29 September 2021

Ibu di Era Digital: Berteman dengan Game dan Gadget

Akhir-akhir ini, bahasan yang lagi seru di circle pertemanan saya adalah 'kecanduan' gadget. Sekolah dari rumah atau yang resminya disebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) mewajibkan para siswa memiliki gadget dan akses Internet. Jadi, mau tidak mau anak-anak jadi memiliki gadget sendiri dan screen time jadi lebih banyak dari biasanya.

Saya, Mama yang tidak pernah mempermasalahkan penggunaan gadget anaknya, merasa bingung bagaimana mau sumbang suara untuk masalah ini. Tapi saya menyadari, adalah tantangan tersendiri buat para Mama untuk mengurangi ketergantungan gadget pada anak-anaknya. Terutama ketika gadget sudah menjadi kebutuhan utama untuk belajar. Lalu apa yang harus dilakukan para Mama, yang notabene adalah perempuan di era digital.
Salah satu moment favorit saya adalah saat main game berdua

Sebagai ibu yang memiliki pemahaman literasi digital, kita memiliki potensi besar untuk mendukung anak bersahabat dengan gadget. Tantangan pertama yang muncul biasanya adalah cepatnya teknologi berubah. Dari yang hampir tidak pernah video call hingga paham cara pakai filter di zoom. Apalagi kalau ternyata anak kita lebih canggih.

Ada yang bilang, tak kenal maka tak sayang. Jangan langsung kontra. Jangan panik dan memusuhi gadgetnya. Pahami dulu kebutuhan PJJ anak dan kenali teknologi yang dibutuhkan.

Selain karena PJJ, pandemi ini juga membatasi pilihan hiburan untuk anak. Yang biasanya bisa ke mall, sekarang hanya bisa bermain di rumah. Di tengah kesibukan sebagai ibu bekerja dan ibu professional, diskusi di circle pertemanan saya berkembang menjadi game online dan YouTube. Di sini selain teknologi yang berubah, ada tantangan lain yang harus dihadapi yaitu game-nya itu sendiri. Saya dan anak semata wayang saya punya interest yang sama, jadi mudah bagi saya untuk mendampingi anak main game atau nonton YouTube. Bagaimana dengan yang tidak sejalan?

Kata anak saya, si Dudu, “Main game untuk have fun. Untuk keluar dari kehidupan mereka dan menjadi sesuatu yang lebih keren di dunia lain.”

Dari rumah untuk dunia. Dunia lain, sih. Tapi bukan berarti kita tidak bisa cari tahu ada apa di sana. Kalau saya bisa bertanya tentang bagaimana hari si anak di sekolah hari ini, saya juga bisa bertanya sudah berhasil mancing ikan berapa di Genshin Impact hari ini. Sama juga dengan membatasi waktu main game. Waktu kecil saya merasa kesal karena ketika Mama saya kesal melihat saya main game, saya harus mematikan game saat itu juga. Sementara saya sudah dekat sekali dengan save point berikutnya dan harus mengulang jauh ketika saya main lagi.


Jadi ketika Dudu main game, dan saya mau dia berhenti, saya tidak langsung menyuruh dia berhenti. Saya pasti tanya, “ini kapan bisa di-save?” Setelah itu baru saya minta dia berhenti main. Dan Dudu selalu berhenti main setelah di-save. Karena sama dengan saya yang kalau sedang mood menulis, atau Mama saya ketika dia masak, kita tidak suka diganggu tengah-tengah. Ketika saya berusaha memahami hobi si Dudu, dia juga jadi lebih terbuka dan cerita banyak tentang kehidupannya di dunia nyata. 

Jadi, meskipun interestnya tidak sama, saya masih bisa menggunakan gadget dan game sebagai teman, yang membantu saya berkomunikasi dengan anak. Apalagi di era digital ini saya harus waspada karena akses menjadi mudah dan sebagai ibu bekerja, saya tidak bisa selalu mengawasi anak. Kalau bukan karena Dudu yang cerita, saya tidak tahu dia bertemu siapa di Co-Op Genshin Impact-nya, atau sedang ngobrol sama siapa di discord.

Tapi, gimana kalo kecanduan?
Kalau nasihat Dudu sih, “maybe tell them that playing games are fun but don't let it affect your real life. Sometimes you have to sacrifice what's fun with what's important.” 

Tulisan ini diikutkan di Sayembara Catatan Perempuan untuk Konferensi Ibu Pembaharu oleh Kelas Literasi Ibu Professional.

19 September 2021

Anti-Panik Saat Bertemu Deadline

Mama: Du, bagaimana kamu mengatur deadline?
Dudu: Deadline? What do you mean by deadline?
Mama: Kalau ada yang harus dilakukan dan di submit, bagaimana kamu tahu mana yang dikerjakan duluan? Yang penting atau tidak penting
Dudu: Saya kerjakan yang mudah lebih dulu, meskipun not important. Biar cepat selesai.
Mama: Lah, kalau begitu nanti yang sulit tidak keburu terselesaikan?
Dudu: Tapi yang selesai jadi bisa lebih banyak.

Hm… cara saya dan Dudu mengatur deadline alias tenggat waktu memang berbeda. Tapi sebenarnya ada tidak sih cara yang salah dan benar untuk managing deadlines?

1. Bikin to-do list
Saya jarang membuat to-do list secara tertulis. Karena biasanya kalau banyak yang harus dilakukan, yang ada malah waktunya habis untuk bikin to-do list. To-do list bisa menjadi distraction sendiri. Jadi, to-do list hanya saya buat ketika yang harus dilakukan benar-benar banyak sampai saya takut lupa, atau ketika hal-hal tersebut banyak detailnya hingga takut terlewatkan.


Kapan waktu yang tepat untuk membuat to-do list? Kalau saya pagi-pagi sebelum memulai hari. Sisihkan 10-15 menit untuk menuliskan apa yang harus dilakukan 1-2 hari ke depan. Menulis to-do list sebaiknya tidak disambi mengerjakan hal lain, apalagi sambil mengerjakan hal yang ada di to-do list itu sendiri. Begitu juga sebaliknya. Sebisa mungkin jangan menulis to-do list di tengah-tengah bekerja, karena biasanya malah jadi nambah to-do listnya. Haha.

06 September 2021

Menggunakan Podcast Sebagai Alat Bantu Belajar Bahasa Asing

Ketika lagu-lagu patah hati tidak lagi menarik untuk didengarkan, saya beralih ke podcast.

Banyak research yang menemukan bahwa penggunaan aplikasi seperti podcast pada proses belajar Bahasa asing membantu performa dan meningkatkan motivasi untuk menjadi fasih. Jadi, ketika saya hanya bisa mengikuti kelas Bahasa Korea 2x seminggu, dan tidak bisa menemukan waktu luang untuk mengulang pelajaran sebelum kelas berikutnya, saya beralih ke podcast.


Podcast adalah teman terbaik saya ketika menyetir mobil. Soalnya perjalanan 1-2 jam setiap pergi dan pulang kantor berarti extra time untuk saya belajar Bahasa. Tidak mengganggu konsentrasi karena hanya mendengarkan, dan tidak banyak berbeda dengan mendengarkan music. Pelajarannya pun disesuaikan dengan topik yang sedang dibahas di kelas, dan podcastnya dipilih sesuai dengan kemampuan.

Podcast yang sering saya putar adalah Talk to Me in Korean (TTMIK).

Di website TTMIK, para pengajar ini mendeskripsikan dirinya sebagai “orang –orang yang berkumpul untuk mewujudkan ide yang membantu orang-orang yang ingin belajar Bahasa Korea dengan cara yang praktis dan menyenangkan.” Dan mereka punya semuanya mulai dari Youtube, website, buku pelajaran dan sertifikasi kursus. Makanya ketika saya menemukan mereka punya podcast di Spotify, yang bisa diakses gratis, saya seperti menemukan harta karun. Soalnya saya bisa mendengarkan mereka di mobil.

So what are the courses available?

Talk to Me in Korean – Core Korean Grammar

Untuk yang baru belajar, seri Podcast ini cocok untuk didengarkan karena pelajarannya beneran mulai dari awal. Kurikulumnya juga dibagi berdasarkan tingkat kesulitan dan topik yang dipelajari. Saya sering memutar seri ini ketika di kelas kursus sedang membahas topik yang lumayan sulit dihafalkan atau dipahami. Misalnya belajar angka. Mendengarkan pelajaran angka setiap hari di mobil membantu saya menghafal angka lebih cepat dan tidak tertinggal pelajaran di kelas. Seri podcast ini juga berguna ketika saya ingin mengulang topik tertentu karena lupa. Setiap episode panjangnya sekitar 10-20 menit. Ada 10 level yang bisa didengarkan dan setiap levelnya ada 20-30 lesson yang bisa jadi pelajaran.

24 August 2021

5 Komik yang Wajib Jadi Drakor

“Jodoh Mama sudah kelihatan?”

Pertanyaan ini muncul pas makan siang sama Dudu akhir pekan kemarin. Sebagai seorang single mom dari anak yang tahun ini berusia 15 tahun, pertanyaan soal ‘pacar’, ‘jodoh’ dan ‘kriteria cowok seperti apa?’ sudah menjadi topik pembicaraan yang umum. Dan kalau boleh sedikit tidak realistis, cowok-cowok di komik yang sering saya baca inilah yang kayaknya membuat dunia jadi tidak nyata.

Dari semua komik, manhwa, manhua, manga atau apapun itu sebutannya, ada beberapa yang ceritanya (dan tentunya tokoh utama laki-lakinya yang bucin) yang berkesan buat saya. Duh, coba dibuat jadi live action atau drakor. Kan malam minggu saya jadi lebih berwarna dan mungkin bisa jadi teman di saat harus kembali di rumah saja bulan ini.

Remarried Empress / The Second Marriage by Alphatart

Genre: Fantasy, Kerajaan

Pembaca setia Webtoon pasti sudah tidak asing sama kisah yang satu ini. Seorang perempuan yang terlahir untuk menjadi ratu, mendadak diceraikan suaminya karena selir. Namun bukan Navier Trovy namanya kalau tidak punya rencana cadangan, menikah lagi dengan raja negara tetangga.

Yang membuat Webtoon ini menarik adalah bagaimana sang Ratu, Navier, menyikapi suaminya, Soviesch yang membawa pulang selir bernama Rashta. Soviesch dan Navier adalah teman masa kecil, yang dibesarkan untuk menjadi raja dan ratu kerajaan Dongdae. Mereka baru menikah 3 tahun ketika si Selir hadir di tengah mereka. Hubungan keduanya yang tadinya memang bersahabat, menjadi renggang. Apalagi ketika yang namanya penerus raja diharapkan segera hadir, tapi Navier tidak kunjung hamil.

Selain jalan cerita, membaca komentar pembacanya juga menghibur. Jadi kalau baca ini di webtoon, pastikan scroll sampai bawah. Siap-siap ikut emosi sama selirnya, sekaligus ketawa-ketawa baca komen julid pembaca.

20 August 2021

Look Good Feel Good: Scarlett Whitening Glowtening Serum

Kulit kering kembali lagi jadi masalah. Tinggal di rumah saja, plus tingkat stress dan jumlah kerjaan yang semakin banyak di bulan-bulan terakhir tahun 2021, membuat saya perlu menjaga kulit wajah secara ekstra. Belum lagi jadwal yang padat bikin saya sering lupa minum air putih cukup dan lembur yang membutuhkan ekstra asupan kopi. Setelah terbiasa dengan sincare routine yang baru, saya menyadari pentingnya menggunakan serum dalam kehidupan sehari-hari.

Rasanya saya butuh serum baru, terutama setelah Serum Scarlett Brightly Ever After kemarin habis. Pas banget Scarlett Whitening punya serum baru yaitu Face Care Glowtening Serum.



Why serum works?

Serum memiliki tekstur yang ringan, tapi dengan konsentrasi active ingredients yang tinggi. Jadi penyerapan bahan-bahan aktif ini bisa dilakukan secara efektif dalam waktu singkat. Karena itu juga, hasilnya seringkali dapat langsung terlihat. Kulit lebih kenyal, noda bekas jerawat lebih cepat hilang dan kulit jadi lebih cerah.

Jadi bersamaan dengan perpanjangan PPKM kemarin, saya juga ‘memperpanjang’ pemakain serum Scarlett. Tapi kali ini pindah dari series Brightly Ever After serum ke Scarlett Whitening Face Care Glowtening Serum. Memang bisa digabung? Well, penggunaan Brightly Series + Glowtening Serum dapat memaksimalkan hasil, yaitu mendapatkan kulit yang lebih cerah, glowing dan sehat. Jadi untuk step awal dan akhirnya, saya masih menggunakan Scarlett Brightening Facial Wash dan Scarlett Brightly Ever After Day & Night Cream. Tapi yang step yang keduanya, beberapa hari terakhir ini saya mencoba Scarlett Whitening Face Care Glowtening Serum.

Cuci muka tetap jadi step paling penting, karena serum tentunya paling efektif kalau diaplikasikan pada muka yang bersih atau setelah eksfoliasi dan penggunaan toner. Tiga step awal tersebut membersikan pori-pori dari kotoran dan mempersiapkan kulit untuk menyerap serum dengan maksimal.

Bedanya apa?

Kalau Scarlett Brightly Ever After Serum kemarin warnanya bening, Scarlett Whitening Face Care Glowtening Serum ini warnanya lebih putih. Sekilas sedikit mirip dengan face cream atau moisturizer tapi efeknya pas dipakai tetap sama. Pas diusapkan di kulit wajah juga cepat meresapnya. Manfaat Glowtening Serum Scarlett ini lebih fokus ke membuat wajah lebih glowing dengan warna kulit yang rata, sesuai dengan kandungannya: Tranexamide Acid, Niacinamide, Geranium Oil dan Allantoin.

Tranexamide Acid adalah bahan yang popular digunakan di Asia karena manfaatnya yang untuk meredakan peradangan kulit, melindungi kulit dari sinar UV, dan meratakan warna kulit. Aman digunakan untuk semua jenis kulit, bahan ini ampuh untuk yang punya dark spots di wajah atau bekas jerawat yang seringkali membuat wajah jadi belang. Dalam kasus saya, yang jadi masalah bukan jerawat tapi kulit kering yang seringkali saat kembali lembab malah warnanya jadi tidak rata. Lumayan mengganggu kalau sedang meeting virtual, apalagi ada satu bekas kulit kering yang adanya di dagu haha. Jadi pengen pakai filter aja deh meetingnya.

14 July 2021

Bersosialisasi di Tengah Pandemi Lewat Komunitas

Pandemi yang terjadi telah merubah cara kita berinteraksi dengan keluarga, teman dan pekerjaan.

Beberapa waktu belakangan ini saya menyibukkan diri dengan ikutan kelas dan event dari komunitas untuk menjaga sosialisasi. Setelah daftar kelas, saya bergabung di grup whatsapp. Lalu ketika ada challenge, saya ikutan. Saling blogwalking, saling comment di Instagram supaya interaksi tetap terjaga. Meski saya cenderung introvert, yang sebenarnya tidak begitu keberatan kalau harus rebahan dan Netflix-an seharian, tapi saya sadar bahwa menjaga pertemanan ini perlu supaya pas pandemi selesai kelak saya tidak seperti baru keluar dari gua. Dengan ikut kelas dan aktif di komunitas, saya dapat ilmu dan teman baru sambil tetap menjaga prokes di tengah pandemi.

Ikut event sekarang dari rumah aja

Cerita Ikutan Kelas

Kelas apa? Komunitas yang mana? Sesuaikan dengan minat dan waktu yang ada. Saya kerja full-time, meskipun dari rumah. Jadi kalau harus mengambil kelas, saya mencari yang bisa dihadiri setelah jam kerja atau di akhir pekan. Karena saya senang menulis, biasanya kelas yang saya ambil pun berhubungan dengan kepenulisan. Ada yang hanya sekali pertemuan, ada yang serial. Ada yang gratisan, ada yang berbayar seperti waktu saya belajar Bahasa Korea. Kelas yang saya ikuti secara offline di Korean Culture Center menjadi online ketika pandemi. Tapi, saya malah jadi bisa lebih sering ikutan karena tidak perlu melawan macetnya Jakarta untuk datang ke kelasnya.

08 July 2021

Tetap Jaga Prokes, Hal Kecil Juga Penting

Mama sudah mandi belum, nanti saya tidak bisa peluk.”

Dudu termasuk yang paling ketat prokes di rumah. Selalu cuci tangan setiap habis ambil paket. Selalu mandi setiap habis pulang dari mana pun, termasuk rumah saudara. Dan paling cerewet kalau saya tidak cuci tangan atau segera mandi. Selain pakai masker dobel dan menjaga jarak, ada beberapa hal lain yang saya dan Dudu lakukan untuk tetap aman di masa pandemi ini.


Selain berusaha selalu stay di rumah aja tentunya.

Cuci tangan paling efektif buat membunuh virus menempel

Sering cuci tangan, tapi jangan lupa pakai pelembab.
Saking rajinnya cuci tangan, sekarang telapak tangan Dudu kering. “Bagaimana ini, Ma?” Lalu saya menyodorkan hand lotion yang disambut dengan wajah bingung. Haha. Anak cowok dikasi hand lotion lalu shock. Sejak kecil, kulit Dudu emang sering kering dan sensitive. Masalahnya si anak tidak pernah mau pakai lotion sambil protes “kan ini untuk perempuan” atau “saya tidak suka jadi licin dan tidak bisa pegang apa-apa.” Tapi sekarang pilihannya tangan kering, atau mengurangi frekuensi cuci tangan. Karena anaknya memang taat Prokes banget, jadi akhirnya mau mencoba hand lotion haha.

Pulang bepergian harus mandi
“Mandi itu seperti cuci tangan, tapi semuanya.” Begitu alasan Dudu waktu saya tanya kenapa dia heboh banget selalu mau mandi dulu setiap sampai di rumah. Pulang bepergian langsung mandi dan ganti baju sebelum rebahan main PS atau berkegiatan yang lain. Tapi jangan salah, kalau kita tidak kemana-mana, yang namanya mandi tetap harus diomelin dulu haha.

Pakai Hand Sanitizer begitu masuk mobil
Masuk mobil seringkali membuat saya was-was karena takut virus menempel. Jadi begitu masuk dan duduk, sebelum menyentuh stir mobil, saya membiasakan diri pakai hand sanitizer. Penggunaan hand sanitizer berbahan dasar alcohol dapat membunuh kuman, namun tidak berarti semua kuman mati. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, hand sanitizer dengan kadar alcohol minimal 60% dapat mecegah kita sakit atau menyebarkan kuman yang menempel pada kita pada orang lain. Namun hand sanitizer sebaiknya hanya digunakan ketika tidak ada air dan sabun tersedia. Yang perlu diperhatikan adalah gunakan dalam jumlah yang cukup dan biarkan hand sanitizer di tangan kering sendiri.

Buka jendela daripada terjebak AC
Menurut artikel yang dipublikasi oleh BBC di awal pandemi tahun lalu, udara segar adalah salah satu cara menghindari penularan virus Covid-19. Karena itulah, di ruang terbuka lebih aman daripada ruangan yang tertutup dan ber-AC. Secara umum, udara segar memang lebih baik daripada ruangan ber-AC yang selain tidak sehat, juga seringkali membuat kulit jadi kering. Meskipun saat ini varian Virus Covid konon bisa menyebar lewat udara sih, jadi kita tetap harus berhati-hati meskipun sedang berada di tempat terbuka.

04 July 2021

5 Ide Self Love untuk Ibu Tunggal: Jangan Lupa Bahagia

“Loh, kok lo pergi sendiri, Dudu ditinggal?”

Pernah dapat pertanyaan yang biasanya memicu rasa bersalah ini? Saya sering. Apalagi, sebagai ibu tunggal, saya sering dapat wejangan kalau anak saya hanya punya ibu. Jangan sampai dia kekurangan kasih sayang dan perhatian. Hadeeh. Tunggu dulu, melakukan self-love bukan berarti kita sebagai ibu meninggalkan kewajiban mengurus anak.

Memangnya apa sih Self Love itu?

Basically, self-love itu mencintai diri sendiri. Bukan berarti egois, tapi menerima diri sendiri apa adanya dan mengutamakan kebahagiaan diri. Sebagai ibu tunggal, seringkali saya lupa bahwa saya juga berhak bahagia. Sibuk mengurus anak, mengurus rumah dan kerja cari uang, yang semuanya buat orang lain. At the end of the day, jadi lelah, capek, dan akhirnya anak juga yang jadi korban emosi.

Yuk, dimakan roti curhatnya biar tenang

“Duh, gw udah lama nggak nge-gym nih,” komentar seorang teman beberapa waktu lalu. Pas itu gym baru dibuka lagi setelah pandemi. Membership si teman masih aktif. Masalahnya sekarang adalah seorang bayi berusia 3 bulan yang butuh segenap perhatian. Ketika saya tanya “kenapa nggak?” Jawabannya standard “gue nggak mungkin ninggalin anak gue dong.” Well, tadi yang kepengen nge-gym dan sayang sama membership-nya kan dia juga ya.

Tapi bisa ya, melakukan self-love tanpa meninggalkan anak?

Di masa pandemi begini, 'me time' bisa dilakukan di rumah. Misalnya ganti sabun dan jadikan waktu mandi lebih seru atau nonton drakor dengan tema Single MomMeskipun menurut saya ‘me time’ adalah self-love terbaik karena kita benar-benar bisa fokus pada diri sendiri, namun ada beberapa hal yang bisa kita lakukan tanpa benar-benar berpisah dengan anak. Fokusnya lebih kepada merubah mindset dan memulainya dari hal kecil atau yang terlihat remeh.

5 hal berikut ini bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja.
  1. Berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ini termasuk dengan pasangan baru mantan suami, kakak atau adik yang juga sudah menjadi seorang ibu, dan teman-teman lain di sekeliling saya yang mungkin keluarganya utuh. Dan termasuk juga membandingan gaya parenting saya dengan ibu-ibu lain, atau dengan orang tua kita dulu.

  2. Punya target dan berikan reward untuk diri sendiri setiap berhasil mencapainya. Targetnya tidak harus besar, tapi rewardnya adalah sesuatu yang kita memang sukai. Contohnya, kalau hari ini berhasil menyelesaikan tumpukan setrikaan, maka saya berhak atas 30 menit duduk menikmati kopi. Dengan begini, rasa bersalah akan ‘me time’ bisa berkurang. Dan rewardnya sebisa mungkin harus segera diambil di hari yang sama.

  3. Berani menolak dan mengatakan ‘tidak’ pada hal-hal yang memang tidak sesuai dengan kemampuan dan keinginan kita. Misalnya ada teman pinjam uang atau orang tua menyuruh kita menikah lagi padahal kita belum siap. Sadar bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang dan ketika kita harus punya prioritas, tentunya diri sendiri (dan anak) yang jadi prioritasnya.

  4. Memaafkan diri sendiri. Stop menyalahkan diri sendiri untuk hal-hal yang sudah terjadi dan memang di luar kendali seperti “anak kurang kasih sayang karena ayahnya tidak ada”. Yang namanya manusia tentunya tidak luput dari kesalahan, dan kalau kita bisa memaafkan orang lain, kenapa tidak dengan diri sendiri? Memaafkan diri sendiri pun dimulai dari yang kecil, misalnya memaafkan kalau hari ini jadi pesan makanan daripada masak sendiri karena kita sedang lelah.

  5. Jangan takut untuk mengambil keputusan untuk kebahagiaan diri sendiri, termasuk memutuskan hubungan dengan toxic people. Dulu waktu masih anak-anak, sering kali orang tua yang memutuskan segala sesuatunya. Saat menikah, banyak teman saya yang ‘mengikuti suami’ dan memberikan hak tersebut pada orang lain lagi. Dan setelah jadi ibu tunggal, kita secara tidak sadar membiarkan anak dan lingkungan yang memegang kendali. Coba sempatkan berpikir, apa yang bisa kita putuskan sendiri. Kalau masih belum pede memutuskan hal besar seperti mau pindah tempat tinggal, bisa dimulai dari hal yang terjadi sehari-hari tapi cukup berpengaruh dalam parenting. Misalnya, kapan anak boleh pegang gadget.
Mudah untuk disebutkan, tapi saya sadar hal-hal ini sulit untuk dilakukan. Soalnya begitu jadi ibu, otomatis saya fokus ke semua kebutuhan anak. Belum lagi saya juga sandwich generation yang juga mengurus orang tua di rumah. Mulai saja dari hal-hal kecil yang memang terjadi sehari-hari dan tidak akan menimbulkan gonjang-ganjing bila dilakukan. Soalnya, biar bagaimana pun, self-love itu penting buat ibu tunggal. 

Soalnya kalau ibunya tidak bahagia, gimana anaknya mau bahagia?

15 June 2021

Perempuan & Menulis di HUT IIDN: Arti Tanggung Jawab terhadap Hasil Karya

Menulis buku itu seperti melahirkan anak. Sesuatu yang harus diperjuangkan, dibesarkan dan diberi asupan gizi.

Sebagai seorang ibu, tentunya saya bisa relate dengan statement dari narasumber talkshow “Perempuan dan Menulis” yang merupakan bagian Festival Perempuan Indonesia Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis 11 Tahun IIDN Berkarya
 bulan Mei lalu. IIDN yang didirkan di Bandung tahun 2010 oleh Indari Mastuti menghadirkan kegiatan kepenulisan setiap harinya di FB grup, dan juga mendukung anggotanya dengan menerbitkan antologi secara indie.


Menghadirkan dua perempuan penulis dengan latar belakang sarjana eksakta, talkshow ini memberikan padangan yang berbeda untuk saya dan kenapa saya, sebagai seorang perempuan, memilih untuk menulis. Dua narasumber yang hadir di Sabtu pagi itu memiliki banyak kesamaan. Kirana Kejora, seorang scriptwriter dan Founder Elang Tempur, dan Widyanti Yuliandari, Ketua Umum IIDN yang juga seorang writer dan blogger, bertemu dengan tulisan ketika sedang self-healing.

Masuk di jurusan yang bukan passionnya, Key, panggilan akrab Kirana Kejora, melepas keinginannya masuk sastra berhasil tamat dengan gelar insinyur demi memenuhi amanat ibunda. Tidak tanggung-tanggung bidang yang ditekuni adalah Kelautan. Dalam salah satu perjalanan risetnya ke Raja Ampat, Mbak Key merasa bahwa kok mubazir jika tidak dituangkan dalam tulisan. Dari setiap perjalanan risetnya kemudian lahirlah novel-novel yang berlatar belakang kekayaan alam dan budaya Indonesia. Novel-novel yang kemudian dijadikan film.

“Menulis itu self-healing. Bagi saya, 15-16 tahun lalu menulis itu obat sakit jiwa,” kenangnya saat berbagi pengalaman hidup di talkshow. “Daripada ‘sakit jiwa’ lebih baik menulis. Karena kalo jiwanya sehat, fisiknya bisa bekerja.”

31 May 2021

Mencoba Skincare Untuk Pemula

“Mama, tadi apa kata peramalnya?”
“Katanya Mama terlalu tomboy, perlu lebih feminin.”


Sebagai anak perempuan super cuek yang hobinya main console, rebahan dan baca komik, yang namanya perawatan muka ini ada di prioritas nomer sekian. Karena satu dan lain hal, saya ikut teman pergi ke semacam peramal, yang kemudian menasehati saya agar lebih feminine sedikit. Lebih dandan, jangan pakai warna gelap dan jangan terlalu cuek sama penampilan. Lalu kata si ‘orang pintar’, yang dapat dukungan dari lingkungan sekitar saya, sepertinya tidak ada yang salah dengan jadi sedikit lebih feminine.

Apalagi kalau menyadari bahwa boyband K-pop kesukaan saya itu punya skincare routine sampai 8 atau 10 step. Masa saya yang perempuan beneran, bisa kalah?

Tidak mungkin langsung 10 step sih memang. Jadi, bagaimana kalau dimulai dari yang super simple dulu: 3 step saja yaitu pembersih wajah, serum dan krim. Let’s start with Skincare, small changes.



Kebetulan Scarlett Whitening punya skincare juga, produk baru dalam bentuk cream untuk wajah. Ada dua macam yaitu Acne Series (yang warnanya ungu), dan Brightly Series (yang warnanya pink). Meskipun saya senang warna ungu, tapi karena kulit wajah saya tidak bermasalah jerawat dan lebih bermasalah dengan pori-pori besar, saya akhirnya mencoba Brightly Series yang lebih fokus untuk menyamarkan pori-pori, garis halus dan mengencangkan kulit wajah. Selain itu, Brightly Series juga meningkatkan kelembaban dan elastisitas kulit, membantu mencerahkan kulit dan memudarkan bekas jerawat. Jadi pas untuk kebutuhan saya.

Anyway, 3 step yang tadi apa saja?

Kiri-kanan: Step 1 (Facial Wash), Step 2 (Serum), Step 3 (Krim)

26 May 2021

Main Game bareng Anak Remaja, Main Game Apa?

Saya suka main console sama Dudu. Sama-sama penggila PS4, yang kalau sudah depan TV bisa sama-sama diamuk si Oma karena lupa mandi dan makan.

“Kamu ini males banget sih, main PS aja seharian.”
“Lho, menurut Mama, ini menurun dari siapa?”
Jreng, jreng!


Emangnya kita berdua ini main game apa sih?

Koleksi Game PS4 saya dan Dudu

Game PS tidak selamanya tembak-tembakan, seram dan sadis. Meskipun game macam God of War dan Final Fantasy VII yang menurut saya seru banget itu juga bukan game kids friendly. Bukan game yang akan lulus sensor emak-emak pada umumnya. Jadi di sini, saya memilih game yang, if I can argue, berfaedah bagi seorang Mama dan anaknya. Percaya atau tidak, ada banyak pelajaran tentang bagaimana cara jadi orang tua di game-game ini.


19 May 2021

Single Mom dan Parental Burnout

Pernah merasa lelah jadi orang tua? Saya pernah. Dan nggak seperti pekerjaan yang bisa ‘ditinggal’, jadi orang tua itu komitmen sepanjang jaman.

Bulan depan, saya 15 tahun jadi single mom. Takjub juga bisa bertahan segitu lama, padahal tidak sekali dua kali saya merasa capek, merasa sendirian dan kayaknya mau udahan aja. Seperti waktu saya nonton konser NKOTBSB tahun 2012 lalu. Anak saya masih 5 tahun, saya tinggal menggejar impian ketemu Nick Carter. Tentu saja kepergian itu diiringi “cibiran tetangga” dan “komentar tante” yang merasa saya egois.


Di tempat konser, saya bertemu banyak mama-mama seumuran yang tiba-tiba kembali jadi ABG. Dan percakapan mereka begini:

“Eh, anak gimana?”
“Gue titip laki gue lah.”


Kalau yang punya pasangan, anak bisa dioper. Kalo yang single mom kayak saya, ada siapa? Kalau ibu bekerja yang punya pasangan, uang bisa dipakai beli tiket konser. Ada pasangan yang bantu beli susu. Kalo saya, mau berbagi biaya sama siapa?

Eits, ini bukan berarti saya lantas sedih lalu lelah dengan keadaan dan pasrah ketika burnout. Soalnya, sama seperti burnout yang lainnya, parental burnout ini juga berbahaya. Lebih berbahaya malah, karena efeknya bisa ke anak.

Apa itu Parental Burnout? Psikolog Herbert Freudenberger mendifinisikan burnout sebagai "kondisi kelelahan mental dan fisik yang disebabkan oleh kehidupan profesional seseorang". Parental Burnout dijelaskan sebagai rasa lelah fisik, mental, dan emosional pada orang tua saat mengasuh anak. Hal ini terjadi ketika rasa lelah melebihi kebahagiaan mengasuh dan memiliki anak. Di tengah pandemi begini, ketika kita harus 24 jam bersama anak di rumah, parental burnout dapat terjadi.

Kebanyakan orang tua, termasuk saya, biasanya tidak berani mengaku karena akan menghadapi judgement dan tekanan masyarakat. Masa mengurus anak sendiri bisa burnout? Well, lihat ke diri sendiri dan akui kalau memang burn out. Burnout-nya memang sementara, tapi efeknya ke anak bisa selamanya. Trus gimana dong?

Ada beberapa hal yang saya lakukan:

27 April 2021

Mama ‘Me Time’: Menemukan Rutinitas Mandi Lebih Seru

“Ma, ini sabun?”
Dudu menemukan botol warna ungu di kamar mandi. Biasanya cuma ada sabun cair standard saja.
“Shower Scrub. Mirip sabun, tapi kalau pakai ini mandinya berasa lebih bersih.”

Bingunglah anak cowok semata wayang saya itu. Tiba-tiba Mama-nya jadi suka mencoba hal-hal baru. Haha.

(left to right) Scarlett Whitening Body Lotion Freshy, Brightening Shower Scrub Pomegranate & Body Scrub Romansa

Sejak Work From Home (WFH) setahun yang lalu, saya banyak mager-nya. Semua rutinitas jadi tidak spesial. Bangun tidur, mandi, bikin kopi lalu duduk di ruang tengah untuk bekerja. Kalau weekend, sesekali ke luar rumah bertemu teman atau ‘staycation’ ke rumah adik saya untuk ganti suasana. Meskipun jarang bertemu orang lain secara offline selain si Dudu, saya ternyata tetap butuh ‘me time’, break time dari bekerja biar nggak stress. Jadi, saya memutuskan untuk mengganti sabun dengan body care baru.

25 April 2021

Yang Ditunggu di Bulan Ramadan Itu Buka Puasa Bareng Teman

“Bukber, yuk!”

Ajakan yang datang di bulan Ramadan ini jadi kebiasaan paling seru, dan buat saya ini salah satu praktek nyata belajar toleransi. Meskipun yang selalu terjadi adalah jumlah yang puasa pada hari itu lebih sedikit daripada yang memang atau sedang tidak berpuasa. Atau malah tidak ada yang lagi puasa sama sekali.

“Hah, jadi yang puasa elo doang nih?”

Saya masih ingat kejadian bukber hampir satu dekade lalu, reuni teman kampus di Jakarta. Perdana kita bertemu lagi setelah lulus dan bekerja. Masing-masing mengenalkan, pasangan dan anaknya. Pas menjelang maghrib baru ketahuan yang hari itu puasa hanya satu orang.

“Ya, elo semua temenin gue buka puasa gitu ceritanya.” Jawab si temen ini sambil tertawa.

Bukber begini selalu bikin kangen

Kebiasaan pertama saya di Bulan Ramadan adalah bikin dan rajin ikutan acara buka puasa biar bisa ngumpul sama teman-teman. Meskipun ternyata satu geng lagi pada tidak puasa, dan kita tetap tidak makan sampai Adzan karena tidak enak sama orang-orang satu food court. Yang ini kejadian beberapa tahun lalu. Rencana bukber di food court Senayan City, datang terlalu mepet dan baru dapat tempat duduk setelah penuh perjuangan. Setelah makanan datang kita semua (termasuk Dudu) ngobrol sambil menunggu adzan.

“Makan aja dulu itu Dudu ntar laper,” kata salah satu teman.
“Eh, ga apa-apa. Ngga enak kan sama kalian yang puasa.”
Dari situ satu-satu mendadak mengaku kalau sedang tidak puasa.
“Jadi kita percuma saja menunggu?” Tanya Dudu.

Kebiasaan kedua saya di Bulan Ramadan adalah mengingatkan kepada Dudu tentang arti toleransi. Sejak kecil, Dudu sudah saya bawa pergi buka puasa. Jadi sudah tahu kalau dia harus menunggu beduk sebelum ikutan makan meskipun tidak puasa. Sudah paham juga kenapa teman-temannya ada yang berpuasa.

Tapi kejadian di food court Senayan City itu mengajarkan satu toleransi tambahan, bahwa “peraturan” menunggu beduk bukan cuma untuk yang satu meja. Tapi satu food court. Toleransi itu bukan hanya untuk teman-teman yang kita kenal, tapi juga orang asing. Jadi tahun-tahun berikutnya, kalau saya makan di depan umum, saya yang ditegur Dudu. Haha.

“Hore udah adzan, kita bisa makan!”
Teman-teman se-geng bukber saya langsung melahap habis makanan satu piring. Sementara saya sibuk dengan kolak.
“Lo kok makan kolak, sih?”
“Loh, bukan katanya berbukalah dengan yang manis?”

Yak, sukses jadi bahan tertawaan satu meja gegara kebiasaan ketiga saya: Makan kolak pas buka puasa.
Kolak Biji Salak favorit
(photo taken from Kompas Travel)

Tapi ini ini memang sudah dilakukan dari kecil sih. Buat saya, buka puasa itu kolak. Jadi meskipun tidak puasa, biasanya saya yang paling heboh cari kolak di tempat buka puasa. Kolak pisang, kolak ubi, atau yang sudah dimodifikasi pakai delima, sagu mutiara dan kolang-kaling. Dan ini berlanjut sampai saat saya bekerja di media. Pergi undangan buka bersama all-you-can-eat di hotel bintang lima. Saat rekan sejawat sudah heboh mengambil nasi kebuli, roast beef dan makanan lainnya, saya malah sibuk dengan semangkuk kolak.

“Katanya, kalau puasa kan perut seharian kosong, jadi nggak baik kalo langsung diisi makan berat. Makanya ada takjil,” jawab saya ketika seorang teman bertanya. Mengutip apa yang saya dengar dari teman lain beberapa waktu lalu.

“Tapi elo kan ga puasa.”

Ya, iya juga ya hahaha. Susah memang menghilangkan kolak dari waktu buka puasa. Apalagi kolak ubi kuning atau kolak biji salak.

Buka bersama jadi lebih sulit dilakukan di dua Ramadan terakhir karena pandemi. Buka puasa jadi banyak virtualnya dan di rumah, pas buka puasa jadi sepi. Chat kantor hening, grup WA juga tidak ada yang bersuara. Padahal kalau saya di kantor, jam 5 biasanya sudah ikut heboh “mau berbuka dengan apa hari ini?” lalu ikut sumbang suara. Sekarang, karena work from home, kalau adzan maghrib terdengar, saya mencari kegiatan lain. Jadi sepi.

Berharapnya sih Ramadan tahun depan sudah kembali normal dan semua kebiasaan ini bisa dilakukan lagi. Jadi saya bisa berburu kolak di restoran tempat bukber. Soalnya di tiap tempat itu kolaknya berbeda. Yang paling standard ini kolak pisang dan biasanya saya lebih senang beli di pinggir jalan. Lalu ada kolak biji salak atau candil. Yang ini saya agak picky karena susah mendapatkan kekenyalan yang tepat. Yang terbaru, si biji salak ini dibuat pakai ubi ungu jadi warnanya ungu. Yang ini biasanya saya cari di restoran atau food court di mall. Lalu ada kolak ubi biasa, yang hanya dipotong-potong tanpa jadi biji salak dulu, dan kolak singkong.

Duh, menulis blog post ini, jadi kepengen beli kolak.




24 February 2021

Belajar Bahasa Baru di Usia 30

Sering kita dengar bahwa anak-anak belajar bahasa lebih cepat daripada orang dewasa. Bahkan saat mengikuti kursus belajar bahasa Korea beberapa waktu lalu pun saya merasa bahwa saya tertinggal jauh dibandingkan teman-teman satu kelas yang rata-rata masih kuliah atau baru mulai bekerja.

30 adalah usia sebenarnya menjadi dewasa, setidaknya untuk otak kita. Ahli neuroscience dari Harvard, Leah H. Somerville, menulis di jurnal Neuron bahwa volume otak secara keseluruhan berkembang maksimal pada usia 10 tahun, dan otak bagian belakang berkembang sempurna di usia 20-an. Namun bagian otak depan masih membentuk jaringan baru hingga usia 30 tahun. Rasanya lega, soalnya saya masih bisa belajar bahasa Korea meskipun umur sudah mendekati kepala 4.

Saya vs Dudu pernah belajar bahasa Jawa

Kemampuan berbahasa asing penting karena dapat meningkatkan percaya diri, memperluas networking, menjadi nilai tambah saat melamar kerja serta meningkatkan kerja otak. Mark Antoniou, Psycholinguist dari Western Sydney University-Australia menulis di Annual Review of Linguistics, bahwa menguasai dan menggunakan setidaknya dua bahasa secara rutin dapat menunda timbulnya Alzheimer.

Di kelas-kelas kursus Bahasa Korea, saya sering jadi murid paling tua. Tapi dengan mengetahui teknik yang tepat, terutama setelah menyadari bahwa kemampuan penyerapan bahasa asing saya tentunya lebih lambat dari “anak-anak muda” ini, saya bisa mengikuti pelajaran dan akhirnya lulus les bahasa Korea dengan nilai tak kalah bagus.

Jadi, apa yang saya lakukan?

Berdamai dengan Ekspektasi

Saya terakhir belajar bahasa asing dengan benar ketika saya SMA. Belajar bahasa Perancis dan lulus ikut ujian standardisasi. Hanya dalam waktu 6 bulan ikut kelas intensif sudah bisa ngobrol kanan kiri. Hampir dua dekade kemudian, saya belajar bahasa Korea karena terjerumus ke dunia Kpop. Eh, kok susah. Ikut kursus sudah 6 bulan baru bisa dasarnya, tulisan Hangul saja tidak hafal-hafal. Apalagi menurut penelitian, untuk jadi fasih, sebaiknya mulai belajar bahasa sebelum usia 18 tahun. Saya auto merasa bodoh.

Idol favorit saya pernah acting jadi guru bahasa.

Ternyata ekspektasi saya ketinggian. Tadinya menyalahkan usia, tapi ternyata kesibukan juga turut menyumbang lambatnya perkembangan bahasa Korea saya. Les bahasa 2x seminggu, terkadang bolos karena lembur. Bikin PR last minute karena tidak sempat mengulang pelajaran di luar les. Tentu saja hasilnya tidak sebanding dengan jaman SMA yang bisa review lebih intense. Jadi, sebelum memulai belajar, lihat ke diri sendiri dan jadwal sehari-hari. Berapa banyak waktu yang ada untuk belajar bahasa asing dan sesuaikan ekspektasi kita.

Set Personalized Target

Ada dua macam target: jangka panjang dan jangka pendek. Ketika memutuskan untuk belajar bahasa Korea, saya punya mimpi harus bisa at least bertanya jalan kalau saya nyasar di Korea pas liburan suatu hari kelak. Target jangka panjang saya tidak ada waktunya. Target jangka pendek ada deadline-nya. Misal, saya harus bisa menghafal 10 karakter Hangul setiap minggunya. Dalam 1 bulan, saya harus menambah 10 kosakata baru.

Lebih seru lagi kalau target-target ini dibuat personalized. Saya follow social media penyanyi Kpop favorit saya dan saya punya target setidaknya dapat membaca postingan mereka yang dalam tulisan hangul tanpa melihat kamus. Ketika saya naik ke level berikutnya di tempat kursus, target saya menjadi ‘memahami postingan idol Kpop tanpa melihat kamus’.

Mencari jalan keliling Korea Selatan

Personalized target juga jadi motivasi tersendiri agar tidak mudah menyerah di tengah jalan karena ada reward yang didapatkan. Misalnya, dengan berhasil me-reply postingan idol favorit di media sosial dengan tulisan Hangul, saya merasa kesempatan untuk dipahami oleh sang idol jadi lebih besar. Atau ketika bisa merespon pertanyaan idol di konser tanpa harus menunggu penerjemah, rasanya sudah seperti dapat sertifikat kelulusan. Motivasi yang sama inilah yang membawa saya belajar bahasa Inggris saat SD dulu.

Belajar Secara Konsisten

Sudah set ekspektasi dan punya motivasi, sekarang saatnya tips belajar bahasa asing yang saya praktekan untuk mengejar ketertinggalan dengan teman-teman sekelas.

Yang pertama adalah mengulang tiap hari. Bekerja full-time dan sering lembur, menyisihkan waktu setiap hari untuk belajar adalah tantangan. Jadi instead of 30 menit fokus belajar setelah pulang kantor dengan keadaan lelah, saya menyisipkan 5-10 menit untuk review vocabulary lewat aplikasi belajar bahasa atau scrolling instagram idol Kpop saat jalan dari meja ke kamar mandi. Jaman masih WFO, saya menghabiskan perjalanan di mobil mendengarkan podcast belajar bahasa Korea di Spotify.

Aplikasi kesukaan saya buat belajar Bahasa Korea adalah memrise

Yang kedua, bergabung dengan komunitas di Facebook Group atau mengikuti media sosial komunitas sambil rajin memberikan comment dan interaksi. Kalau ada temannya, belajar jadi lebih mudah dan semangat. Yang terakhir adalah jangan lupa praktek. Menulis dan membaca bisa dari media sosial. Mendengar bisa lewat nonton IG Live atau Youtube idol Kpop. Kalau speaking? Saya mau tidak mau harus ikut kelas untuk bisa ngobrol. Sejak pandemi, banyak conversation class lewat zoom, yang bisa diikuti untuk latihan berbicara.

Buat saya yang lebih suka boyband daripada film, karaoke jadi cara paling efektif buat belajar bahasa. Karena saat karaoke, kita bisa belajar 2 hal sekaligus yaitu membaca dan melafalkan kata dengan benar.

Let me end this story with a happy ending.

Saya akhirnya jalan-jalan ke Korea, setahun setelah saya memutuskan untuk belajar bahasanya. Di sana saya berhasil bukan hanya bertanya jalan seperti target semula tapi bisa mengarahkan supir taksi di Seoul, menjelaskan masalah kepada petugas bandara di Jeju, memesan makanan serta membeli tiket bus di Sokcho yang penduduknya mayoritas tidak mengerti bahasa Inggris.


Akhirnya kami berdua mendarat juga di Korea - dan bisa praktek bahasanya

Intinya, jangan menyerah walaupun progress kita mungkin tidak secepat anak-anak remaja yang baru dengar sekali lagu Kpop bisa langsung hafal liriknya. Belajar bahasa baru sampai lancar di usia lebih dari 30 tahun itu mungkin karena memang tidak ada kata terlambat untuk belajar.

13 February 2021

Mengenalkan Peluang Kerja Green Jobs Kepada Anak Indonesia

Beberapa waktu lalu, saya dan Dudu ngobrolin cita-cita. Pertanyaan yang akan terus selalu ada. “Kamu mau jadi apa?” Waktu TK, Dudu mau jadi Nelayan (atau yang dia sebut Pemancing). Waktu SD pindah haluan jadi Youtuber Game karena dia suka main game. Spesifik banget ya. Sekarang sudah SMP malah tidak tahu mau jadi apa. 

Menyadari bahwa cita-cita seorang anak muncul dari hal-hal yang ada di sekelilingnya, saya merasa wajib mengenalkan konsep dan peluang green jobs kepada Dudu, anak saya yang sekarang sudah berusia 14 tahun ini. Soalnya, tak kenal maka tak sayang.
Mama: Mau coba di sektor green jobs?
Dudu: Apa itu green jobs?
Mama: Yang berhubungan dengan sustainability.
Dudu: Tukang sampah?
Mama: Nggak harus sampah sih.
Dudu: Kalau begitu petani?
Mama: Urban Farming dong. Kan di tengah kota, di atap rumah gitu keren.
Dudu: Itu tetap saja disebut dengan petani, Ma.

Petani kebun sendiri sedang panen jeruk

Perubahan cita-cita si Dudu yang lumayan drastis dari Nelayan jadi Youtuber ini tentunya tidak lepas dari perkembangan teknologi. Anak saya masih merasakan jaman Nokia 3310, ketika telepon ya kalo nggak buat telepon ya buat SMS sama main game snake. Sekarang Dudu yang SMP mau naik SMA ini belum punya cita-cita baru yang dia yakin pasti mau diikuti. Makanya, begitu saya mendengar tentang green jobs ini saya merasa harus ikut webinarnya dan memperkenalkan jenis pekerjaan ini ke Dudu.

30 January 2021

Iseng-iseng bikin Hot Chocolate di Musim Hujan

Resep hot chocolate yang ini dapatnya dari main Overcooked 2 di PS4 sama Dudu.

Dimulai dengan kita berdua yang ngedate-nya pindah jadi di rumah aja, main PS4. Karena saya WFH dan Dudu sekolah dari rumah, jadi saya install wifi di rumah. Jadi untuk pertama kalinya, kita berdua main PS4 pakai wi-fi. Awalnya sempat khawatir karena wifi akan membuka banyak hal termasuk game gratisan, forum dan menemukan teman baru lewat aplikasi PS Store. Takutnya seperti membuka kotak Pandora.

Tapi ternyata dengan adanya wi-fi ini, ada banyak level DLC gratisan yang bisa kita download dan saya jadi hemat karena untuk sementara waktu tidak perlu beli game PS4 baru. Beberapa level baru yang jadi pengisi kebosanan saya dan Dudu di akhir pekan adalah Winter Wonderland dan Chinese New Year. 


Kenapa kami berdua suka main Overcooked? Soalnya game ini bisa dimainkan berdua, atau sampai berempat kalau stick PS-nya ada 4. Jadi sekeluarga bisa main. Game yang mengedepankan team work bisa bikin saya dan Dudu makin kompak (atau malah berantem hehe). Bisa dibaca review lengkapnya di sini ya.

Yang jadi masalah buat saya adalah Dudu suka masak, tapi jarang punya kesempatan. Nah, game Overcooked ini biasanya lantas menginspirasi dia untuk mencoba masakan. Karena saya tidak bisa masak (selain roti bakar keju dan indomie) jadi pusing sendiri kalau Dudu mulai bilang “kita coba itu yuk, Ma.” Soalnya di game kan hanya campur-campur saja ya. Untungnya di Overcooked 2 versi Winter Wonderland ini, ada satu stage di mana kita harus buat hot chocolate.

Nah ini gampang. Sepertinya.

Bahan (menurut Overcooked):
  • Cokelat Masak (saya pakai dark chocolate)
  • Susu Putih (saya pakai UHT)
  • Mashmallow 

Cara memasak:
  • Panaskan cokelat hingga meleleh di panci. Jangan pakai api besar. Idealnya melelehkan coklat itu menggunakan dua panci, jadi tidak langsung kena api. Tapi untuk kali ini, saya menggunakan satu panci anti lengket.
  • Hangatkan susu di panci berbeda lalu campurkan ke panci berisi cokelat. Jangan masukkan susu dingin atau room temperature karena cokelatnya bisa menggumpal. Saya dan Dudu lebih suka cokelat yang banyak, jadi kita mencampurkan cokelat masak hingga setengah gelas lalu baru dicampur susu dan diberi marshmallow di atasnya.

Hasilnya berantakan haha. Tapi rasanya enak karena masak hot chocolate sepertinya susah untuk gagal. 


Lalu yang benar gimana? Karena penasaran, saya akhirnya Googling “homemade hot chocolate” dan menemukan beberapa cara.
  1. Susunya yang dipanaskan duluan. Setelah itu baru masukkan cokelat dan gula sambil diaduk-aduk.
  2. Pakai dua jenis coklat. Yang pertama coklat bubuk buat base-nya, dan tambahkan chocolate chip/cokelat masak kalau mau lebih kental adonannya. Wajib pakai susu biar creamy.
  3. Ada yang menyarankan pakai vanilla powder juga biar lebih enak.
Oke deh, next time kita coba masak lagi.