14 July 2021

Bersosialisasi di Tengah Pandemi Lewat Komunitas

Pandemi yang terjadi telah merubah cara kita berinteraksi dengan keluarga, teman dan pekerjaan.

Beberapa waktu belakangan ini saya menyibukkan diri dengan ikutan kelas dan event dari komunitas untuk menjaga sosialisasi. Setelah daftar kelas, saya bergabung di grup whatsapp. Lalu ketika ada challenge, saya ikutan. Saling blogwalking, saling comment di Instagram supaya interaksi tetap terjaga. Meski saya cenderung introvert, yang sebenarnya tidak begitu keberatan kalau harus rebahan dan Netflix-an seharian, tapi saya sadar bahwa menjaga pertemanan ini perlu supaya pas pandemi selesai kelak saya tidak seperti baru keluar dari gua. Dengan ikut kelas dan aktif di komunitas, saya dapat ilmu dan teman baru sambil tetap menjaga prokes di tengah pandemi.

Ikut event sekarang dari rumah aja

Cerita Ikutan Kelas

Kelas apa? Komunitas yang mana? Sesuaikan dengan minat dan waktu yang ada. Saya kerja full-time, meskipun dari rumah. Jadi kalau harus mengambil kelas, saya mencari yang bisa dihadiri setelah jam kerja atau di akhir pekan. Karena saya senang menulis, biasanya kelas yang saya ambil pun berhubungan dengan kepenulisan. Ada yang hanya sekali pertemuan, ada yang serial. Ada yang gratisan, ada yang berbayar seperti waktu saya belajar Bahasa Korea. Kelas yang saya ikuti secara offline di Korean Culture Center menjadi online ketika pandemi. Tapi, saya malah jadi bisa lebih sering ikutan karena tidak perlu melawan macetnya Jakarta untuk datang ke kelasnya.

08 July 2021

Tetap Jaga Prokes, Hal Kecil Juga Penting

Mama sudah mandi belum, nanti saya tidak bisa peluk.”

Dudu termasuk yang paling ketat prokes di rumah. Selalu cuci tangan setiap habis ambil paket. Selalu mandi setiap habis pulang dari mana pun, termasuk rumah saudara. Dan paling cerewet kalau saya tidak cuci tangan atau segera mandi. Selain pakai masker dobel dan menjaga jarak, ada beberapa hal lain yang saya dan Dudu lakukan untuk tetap aman di masa pandemi ini.


Selain berusaha selalu stay di rumah aja tentunya.

Cuci tangan paling efektif buat membunuh virus menempel

Sering cuci tangan, tapi jangan lupa pakai pelembab.
Saking rajinnya cuci tangan, sekarang telapak tangan Dudu kering. “Bagaimana ini, Ma?” Lalu saya menyodorkan hand lotion yang disambut dengan wajah bingung. Haha. Anak cowok dikasi hand lotion lalu shock. Sejak kecil, kulit Dudu emang sering kering dan sensitive. Masalahnya si anak tidak pernah mau pakai lotion sambil protes “kan ini untuk perempuan” atau “saya tidak suka jadi licin dan tidak bisa pegang apa-apa.” Tapi sekarang pilihannya tangan kering, atau mengurangi frekuensi cuci tangan. Karena anaknya memang taat Prokes banget, jadi akhirnya mau mencoba hand lotion haha.

Pulang bepergian harus mandi
“Mandi itu seperti cuci tangan, tapi semuanya.” Begitu alasan Dudu waktu saya tanya kenapa dia heboh banget selalu mau mandi dulu setiap sampai di rumah. Pulang bepergian langsung mandi dan ganti baju sebelum rebahan main PS atau berkegiatan yang lain. Tapi jangan salah, kalau kita tidak kemana-mana, yang namanya mandi tetap harus diomelin dulu haha.

Pakai Hand Sanitizer begitu masuk mobil
Masuk mobil seringkali membuat saya was-was karena takut virus menempel. Jadi begitu masuk dan duduk, sebelum menyentuh stir mobil, saya membiasakan diri pakai hand sanitizer. Penggunaan hand sanitizer berbahan dasar alcohol dapat membunuh kuman, namun tidak berarti semua kuman mati. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, hand sanitizer dengan kadar alcohol minimal 60% dapat mecegah kita sakit atau menyebarkan kuman yang menempel pada kita pada orang lain. Namun hand sanitizer sebaiknya hanya digunakan ketika tidak ada air dan sabun tersedia. Yang perlu diperhatikan adalah gunakan dalam jumlah yang cukup dan biarkan hand sanitizer di tangan kering sendiri.

Buka jendela daripada terjebak AC
Menurut artikel yang dipublikasi oleh BBC di awal pandemi tahun lalu, udara segar adalah salah satu cara menghindari penularan virus Covid-19. Karena itulah, di ruang terbuka lebih aman daripada ruangan yang tertutup dan ber-AC. Secara umum, udara segar memang lebih baik daripada ruangan ber-AC yang selain tidak sehat, juga seringkali membuat kulit jadi kering. Meskipun saat ini varian Virus Covid konon bisa menyebar lewat udara sih, jadi kita tetap harus berhati-hati meskipun sedang berada di tempat terbuka.

04 July 2021

5 Ide Self Love untuk Ibu Tunggal: Jangan Lupa Bahagia

“Loh, kok lo pergi sendiri, Dudu ditinggal?”

Pernah dapat pertanyaan yang biasanya memicu rasa bersalah ini? Saya sering. Apalagi, sebagai ibu tunggal, saya sering dapat wejangan kalau anak saya hanya punya ibu. Jangan sampai dia kekurangan kasih sayang dan perhatian. Hadeeh. Tunggu dulu, melakukan self-love bukan berarti kita sebagai ibu meninggalkan kewajiban mengurus anak.

Memangnya apa sih Self Love itu?

Basically, self-love itu mencintai diri sendiri. Bukan berarti egois, tapi menerima diri sendiri apa adanya dan mengutamakan kebahagiaan diri. Sebagai ibu tunggal, seringkali saya lupa bahwa saya juga berhak bahagia. Sibuk mengurus anak, mengurus rumah dan kerja cari uang, yang semuanya buat orang lain. At the end of the day, jadi lelah, capek, dan akhirnya anak juga yang jadi korban emosi.

Yuk, dimakan roti curhatnya biar tenang

“Duh, gw udah lama nggak nge-gym nih,” komentar seorang teman beberapa waktu lalu. Pas itu gym baru dibuka lagi setelah pandemi. Membership si teman masih aktif. Masalahnya sekarang adalah seorang bayi berusia 3 bulan yang butuh segenap perhatian. Ketika saya tanya “kenapa nggak?” Jawabannya standard “gue nggak mungkin ninggalin anak gue dong.” Well, tadi yang kepengen nge-gym dan sayang sama membership-nya kan dia juga ya.

Tapi bisa ya, melakukan self-love tanpa meninggalkan anak?

Di masa pandemi begini, 'me time' bisa dilakukan di rumah. Misalnya ganti sabun dan jadikan waktu mandi lebih seru atau nonton drakor dengan tema Single MomMeskipun menurut saya ‘me time’ adalah self-love terbaik karena kita benar-benar bisa fokus pada diri sendiri, namun ada beberapa hal yang bisa kita lakukan tanpa benar-benar berpisah dengan anak. Fokusnya lebih kepada merubah mindset dan memulainya dari hal kecil atau yang terlihat remeh.

5 hal berikut ini bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja.
  1. Berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ini termasuk dengan pasangan baru mantan suami, kakak atau adik yang juga sudah menjadi seorang ibu, dan teman-teman lain di sekeliling saya yang mungkin keluarganya utuh. Dan termasuk juga membandingan gaya parenting saya dengan ibu-ibu lain, atau dengan orang tua kita dulu.

  2. Punya target dan berikan reward untuk diri sendiri setiap berhasil mencapainya. Targetnya tidak harus besar, tapi rewardnya adalah sesuatu yang kita memang sukai. Contohnya, kalau hari ini berhasil menyelesaikan tumpukan setrikaan, maka saya berhak atas 30 menit duduk menikmati kopi. Dengan begini, rasa bersalah akan ‘me time’ bisa berkurang. Dan rewardnya sebisa mungkin harus segera diambil di hari yang sama.

  3. Berani menolak dan mengatakan ‘tidak’ pada hal-hal yang memang tidak sesuai dengan kemampuan dan keinginan kita. Misalnya ada teman pinjam uang atau orang tua menyuruh kita menikah lagi padahal kita belum siap. Sadar bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang dan ketika kita harus punya prioritas, tentunya diri sendiri (dan anak) yang jadi prioritasnya.

  4. Memaafkan diri sendiri. Stop menyalahkan diri sendiri untuk hal-hal yang sudah terjadi dan memang di luar kendali seperti “anak kurang kasih sayang karena ayahnya tidak ada”. Yang namanya manusia tentunya tidak luput dari kesalahan, dan kalau kita bisa memaafkan orang lain, kenapa tidak dengan diri sendiri? Memaafkan diri sendiri pun dimulai dari yang kecil, misalnya memaafkan kalau hari ini jadi pesan makanan daripada masak sendiri karena kita sedang lelah.

  5. Jangan takut untuk mengambil keputusan untuk kebahagiaan diri sendiri, termasuk memutuskan hubungan dengan toxic people. Dulu waktu masih anak-anak, sering kali orang tua yang memutuskan segala sesuatunya. Saat menikah, banyak teman saya yang ‘mengikuti suami’ dan memberikan hak tersebut pada orang lain lagi. Dan setelah jadi ibu tunggal, kita secara tidak sadar membiarkan anak dan lingkungan yang memegang kendali. Coba sempatkan berpikir, apa yang bisa kita putuskan sendiri. Kalau masih belum pede memutuskan hal besar seperti mau pindah tempat tinggal, bisa dimulai dari hal yang terjadi sehari-hari tapi cukup berpengaruh dalam parenting. Misalnya, kapan anak boleh pegang gadget.
Mudah untuk disebutkan, tapi saya sadar hal-hal ini sulit untuk dilakukan. Soalnya begitu jadi ibu, otomatis saya fokus ke semua kebutuhan anak. Belum lagi saya juga sandwich generation yang juga mengurus orang tua di rumah. Mulai saja dari hal-hal kecil yang memang terjadi sehari-hari dan tidak akan menimbulkan gonjang-ganjing bila dilakukan. Soalnya, biar bagaimana pun, self-love itu penting buat ibu tunggal. 

Soalnya kalau ibunya tidak bahagia, gimana anaknya mau bahagia?