Showing posts with label self-love. Show all posts
Showing posts with label self-love. Show all posts

30 May 2024

Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Melakukan Sesuatu yang Disukai

“Kok elo umur kepala 4 masih nonton konser?”
Bukan cuma nonton konser, tapi mengejar idol sampai ke Korea.

“Lah, kalo lo nonton, Dudu ditinggal?”
Soalnya kalo diajak, dia tidur. Terus habis itu ngomel-ngomel sendiri karena mendingan di rumah main PS atau nonton Netflix.

“Kok tega ninggalin anak?”
Jangankan konser ke kabupaten sebelah, saya pernah nonton konser sendirian di Kuala Lumpur. Dudu ya sama opa omanya di rumah. 

Jalan hidup saya terbalik dengan kebanyakan orang. Ketika yang lain sibuk travelling, party, nonton konser dan mengejar idol-nya, saya sedang jadi ibu tunggal. Nah, sekarang ketika semua orang di sekitar saya sedang fokus berkeluarga, saya malah ada di lokasi konser idol Kpop bersama ribuan anak-anak yang umurnya tidak beda jauh dengan Dudu. Ada emak-emak nyasar yang terlambat ngefans sama Kpop. Eh, memangnya itu terlambat?

Akhirnya nonton konser CNBlue, meski beli tiket H-1.

“Kalo Dudu udah kuliah, lo mau apa?”
“Gue mau kuliah lagi, ambil S2.”

Saya memperhatikan kebingungan di raut wajah lawan bicara saya. Sudahkah terlambat untuk ingin mengambil S2, sekolah lagi mencari gelar yang sesuai passion saya? Banyak tawaran kuliah yang hadir di sepanjang karir saya. Namun jurusannya ya itu, bisnis, marketing dan sejenisnya. Sementara saya inginnya belajar antropologi, ethics atau social work. Tidak nyambung dengan pekerjaan sekarang. 

Apakah saya menyesal?

Sempat terlintas, seandainya saya lebih muda, tentu nonton konser sambil berdiri 3,5 jam bukan hal mustahil. Saya tidak perlu pegal-pegal pegal sampai tiga hari dan tumbang seharian hanya karena terlalu euphoria di konser. Atau mungkin, tidak perlu merasa ilfil ketika idol yang ada di panggung mulai gombal kepada penontonnya hanya karena usia mereka setidaknya 5 tahun lebih muda dari saya. Berondong. Tapi menikmati konser Kpop di usia ini, di mana sudah tidak sanggup antri berjam-jam, juga bukan sebuah keterlambatan.

Soalnya waktu semua orang sibuk dengan idol-nya, saya sibuk membesarkan Dudu. Jadi ya mau bagaimana lagi kalau pilihannya begitu?

Pertemuan saya dengan Idol Kpop yang termasuk terlambat itu membawa dampak besar dalam hidup dan mimpi saya. Di usia 30+, saya belajar lagi bahasa baru, bahasa Korea. Yang kalau dipikir-pikir tahun ini adalah tahun ke-7 tahun saya tekuni. Lalu tahun ini, saya juga mendaftar untuk jadi Honorary Reporter di Koreanet. Hanya karena saya kangen dengan kegiatan sebagai jurnalis, sekaligus ingin melakukan sesuatu sebagai fans Kpop. Belum lagi, akhir tahun lalu saya mulai mencoba menulis fiksi dengan lebih serius. Bisa ditebak, latar belakang dan karakter yang muncul ya lagi-lagi berhubungan dengan Kpop dan Korea. Belajar bahasa dan belajar menulis fiksi, semua di usia yang sepertinya kok terlambat. Soalnya teman-teman yang ikutan, semua umurnya lebih muda. 

Kalo nonton, yang diajak si boneka ini

Hal ini mungkin akan terjadi ketika kelak saya beneran kuliah S2. Teman-teman yang usianya lebih dekat dengan Dudu, masih muda-muda dan mungkin sanggup begadang menyelesaikan thesis. Daya ingat yang lebih kuat, lebih mudah menghafal waktu ujian. Kemampuan analisa yang lebih tajam karena belum lama terjeda dari masa kuliah yang sebelumnya. Tapi ini tentunya bukan alasan bagi saya untuk tidak jadi kuliah lagi. Justru mungkin saya akan lebih santai menjalani kuliah karena tidak ada beban karir yang menanti di ujung jalan. 

Memulai sesuatu belakangan, bukan berarti kita tidak bisa mengejarnya dengan senang hati. Ada kok, kebahagiaan yang hadir ketika kita berada selangkah lebih di belakang. Kita jadi punya waktu untuk mengamati jalan yang akan diambil dengan lebih jelas. Misalnya jadi lebih bisa mengatur prioritas ketika menonton konser. Atau jadi punya semangat dan motivasi lebih untuk mencapainya. Terutama kalau kita orangnya kompetitif. Bisa belajar lebih fleksibel juga. Sebagai ibu-ibu, tentunya saya harus berpikir ke mana Dudu harus saya titipkan kalau saya mau pergi nonton konser selama 4 jam? 

Terlambat atau tepat waktu, yang pasti, nikmati saja perjalanannya. Semua toh akan indah pada waktunya.


27 May 2024

Creating Healthy Boundaries Starts With Me

How often are we hesitating to say no to a request? Just because we want to prevent inconveniencing others. Or we want to be seen as this helpful person. How often are we doing things beyond our abilities? Just to prove that we're strong enough. Well, I'm sure you're not alone. I struggled with that too.

3 Things We Should Have to Create Healthy Boundaries:

  1. Self-Awareness
  2. Clear Expectation
  3. Communication

Self Awareness

Setting a healthy boundary starts with knowing who we are, what we want and what our preferences are. We need a clear understanding of our thoughts, emotions, and behaviors. How can we create a boundary when we don't know where to draw the line? So, it starts with self awareness. For example, we're not fond of smoke and alcohol. When our circle invites us to go clubbing or hanging out in a lounge, we can comfortably reject them and say we'll join next time they're in a coffee shop. When we have firm boundaries, know what we want and who we are, people come to respect our choices. 

Recognize the different roles we play everyday, healthy boundaries may vary depending on which hat we're wearing. As a mom, for example, healthy boundaries may be our limit, both physical and emotional. Knowing my patience limit may help me say “no” when needed. I can courageously reject additional responsibilities, admit I’m overwhelmed, take a break and ask for help as needed. Realize that we are responsible for how we feel, and we can’t blame others because they made us feel this way. This goes for the opposite, that we’re not responsible for other people’s emotions.

Clear expectation

This should be a two-way interaction. Expectations towards others and expectations to ourselves. An article published by Joe Sanok on Harvard Business Review, titled “A Guide to Setting Better Boundaries,” mentioned two types of boundaries. Hard boundaries are the one we can't compromise and soft boundaries where things are more flexible. Knowing whether it's hard or soft boundaries that we exercise will help us manage our expectations.

For example, a friend of mine has this rule of no smoking near her children. Upon the birth of her third child, she is asked to move back to her parents house to help care for them. It's also easier for her, who is considering going back to work. The problem is, her father is a rather heavy smoker. 

With a hard boundary regarding smoking, she knows that moving back is impossible. Her expectation of her father taking the cigarettes out to the porch every time he wants to smoke might not be fulfilled. Her father expects her to be lenient, while she expects her father to strictly follow the smoking rule. 

Soft boundaries might be about meeting time or what food to eat. Despite not agreeing to move back due to cigarette presence, her parents are still seeing their grandchildren. While they were with their grandparents, she couldn’t strictly enforce what they should eat. The menu is a soft boundary she could compromise.

Communicating clear expectation like this message

Communication

When we know ourselves, and have set a clear expectation, what’s left is communicating them to the outside world. Boundaries aren’t always as clear as a police line. People may not recognize them and accidentally trespass those lines. Therefore, we have to communicate our boundaries clearly. 

Expressing these boundaries needs some degree of assertiveness. Not everyone has this capability and is comfortable establishing boundaries without feeling aggressive or selfish. So, the first thing we do is stating the facts. In my friend’s case, she can say to her father that “I can’t tolerate smoking around children, therefore I can’t move back home unless you stop smoking.” Add an alternative if setting the boundary makes you feel bad. Something like, “but we can visit on weekends.”

As a mom, I can feel exhausted. When a fellow mom starts a conversation, and I don’t feel like listening to their problems, I should be able to say “As much as I want to help, I don’t have the capacity to listen to your problem right now. I’m really sorry.” The same with unsolicited advice. We have the right to reject them, after saying that we respect their opinion.

Boundaries are indeed important. 

I lost several friends due to the boundaries that I set to myself. Mostly because of communication and time boundaries. I don’t usually reply to chat right away. If it’s urgent and if you want a conversation, you should call. Or we can meet and have a chit chat at a cafe. Some of my friends disagreed and went overboard with my late reply. One of them went berserk over how I managed to add a new admin on a group chat I’m responsible for, while ignoring her request for a phone call. I just don’t have the energy to argue with her. I apologize if I made her uncomfortable, told her what she should have done and ignored her ever since. That’s where I drew the line. 

I don’t say what I did was right, but that’s my boundary. I know enough that responding to her negative energy will just exhaust me. I managed my expectations and told her what she could expect of me. Then I communicate those feelings and expectations. I’m done. I felt bad at first because I tend to be a people pleaser. But then, boundaries aren’t meant to include everyone anyway.


23 October 2023

Terus Menulis Biar Tetap Waras

Kalau minta nasihat ke saya bagaimana menjaga kesehatan mental, kemungkinan besar saya akan menyuruh menulis. Beberapa riset menyebutkan bahwa menulis memberikan dampak baik bagi otak, dan bisa jadi terapi yang terjangkau. Tapi tulisan saya jelek. Saya bukan penulis. Tata bahasa saya berantakan. Eits, menulis untuk kesehatan mental tidak perlu memikirkan apakah tulisan kita jelek atau terlalu personal. Kan, pembacanya hanya kita sendiri.

Pernah dengar tentang expressive writing, yang sering digunakan untuk healing? Menulis tentang pengalaman yang membuat kita stress dalam periode waktu tertentu. Mengungkapkan perasaan dalam bentuk tulisan, seperti menulis diary, dalam jangka waktu tertentu yang berpotensi dapat membantu proses healing.

Tapi saya tidak bisa menulis. Mulai dari mana? 

Ada beberapa cara buat memotivasi kita untuk menulis. Terutama buat yang butuh dorongan lebih untuk menuangkan perasaannya dalam bentuk tulisan.

Ikut challenge menulis. 

Apa itu challenge menulis? Secara umum ini adalah tantangan buat kita ikuti agar menulis setiap hari. Mirip seperti upload IG kompakan, atau challenge lari di aplikasi olahraga. 

Ada dua keuntungan mengikuti challenge menulis. Yang pertama adalah adanya tema. Di challenge menulis, kita bersama-sama menulis sesuai tema yang ditentukan setiap harinya. Ini bisa membantu kita di kala stuck, tidak tahu menulis apa karena sudah ada promptnya. Maka dari itu penting untuk memilih challenge menulis yang sesuai dengan interest dan kesanggupan kita sehari-hari. Saya kemarin iseng-iseng mengikuti challenge menulis fiksi 15 hari dan akhirnya stress sendiri karena tidak bisa menulis cinta-cintaan. Padahal sudah sampai bikin IG baru khusus untuk ikutan challenge tersebut. Haha. Karena pada dasarnya saya adalah penulis non-fiksi, ya saya akhirnya kembali ke jalur awal, mengikuti challenge di blog (bukan IG) dengan tema-tema yang lebih dekat dengan kehidupan saya.

Itu pun saya masih struggling karena ada beberapa tema yang benar-benar tidak bisa saya tulis. Lalu gimana? Well, ini kan menulis untuk kesehatan mental, jadi ya ditulis saja sebisanya.

Lalu keuntungan kedua adalah adanya teman. Sesama peserta challenge yang saling menyemangati. Kalau di IG biasanya ada comment dan likes, kalau di blog biasanya lewat blogwalking atau satu Whatsapp group khusus di mana kita bisa share linknya. Jadi saya tidak merasa menulis sendirian dan jadi terpacu untuk melanjutkan ketika teman-teman sudah mulai ngelist. Mau malas jadi malu. Tidak ada alasan untuk stuck karena ada teman-teman seperjuangan yang terus maju.

07 April 2022

Mengenal Jenis Jurnal dan Manfaatnya dalam Kehidupan Sehari-Hari

Konon, journaling itu baru terasa manfaatnya kalau konsisten. Jadi, sebulan kemarin saya coba untuk konsisten.

Ada dua jenis jurnal yang saya buat: Progress Tracker Journal, yang saya modifikasi jadi Daily Habit Journal, dan Gratitude Journal. Keduanya adalah oleh-oleh dari acara yang saya ikuti. Beda jurnal, beda isi, beda fungsinya juga. Coba kita telaah lebih jauh bedanya masing-masing jurnal.



Daily Habit Journal
Idealnya jurnal ini dibikin di buku tulis, digambar dan dikasih warna agar terasa personal. Saya bikin di Excel online, dan terbagi ke dalam beberapa kategori. Kenapa di Excel? Soalnya nggak punya spidol warna-warni yang memadai. Lagipula pilihan warnanya lebih banyak di excel juga kan. Ide untuk membuat Daily Habit Journal datang dari Progress Tracker Journal yang saya lihat di acara launching buku Empowered ME (Mother Empowers) oleh Puty Puar bulan lalu. Ada beberapa tipe jurnal lain yang dibahas di acara tersebut seperti Action Plan Tracker atau Wheel of Life, tapi Progress Tracker inilah yang paling do-able, alias mudah dilakukan untuk saya.

Kalau Progress Tracker lebih spesifik, misalnya ketika saya sedang belajar Bahasa Korea maka saya akan pakai tipe jurnal ini untuk melihat seberapa jauh ‘perjalanan’ saya. Namun karena saya masih building habit, alias membangun kebiasaan belajar Bahasa Korea secara rutin, jadi yang saya gunakan adalah Daily Habit Journal. Tujuan saya membuat Daily Habit Journal ini juga sedikit berbeda di bulan pertama, karena saya sebenarnya ingin melihat habit apa yang sudah terbentuk dan apa yang sulit dimulai

Dari Daily Habit Journal yang saya buat selama sebulan kemarin ini, saya melihat bahwa ada beberapa hal yang sudah mengalir dengan sendirinya. Seperti minum air putih setiap pagi. Atau menulis blog dan baca komik yang meskipun tidak teratur tapi sering dilakukan. Sementara masak dan stretching sudah masuk kategori tidak ada harapan, dan saya berencana mengganti kedua hal tersebut dengan habit lain yang mungkin lebih doable, seperti mulai menulis fiksi.

Daily Habit Tracker Journal saya di bulan Maret kemarin

Ketika kemarin saya evaluasi, saya mencoba mencari pola dan menemukan bahwa di akhir pekan, saya cenderung lebih tidak produktif haha. Lupa minum vitamin, ngeblog juga bolong, belajar juga tidak. Yang dilakukan di Sabtu-Minggu biasanya hanya baca komik dan rebahan. Wah, jadi kepikiran. Akhir pekan ini ‘me time’ dan sering dihabiskan untuk bepergian atau event komunitas. Tapi seharusnya ada hal-hal yang ingin tetap saya lakukan seperti ngeblog atau minum vitamin agar waktu yang digunakan berasa optimal.

Gratitude Journal

Yang ini saya bikin di buku catatan. Minimal menuliskan satu hal yang membuat saya bersyukur setiap hari. Kebiasaan ini dimulai ketika mengikuti workshop bertema “Gali Potensi Diri” dari Komunitas Single Moms Indonesia di bulan Februari. Mengusung tema ‘self love’, Gratitude Journal mengajarkan kita bersyukur atas kebahagiaan yang diterima hari itu. Kesempatan mengapresiasi dan berterima kasih pada diri sendiri. Cara ini lumayan berguna menetralisir hal-hal negatif yang terjadi di sekitar saya.

Gratitude Journal saya di bulan Maret

Saya menuliskan Gratitude Journal ini ketika hendak menutup laptop dan mengakhiri hari. Meskipun sebenarnya tidak ada waktu khusus untuk menuliskan jurnal ini, tapi ketika hari berakhir dan menuliskan 1-2 hal baik yang ingin saya syukuri hari itu, hati jadi lebih tenang. Mengakhiri hari dengan hal-hal baik. Menulis isi Gratitude Journal juga tidak perlu kebanyakan mikir. Bersyukur bisa dimulai dari hal kecil, misalnya bisa punya waktu mandi lebih lama atau kebagian hibah durian dari tetangga. Tidak perlu menunggu menang undian dulu untuk bisa menuliskan isi Gratitude Journal.

Gratitude Journal tidak saya evaluasi. Hanya saya baca ulang di akhir bulan agar menyadari bahwa bulan kemarin itu not so bad dan bulan depan bisa lebih optimis lagi. Dari peserta workshop kemarin itu, ada yang cerita kalau Gratitude Journal yang dijalankan membawa positivity dan optimisme dalam hidupnya, lalu ada saja rejeki yang datang. Wah, hebat!

Tapi selain kedua jurnal tadi, saya juga keep jurnal yang isinya curhatan kalau sedang galau. Haha. Yang itu fungsinya untuk materi buku fiksi saya suatu hari kelak. Lalu ada juga healing jurnal, yang biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan terhadap diri sendiri yang perlu dijawab. Misalnya “apakah yang membuatmu kecewa?” atau “apa yang membuatmu tidak bisa memaafkan diri sendiri?” Jenis jurnal yang terakhir ini tidak secara rutin saya gunakan, hanya ketika sedang dibutuhkan saja. Misalnya ketika habis patah hati. Eh?

Bisakah digunakan untuk anak?

Saya baru mau menyarankan ke Dudu untuk pakai tracker seperti ini. Tapi kalau untuk Dudu sepertinya lebih cocok yang digital atau bentuknya apps ya. Kalau untuk anak yang lebih kecil, bisa dijadikan permainan dan diberikan reward ketika berhasil dilakukan. Misalnya puasa. Bisa dibuatkan papan untuk ditempelkan stiker di hari-hari si anak berhasil puasa. Lalu di akhir bulan sama-sama dievaluasi dan kalau memang ada reward yang dijanjikan di awal ya bisa diberikan.

Wah, bisa jadi proyek liburan sekolah bersama Dudu nih!

Apapun jenis jurnalnya, yang penting adalah konsistensi dan evaluasi. Kalau tidak konsisten, agak sulit mencari pola di Daily Habit Journal dan biasanya impact Gratitude Journal juga kurang terasa. Jadi memang harus konsisten setiap hari.

15 February 2022

Self-Love dengan Menuliskan Gratitude Journal

 Ada pepatah mengatakan “count your blessings,” atau hitung berkatmu. Dengan melakukan ini, kita dapat menjadi lebih positif dalam hidup, jarang stress dan jarang sakit. Kayaknya penting banget di jaman pandemi ketika kata “positif” malah jadi menyeramkan. 

Akhir pekan kemarin, saya belajar bersyukur. Menuliskan 10 hal yang membuat saya berterima kasih hari itu. Mulai dari hal kecil kayak bisa ngopi sampai yang besar seperti menyelesaikan pekerjaan. Tulisan yang jadi Gratitude Journal atau Jurnal Syukur ini adalah salah satu yang saya lakukan dalam rangka self-love. 


Jurnal syukur yang lucu-lucu begini bisa bikin tambah motivasi

Apa sih jurnal syukur? Seperti namanya, jurnal syukur adalah tempat (bisa buku, bisa app, bisa blog dan lainnya) di mana kita menuliskan hal-hal yang kita syukuri setiap harinya. Berbeda dengan diary, jurnal syukur ini tidak perlu panjang-panjang menulis dan tidak perlu detail. Dalam positive psychology, jurnal syukur digunakan untuk mereka yang ingin memfokuskan diri pada hal-hal positif dan disyukuri dalam hidup ini.

20 August 2021

Look Good Feel Good: Scarlett Whitening Glowtening Serum

Kulit kering kembali lagi jadi masalah. Tinggal di rumah saja, plus tingkat stress dan jumlah kerjaan yang semakin banyak di bulan-bulan terakhir tahun 2021, membuat saya perlu menjaga kulit wajah secara ekstra. Belum lagi jadwal yang padat bikin saya sering lupa minum air putih cukup dan lembur yang membutuhkan ekstra asupan kopi. Setelah terbiasa dengan sincare routine yang baru, saya menyadari pentingnya menggunakan serum dalam kehidupan sehari-hari.

Rasanya saya butuh serum baru, terutama setelah Serum Scarlett Brightly Ever After kemarin habis. Pas banget Scarlett Whitening punya serum baru yaitu Face Care Glowtening Serum.



Why serum works?

Serum memiliki tekstur yang ringan, tapi dengan konsentrasi active ingredients yang tinggi. Jadi penyerapan bahan-bahan aktif ini bisa dilakukan secara efektif dalam waktu singkat. Karena itu juga, hasilnya seringkali dapat langsung terlihat. Kulit lebih kenyal, noda bekas jerawat lebih cepat hilang dan kulit jadi lebih cerah.

Jadi bersamaan dengan perpanjangan PPKM kemarin, saya juga ‘memperpanjang’ pemakain serum Scarlett. Tapi kali ini pindah dari series Brightly Ever After serum ke Scarlett Whitening Face Care Glowtening Serum. Memang bisa digabung? Well, penggunaan Brightly Series + Glowtening Serum dapat memaksimalkan hasil, yaitu mendapatkan kulit yang lebih cerah, glowing dan sehat. Jadi untuk step awal dan akhirnya, saya masih menggunakan Scarlett Brightening Facial Wash dan Scarlett Brightly Ever After Day & Night Cream. Tapi yang step yang keduanya, beberapa hari terakhir ini saya mencoba Scarlett Whitening Face Care Glowtening Serum.

Cuci muka tetap jadi step paling penting, karena serum tentunya paling efektif kalau diaplikasikan pada muka yang bersih atau setelah eksfoliasi dan penggunaan toner. Tiga step awal tersebut membersikan pori-pori dari kotoran dan mempersiapkan kulit untuk menyerap serum dengan maksimal.

Bedanya apa?

Kalau Scarlett Brightly Ever After Serum kemarin warnanya bening, Scarlett Whitening Face Care Glowtening Serum ini warnanya lebih putih. Sekilas sedikit mirip dengan face cream atau moisturizer tapi efeknya pas dipakai tetap sama. Pas diusapkan di kulit wajah juga cepat meresapnya. Manfaat Glowtening Serum Scarlett ini lebih fokus ke membuat wajah lebih glowing dengan warna kulit yang rata, sesuai dengan kandungannya: Tranexamide Acid, Niacinamide, Geranium Oil dan Allantoin.

Tranexamide Acid adalah bahan yang popular digunakan di Asia karena manfaatnya yang untuk meredakan peradangan kulit, melindungi kulit dari sinar UV, dan meratakan warna kulit. Aman digunakan untuk semua jenis kulit, bahan ini ampuh untuk yang punya dark spots di wajah atau bekas jerawat yang seringkali membuat wajah jadi belang. Dalam kasus saya, yang jadi masalah bukan jerawat tapi kulit kering yang seringkali saat kembali lembab malah warnanya jadi tidak rata. Lumayan mengganggu kalau sedang meeting virtual, apalagi ada satu bekas kulit kering yang adanya di dagu haha. Jadi pengen pakai filter aja deh meetingnya.

04 July 2021

5 Ide Self Love untuk Ibu Tunggal: Jangan Lupa Bahagia

“Loh, kok lo pergi sendiri, Dudu ditinggal?”

Pernah dapat pertanyaan yang biasanya memicu rasa bersalah ini? Saya sering. Apalagi, sebagai ibu tunggal, saya sering dapat wejangan kalau anak saya hanya punya ibu. Jangan sampai dia kekurangan kasih sayang dan perhatian. Hadeeh. Tunggu dulu, melakukan self-love bukan berarti kita sebagai ibu meninggalkan kewajiban mengurus anak.

Memangnya apa sih Self Love itu?

Basically, self-love itu mencintai diri sendiri. Bukan berarti egois, tapi menerima diri sendiri apa adanya dan mengutamakan kebahagiaan diri. Sebagai ibu tunggal, seringkali saya lupa bahwa saya juga berhak bahagia. Sibuk mengurus anak, mengurus rumah dan kerja cari uang, yang semuanya buat orang lain. At the end of the day, jadi lelah, capek, dan akhirnya anak juga yang jadi korban emosi.

Yuk, dimakan roti curhatnya biar tenang

“Duh, gw udah lama nggak nge-gym nih,” komentar seorang teman beberapa waktu lalu. Pas itu gym baru dibuka lagi setelah pandemi. Membership si teman masih aktif. Masalahnya sekarang adalah seorang bayi berusia 3 bulan yang butuh segenap perhatian. Ketika saya tanya “kenapa nggak?” Jawabannya standard “gue nggak mungkin ninggalin anak gue dong.” Well, tadi yang kepengen nge-gym dan sayang sama membership-nya kan dia juga ya.

Tapi bisa ya, melakukan self-love tanpa meninggalkan anak?

Di masa pandemi begini, 'me time' bisa dilakukan di rumah. Misalnya ganti sabun dan jadikan waktu mandi lebih seru atau nonton drakor dengan tema Single MomMeskipun menurut saya ‘me time’ adalah self-love terbaik karena kita benar-benar bisa fokus pada diri sendiri, namun ada beberapa hal yang bisa kita lakukan tanpa benar-benar berpisah dengan anak. Fokusnya lebih kepada merubah mindset dan memulainya dari hal kecil atau yang terlihat remeh.

5 hal berikut ini bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja.
  1. Berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ini termasuk dengan pasangan baru mantan suami, kakak atau adik yang juga sudah menjadi seorang ibu, dan teman-teman lain di sekeliling saya yang mungkin keluarganya utuh. Dan termasuk juga membandingan gaya parenting saya dengan ibu-ibu lain, atau dengan orang tua kita dulu.

  2. Punya target dan berikan reward untuk diri sendiri setiap berhasil mencapainya. Targetnya tidak harus besar, tapi rewardnya adalah sesuatu yang kita memang sukai. Contohnya, kalau hari ini berhasil menyelesaikan tumpukan setrikaan, maka saya berhak atas 30 menit duduk menikmati kopi. Dengan begini, rasa bersalah akan ‘me time’ bisa berkurang. Dan rewardnya sebisa mungkin harus segera diambil di hari yang sama.

  3. Berani menolak dan mengatakan ‘tidak’ pada hal-hal yang memang tidak sesuai dengan kemampuan dan keinginan kita. Misalnya ada teman pinjam uang atau orang tua menyuruh kita menikah lagi padahal kita belum siap. Sadar bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang dan ketika kita harus punya prioritas, tentunya diri sendiri (dan anak) yang jadi prioritasnya.

  4. Memaafkan diri sendiri. Stop menyalahkan diri sendiri untuk hal-hal yang sudah terjadi dan memang di luar kendali seperti “anak kurang kasih sayang karena ayahnya tidak ada”. Yang namanya manusia tentunya tidak luput dari kesalahan, dan kalau kita bisa memaafkan orang lain, kenapa tidak dengan diri sendiri? Memaafkan diri sendiri pun dimulai dari yang kecil, misalnya memaafkan kalau hari ini jadi pesan makanan daripada masak sendiri karena kita sedang lelah.

  5. Jangan takut untuk mengambil keputusan untuk kebahagiaan diri sendiri, termasuk memutuskan hubungan dengan toxic people. Dulu waktu masih anak-anak, sering kali orang tua yang memutuskan segala sesuatunya. Saat menikah, banyak teman saya yang ‘mengikuti suami’ dan memberikan hak tersebut pada orang lain lagi. Dan setelah jadi ibu tunggal, kita secara tidak sadar membiarkan anak dan lingkungan yang memegang kendali. Coba sempatkan berpikir, apa yang bisa kita putuskan sendiri. Kalau masih belum pede memutuskan hal besar seperti mau pindah tempat tinggal, bisa dimulai dari hal yang terjadi sehari-hari tapi cukup berpengaruh dalam parenting. Misalnya, kapan anak boleh pegang gadget.
Mudah untuk disebutkan, tapi saya sadar hal-hal ini sulit untuk dilakukan. Soalnya begitu jadi ibu, otomatis saya fokus ke semua kebutuhan anak. Belum lagi saya juga sandwich generation yang juga mengurus orang tua di rumah. Mulai saja dari hal-hal kecil yang memang terjadi sehari-hari dan tidak akan menimbulkan gonjang-ganjing bila dilakukan. Soalnya, biar bagaimana pun, self-love itu penting buat ibu tunggal. 

Soalnya kalau ibunya tidak bahagia, gimana anaknya mau bahagia?

19 May 2021

Single Mom dan Parental Burnout

Pernah merasa lelah jadi orang tua? Saya pernah. Dan nggak seperti pekerjaan yang bisa ‘ditinggal’, jadi orang tua itu komitmen sepanjang jaman.

Bulan depan, saya 15 tahun jadi single mom. Takjub juga bisa bertahan segitu lama, padahal tidak sekali dua kali saya merasa capek, merasa sendirian dan kayaknya mau udahan aja. Seperti waktu saya nonton konser NKOTBSB tahun 2012 lalu. Anak saya masih 5 tahun, saya tinggal menggejar impian ketemu Nick Carter. Tentu saja kepergian itu diiringi “cibiran tetangga” dan “komentar tante” yang merasa saya egois.


Di tempat konser, saya bertemu banyak mama-mama seumuran yang tiba-tiba kembali jadi ABG. Dan percakapan mereka begini:

“Eh, anak gimana?”
“Gue titip laki gue lah.”


Kalau yang punya pasangan, anak bisa dioper. Kalo yang single mom kayak saya, ada siapa? Kalau ibu bekerja yang punya pasangan, uang bisa dipakai beli tiket konser. Ada pasangan yang bantu beli susu. Kalo saya, mau berbagi biaya sama siapa?

Eits, ini bukan berarti saya lantas sedih lalu lelah dengan keadaan dan pasrah ketika burnout. Soalnya, sama seperti burnout yang lainnya, parental burnout ini juga berbahaya. Lebih berbahaya malah, karena efeknya bisa ke anak.

Apa itu Parental Burnout? Psikolog Herbert Freudenberger mendifinisikan burnout sebagai "kondisi kelelahan mental dan fisik yang disebabkan oleh kehidupan profesional seseorang". Parental Burnout dijelaskan sebagai rasa lelah fisik, mental, dan emosional pada orang tua saat mengasuh anak. Hal ini terjadi ketika rasa lelah melebihi kebahagiaan mengasuh dan memiliki anak. Di tengah pandemi begini, ketika kita harus 24 jam bersama anak di rumah, parental burnout dapat terjadi.

Kebanyakan orang tua, termasuk saya, biasanya tidak berani mengaku karena akan menghadapi judgement dan tekanan masyarakat. Masa mengurus anak sendiri bisa burnout? Well, lihat ke diri sendiri dan akui kalau memang burn out. Burnout-nya memang sementara, tapi efeknya ke anak bisa selamanya. Trus gimana dong?

Ada beberapa hal yang saya lakukan:

27 April 2021

Mama ‘Me Time’: Menemukan Rutinitas Mandi Lebih Seru

“Ma, ini sabun?”
Dudu menemukan botol warna ungu di kamar mandi. Biasanya cuma ada sabun cair standard saja.
“Shower Scrub. Mirip sabun, tapi kalau pakai ini mandinya berasa lebih bersih.”

Bingunglah anak cowok semata wayang saya itu. Tiba-tiba Mama-nya jadi suka mencoba hal-hal baru. Haha.

(left to right) Scarlett Whitening Body Lotion Freshy, Brightening Shower Scrub Pomegranate & Body Scrub Romansa

Sejak Work From Home (WFH) setahun yang lalu, saya banyak mager-nya. Semua rutinitas jadi tidak spesial. Bangun tidur, mandi, bikin kopi lalu duduk di ruang tengah untuk bekerja. Kalau weekend, sesekali ke luar rumah bertemu teman atau ‘staycation’ ke rumah adik saya untuk ganti suasana. Meskipun jarang bertemu orang lain secara offline selain si Dudu, saya ternyata tetap butuh ‘me time’, break time dari bekerja biar nggak stress. Jadi, saya memutuskan untuk mengganti sabun dengan body care baru.

24 December 2020

Mengambil Jeda di Tengah Pandemi

Jeda itu perlu. Semua yang dilakukan “from home” memberikan perspektif baru dalam hubungan saya dan Dudu.

Tahun 2020 ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pandemi yang mengharuskan saya Work from Home alias WFH dan Dudu yang sekolah dari rumah, kami jadi punya banyak waktu untuk bertemu. Saya kira semua akan berjalan mulus, senang dan lancar setelah sekian lama bertemu hanya di akhir pekan. Awal-awalnya makan siang bersama satu meja setiap hari terasa seru. Wah, ada waktu untuk keluarga. Lama-lama rutinitas baru ini malah mengganggu.

Saya merasa terpaksa keluar kamar hanya untuk makan siang (dan makan malam) karena anak dan orang tua saya sedang makan bersama di meja. Mama saya sering mengomel juga kalau kami tidak makan di jam yang sama. Sering juga meeting saya terputus karena Dudu ketok-ketok pintu kamar mengajak makan. Ketika saya tidak menjawab, dia masuk dan mengajak makan. Presentasi dan konsentrasi saya, tentu saja, buyar.

Ada yang salah? 


Well, saya menemukan satu buku berjudul “The Things You Can See Only When You Slow Down” karya seorang biksu Buddha bernama Haemin Sunim. Buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2012 mengajarkan banyak hal tentang interaksi selama pandemi. Dan bagaimana saya bisa beradaptasi dengan keadaan yang sepertinya masih akan berlangsung selama 2021 ini.


The Art of Maintaining Good Relationship / Menjaga hubungan dengan baik

Di chapter 2 ada quotes yang mengatakan “bahkan musik yang paling indah pun bisa membosankan kalau didengarkan setiap hari. Tapi musik tersebut dapat menjadi indah kembali setelah beberapa waktu. Masalahnya ada bukan pada musik, tapi pada hubungan saya dengan musik tersebut.”

Nah ini dia. Bukan Dudu yang salah. Bukan orang tua saya yang ngaco. Tapi memang saya yang tadinya tidak pernah bertemu mereka selain weekend, mendadak bertemu setiap hari lalu ilfeel. Sekarang, karena semua di rumah, saya jadi tidak pernah cerita tentang hari-hari saya sama orang tua, Dudu jarang update soal sekolah juga. Makan semeja pun tanpa suara. Malah sedih ya?

Jadi, kami kembali ke rutinitas biasa. Ansos, alias anti sosial, di weekdays dan hanya duduk makan semeja di akhir pekan. Di hari-hari sebelum pandemi, saya dan Dudu biasanya spend me-time berdua saja travelling, makan atau staycation. Sekarang waktu kami berduaan hanya pas main PS4 seharian. Tidak benar-benar nge-date. Kalau sudah tidak nyaman di rumah, saya dan Dudu akhirnya ‘staycation’ di rumah adik saya.

Soalnya ternyata, jeda itu memang perlu.