiatan seru yang diadakan di lokasi. Misalnya prosesi SARUNGAN (SAmbutan dan ngeRiUNG awalAN) yang mengawali kegiatan ini, di mana masing-masing peserta mengenakan kain tradisional yang dibawa dari rumah. 

Photo: Warta Jatim

Selain Sarungan, ada banyak kegiatan lain yang mengajak para peserta untuk kembali ke akarnya masing-masing. Sama dengan KPI Online yang diadakan pada 20-22 Desember 2023, ada Forest Walk yang dibuat peserta, bedanya kali ini peserta bisa beneran jalan-jalan melihat peta konsep yang dipajang di papan. 

Sesi Betengan yang dibawakan oleh Pak Dodik Maryanto, Founder dan Inisiator Komunitas Ibu Profesional bersama Istrinya Ibu Septi Peni Wulandari, memberikan pengetahuan sejarah pergerakan perempuan di Indonesia kepada para peserta. Di sesi Bekelan, para peserta mengumpulkan makanan khas daerah masing-masing di sebuah meja panjang sambil saling berkenalan satu dengan yang lainnya. 


Photo: Instagram KPI

Hari kedua, games Sapintrong yang dibawakan Fasilitator sekaligus Ketua Yayasan Ibu Professional, Dzikra Ulya mengajak peserta untuk maju merencanakan masa depan. Lalu diikuti sesi pembelajaran lainnya yang terinspirasi dari permainan tradisional seperti Congklak, Balapan, Galasin, Bakiak dan lain sebagainya. Bukan hanya membawa pulang ilmu, tetapi para peserta juga membawa pulang networking serta relasi baru dari konferensi tersebut. 

Melalui KPI, Ibu Septi mengajak para perempuan Indonesia untuk bersama-sama membangun ekosistem yang sehat melalui akar peran kita sebagai individu, sebagai bagian dari keluarga maupun sebagai anggota komunitas.

Yang menarik dari Konferensi Perempuan Indonesia ini, selain menggunakan permainan tradisional yang tentunya akrab dengan para peserta, peserta juga diajak bertukar layangan di akhir sesi. Kalau biasanya kita bertukar post-it, notes atau surat, sekarang bentuknya layangan. Kenapa layangan? Tentunya agar mimpi dan harapan para perempuan Indonesia ini dapat diterbangkan tinggi ke atas awan.

KPI Offline ini dihadiri oleh 130 peserta dari seluruh Indonesia dan luar negeri. 

Photo: Instagram KPI

Mengintip keseruan acara Konferensi Perempuan Indonesia, saya merasa bahwa pertemuan seperti ini memang diperlukan setidaknya setahun sekali. Kok begitu? Yang biasanya terjadi adalah kita sibuk dengan kegiatan dan gerakan masing-masing, lalu jalan terus tanpa perencanaan yang matang. Padahal, jika mengambil jeda lalu menelaah kembali akar gerakan, kita bisa membuat dampak yang lebih besar. Kenapa harus konferensi offline? Soalnya kalau online, biasanya saya suka tidak fokus. Namanya ibu-ibu kan multitasking ya. Nonton Netflix saja suka disambi kegiatan lain, bisa bahaya kan kalau materinya serius dan saya malah tidak bisa konsentrasi. Nah, kalau offline kan biasanya ponsel masuk tas dan bisa hadir secara penuh di acara.

Melihat jalannya acara yang menggunakan permainan tradisional itu, saya jadi paham kenapa tema itu yang dipilih. Waktu kecil, saya tidak punya gadget. Ponsel pertama saya adalah ketika saya kuliah. Otomatis ketika tumbuh besar, mainan saya adalah bekel, congklak, lompat karet dan layangan. Meskipun katanya layang-layang lebih banyak dimainkan anak laki-laki. Semua permainan ini akrab dalam diri saya, dan merupakan bagian dari akar gerakan saya juga. Seperti yang diingatkan pada KPI Online yang saya ikuti beberapa waktu lalu, untuk mengenali diri sendiri, saya harus banyak berinteraksi dengan diri sendiri. Salah satunya ya lewat permainan itu.

Konferensi Perempuan Indonesia diadakan setiap 2 tahun sekali. Karena terlewat tahun ini, sepertinya saya harus menunggu yang berikutnya diadakan. Semoga lain kali bisa ikutan.