Konferensi Perempuan Indonesia 2023 versi online, yang diselenggarakan oleh Ibu Profesional memang sudah berakhir. Banyak manfaat yang dibawa pulang dari kesempatan menghadiri tema Konferensi Perempuan Indonesia 2023, “Menguatkan Akar Gerakan Perempuan Indonesia,” ini.
Meskipun dilaksanakan secara online, keseruan acara KPI tidak berkurang karena dilaksanakan secara interaktif. Ada tanya jawab dan ada diskusi langsung antar peserta lewat chat dan pengisian peta konsep yang dilakukan secara bertahap setiap selesai acara.
Di bidang pendidikan ada sebanyak 75 peta konsep yang dibuat, lalu di bidang kesehatan ada 33 peta konsep. Selanjutnya di bidang ekonomi ada 16 peta konsep, bidang sosial budaya ada 6 peta konsep, dan di bidang lainnya ada 35 peta konsep yang terkumpul. Saya ada di “bidang lainnya” karena bingung mau menempatkan peta konsep saya yang berhubungan dengan pemberdayaan perempuan khususnya ibu tunggal ini di sebelah mana.
Selain peta konsep, ada juga padlet sinergi, yaitu diskusi dengan sesama peserta yang memiliki peta konsep di bidang yang sama. Bersinergi ini seru karena kita yang ada di dalam kelompok, merencanakan gerakan dan berdiskusi dalam waktu 3 jam saja. Kolaborasi ini menghasilkan 18 aksi yang siap dieksekusi. Meskipun dilaksanakan secara online, ternyata bisa juga membuat sebuah rencana nyata.
“Kayaknya gue punya inner child belum selesai deh. Gimana cara menyelesaikannya ya?”
Topik yang muncul di salah satu grup WA baru-baru ini membuat saya penasaran juga. Apa itu inner child? Soalnya topik Inner Child ini memang lagi banyak jadi topik obrolan. Percakapan di WA pun jadi panjang.
“Kayaknya kita perlu tahu dulu inner child artinya apa.”
“Iya bener, lalu perlu dilihat apakah inner child kita terluka sebelum pergi healing-healing.”
Emang ada inner child yang tidak terluka? Lalu, healing-nya gimana?
Daripada banyak pertanyaan dan salah pengertian, saya langsung mendaftar acara #BincangISB yang berjudul “Bertemu dengan Inner Child,” yang diadakan pada Sabtu, 19 Maret kemarin. Acara yang menghadirkan Psikolog Diah Mahmudah S.Psi, dan Psikoterapis Dandi Birdy S. Psi, para founder Biro Psikologi Dandiah ini memberikan pencerahan tentang inner child.
Menurut Teh Diah, inner child ini adalah sosok anak kecil, yang memiliki sisi happy dan sisi unhappy pada orang dewasa di masa kini. Biasanya baru bisa disebut inner child pada orang yang sudah dianggap dewasa, pada usia minimal 21 tahun. Dalam psikologi, definisi inner child ini dijelaskan oleh John Bradshaw, salah satu tokoh di dunia psikologi dan penyembuhan yang menuliskan tentang inner child di bukunya “Homecoming: Reclaiming and Healing Your Inner Child,” sebagai pengalaman masa lalu yang belum atau tidak mendapatkan penyelesaian yang baik. Jadi bisa negatif bisa positif.
Menulis buku itu seperti melahirkan anak. Sesuatu yang harus diperjuangkan, dibesarkan dan diberi asupan gizi.
Sebagai seorang ibu, tentunya saya bisa relate dengan statement dari narasumber talkshow “Perempuan dan Menulis” yang merupakan bagian Festival Perempuan Indonesia Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis 11 Tahun IIDN Berkarya bulan Mei lalu. IIDN yang didirkan di Bandung tahun 2010 oleh Indari Mastuti menghadirkan kegiatan kepenulisan setiap harinya di FB grup, dan juga mendukung anggotanya dengan menerbitkan antologi secara indie.

Menghadirkan dua perempuan penulis dengan latar belakang sarjana eksakta, talkshow ini memberikan padangan yang berbeda untuk saya dan kenapa saya, sebagai seorang perempuan, memilih untuk menulis. Dua narasumber yang hadir di Sabtu pagi itu memiliki banyak kesamaan. Kirana Kejora, seorang scriptwriter dan Founder Elang Tempur, dan Widyanti Yuliandari, Ketua Umum IIDN yang juga seorang writer dan blogger, bertemu dengan tulisan ketika sedang self-healing.
Masuk di jurusan yang bukan passionnya, Key, panggilan akrab Kirana Kejora, melepas keinginannya masuk sastra berhasil tamat dengan gelar insinyur demi memenuhi amanat ibunda. Tidak tanggung-tanggung bidang yang ditekuni adalah Kelautan. Dalam salah satu perjalanan risetnya ke Raja Ampat, Mbak Key merasa bahwa kok mubazir jika tidak dituangkan dalam tulisan. Dari setiap perjalanan risetnya kemudian lahirlah novel-novel yang berlatar belakang kekayaan alam dan budaya Indonesia. Novel-novel yang kemudian dijadikan film.
“Menulis itu self-healing. Bagi saya, 15-16 tahun lalu menulis itu obat sakit jiwa,” kenangnya saat berbagi pengalaman hidup di talkshow. “Daripada ‘sakit jiwa’ lebih baik menulis. Karena kalo jiwanya sehat, fisiknya bisa bekerja.”