24 December 2020

Mengambil Jeda di Tengah Pandemi

Jeda itu perlu. Semua yang dilakukan “from home” memberikan perspektif baru dalam hubungan saya dan Dudu.

Tahun 2020 ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pandemi yang mengharuskan saya Work from Home alias WFH dan Dudu yang sekolah dari rumah, kami jadi punya banyak waktu untuk bertemu. Saya kira semua akan berjalan mulus, senang dan lancar setelah sekian lama bertemu hanya di akhir pekan. Awal-awalnya makan siang bersama satu meja setiap hari terasa seru. Wah, ada waktu untuk keluarga. Lama-lama rutinitas baru ini malah mengganggu.

Saya merasa terpaksa keluar kamar hanya untuk makan siang (dan makan malam) karena anak dan orang tua saya sedang makan bersama di meja. Mama saya sering mengomel juga kalau kami tidak makan di jam yang sama. Sering juga meeting saya terputus karena Dudu ketok-ketok pintu kamar mengajak makan. Ketika saya tidak menjawab, dia masuk dan mengajak makan. Presentasi dan konsentrasi saya, tentu saja, buyar.

Ada yang salah? 


Well, saya menemukan satu buku berjudul “The Things You Can See Only When You Slow Down” karya seorang biksu Buddha bernama Haemin Sunim. Buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2012 mengajarkan banyak hal tentang interaksi selama pandemi. Dan bagaimana saya bisa beradaptasi dengan keadaan yang sepertinya masih akan berlangsung selama 2021 ini.


The Art of Maintaining Good Relationship / Menjaga hubungan dengan baik

Di chapter 2 ada quotes yang mengatakan “bahkan musik yang paling indah pun bisa membosankan kalau didengarkan setiap hari. Tapi musik tersebut dapat menjadi indah kembali setelah beberapa waktu. Masalahnya ada bukan pada musik, tapi pada hubungan saya dengan musik tersebut.”

Nah ini dia. Bukan Dudu yang salah. Bukan orang tua saya yang ngaco. Tapi memang saya yang tadinya tidak pernah bertemu mereka selain weekend, mendadak bertemu setiap hari lalu ilfeel. Sekarang, karena semua di rumah, saya jadi tidak pernah cerita tentang hari-hari saya sama orang tua, Dudu jarang update soal sekolah juga. Makan semeja pun tanpa suara. Malah sedih ya?

Jadi, kami kembali ke rutinitas biasa. Ansos, alias anti sosial, di weekdays dan hanya duduk makan semeja di akhir pekan. Di hari-hari sebelum pandemi, saya dan Dudu biasanya spend me-time berdua saja travelling, makan atau staycation. Sekarang waktu kami berduaan hanya pas main PS4 seharian. Tidak benar-benar nge-date. Kalau sudah tidak nyaman di rumah, saya dan Dudu akhirnya ‘staycation’ di rumah adik saya.

Soalnya ternyata, jeda itu memang perlu. 

06 May 2020

Awas, Biawak Masuk Rumah!

Salah satu fenomena ‘alam’ yang sering muncul jadi meme di masa pandemic Corona adalah kembalinya binatang-binatang ke alam bebas. Lumba-lumba dan angsa yang muncul lagi di Italy (yang lalu dibantah sebagai fake news oleh National Geographic) atau cerita tentang gajah masuk perkampungan (yang dibantah media Tiongkok). Lalu ada cerita lumba-lumba di Turki, babi hutan di tengah kota Israel dan kambing gunung yang muncul di Wales (yang ini diverifikasi BBC, katanya benar).

Semua itu di luar negeri.

Yang paling dekat (dan penting) buat saya dan Dudu adalah Biawak. 

Yang pertama heboh, ya siapa lagi kalo bukan Dudu! Coba cek chatnya di Whatsapp Grup keluarga yang membanggakan binatang peliharaan barunya ini. 

Semangatnya Dudu pamer Biawak
Astaga gede banget! 

Lebih besar dan gemuk dari terakhir bertemu sebelum Corona, meskipun sebenarnya tidak yakin juga kalau ini biawak yang sama. Bahkan saya juga tidak yakin ini biawak, kadal, buaya (buaya darat mungkin haha)? 

19 April 2020

Jalani Hidup Apa Adanya Sebagai Orang Tua

Saya tipe orang yang spontan, jadi saya menjalankan no tipu-tipu parenting style. Maksudnya? Contohnya begini, kalo keuangan lagi mepet, ngga pura-pura mampu. Kalo lagi banyak uang juga ngga bilang bokek. Sama Dudu, saya selalu bicara jujur apa adanya. Soalnya buat saya, hubungan sama anak itu harusnya bisa dijalani tanpa syarat ketentuan.

Tapi pertanyaannya, seberapa jauh kita bisa jujur sebagai orang tua?

Well, pada awalnya, saya berpikir bahwa jadi seorang ibu itu harus jadi supermom. Harus bisa segalanya. Harus sempurna. Bisa masak, bisa mengurus anak, dan bisa mengatur rumah tangga. Di beberapa kejadian, saya bertemu para supermoms ini, yang sambil kerja masih bisa menelepon ke rumah memastikan si mbak masak dengan benar, si supir menjemput anak dari sekolah dan si anak sore-sore mengerjakan PR. Saya? Telepon ke rumah pun tidak. Mama macam apa? Begitu biasanya saya bercanda. Saya tidak bisa masak, tidak pernah mengingatkan anak bikin PR lewat telepon, dan tidak ambil pusing juga. 


Anaknya belajar sendiri ngga perlu diingetin hehe
Pura-pura menyiapkan bekal anak atau pun mengajari anak belajar ujian pernah saya lakukan haha. Terpengaruh postingan para mama lain di media sosial, yang selalu menunjukkan gambar seorang ibu yang sempurna. Yang tetap cantik pas masak dan yang anak-anaknya selalu dapat nilai sempurna. Tapi ya, setelah dicoba, ternyata itu bukan saya banget.

Bagian paling sulit dari menjalani hidup apa adanya adalah ketika saya ditanya tentang status sebagai orang tua tunggal. Pada awalnya saya sulit terbuka karena faktor lingkungan dan orang tua. Di Indonesia, status single mom juga masih terdengar tabu. Kalau saya jujur, dampaknya bukan hanya ke saya, tapi ke Dudu juga. Waktu awal-awal jadi single mom, media social belum sebanyak ini, jadi tidak ada peer-pressure buat posting foto bagus. Sekarang, bukan hanya saya yang punya akun, Dudu pun punya akun Instagram (yang dia abaikan karena katanya “tidak menarik posting seperti itu”). Jadi, bagaimana membangun citra sebagai ibu tunggal yang baik di tengah postingan keluarga lengkap dan bahagia. Kan saya juga mau posting?

Lama-lama saya lelah sendiri dan memutuskan untuk ya sudah cerita saja, posting saja apa adanya. Kalau kata salah satu videonya IM3 Ooredoo, “tanpa tedeng aling-aling.” Saya sering dengar istilah itu, cuma baru kali ini paham dengan interpretasinya. Jujur sama diri sendiri, hidup apa adanya tanpa ada yang ditutupin. Daripada posting quotes galau, mendingan posting foto jalan-jalan sama anak. Ya kan? 



Saya tipe yang berteman sama anak. Kami berdua bisa menghabiskan waktu jalan-jalan, makan atau main PS4 seharian. Sama anak tidak perlu basa-basi. Apa adanya saja. Kalau saya sedih karena ulangan Bahasa Indonesianya bukan yang paling tinggi di kelas, ya saya bilang. Kalau saya senang karena ulangan matematikanya pas-pasan, saya ungkapkan juga. Meskipun bingung kenapa saya anti-mainstream dan lebih care terhadap ulangan Bahasa daripada matematika, tapi Dudu jadi tau ekspektasi saya.

Karena saya selalu jujur sama dia, dia pun kalo ngomong tanpa basa-basi sama saya dan teman-teman saya. Pernah suatu kali Dudu bilang (kurang lebih begini): orang dewasa itu berbohong supaya anak-anak menurut. Perkaranya cuma karena dia mau berenang sama teman-temannya, sementara cuaca gerimis, trus dilarang dengan alasan belum makan dan lain sebagainya. Kenapa tidak terus terang saja kalau memang tidak boleh berenang?

Begitu juga dengan tidak adanya wi-fi di rumah, jadi hidup kita bergantung pada kuota internet yang mengakibatkan Dudu tidak main game online bersama teman-teman sekolahnya. Semua orang ngumpul di PUBG atau Clash Royal atau Mobile Legend, sementara Dudu lebih suka nonton Youtube dan main RPG. Bermain dengan teman sebaya bukan lagi ketemu di mall atau nonton bioskop tapi mabar. Dudu jadi kurang akrab dengan teman-teman sekelasnya karena obrolannya tidak nyambung. 


Tapi waktu ditanya apakah kita perlu punya wi-fi, jawabannya, “Tidak perlu, Ma. Saya tidak membutuhkan acknowledgement from my friends hanya karena sebuah game. Mereka juga akan cepat bosan kalau main game.” So, kita berdua masih bertahan dengan kuota paket data masing-masing.

Sebagai pengguna IM3 Ooredoo, saya mensyukuri kehadiran produk telekomunikasi yang simple dan bebas syarat ketentuan seperti Freedom Internet. Jadi ngga pusing harus nunggu tengah malam kalau mau posting di sosmed atau download game karena sayang sama kuota utamanya. Sebagai orang yang jarang ngecek kuota, fitur Pulsa Safe dari Freedom Internet membantu banget biar pulsa ngga kepotong saat kuota habis. Soalnya saya paling kesel kalo ngga sadar kuota habis, trus baru sadarnya setelah pulsa kepotong, ikut habis dan internetnya putus. Padahal ya, salah sendiri juga ngga ngecek haha.

Ngomong-ngomong soal main PS4, pernah ada temannya Dudu yang bilang kalo dia iri karena Dudu bisa main PS4 sama Mamanya. Soalnya kebanyakan Mama yang ada ngomel saat anaknya nempel sama game dan gadget. Jadi, seharusnya dari awal saja ya jujurnya. Haha.

14 April 2020

Review & Reflection: Romance is A Bonus Book

Penasaran nonton drama yang satu ini karena tokoh utamanya seorang editor dan copywriter. Dan jarang-jarang ada drama Korea membahas struggle seorang single mom mencari kerja (dan cinta) lagi. Ini cerita tentang mengejar kesempatan kedua.

Tapi jujur, episode pertama bikin ngantuk setengah mati, soalnya drama bukan genre saya. Saya nontonnya Kingdom sama Voice haha. Atau film macam Fabricated City dan Secretly, Greatly yang kebanyakan konspirasinya. Tapi saya penasaran berat. Untungnya serial ini konfliknya stabil dan di setiap episode ada yang semacam cuplikan buku yang bisa ‘dibaca’. 
So, here we go:
Romance is A Bonus Book 

Cast: Lee Na-Young, Lee Jong-Suk 
Episode: 16 
Tahun Tayang: 2019 



Sinopsis:
Kang Dan-I adalah seorang mantan copywriter yang jadi ibu rumah tangga karena menikah dan punya anak. Sahabatnya, Cha Eun-Ho, adalah seorang penulis muda berbakat yang bekerja sebagai editor-in-chief di sebuah penerbitan buku ternama. Kemudian, Dan-I bercerai dan suaminya pergi tanpa meninggalkan uang. Dan-I yang harus mencari pekerjaan untuk bertahan hidup mengalami kesulitan karena telah lama vakum bekarir, sehingga dia secara diam-diam bekerja membersihkan rumah Eun-Ho. Akhirnya Dan-I mendapatkan pekerjaan sebagai admin staff di penerbitan bukunya Eun-Ho, yang setelah mengetahui kondisi sahabatnya itu memberikan tumpangan tempat tinggal juga.