24 October 2022

Menjawab Pertanyaan Anak Tentang Pinjol dan Cara Menghadapinya

Ketika sedang nonton episode terbaru Spy x Family sama Dudu hari Minggu kemarin, saya ditelepon sama seorang ibu yang mengaku dari pinjol bernama Akukaya. Ibu yang tidak sempat saya tangkap namanya ini menanyakan keberadaan seorang teman yang katanya mencantumkan nama saya sebagai kontak darurat. Nada suara si ibu yang khas dari daerah tertentu ini bikin percakapan jadi lebih menarik. Haha.

Biar nggak serius-serius amat, fotonya pake foto Dudu lagi angkat telepon

Yang unik, si ibu penagih pinjol ini pakai memperkenalkan diri terlebih dahulu. “Saya ibu xx dari Akukaya, Ibu kenalkah dengan yang bernama AABB?”

Setelah beberapa kali konfirmasi, barulah saya sadar kalau nama AABB ini terlalu umum, dan saya punya teman lebih dari 3 dengan nama yang persis sama seperti itu. Ketika si ibu pinjol menyebutkan alamatnya, saya tidak tahu teman-teman saya ini tinggal di mana. Bahkan ketika si ibu pinjol ini menyebutkan “Orangnya ini memakai hijab, Ibu?” Saya juga belum bisa memutuskan, yang mana yang dimaksud si ibu.

Hanya saja, siapapun yang dimaksud, saya sudah bertahun-tahun tidak bertemu mereka semua dan dulu sih semuanya tidak pakai hijab ya haha.
“Teman ibu ini mencantumkan nomor ibu ini sebagai kontak darurat. Dia meminjam uang lalu tidak membayar.”

“Ya terus?”

“Kita akan telepon Ibu untuk menyuruh teman Ibu untuk membayar hutangnya.”

“Ya, saya tidak bisa bantu apa-apa sih, Bu. Saya tidak tahu yang mana yang dimaksud. Dan semuanya sudah tahunan tidak kontak dengan saya.”

“Oh begitu?”

“Nomornya tidak bisa di-blok saja?”

“Nomor ini tidak bisa di-blok, Ibu?”
Nada suara si ibu ini selalu berakhir naik. Kayak artis yang kemarin pernikahannya ribut-ribut karena tanpa restu dari pihak orang tua perempuan itu. Jadi menarik.
“Kalau gitu saya laporkan saja ya.”

“Silahkan dilaporkan, Ibu, tapi nanti teman-teman saya akan tetap menelepon Ibu sampai teman Ibu lunas sudah hutangnya.”

“Oh ya nggak apa-apa sih. Kalau saya mood, nanti saya jelaskan lagi. Kalau nggak ya saya tutup aja teleponnya dan blok lagi.”

“Nomor ini tidak bisa di-blok, Ibu.”

“Oh, maksud saya nomor teman-teman Ibu yang saya blok kalau mereka telepon.”

“Oh iya silahkan, ibu.”

Aneh percakapannya mendadak jadi sopan haha.

Sepertinya karena saya cuek, si Ibu juga bingung sendiri. Toh, maksud dia menelepon sudah tersampaikan, dan saya tidak bisa membantu juga. Terus gimana? Mau mengancam juga, ya saya pikir itu SOP-nya mereka. Kalau mengganggu tinggal saya blok dan report.

Bagaimana mengajarkan konsep pinjol kepada anak?

Daripada pertanyaan si Ibu tersebut, lebih susah pertanyaan si Dudu.

Dudu: Pinjol itu apa?
Mama: Pinjaman online, jadi bisa hutang tapi bukan dari bank gitu kalau butuh uang.
Dudu: Lalu kenapa Mama ditelepon?
Mama: Jadi ada teman Mama yang pinjam uang, lalu tidak bayar. Katanya nomor Mama dicantumkan jadi kotak darurat. Lalu ya ditelepon.
Dudu: Terus bagaimana?
Mama: Ya, Mama tidak tau siapa yang dimaksud, kalau pun tahu juga terus benefitnya apa buat Mama? Kan si Pinjol tidak kasih Mama incentive untuk ikut bantu kejar-kejar client mereka bayar hutang. Mereka bayar orang-orang itu untuk telepon teman-teman si peminjam.

Dudu mengangguk-angguk saja sih sampai sini. Nonton lagi, lalu tahu-tahu bertanya,

Dudu: Itu bukannya data breach?
Mama: Ya, mau gimana lagi, memang pinjol kan begitu business modelnya. They lent some money but got access to your contacts. Just in case kamu tidak bayar, ya mereka bisa meneror teman-teman dan bikin kamu malu.

Bagaimana menghadapi pinjol?

Lalu saya posting kejadian ini di Facebook dan mendapatkan beberapa insight dari teman-teman.

  1. Bisa gunakan apps truecaller dan sejenisnya buat mendeteksi telepon dari nomor yang tidak dikenal. Apalagi kalau kita sudah pakai nomor ini sejak lama atau menggunakan nomor ini untuk point of contact online shop kita, networking dan sejenisnya, di mana potensi tersebar lumayan luas.
  2. Jangan langsung percaya sama si pinjol. Biasanya mereka menghubungi semua nomor yang ada di kontak tersebut dan bilang kalau dipasang sebagai nomor darurat, nomor penjamin dan sebagainya. Padahal tidak juga, ini hanya cara mereka untuk membuat kasusnya terdengar urgent.
  3. Kalau mendapatkan pesan lewat WA (bukan telepon langsung), segera blok dan report.
  4. Kalau terlanjur diangkat gimana? Ya kalau tahu ini pinjol, segera matikan dan blok nomornya. Atau ya, seperti saya tadi, tetap tenang lalu jawab tidak tahu. Para penagih ini memang bekerja sebagai penagih hutang. Mereka karyawan. Saya bukan karyawan pinjol jadi ya buat apa saya terlibat? Kecuali kalau ketika si teman saya bayar hutangnya, saya dapat incentive juga gitu karena bantuin nagih.
  5. Jangan takut kalau dapat message/ telepon dari tagihan pinjol milik “teman”. Kita tidak bisa mengatur apa yang dilakukan si pinjol dan apa yang dilakukan si teman, tapi kita bisa mengatur apa yang kita mau lakukan. Tutup aja teleponnya. Beres.
So, what we can do adalah bagaimana kita menyikapi situasi ini. Si temen bakal tetap pinjam uang, si pinjol tetap harus menagih, tapi kita tidak harus menjawab atau meladeni telponnya.

16 October 2022

Bikin Podcast Gimana Caranya?

Beberapa waktu lalu, ketika Dudu membuka sesi tanya jawab di grup Single Moms Indonesia, ada yang menyarankan untuk membuat podcast. Ini bukan pertama kalinya ada yang melemparkan ide bikin podcast kepada saya dan Dudu. Tapi sampai sekarang, ide ini belum terlaksana.

Padahal katanya bikin podcast gampang.

Ada teman saya yang punya podcast hanya dengan monologue iseng yang direkam. Lalu ada juga yang merekam obrolan berdua sahabatnya lalu diupload. Tidak pakai studio, tidak pakai peralatan profesional. Hanya pakai hape. Tanpa di-edit. Jadi, ini saya yang overthinking atau terlalu perfeksionis?

Pernahnya jadi penyiar Radio

Ketika ada seseorang yang meminta saya jadi project manager buat podcast-nya, saya mencari insight yang lebih serius tentang bagaimana seharusnya kita memulai sebuah podcast. Selain teknis, seperti equipment, ada beberapa hal yang memang perlu diperhatikan.

Misalnya bertanya pada diri sendiri, apa tujuannya bikin podcast? 


Apa yang kita mau share? Ada tidak audiencenya? Menjawab pertanyaan ini cukup mudah buat saya dan Dudu. Sama seperti status Facebook yang sering saya tuliskan, atau isi blog ini, podcast kami bisa jadi obrolan seru ibu dan anak tentang isi dunia. Tujuannya tentu saja berbagi, sharing tentang perspektif ibu dan anak. Audience-nya juga sudah pasti ada, karena sudah ada demand-nya. Banyak yang penasaran dan ingin mendengarkan dari sudut pandang anak namun tidak berani bertanya sama anak sendiri.

Setelah yakin bahwa kita mau memulai podcast, waktunya memilih nama.


Kalau saya, sudah pasti pakai #DateWithDudu. Karena memang sudah menjadi brandingan sejak awal. Namun bagaimana caranya memilih nama podcast? Kalau kita adalah publik figure terkenal, nama kita bisa langsung digunakan karena selain sudah punya fans militan yang akan mendengarkan, nama kita juga sudah menarik general public buat klik. 

Bagaimana kalau kita nobody alias bukan siapa-siapa. Nama podcast sebaiknya dicari yang catchy dan bikin orang penasaran namun masih sesuai konsep yang kita tetapkan. Apa niche podcast-mu? Bisnis? Lifestyle? Komedi? Bentuknya apa? Interview atau monologue atau ngobrol bareng co-host. Dari kedua hal tersebut, nama podcast bisa ditemukan. Kalau saya tidak menggunakan nama #DateWithDudu misalnya, mungkin saya akan memberikan nama "Podcast Bareng Anak" atau "Perspective Anak" atau "Oh, Ternyata Begitu" yang merepresentasikan isi podcast saya.

Terus bisa mulai?

Sebenarnya bisa, jika bikin podcast-nya buat happy-happy tanpa beban. Tapi jika ingin membuat podcast jadi sesuatu yang serius dan dimonetisasi, memulai episode nol atau episode pilot ini berarti sudah siap konsisten update episode secara berkala.

Ada yang bilang podcast ini mirip sama blog.


Saya sendiri menemukan setidaknya dua kesamaan, hal-hal yang saya kerjakan di blog ternyata bisa diaplikasikan ketika merencanakan sebuah podcast. Sama seperti ketika mau memulai one day one post, ketika hendak bikin podcast ya saya menuliskan 10 episode pertama yang mau saya rekam. Topiknya apa, mau membahas apa dan kira-kira perlukah saya mengundang pembicara lain. Semacam content plan beserta timelinenya.

Begitu juga dengan marketingnya. Sharing podcast itu ya per-episode. Sama seperti meninggalkan link blog ketika blogwalking atau sharing postingan di komunitas, yang saya share ya yang relevan dengan audience-nya. Sepertinya podcast juga sama. Setiap episode bisa jadi kesan pertama pendengarnya, dan setiap episode bisa di-share secara mandiri ke komunitas berbeda.

Jadi, kendalanya apa buat saya (dan Dudu)?

Yang pertama sekarang adalah waktu. Podcast membutuhkan komitmen berdua untuk bertemu, ngobrol, briefing, latihan dan akhirnya rekaman. Belum lagi kalau ternyata perlu editing, misalnya ada kata-kata kasar, nama orang lain yang tidak sengaja kesebut. Jadi, dibandingkan dengan blog, podcast tentunya membutuhkan investasi waktu yang cukup besar.

To recap apakah Podcast ini medium yang tepat untuk #DateWithDudu? Tujuan sudah ada, nama juga sudah dapat, yang belum tinggal menyediakan waktu untuk planning dan eksekusinya. Jadi, kayaknya belum sekarang deh.

04 October 2022

Dilema Ibu Tunggal Bekerja: Cari di Mana?

Cari kerja di mana?
Mom, gimana sih caranya ngelamar kerjaan?


Beberapa minggu terakhir, banyak pertanyaan begini masuk di inbox saya. Beberapa dari yang bertanya adalah (mantan) ibu rumah tangga yang ingin memiliki penghasilan tetap setelah menjadi seorang ibu tunggal. Beberapa lainnya punya pengalaman jualan online, jadi reseller tapi ingin mencoba peruntungan untuk bekerja dengan penghasilan tetap yang tentunya dirasa lebih menjamin kehidupan dirinya dan anak-anak.

Ini Dudu, ikut liputan opening Store LV di mall jaman saya masih jadi jurnalis

Saya menyadari bahwa mencari pekerjaan sebagai seorang ibu tunggal ini sulit. Beruntung waktu Dudu masih kecil, saya punya dua orang tua yang sangat supportive dan bisa mengantar si anak ke sekolah. Sehingga saya bisa fokus kerja cari uang. Lalu bagaimana saya melamar pekerjaan? Ada beberapa cara.

1. Referral teman. 

Kalo kata anak jaman sekarang ini "jalur ordal" alias sudah ada teman atau saudara yang bekerja di perusahaan tersebut, lalu kita masuk sebagai rekanannya. Ini cara paling gampang, apalagi kalau rekanan kita itu punya reputasi bagus di perusahaan tempatnya bekerja. Perusahaan merasa tidak perlu double check seketat orang asing karena ini kan referral karyawan sendiri. Temannya teman.

2. Lewat situs pencari kerja seperti JobStreet, JobsDB, Indeed, Glints dan sejenisnya. 

Kalau mau melamar lewat jalur ini sebaiknya siapkan CV yang mudah dibaca oleh sistem alias ATS friendly. Gimana caranya? Di Canva ada templatenya. Tidak paham cara pakai Canva? Ya intinya ATS friendly berarti tidak ada gambar maupun font yang sulit dibaca. Jadi gunakan font standar seperti Arial atau Times New Roman untuk membuat CVmu. Ingat, bikin CV jangan disingkat dan gunakan istilah yang umum untuk setiap section header misalnya "pengalaman kerja" atau "pendidikan". Meskipun bagus kalau bisa bikin CV dalam bahasa Inggris, jangan dipaksakan kalau memang tidak fasih. Lebih baik pakai bahasa Indonesia tapi CVnya tidak ada typo daripada bahasa Inggris tapi banyak salahnya. 

Kalau langganan newsletter dari situs pencari kerja biasanya kita akan dikirimkan email berisi lowongan sesuai keinginan kita setiap beberapa hari sekali. Ini sebenarnya bagus karena kita jadi terpacu untuk terus melamar kerja dan tidak menyerah.