30 December 2010

Hantu Kecil Tukang Ngemil

Karena punya sakit maag, saya suka ngemil. Apalagi saat hamil dan menyusui, di mana rasa lapar bisa menyerang setiap saat. Saya selalu sedia biskuit, keripik, wafer… semuanya ada. Kalau jalan-jalan pun saya sering berhenti untuk beli es krim atau roti untuk mengisi perut. Ternyata kebiasaan makan dimana-mana ini diperhatikan oleh putra saya, Andrew (4thn).
“Mama kok makan terus sih?”
"Soalnya kalau tidak makan nanti perut Mama sakit.”
Andrew termasuk anak yang agak sulit makan. Kalau sedang banyak ya banyak, kalau sedikit, sehari bisa hanya makan sekali. Sudah begitu, tidak semuanya dia mau makan. Kalau sudah begitu saya jadi pusing. Untung saja anak saya tidak kurus atau sakit-sakitan. Kemudian saya temukan jawabannya kenapa.
Akhir-akhir ini, saya sering kehilangan wafer kesukaan saya. Saya pikir, ah saya yang lupa sudah saya makan atau saya bawa untuk ngemil di kantor. Puncaknya waktu Sabtu dua minggu lalu (awal Desember) waktu Papa saya kehilangan keripik singkong temannya nonton TV. Wah, sampai satu rumah heboh mencari. Masalahnya keripik itu baru dibeli dan dibuka. Masa iya, keripik singkok satu kantong besar bisa lenyap begitu saja? Lalu dengan wajah tanpa dosa, Andrew lewat membawa kantong keripik singkong tersebut.
“Itu keripik Opa ya?” Tanya Papa.
“Iya, Opa.”
“Kok tinggal sedikit?”
“Dimakan hantu, Opa.” Jawabnya sambil nyengir.
Papa saya yang sudah siap marah jadi tidak tega. Ternyata kudapan kami di rumah sering dicuri hantu kecil yang juga seorang tukang ngemil. Sekarang ngemil jadi kegiatan favoritnya. Waktu mewarnai dia ngemil, waktu nonton TV dia ngemil. Sampai bikin PR pun sambil ngemil. Yang dimakan ya apa lagi kalau bukan keripik singkong si opa dan wafer coklat saya. Ya ampunnnn…



29 December 2010

Pelajaran Berharga Tentang Bumi Kita

Semua ini bermula dari semua pertanyaan:

"Ma, global warming itu apa sih?"
Tanya anak saya, Andrew, yang masih berusia 4 tahun setelah nonton film Ice Age. Entah dari mana dia dengar konsep itu, yang jelas, saya bingung menjelaskannya. Akhirnya jawaban saya simpel, "global warming itu kalau buminya rusak karena kepanasan."


Dia sih puas dengan jawaban itu, saya yang jadi tidak puas. Masa sih hanya itu yang bisa saya ajarkan kepada anak saya tentang global warming? Saya terus mencari, apa lagi ya yang bisa saya 'wariskan' pada anak saya ini, yang notabene generasi masa datang? Tinggal di apartment di tengah ibukota membuat semuanya jadi lebih sulit. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya macet, gedung-gedung yang tinggi menjulang dan langit yang kerap menghitam karena polusi. Kemarin, kesempatan tersebut datang bersama dengan pulangnya kedua adik saya dari kuliah di luar negeri. Kami sekeluarga pergi mengunjungi pulau Belitung.

Pelajaran #1: Deforestasi vs Reboisasi

Sebelum mendarat pun, Andrew sudah semangat melihat ke
jendela. "Laut, Ma, laut!" "Pulau, Ma, pulau!" teriaknya memberikan laporan pandangan mata tentang apa yang ada di bawah sana. Mendekati Belitung, Andrew semakin semangat. "Ma, ada hutan! Gede banget! Pasti banyak monyetnya ya!"
Maklum saja, itu pertama kalinya anak saya melihat hutan. Lalu, dahinya berkerut, berpikir, "Ma, kenapa di Jakarta ngga ada hutan ya? Pantesan di Jakarta ngga ada monyet." Yah, memang. Banyaknya hutan yang ditebang dan dialihfungsikan untuk tempat tinggal tanpa sadar bisa membahayakan manusia itu sendiri.

Saya jadi ingat satu buku yang sering saya bacakan sebelum Andrew tidur berjudul "Knuffel Bear" yang mengisahkan tentang beruang yang suka memeluk binatang hutan dan pepohonan. Saat seorang penebang liar hendak merusak hutan, beruang tersebut mengaum dan mengakut-nakuti si penebang tanpa hasil. Akhirnya dia memeluk si penebang dan berhasil membuatnya lari ketakutan. Intinya, si beruang menyelamatkan hutan dengan pelukannya. (Hm... ternyata tanpa sadar saya sudah sering bercerita tentang hutan kepada Andrew.) Dari situ saya bercerita pada Andrew kenapa hutan tidak boleh ditebang sembarangan walaupun kita (manusia) membutuhkan kayunya. Sekarang dia tahu kalau penebangan hutan sembarangan tanpa adanya penghijauan kembali bisa menimbulkan tanah longsor dan, tentu saja, global warming.

Pelajaran #2: Ikan dan Sampah

Hari ke-2 di Belitung, kami pergi snorkling. Andrew yang suka petualangan ikut serta. Karena belum berani menyelam dia melihat ikan-ikan dari kotak kaca yang dibawa adik saya. Kotak tersebut di pegang untuk memecah permukaan air laut sehingga Andrew bisa melihat ikan berenang diantara terumbu karang dan rumput laut. Sayangnya di tengah indahnya pemandangan, ada sebuah botol plastik yang terbawa ombak lewat di tengah-tengah kami. "Ma, ada sampah. Tempat sampahnya di mana ya?" Tanya Andrew spontan. Lah, di tengah laut mana ada tempat sampah?

Memang, saya selalu mengajarkan pada Andrew untuk membuang sampah pada tempatnya. Dia bahkan pernah memarahi seorang ibu yang membuang sampah di rumput. Saya jadi sedih kalau ingat laut-laut Indonesia yang indah seringkali sudah dicemari sampah. Pantai-pantai yang sudah komersil apalagi. Tidak ada bedanya sama jalanan di kota besar. Yang lebih parah, gara-gara menemani anak saya nonton film animasi kura-kura, saya jadi melihat sendiri bagaimana perjuangan seekor kura-kura membebaskan dirinya dari jeratan kantong plastik yang dibuang sembarangan oleh manusia. Atau bagaimana seekor gurita harus sembunyi dari minyak tumpah yang mengotori tempat tinggalnya. Miris banget jadinya. Moga-moga, laut yang indah ini masih bisa Andrew tunjukkan ke anak cucunya kelak.


Pelajaran #3: Panas vs Hujan

"Kenapa sih aku harus pake sunscreen terus, Ma?" Tanya Andrew saat untuk kesekian kalinya saya membuka tube tabir surya itu dan mengoleskannya ke badan dan mukanya sebelum kita keluar hotel.
"Soalnya panas. Nanti kulit kamu terbakar." Jawab saya.
"Gara-gara global warming ya?"

Iya. Gara-gara global warming, bukan hanya bumi saja yang rusak, tapi kita juga jadi kepanasan. Kulit bisa terbakar kalau tidak pakai tabir surya. Bisa dehidrasi kalau tidak sering minum. Semua hanya karena bumi ini jadi panas banget. Kayaknya, waktu saya kecil dulu, saya masih bisa keliling kompleks rumah naik sepeda tanpa topi, tanpa repot pakai sunscreen... sekarang, anak saya main sepeda di dalam rumah. Kalau mau keluar, harus pagi, sebelum pukul 9 atau sesudah pukul 5. Di luar itu, panasnya tak tertahankan. Demikian juga dengan Belitung. Angin pantai yang semilir tidak sanggup mengalahkan teriknya matahari.

Antara panas sekali begitu atau hujan tiada henti. Saya sekarang bingung kalau ditanya, "kita sedang musim apa, Ma?" Soalnya musimnya sudah tidak jelas lagi. Seharusnya sudah masuk musim panas pun, hujan masih datang tiada henti.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Saya selalu mengajarkan kepada Andrew untuk mulai dari hal kecil. Soal sampah misalnya. Selama di Belitung, saya kerap mengingatkan dia untuk tidak buang sampah sembarangan. Terutama jika kita berada dekat pantai. Soalnya agak susah bagi Andrew mengenali mana sampah yang dibuang manusia (botol kosong, plastik, kaleng soda, dll) dan mana 'sampah' yang datang dari laut (rumput laut, pecahan kerang, dll). Habis makan kelapa pun, semuanya harus kita bereskan kembali. Atau saat pergi ke tempat yang tidak seberapa jauh, kita sering jalan kaki berdua. Bisa juga dengan mendaur ulang karton bekas sereal dan botol bekas jus menjadi mainan. Kalau dipikir-pikir, banyak juga yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk bumi kita ini.

3 hari di sebuah pulau kecil yang tidak jauh dari Jakarta sudah memberikan banyak pelajaran untuk Andrew dan untuk saya. Yang jelas, saya tidak boleh berhenti mengajarkan konsep peduli lingkungan pada anak saya. Terutama karena kami tinggal di kota besar yang dengan mudah bisa lupa dengan yang namanya hutan, pantai, gunung dan semua alamnya.

"Bye bye pulau. Kapan-kapan Andrew main lagi ya sama ikannya!"





23 December 2010

Kenapa Ya?

Buat saya, yang paling susah bagi seorang ibu adalah menjawab “kenapa?”

Kalau logis sih bisa langsung dijawab. Kalau soal kapan Batman tidur karena siang harus kerja, malam memburu penjahat, saya juga bingung jawabnya. Akhirnya, menjadi seorang ibu membuat saya harus kreatif, selain menjelaskan jawaban, saya juga harus yakin anak saya mengerti istilahnya. Sering kali saya mati kutu karena tidak bisa memprediksi pertanyaan anak saya.

“Ma, kenapa Rabu libur kok mama ngomel?”

“Hari kejepit.”

“Kenapa kejepit Ma? Hari Rabunya tidak hati-hati ya jadi kejepit pintu?”

Lha, jawabnya gimana nih?


(Tulisan ini diikutkan ke "berbagi pengalaman menjadi ibu" Radio A untuk memperingati Hari Ibu Desember 2010)

13 December 2010

Nonton Bioskop

Film anak-anak yang bagus itu jarang.
Makanya waktu undangan ini datang ke meja saya, saya senang bukan main!


Meskipun Paddle Pop Lion dan pasangannya, Liona, tidak se-keren Power Rangers, tapi film yang sederhana mampu menghipnotis anak saya. Apalagi saya memenangkan tiket ini bersama satu set action figure Paddle Pop. Terbayang dong senangnya anak saya sudah dapat mainan, dapat tiket nonton lagi. Wah!

Menurut saya sbenarnya ceritanya agak gimanaaaa gitu, masih bagusan Kombatei deh.
Tapi karena anak saya suka, makanya saya bisa bilang ini film bagus. Kan penilainya anak-anak. Animasinya oke, jalan ceritanya cukup simpel, trus tokoh2nya juga familiar banget sama anak-anak. Apalagi anak saya juga sudah nonton Kombatei. Jadi oke deh nonton Paddle Pop lagi. Di tengah gersangnya film anak-anak, Paddle Pop Elemagika bisa jadi alternatif hiburan nih!

Sudah begitu, selesai nonton dapat es krim gratis lagi hehehe... kejutan banget. Sayangnya Movie Adventure-nya ramai sekali, jadi kita ngga berkesempatan mencoba.

Nonton bersama anak agak tricky juga. Berikut pengalaman saya nonton sama anak.

1. Pilih film yang pendek. Paddle Pop Bagus... soalnya cuman kurang lebih sejam. Terutama kalau anaknya masih balita. Ada beberapa anak yang bisa duduk diam selama 2 jam, ada juga yang bosenan. Coba sekali dengan film pendek -- or kalau ada kesempatan nobar macam Paddle Pop gitu. Betah ngga anaknya. Kalo betah boleh diajak nonton lagi. Kalo ngga, ya DVD dulu deh, sambil ngajak2 lagi tahun depan.

2. Kenalkan karakter film ke anak. Cara saya memilih film untuk anak adalah memutarkan traillernya di internet. Biar anak saya lihat. Kalau dia suka, dia bilang Oke dan kita nonton. Bahkan waktu nonton Paddle Pop Elemagika pun, saya cari traillernya di internet, sekadar mengingatkan dia tentang Paddle Pop. Memang sih dia sudah nonton Kombatei sampai berulang2 (sampe sekarang pun Elemagika tetap dibilang Kombatei), tapi supaya anak familiar dengan tokohnya, maka saya sering cari traillernya, gambarnya atau apapun yang bisa mengenalkan film tersebut ke anak saya.

3. Jangan segan untuk nonton dulu kalau anda ragu itu film bagus ngga buat anak-anak. Yah, kan bisa nonton bareng teman, suami atau siapa, sebelum anda membawa anak anda. Beberapa film seperti Sherlock Holmes dan Iron Man saya screening dulu sebelum saya ajak anak saya nonton.

4. Pilih jam sepi dan bangku paling belakang. Kenapa? Soalnya anak-anak sering ribut (ini dia kenapa saya suka ikutan kuis nobar, soalnya yang nonton bakalan anak-anak semua dan saya ngga perlu pusing mendiamkan anak saya yang suka cerewet sendiri pas nonton) dan kita sering ngga enak karena mengganggu tetangga nonton. Jangan pilih jam rame (kayak sabtu malam minggu), terutama kalau filmnya ngga anak2 banget. Oke, mungkin Rapunzel atau Megamind ngga apa-apa. Tapi kalau Harry Potter atau Tron gitu, kan banyak ABG nonton, belom yang orang pacaran. Kalo nonton pas rame jam bukan keluarga, kan ga enak juga kl anak kita nangis or rewel karena bosan. Kenapa bangku paling belakang? Supaya kalo anak ngga kelihatan dia bebas berdiri di bangku tanpa menggangu siapa-siapa.

5. Siap keluar di tengah film. Kalau anak anda rewel, jangan bela2in filmnya (kecuali anaknya bisa dibilangin). Jangan ragu untuk berhenti nonton. Rugi? Memang. Tapi ya itu resiko nonton sama anak kecil. Anak saya bosen nonton Tron (buat dia ceritanya terlalu njelimet). Tapi stelah saya bilangin, dia oke untuk nonton sampai akhir, dan kita menyelesaikan film tersebut.

6. Jawab pertanyaannya. Emang sih, anda pasti terganggu kalau di tengah-tengah film anak anda bertanya terus. "Kenapa monster api kalah sama air?" "Ma, itu Shadow Master blom mati ya?" "Ma, itu monster yang angin namanya siapa?" Tapi dengan bertanya, anak belajar, dan dia jadi mengerti ceritanya.

7. Umur berapa bisa dibawa nonton? Saya pertama bawa anak saya nonton "Happy Feet" usia 5bln. Ya ngga rewel sih, kebanyakan dia tidur sama makan doang. Usia 1 tahun dia takut gelap. jadi dia ngga nonton apa-apa. Saya latih dengan nonton DVD di kamar, dimatiin lampunya... lama-lama dia biasa. Bisa nonton lagi usia 2,5thn, film WWF yang kura-kura itu. Agak bosan memang karena documentary. Tapi sejak itu dia berani nonton gelap dan nonton sudah menjadi hobinya. Tiap nonton film dan ada trailler film baru, dia selalu pesan "minggu depan yang itu ya Ma!"

02 December 2010

“Please and Thank You!”

Siapa bilang TV selalu memberikan pengaruh buruk? Kebiasaan baik yang selalu saya ajarkan pada si kecil berasal dari sebuah serial TV.

Saya senang nonton Disney, sampai sering dapat ledekan teman. Sudah punya anak kok masi nonton kartun. Ah, biarin. Yang penting kan saya senang. Ada satu kartun Disney yang menjadi favorit saya, judulnya Kim Possible. Satu hal yang paling berkesan buat saya saat menyaksikan episode kartun ini adalah saat si mama mengingatkan anaknya untuk “always say please and thank you” (selalu berkata tolong dan terima kasih). Si tokoh utama diingatkan untuk selalu sopan dan bersyukur.
Itulah yang kemudian saya ajarkan pada si kecil. Selalu bilang “tolong” jika menyuruh sesuatu dan selalu bilang “terima kasih” saat menerima pertolongan. Ini berlaku termasuk kepada mbak dan supir. Tidak mudah memang, karena yang namanya anak-anak pasti banyak lupanya, atau malah, karena dibesarkan di keluarga berkecukupan, sering kurang menghargai bantuan orang lain. Saya yang harus rajin mengingatkan sampai jadi kebiasaan. Selain itu, saya sendiri juga harus konsisten mengatakan “tolong” dan “terima kasih” supaya si kecil melihat dan meniru.
Yang sulit dilakukan adalah saat dia menerima barang. Dia sering terlalu senang dengan hadiahnya sampai lupa bilang terima kasih pada yang memberi. Setiap kali dia lupa, setiap kali pula saya akan menghampiri dia untuk mengingatkan. “Sudah bilang terima kasih belum?” Kalau sudah ingat, dia akan berlari kembali kepada orang yang member kado untuk bilang terima kasih. Buat saya tidak ada kata terlambat untuk bilang terima kasih. Pernah suatu kali saat pergi dengan opa omanya, Andrew mendapat balon. Dia pulang ke rumah senang dan gembira sambil memamerkan balon barunya. Waktu saya tanya apa dia sudah mengucapkan terima kasih kepada yang memberi, dia menjawab dengan murung “lupa, Ma…” Ya sudahlah, pikir saya, masa mau kembali lagi ke mall?
Minggu depannya, saat saya pergi ke mall yang sama, dia menarik saya ke restoran. Saya pikir dia lapar, eh ternyata dia hanya ingin kembali dan mencari tante pelayan yang waktu itu memberikan balon. Kebetulan si tante memang sedang bekerja dan berjaga di depan. Setelah mengucapkan terima kasih, Andrew menghampiri saya dengan senyuman senang dan sebuah balon baru di tangan. “Dari tante itu lagi, Ma,” katanya.
“Sudah bilang terima kasih belum?” Tanya saya. Dan seperti dugaan saya dia lupa dan langsung berlari kembali untuk bilang terima kasih lagi. Kali ini untuk balon yang ada di tangannya. Kalau tidak, saya minggu depan terpaksa balik ke mall lagi dong. Tapi namanya juga menanamkan kebiasaan baik pada si kecil. Mana bisa sekali dua kali langsung berhasil? Jadi orang tua kan memang harus pantang menyerah, seperti mamanya Kim Possible yang di setiap episode tidak bosan-bosannya mengingatkan, “remember, Kim, always say please and thank you,” saat anaknya berjalan keluar pintu rumah.

01 December 2010

Ngapain Sih Ikutan Lomba?

Baru-baru ini saya ditanya "kamu ikutan lomba tujuannya apa sih?"

Saya bingung jawabnya.Emang ikutan lomba harus ada tujuannya ya? Saya pribadi ngga suka kompetisi. Buat saya lebih baik menghindari persaingan daripada harus berjuang. Piala saya cuman 1, itu pun saya ngga tau kalau ternyata karya saya dilombakan. Plus, saya dulu kurus makanya yang ngga pernah menang lomba balita sehat cuman saya hehehe... Tapi anak saya senang bersaing. Sedikit-sedikit bilang, "ayo, Ma, kita lomba siapa yang menang." Makan lomba, bikin PR lomba, nonton TV lomba, mandi aja lomba. Tinggal tidur aja nih yang belum dilombakan. Kalo yang terakhir itu seh jelas saya yang menang, lha wong saya senang tidur hihihihi.

Tapi ternyata sifat bersaing anak saya itu (yang jelas-jelas nurun dari keluarga daddy-nya), merambah sampe ke lomba yang lebih dari sekedar siapa yang bisa menghabiskan makanan duluan. Ikut lomba A, cuman sampe final. Masih dapat hadiah hiburan sih, cuman saya kok tidak kecewa ya? Apa karena saya memang tidak berharap banyak? Ikut lomba B, menang. Tapi kok tidak excited banget ya? Ikut lomba C, kalah... yang nangis malah anaknya. Gimana sih?


Saya pikir-pikir, ternyata saya masih tidak suka kompetisi. Cuma, karena ngikutin anak yang kompetitif aja, saya jadi ada di ajang lomba ini. Kembali ke pertanyaan yang sempet bikin saya bingung itu. Kalau begitu, ngapain saya ikut lomba segala macam? Kadang-kadang sampai niat cari baju, property, foto... cari mood anak yang pas, cari waktu yang pas, nyetak foto, beli produk, ngisi formulir, and ngirim berkas. Masa semua repot-repot begitu cuman untuk iseng doang?

Saya tanya anak saya habis sebuah lomba fashion show, "kamu ngapain sih ikutan lomba fashion show?" Jawabannya simpel, "karena aku suka." "Suka apanya?" Ngga bisa jawab juga dia. Lama-lama saya pikir, ikutan lomba itu sarana saya buat bersama anak. Waktu sama-sama yang tidak bisa tergantikan. Senang bareng, sedih bareng, cape bareng, bosan bareng. Semuanya sama-sama. Bukan buat menang, bukan buat juara... tapi karena di lomba-lomba itu saya bisa belajar untuk berjuang. Sukur-sukur menang.

Kalau anda? Tujuan ikut lomba apa?


30 November 2010

Tuhan, Tolong Jawab Pertanyaan Ini…

Anak saya, Andrew, ikut Sekolah Minggu sejak bayi. Berdoa sudah lancar dan baca alkitab hampir setiap malam. Dia bahkan punya sebuah alkitab bergambar untuk anak-anak. Sekarang anak saya duduk di TK-A dan rajin membaca STAR. Alkitabnya juga masih dibaca. Bagus dong, mengenalkan cerita Tuhan Yesus sejak dini…. Eits… ternyata tidak segampang yang anda bayangkan loh.

Setiap malam, saat hendak baca alkitab, saya selalu was-was. Anak saya ini terhitung banyak bicara dan banyak bertanya. Tidak ada yang lolos dari pengamatannya. Setiap kali membaca alkitab, ada saja yang ditanyakannya. Saya berasa seperti tua-tua Farisi yang sedang ditanya-tanya sama Tuhan Yesus kecil. Coba simak pertanyaan berikut:

“Ma, bintang orang Majus sama ngga dengan second star to the right?”

“Lain dong,” jawab saya. “Bintang orang majus kan menunjukan tempat Tuhan Yesus lahir.” Second star to the right adalah lokasi Neverland berdasarkan cerita Peter Pan karya J.M. Barrie. Dan kasus bintang orang Majus bukan yang pertama dan terakhir yang berkaitan dengan pop culture. Melihat raja Mesir yang jahat dalam cerita Musa, anak saya langsung komentar, “Oh… seperti yang di Little Einstein ya, Ma? Yang ke Egypt itu loh…” Little Einstein adalah salah satu cerita Playhouse Disney favoritnya. Atau ketika saat saya mencoba menjelaskan bedanya malaikat dengan Tinkerbell.

Tapi itu masih masalah mudah. Membaca perjanjian lama biasanya lebih menantang buat saya. Apalagi kalau ceritanya ada adegan berantemnya seperti Daud dan Goliath. Goliath digambarkan sebagai orang jahat yang besar dan membawa pedang dan perisai. Halaman pertama menggambarkan orang Israel yang lari ketakutan karena kalah dari Goliath. Halaman kedua menggambarkan Daud yang sedang mengambil batu di tepi sungai. Berikutnya… anda sudah tahu dong, Daud mengalahkan Goliath pake apa…

“Ma, Daud kok ambil batu? Kok batunya dilempar ke orang jahat? Jadi kalau ada orang jahat, Andrew boleh lempar batu ya?”

Kalau boleh memilih, saya pilih menggantikan Daud melempar Goliath dengan batu saja deh. Masalahnya anak saya belum mengerti konsep “jahat.” Orang yang tidak mau mengikuti kemauannya juga sering dibilang “jahat” sama anak saya. Apalagi dia belum bisa membedakan antara nakal dan jahat. Kalau mengikuti petunjuk Daud, bisa-bisa teman sekelasnya yang kena lemparan batu. Soalnya pernah suatu kali dia pulang sekolah dan bercerita: “Ma, tadi Kevin jahat. Soalnya pas miss cerita, dia ngobrol.” Nah loh…. Kena timpuk deh Goliath, eh Kevin…

Alkitab juga mengenalkan bahwa Tuhan Allah itu maha kuasa. Tuhan Allah memang hebat. Bisa menciptakan alam semesta dan isinya… masalahnya, di alkitab anak saya, Tuhan Allah lupa menciptakan baju untuk Adam dan Hawa.

“Ma, kok cewek dan cowoknya telanjang?”
Waduh… bagaimana menjelaskannya pada anak 3,5 tahun? “Soalnya Adam dan Hawa belum makan buah yang dilarang, jadi mereka belum tahu malu…” Untuk anak saya “oh… oh… “saja mendengar penjelasan saya yang tidak menjelaskan sama sekali itu. Ketika lain waktu dia bertanya lagi, saya sudah menemukan jawaban yang lebih simple, “kalau jaman dahulu belum ada baju jadi mereka pakai daun.” Masalah Adam dan Hawa yang “lupa” digambar bajunya itu pun selesai.

Masih masalah baju… Begitu Tuhan Yesus besar dan masuk ke Yerusalem menggunakan keledai, anak saya mulai mengerutkan dahi. Sejenak kemudian dia bertanya, “Ma, kenapa Tuhan Yesus pake rok? Kan Tuhan Yesus cowok.” Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya segera menjawab, “soalnya jaman dulu belum ada celana,” sambil menunjukkan banyaknya bapak-bapak pake rok yang sedang menebar daun palem untuk jalan lewat Tuhan Yesus.

Ngomong-ngomong soal jaman dahulu, hari Natal ini anak saya belajar tentang cerita Tuhan Yesus. Selain dapat dari Sekolah Minggu, dia juga lihat di alkitabnya. Lalu timbullah pertanyaan:

“Ma, kok Tuhan Yesus lahirnya di kandang domba?”

Waduh, jawab apa lagi saya? Untungnya, kali ini sebelum saya kehabisan akal, anak saya sudah menjawab sendiri “Oh, soalnya jaman dulu ngga ada rumah sakit ya.”

Terima kasih, Tuhan.
Amin.

18 November 2010

The Joy of Giving


Minggu lalu saya mengajak anak untuk memilih mainan yang sudah tidak dimainkannya lagi untuk disumbangkan.

"Kenapa, Ma?"

"Soalnya banyak anak yang membutuhkan mainan, tapi tidak mampu beli."

Ternyata dia senang -- walaupun kesulitan memilih mainan mana yang akan direlakan untuk disumbang. Tapi, saya mudah memberikan pengertian menyumbang karena dia sudah nonton TOY STORY 3. Haha. Jadi dia tahu mainan yang akan disumbang itu berarti untuk di mainkan kembali. Moga-moga di tempat baru tidak ada LOTSOnya ya hehehe...

Buat saya, susahnya menyumbang dimulai dari tidak adanya figur yang jelas: siapa yang dapat mainan. Mungkin karena anak saya orangnya visual, jadi kalo menyumbang, dia tanya "siapa yang dapat mainan saya nanti, Ma?" Agak susah jawabnya karena kebetulan, tempat yang menerima sumbangan hanya menuliskan sebuah nama Yayasan. Jadi, menyumbang bisa jadi lebih efektif kalau ada figur yang kids can relate to.

Kan lebih enak bilang "Itu loh, buat kakak yang itu." (sambil menunjuk gambar). Daripada hanya mengatakan hal yang abstrak. Well, namanya juga sama-sama belajar. Anak saya belajar menyumbang, saya bejalar menjelaskan kenapa kita harus berbagi.

16 November 2010

Untuk Sebuah Piala

Kalau bicara gain moment, yang pertama muncul di benak saya adalah piala pertama Andrew. Kenapa? Karena piala tersebut merupakan hasil perjuangan seorang anak balita untuk mendapatkan apa yang diincarnya selama setahun terakhir.



Waktu Andrew 2 tahun, saya iseng-iseng mengikutkan dia lomba foto. Eh, dia kok terpilih sebagai finalis? Sejak itu, saya jadi semangat mengikutkan dia di lomba-lomba yang lainnya. Ada yang berhasil sih, tapi lebih banyak gagalnya.

Seiring dengan bertambahnya umur, bertambah pula keingintahuan Andrew tentang lomba yang diikutinya. “Lomba apa, Ma? Andrew harus apa, Ma? Kok, antrinya lama, Ma?” Waktu pertama fashion show, disuruh ganti baju saja menangis. Disuruh berjalan di panggung hanya senyum malu-malu. Sekarang dia semangat naik panggung, bisa sabar antri menunggu giliran dan bisa diarahkan agar bergaya.

Tapi, muncul masalah baru: dia sering menangis kecewa jika kalah. Waduh!

Usut punya usut, ternyata Andrew menangis karena tidak dapat piala. Saya sampai bingung karena kok anak 3 tahun sudah mengerti piala? Ternyata dia diam-diam sering memperhatikan piala kami sekeluarga yang dipajang Papa di rumah. Masing-masing anggota keluarga paling tidak punya satu yang dipajang. “Di rumah, cuma Andrew yang nggak punya piala,” jawabnya di sela isak tangisnya.

Ketika untuk kesekian kalinya dia tidak berhasil lagi, Andrew mogok ikut lomba. Kemenangan yang menghasilkan barang, uang ataupun piagam tidak digubrisnya. Yang diinginkannya hanya satu: memajang piala hasil lombanya di samping milik kami semua. Kami sempat kewalahan menghadapi kekecewaannya. Papa saya sampai ingin membelikan Andrew sebuah piala supaya dia tidak kecewa lagi, dan tidak menangis lagi kalau kalah. Tapi ide tersebut saya tolak mentah-mentah. Suatu hari nanti Andrew pasti dapat piala dari hasil kemenangan sendiri, bukan kemenangan yang dibeli. Yang penting sakarang adalah bagaimana memotivasi anak batita ini supaya mau ikut lomba lagi. Kalo tidak ikut lomba kan mana bisa dapat piala?

Enam bulan kemudian pada perayaan Hari Kartini di sekolahnya, saya sengaja melibatkan dia untuk memilih sendiri baju daerah yang akan dipakainya agar dia lupa dengan lomba itu sendiri. Benar saja, Andrew jadi bersemangat memilih kostumnya. “Andrew mau pakai baju Bali, Ma!” katanya. Hari H datang dan Andrew sudah sibuk mau pakai bajunya sejak bangun tidur. Saya jadi khawatir. Bagaimana kalau kali ini dia tidak berhasil mengalahkan rasa putus asa itu?

Satu jam sebelum tampil Andrew ngantuk.

“Andrew, kalo dibangunkan pas gilirannya, jangan marah ya?”
“Oke, Ma!” sahutnya, lalu dia merebahkan kepalanya ke pangkuan saya dan tidur. Sepuluh menit sebelum gilirannya, dia saya bangunkan. Sambil mengusap-usap mata, saya membetulkan kostumnya.
“Andrew, kalau kalah jangan menangis ya. Kita coba lagi.”
Dia mengangguk sambil menguap, “Iya, Ma. Kita coba lagi.”
“Kamu ingat yang kita sudah latih kemarin?”
“Ingat, Ma.”
“Mama di depan ya, nanti jangan lupa senyum!” Dia tersenyum dan saya melepasnya kepada guru kelasnya yang datang untuk mengumpulkan anak yang akan tampil.

Sore itu saya melihat anak saya berbaris dan bergaya melawan 60 anak lain seusianya dengan kostum daerah yang bagus-bagus. Saya langsung pesimis, Andrew kan cowok, mungkin gak ya menang lawan anak perempuan kalau fashion show? Setelah anak terakhir turun panggung, juri masih harus berunding menentukan pemenang. Saya mengulang lagi kata-kata saya sambil mengganti kostum Andrew yang menurutnya gatal. “Andrew kalau kalah tidak apa?” “Tidak menangis, Ma. Nanti kita coba lagi.” Paling tidak, dia sudah mengerti.

Begitu juara diumumkan, dia tegang. Saya tegang, opa-nya tegang, sampai susternya pun ikut tegang. Juara tiga dipanggil, ternyata nama Andrew yang disebut. Andrew melihat nomor pesertanya dengan tidak percaya. “Ma, Andrew ya? Andrew juara ya, Ma? Andrew dapat piala ya, Ma?” Dia segera berlari ke panggung dengan senyuman lebarrrrrrrr sekali. Senyuman kemenangan.

Terus, sekarang apa? Sepulang lomba, dia segera meletakkan pialanya di samping piala-piala yang ada. Lalu dia mulai bertanya, yang mana piala siapa. Begitu saya sebutkan satu persatu dia yang tadinya semangat jadi terdiam.

“Kenapa, Andrew?”
“Piala Mama lebih besar.”
“Ya, besar kecil sama saja.” Saya coba menghiburnya.
“Piala Om Jordan ada satu dua tiga…” dia menghitung sampai tujuh. “Andrew punya cuma satu Ma. Andrew mau dapat 10, Ma. Mau menang dari Om Jordan!”

Memenangkan sebuah piala mengajarkan Andrew tentang arti perjuangan. Tapi ternyata seiring dengan berakhirnya perjuangan mendapatkan piala, dia menemukan hal lain yang harus diperjuangkan: mendapatkan lebih banyak piala. Sepertinya sekarang, motivasi Andrew untuk menang tidak ada habisnya. Adik saya, yang memang paling jenius di keluarga dan pialanya paling banyak, hanya tertawa waktu saya beri tahu.

“Silahkan.” Katanya.
“Oke, Om! Andrew pasti kalahin Om!” kata Andrew, menerima tantangan Om-nya. Selamat berjuang, Andrew!

Entry ini diikutkan Writing Competition "Capture Your Gain Moment" dari majalah Parents Guide Indonesia... dan berhasil masuk sebagai finalis. *bersyukur*

05 November 2010

KALAH!

Siapa sih yang senang anaknya kalah?Apalagi kalau yang menang "ngga lebih baik" dari anak kita. Hehehehe...Tapi, ya, yang namanya ibu... mana ada sih anak yang lebih baik dari anak kita sendiri? Iya ngga?

Saya sering kalah loh. Anak saya beberapa kali nangis karena kalah. Saya sampe mau ikut nangis juga huhuhuhu...Malu-maluin banget ya? Tapi ya dari kekalahan itu, saya jadi koreksi diri. Jadi belajar, apa sih yang bikin orang lain menang?

Kostum: Lihat dress code! Kalo udah ngga sesuai gimana mau menang? Kalo ngga mau usaha mencari celana pantai yang oke buat tema "beach fashion" ya jangan harap dapat nilai bagus di panggung. Kita aja sehari2 ngga mau saltum, apalagi anak yang mau fashion show di panggung.
Kesiapan anak: Lomba menyanyi bisa langsung gagal kalo anaknya malu2 dan suaranya kecil biar mic sudah nempel dengan mulut. Anak kita biasanya OK kok! Yah, biasanya emang OK, tapi di panggung dia ngga keren. Yang dinilai kan di panggung.
Selera juri: Yang ini susah nih. Biarpun anak kita warnainnya udah rapiiiiii... ga keluar garis 1 mili pun, anak kita bisa kalah hanya karena si juri lebih suka merah daripada hijau. Haduhhhh.... Faktor X banget ya, Mom. Tapi ya itulah nasibnya lomba. Kl ga ada faktor "luck" ya ga seru hehehe...

Satu hal yang saya selalu remind diri saya sendiri: mau yang menang itu fotonya ga sesuai tema, mau yang menang itu make-upnya ketebelan, mau yang menang itu anaknya lari-lari ke sana sini bukannya fashion show, mau yang menang itu mewarnainya ga beres, keluar garis... tetap saja DIA yang menang. Dan kita harus terima kekalahan itu dengan lapang dada. Plus, jangan sampe kita nyalahin anak yang sudah berusaha keras untuk tampil di panggung.

Learn how to accept defeat and turn it into a motivation for the next competition.

22 October 2010

Weekend yang ga tau mau ngapain...


Jujur deh, tiap weekend, kendala utama adalah mencari kegiatan yang mengasyikkan bersama anak.

Ke Mall? BOSEN! Belum lagi rame-nya wihhhh.... yang ada anak ngga jadi main. Dulu, sebelum anak saya cukup besar untuk diajak nonton, saya lebih pusing lagi karena suka bener-bener ngga tau mau ngapain. Setelah bisa duduk tenang di bioskop pun blom tentu ada film bagus yang cocok untuk anak-anak. Jadi, beginilah saya kalau weekend:

1. Kesempatan ajak anak main di taman. Keliling komplex, main berkebun di taman belakang, mencuci mobil, berberes rumah hehehe...

2. Ke mall yang banyak mainannya (seperti PIM yang mainannya ada tiap lantai, atau Miniapolis). Datang jam 10 pas buka, habis makan siang langsung pulang. Jadi ga kebagian ramenya.

3. Cari acara seru untuk ibu dan anak (makanya saya punya http://pfenix.multiply.com/calendar) dan jadikan hari itu untuk mommy & me, terutama untuk moms yang bekerja n ketemu anak cuman sabtu minggu aja nih.

4. Cari tau jam buka museum, trus datengin deh museum yang bisa menarik untuk anak kayak museum layang-layang atau museum wayang.

5. Nekat ke luar kota (skalian cari spot bagus buat foto hihihihi). Pernah saya pergi ke puncak jam 6 pagi, trus jam 10 dah pulang cuman buat muter-muter kebon teh aja.

6. Saatnya mencoba resto baru, mall baru, ataupun sekedar shopping di supermarket yang jarang kita datangi (sekalian hunting info lomba hihihihi).
Ada ide lain?


20 October 2010

"Lihat, Ma, Lihat!"

Dari dulu saya orangnya cuek. Setelah punya anak, saya berusaha care supaya saya bisa melihat dan mengabadikan moment berharga yang lewat. Soalnya, sekali lewat kan moment itu tidak akan kembali lagi. Tapi, dasar nasib, saya sering terlalu fokus pada sesuatu sampai sering melewatkan yang dibilang sebagai "Gain Moment" anak saya. Padahal, saya sudah bertekad untuk menghilangkan sifat cuek saya ini demi a moment happens once in a lifetime.


Andrew lahir waktu saya masih kuliah. Sebulan setelah melahirkan, saya kembali kuliah dengan jadwal tidak tentu. Setelah kuliah ya saya pulang ke rumah (karena Andrew ASI waktu itu), tapi kok ya anak saya ini memilih "memutuskan" tali pusar saat saya sedang kuliah. Tahu-tahu Mama saya menyambut saya dengan sisa tali pusar di tissue. "Lihat nih, tali pusar Andrew sudah lepas." Yahhhhhh. Kenapa bukan saya? Terulang lagi waktu Andrew belajar jalan. Saya dan teman-teman sekampus sedang sibuk bikin scrapbook. Saya, saking konsentrasinya, sampai tidak melihat first steps si Andrew. Teman saya sampai heboh. "Ruth, lihat Ruth! Si Andrew JALAN!" Barulah kita nengok semua satu meja and saya segera mengeluarkan kamera. Yahhhhh kelewatan lagi deh!

Setelah menjadi seorang ibu bekerja, saya semakin kehilangan moment tersebut. Pergi pagi pulang malam, duhhh kapan ya saya bisa menyaksikan secara live moment tumbuh kembang anak saya dan bukan laporan dari mama, si mbak atau Andrew sendiri. Sedih rasanya. Dengan spend time 8+jam sehari di luar rumah dan seringnya ketemu anak sudah tidur, I know I'll miss many moments. Argh!Apalagi saya juga punya "kewajiban" mengabadikannya demi si daddy yang tinggal di luar negeri. Kl saya melewatkan moment itu, dia juga jadi ngga bisa lihat karena saya ngga posting blog or kirim foto. Lalu siapa yang mendampingi anak saya melalui moment tumbuh kembangnya? Masa iya si mbak atau cicak di dinding....

Browsing blog pribadi saya ke belakang, saya jadi ketemu solusinya: Travelling. Karena jarang berduaan, saat-saat jalan berdua menjadi ajang pamer buat Andrew untuk menunjukkan ke Mamanya apa yang dia sudah bisa lakukan. Waktu pulang dari Amerika ke Indonesia, dia pertama kali bisa melambaikan tangan di airport Taipei. Waktu itu dia duduk jauh sama mama saya, sementara saya ke kamar mandi. Saya lambaikan tangan saya, eh loh, kok dia balas melambai? Wahhhhh... Yang ada saya ngga jadi ke toilet tapi foto-foto dulu deh! Atau pas saya antar Andrew (saat itu 3 thn) casting, dia disuruh mengancingkan baju. Dia coba dan berhasil. Loh kok? Saya ngga tau dia sudah bisa mengancingkan baju sendiri! Hebat! Biarpun mungkin di rumah sudah pernah, tetap saja saat itu menjadi yang pertama buat saya.

Atau kemarin pas jalan-jalan ke Semarang. Andrew (sekarang udah 4thn) ngotot mau mandi sendiri. Saya pikir, alahhh, apa bisa? Selama ini juga dia mandi berendam di bak sambil dikeramasin sama si mbak. Suruh pegang gayung sendiri, sabunan sendiri... yakin nih? Ternyata begitu saya tinggal, terdengar suara byur byur. Ah, paling main air, pikir saya, masih pesimis. Tahu-tahu dia memanggil. "Ma, lihat, Ma! Aku lagi mandi sendiri." Buru-burulah saya mendekati kamar mandi, dan benar saja. Dia bisa sabunan sendiri, bilasan sendiri, yang perlu dibantu tinggal keramasnya saja. Entah karena sudah terbiasa punya mama cuek atau karena memag suka pamer, Andrew sekarang selalu memanggil saya saat dia mencoba sesuatu yang baru. Dan bagi saya, tidak ada kata sibuk untuk mengiyakan panggilan Andrew dan mendampinginya melewati masa tumbuh kembang itu.

Mendapat laporan orang lain soal Andrew bisa A, B C? Ngga apa-apa deh, saya tau saya pasti dapat replay-nya waktu Andrew teriak "Ma, Lihat, Ma!"

(Tulisan ini menjadi salah satu pemenang lomba menulis yg diadakan oleh Abbott & Ayahbunda. Dibuatkan booklet loh hihihi)






27 September 2010

"Ayo Makan Dong, Nak."

Anak saya termasuk yang picky eating. Hal ini sering membuat saya khawatir terutama saat sedang travelling ke luar kota atau ke luar negeri. Mencoba makanan baru seakan-akan tidak ada dalam kamusnya. Pokoknya kalau rasanya aneh sedikit dia pasti langsung mendorong piringnya dan bilang “nggak suka.”


Kalau pas di rumah, oke, saya bisa mencoba berbagai cara. Misalnya waktu memperkenalkan nasi liwet, nasi kuning, nasi uduk, semua saya pukul rata: NASI. Kalau dia Tanya “Ini apa, Ma?” saya jawab “Nasi” tanpa memberikan embel-embel kuning, liwet, uduk. Jadi dia tidak menolak duluan. Begitu juga dengan sup. Mau soto, mau rawon, mau bakso, semua saya bilang sup. Jadi dia akan, paling tidak, mencoba dulu. Kalau ternyata beneran tidak suka, baru saya ganti. Selain itu, biasanya saya makan dengan menu yang sama, jadi dia melihat saya mencoba dan terlihat enak, dan dia tergerak untuk mecobanya juga.

Selain makanannya, saya juga memberikan alasan kenapa makan tidak bisa hanya nasi.
“Kenapa, Ma?”
“Soalnya untuk jadi tenaga, nasi yang namanya karbohidrat ini harus dipecah sama protein. Jadi harus ada lauknya.”
Sekarang dia mengerti kalau makan harus lengkap, ada karbohidrat ada protein, ada sayur ada buah. Dia bahkan bisa membedakan mana yang mengandung karbohidrat, mana yang protein. Tapi itu tidak menjamin dia mau mencoba makanan baru. Misalnya saat makan di restoran Sunda, saya mengenalkan es kelapa muda sama Andrew di sebuah restoran Sunda. Dia senang mencobanya pada saat awal karena melihat saya asyik mengeruk dan mengaduk kelapa. Sampai punya oma-nya diminta! Tapi setelah beberapa suap dia langsung mundur, “ngga’ enak ah!”

Memang mengenalkan makanan baru pada anak harus pantang menyerah nih!

22 September 2010

Pake Kamera Poket Buat Lomba Foto?


Tiap ikutan lomba, saya suka nyerah duluan. Kenapa? Soalnya kamera saya poket. Awal-awal ikutan lomba, saya penasaran. Kenapa foto-foto saya ngga pernah menang. Padahal anaknya sudah senyum sudah oke, properti sudah beres. Jawabannya satu: biar bagaimana pun kualitas kamera poket ngga bisa menandingi kamera DSLR. Jauhhhhhhh banget appealnya. Kebetulan temen di kantor pernah fotoin anak saya pake DSLR. Trus hasilnya saya print saya bandingin. Halah... jelas aja foto saya ngga pernah menang. Parahnya lg, kamera poket saya juga bukan tipe yang bisa diset manual. Jadi ya nasib deh, kalo habis "click" tinggal terima jadi aja.


Gimana ngga? Mau beli DSLR, harganya selangit -- ngga selangit pun, gaji juga masi ngga nutup. Mendingan buat bayar uang sekolah anak deh. Trus mau foto studio, akhirnya cuman jadi niat aja, secara saya kerja full time and tiap kali bikin janji sama foto studio/temen fotografer, saya batalin juga karena ga sempet.Trus, saya ikutan workshop fotografi memfoto anak yang kebanyakan juga menekankan soal teknik foto dll, yang kebanyakan hanya bisa diaplikasikan di DSLR. Keluar dari workshop itu, kesimpulan saya cuman 1: percuma kalo anaknya ganteng/cantik tapi kameranya poket.


Rasanya langsung mau putus asa.


Jadi gimana dong? Ya, mau ngga mau saya tetep pake kamera poket. Tapi, ya ngga diem gitu aja sih, kamera poket pun bisa dimaksimalkan. Caranya?


1. Saya coba kenali lagi kamera poket saya (padahal buku manualnya dah ga tau ke mana). Feature ini feature itu, satu-satu saya cobain trus saya bandingin hasilnya di layar komputer. Makan waktu memang, tapi, saya jadi tau feature mana yang akan sering saya pakai dan yang hasilnya maksimal tanpa pake blitz. Saya set ke setting itu jadi begitu ada moment ga usah ribet seting-setting lg.


2. Fotonya harus outdoor. Kalo indoor seh, ya jangan harap bisa se-kualitas foto lomba (lomba sekarang makin kompetitif sih ya). Kalopun indoor, harus tempat yang kena matahari langsung! Hasilnya jauh lebih bagus.


3. Outdoornya juga ga asal outdoor. Kalo mendung, biasanya saya ngga foto. Trus pernah nih, saking niatnya, hari Sabtu saya bela-belain keluar rumah pagi-pagi buat ngetes kamera. Begitu hasilnya bagus, langsung anak saya panggil buat foto. Hahahaha... agak maksa sih, tapi ternyata hasilnya cukup memuaskan. Jadi lama-lama saya juga ngafalin kapan cahaya bisa pas dan hasil foto bisa memuaskan banget.


4. Jangan menyerah -- kalo pake DSLR bisa cuman beberapa (beberapa=puluhan) shot bisa dapet yang pas, kalo pake poket bisa lamaaaaaa banget. Bisa juga hari itu gagal total trus harus diulang lagi besoknya. Jadi, saya selalu bawa poket kemana pun saya pergi. Pas anak saya casting, eh, kok tamannya bagus. Eh, kok mataharinya pas. Eh kok difoto ga burem. Langsung deh, anak lg main di taman saya foto!


5. Kalo bisa, latar belakang ga usah rame-rame and properti ga usah banyak-banyak... kenapa? Soalnya poket ga bisa memburamkan background (at least poket saya ga bisa). Jadi, kalo sekeliling anak itu rame and banyak macem-macemnya, ke anak juga ga fokus. Kalo DSLR kan enak,tinggal puter2 fokus, anak yang jelas, background ga penting bisa burem. Hehehehe...


6. Mau foto objek bergerak tapi ngga burem? Foto outdoor seperti biasanya, trus pake blitz/flash. Jadi flat? itu seh tone down aja di editing sedikit. Habis gimana lagi? Hehehehe... saya sampai tahu berapa detik lag blitz kamera saya, jadi saya tau kapan saya bisa tekan tombol supaya hasilnya pas anak saya lagi "terbang" diudara. Tapi ya sejelas-jelasnya, kalo foto objek bergerak emang mendingan panggil yang profesional aja atau kelaurkan DSLR anda. Hehe...


Lebih banyak usaha sih, tapi bukannya ga bisa menang sama sekali loh!


Beberapa foto anak saya (pure hasil foto poket tanpa editan photoshop dll) pernah menang or jadi finalis beberapa lomba besar. Faktor luck mungkin? Bisa aja. Tapi tetep, paling ngga saya jadi tahu, kita masi bisa "bertarung" di ajang lomba walaupun kameranya cuman sebesar telapak tangan kita. Cuman harus usaha lebih aja.


Ini salah satu foto yang berhasil menang:


[kalo saya beneran punya DSLR, pasti saya akan kangen sama poket saya ini]


23 August 2010

Fingerprinting O' Fun

I really love arts and crafts... and akhir-akhir ini sedang sedih karena ide scrapbook saya sedang mandeg. Bukan karena ngga ada bahan, tapi ngga ada waktu.


One day, saya dapat buku dari seorang teman, tentang fingerprinting.
Hm... seru nih kayaknya. Sesuatu yang bisa dilakukan bersama anak. Pas saya buka-buka, wuih, banyak amat macamnya. Dari yang simple-simple seperti bikin anak ayam, babi dan sebagainya, sampe yang complicated seperti bikin pemandangan dan kartu ucapan. Pengarang bukunya, Christina Hong, juga dapat ide dari anak-anaknya. Saya coba di rumah pakai cat air, kok gagal ya? Kebanyakan jadi basah kertasnya trus keringnya juga ga enak. Warna jadi kecampur-campur dan gagal deh bikin anak ayam.

Ngga berapa lama, saya dapat undangan workshopnya dari FB. langsung saya daftarkan anak saya. Hihihihi... bisa mencuri trik nih!

Ternyata benar. Ngga sembarangan cat bisa dipakai untuk finger printing. Beberapa merk menyediakan cat khusus finger printing tapi harganya mahal. Untung di bukunya Christina itu ada cara membuat cat untuk finger printing. Spidolnya pun sebaiknya pakai yang ujungnya lancip. Anak saya sih senang, tapi dia cepat bosan. Setelah beberapa burung, babi, dan anak ayam dia bosan.

It's OK, yang penting minggu ini kita berhasil membuat sesuatu yang baru. Hasil karya kami berdua bisa dilihat di gambar di bawah ini. Semoga suatu hari bisa bikin mahakarya!


05 August 2010

Kenapa oh Kenapa?

1. Ma, kenapa dia ngga mau pinjemin mainannya, kan cuman sebentar trus aku kembalikan lagi?

2. Ma, kenapa jalanan kita (trotoar) diparkirin mobil, sementara di Madrid ngga?(jawaban si Mama: yah, namanya juga Indonesia, nak...)

3. Ma, kenapa orang kerja ada yang punya bos ada yang ngga?

4. Ma, kenapa baby ngga bisa jalan?

5. Kalau masi pakai pampers, namanya baby ya, Ma? (susah dijawab karena anak tersebut seumuran dengan si penanya yang dengan suksesnya nunjuk sambil nanya kenceng-kenceng).

6. Ma, kenapa ibu itu buang sampah sembarangan? Kacau dia, Ma!

7. Ma, kenapa pesawat kalau mau blast off, sayapnya memanjang? (susah dijawab karena Mamanya anak IPS yang passionnya di Bahasa. Untung ada Om Meh yang Mechanical Eng ahahahahaha)

8. Ma, kenapa Spanyol bisa menang Piala Dunia? Aku juga mau dong, Ma!

9. Ma, kapan kita ke Egypt? (waduhhhh kapan ya Nak? Susah dijawab karena Mamanya ngga punya duit hahahaha...)

10. Ma, kenapa anak kecil tidak boleh pegang pisau? Kan aku pasti hati-hati supaya tidak kepotong?

Nah lohhhhhhh.....
Anak pendiam, puyeng. Anak banyak nanya juga sama pusingnya.... dari A-Z ditanya semuanya.

20 July 2010

Ke Mana Liburan? MADRID!




Andrew and Mama went to Madrid. And we arrived on the same day with the World Cup winning team. Here's our story, and how Madrid looks different with the World Cup, Iniesta, Puyol, Villa, Pique, Alonso and red supporters along the main roads.

Mendarat di Barajas, kami disambut oleh keriuhan ala international airport. Barajas terletak di luar kota (walau hotel kami terletak di Barajas) jadi untuk ke kota ada beberapa pilihan. Yang paling praktis adalah Metro. Untuk turis, Anda bisa membeli day pass yang berlaku untuk 1, 3, 5 atau seminggu dengan harga mulai Euro 5.20.. Anak dibawah 4 tahun dapat naik dengan gratis, sementara anak dibawah 11 tahun dapat membeli tiket setengah harga untuk anak-anak. Tiket ini juga bisa digunakan untuk naik bis. Bis di Madrid, selain stroller-friendly juga punya kursi khusus anak-anak


WHERE TO GO?


  • Parque de la Montana dengan Egyptian Temple of Debod adalah salah satu tempat yang kami kunjungi. Temple ini unik karena merupakan temple asli Mesir yang dibangun ulang di Madrid tahun 1968 karena terancam hancur oleh pembangunan The Great Dam of Aswan.Di taman-nya ada children playground, pepohonan sejuk lengkap dengan tempat duduk. Cocok untuk tempat istirahat, terutama jika berkunjung di musim panas yang mataharinya terik tanpa ampun.
  • Estadio Santiago Bernabeu merupakan rumah dari Real Madrid, terletak persis di pintu keluar metro Santiago Bernabeu. Bukan hanya stadionnya saja yang menarik, di sekitar stadion banyak tempat duduk-duduk di bawah pohon yang dipasang pelat bergambarkan bendera dan nama negara. Andrew sempat main tebak-tebakan bendera.
  • Dibangun pada zaman Habsburg, Plaza Mayor dikelilingi tempat yang dulu adalah tempat tinggal penduduk Madrid. Lapangan di tengahnya juga pernah digunakan untuk adu banteng, dan pertandingan bola. Sekarang, bangunan di Plaza Mayor didominasi oleh kantor pemerintah, toko souvenir dan restoran.
  • Grand Via adalah jalan utama di Madrid. Di sini anda bisa menemukan bermacam-macam restoran mulai dari yang menjual paellas (makanan tradisional Spanyol, berupa nasi yang dimasak bersama seafood, sosis, ayam dan lain sebagainya) sampai yang menjual ayam fast food. 

   Madrid adalah kota yang menyenangkan. There are a lot of children playgrounds, making it hard for kids to get bored. Sayang waktu yang singkat (dan satu hari penuh yang tersita oleh kepulangan tim pemenang world cup) membuat kami tidak selesai mengelilingi Madrid.

29 April 2010

Sehat dan Seimbang


Akhir-akhir ini saya sedang 'gila' yoga.



Sebagai penggemar olahraga yang tidak mengeluarkan keringat (seperti berenang), yoga merupakan olahraga yang cocok buat saya. Siapa sangka, waktu saya sibuk mempraktekan pose yoga di rumah, si kecil ternyata memperhatikan dan ikutan angkat-angkat kaki sambil mengatupkan tangan di depan.

Dan saya mulai browsing soal yoga dan anak kecil.
Keuntungan utama jelas membuat anak lebih lentur, melatih keseimbangan dan kekuatan. Selain itu teknik pernafasan Yoga yang mirip meditasi itu katanya bisa membantu anak lebih tenang, fokus dan konsentrasi. What's even better adalah Yoga bisa membantu postur tubuh anak. Karena anak saya suka fashion show dan difoto, sepertinya postur tubuh penting nih untuk dilatih supaya tegap.

But the benefit of Yoga doesn't stop there. According to Webmd.com "Yoga has long been known to lower blood pressure and slow the heart rate. On a biochemical level, studies point to a possible anti-oxidant effect of yoga. " Yoga bisa jadi satu kegiatan sehat yang cocok untuk keluarga. Terutama buat mama seperti saya yang malas olahraga.