21 April 2011

LIKE this? ARGH!

Sebel sama lomba yang pake LIKE?
Iya, saya juga.
Kesannya, sudah susah2 foto anak, ternyata yang dilihat bukan fotonya, tapi jumlah jempol yang bertengger di bawahnya.

Saya sampe nanya sama temen saya yang webmaster, "kenapa sih, seneng bener ada lomba pake LIKE?"Dia bilang karena like itu meningkatkan traffic ke website/fb/social media yang digunakan. Lebih2 kalo fotonya ada di webiste yang bukan FB atau kalau harus nge-like FBnya dulu. Itu bagus banget buat report ke bossnya bahwa FB pageya populer. Bagus buat naikin nama (karena trafficnya naik). Ohhh... pantesan. Tapi tetep aja sebel. Kayaknya foto anak kita yang cantik dan ganteng ini, yag udah susah2 dicari moodnya biar mau pose, kok cuman dihargain dengan jempol.

Tapi moms (and dads), saya di sini bukan mau complain sih. Lebih kepada, meyuarakan "jangan menyerah" or "jangan putus asa duluan" kalo liat lomba yang pake LIKE. Soalnya saya pernah kirim email ke salah satu penyelenggara lomba, menyuarakan kekecewaan saya, eh ternyata si penyelenggara menambah kategori "pilihan juri" di tengah2 lomba. Mungkin yang protes bukan hanya saya, tapi saya puas aja bisa menyuarakan kekecewaan saya dan merasa didengar oleh si peyelenggara lomba. Saya tetap ngga menang seh di kontes tersebut, tapi saya jadi berpikir bahwa sebenarnya kita punya hak buat 'complain' hehe.

Saya bukan menyuruh moms (and dads) sekalian buat complain loh... hehehe... ntar penyelenggara lomba pada marah sama saya. Tapi ya, saya sering lihat di lomba foto yang saya ngga ikutan pun (yang ga ada hubungannya juga sama ibu dan balita) banyak yang complain soal LIKE. Tapi apa boleh buat, emang menguntungkan sih secara teknis. Mungkin yang bikin kontes juga sedih liatnya, tapi karena emang begitu peraturannya, ya apa boleh buat. Mencari pemenang 'pilihan juri' lebih susah loh. Coba moms bayangin, kalau harus memilih dari ribua foto yang sama lucunya. Pasti enakan pake LIKE, tinggal lihat siapa paling banyak trus diumumkan.

Tiap peraturan ada resikonya (makanya sering ditulis kl keputusan juri ga bisa diganggu gugat).
So, kalo mau ikutan ya ikutan aja moms. Lakukan sebisanya. Kalau kalah... ya, masih BANYAK BANGET lomba di luar sana. Sejak punya Pfenix saya jadi ga mempermasalahkan kalah menang karena jadi sadar berapa banyak lomba di luar sana. Yang terposting di Pfenix juga pasti cuman sepersekian deh.

Semangat!

*nulis ini karena habis browsing FB trus agak miris liat komen org2 yang bilang 'saya meramaikan saja deh'*

30 March 2011

Perjalanan Keliling Dunia Babak Kedua




Test pack bertanda tanda positif membuat waktu serasa berhenti. Hah? Hamil?

Di saat seluruh keluarga, kerabat dan teman sibuk mengucapkan selamat, saya malah putus asa. Pasalnya, saya baru beberapa tahun lulus dari usia remaja, masih kuliah di Amerika, dan masih punya cita-cita keliling dunia. Terbayang dong, di saat teman seangkatan masih bisa gendong backpack sambil naik gunung, saya malah gendong bayi sambil belanja susu di supermarket? Aduhhh… ngga banget deh! Saat itu, detik itu, saya pikir kehidupan bebas saya sudah berakhir. Saya harus mengubur dalam-dalam hobi travelling saya ini. Tidak akan ada lagi roadtrip keliling California dan tinggal di hostel murah. Tidak akan ada lagi lari-lari dari Times Square mengejar subway terakhir saat malam pergantian tahun. Yang ada hanya sibuk mengganti popok bayi di rumah.

Ternyata saya salah besar.

Bulan-bulan pertama bersama si bayi memang berasa seperti akhir dunia. Jangankan keluar kota, keluar rumah saja susah! Waktu saya full time mengurus anak dan, jujur saja, saya sempat stress. Soalnya, saya bukan tipe yang betah di rumah berminggu-minggu. Saat dilarang mengemudi atau naik pesawat karena perut yang membuncit saja, saya sudah uring-uringan karena tidak bisa kemana-mana. Bahkan, pecah ketuban pun saya masih ke mall, makan… setelah itu baru ke rumah sakit. Pokoknya di dalam kamus saya, tidak pernah ada yang namanya duduk manis di rumah.

Lalu, kesempatan itu datang. Usia 5 bulan, tepat malam natal saya memutuskan untuk mengunjungi keluarga ipar saya di negara bagian lain.Perjalanan cukup memakan waktu dan menegangkan. Dari kota saya, saya harus naik travel 2 jam ke airport. Dilanjutkan dengan naik pesawat selama 4 jam. Dari airport, tempat tinggal ipar saya masih 1 jam lagi naik mobil. Total perjalanan ada 7 jam. Betah ngga ya anak saya? Dag dig dug jadinya.

Saya sempat browsing-browsing tentang bagaimana tips bawa anak bayi naik pesawat. Maklum, tinggal di negeri orang membuat saya tidak ada tempat bertanya selain internet. Sempat frustrasi dengan packing yang tidak selesai-selesai karena ternyata bepergian dengan bayi membuat barang bawaan jadi dobel. Belum lagi harus bawa carseat dan stroller. Bahkan sempat terpikir untuk membatalkan saja trip saya itu karena seminggu sebelum berangkat dokter menyatakan anak saya terkena infeksi telinga. Perubahan tekanan udara bisa menimbulkan rasa sakit dan beliau membekali saya dengan beberapa obat-obatan termasuk sebotol antibiotik.

Hari yang (tidak) dinanti pun tiba. Saya siap dengan koper dan car seat. Sepanjang perjalanan menuju airport, si bayi tidur dengan tenang. Kemudian kita check in dan masuk ke ruang tunggu. Dia mulai rewel sendikit, tapi mainan bisa menenangkannya. Begitu berjalan masuk ke kabin dan duduk di kursi, dia mulai meraih apa saja yang berada di dalam jangkauan tangannya. Beruntung kursi sebelah saya kosong. Saat pesawat siap di landasan, saya berikan dia empeng sesuai saran dokter anaknya. Ajaibnya, tidak ada acara menangis karena tekanan udara di kuping, baik pada saat lepas landas ataupun mendarat. Yang ada hanya seorang bayi yang sibuk merobek-robek dan membasahi majalah dengan air liurnya. Dan ketika 4 jam kemudian pesawat itu mendarat tanpa satu insiden pun, tanpa satu tangisan pun, saya merasa Tuhan memberikan saya kesempatan kedua.

Sejak itu, anak saya jadi partner berpetualang. Perlahan tapi pasti kekhawatiran saya tentang terjebak di rumah terhapuskan oleh kenyataan bahwa anak saya juga tidak betah di rumah. Usia 8 bulan, saya ajak dia road trip keliling California. Usia setahun, kami menambah daftar tujuan dengan mengunjungi beberapa negara bagian lain berdua saja dan menginap di hotel tak berbintang. Usia 1.5thn, anak saya sudah bisa bolak-balik Indonesia-Amerika tanpa ada masalah. Usia 3 tahun, kami pergi ke Thailand. Yang terakhir malah kita berdua jalan-jalan keliling Eropa Barat. Memang sih, agak sedikit berbeda dengan apa yang dulu saya bayangkan karena sekarang perjalanan saya lebih kepada menunjukkan dunia yang beraenak ragam ini pada anak saya.Perjalanannya tetap penuh kenangan kok. Yang paling penting, tak ada lagi penyesalan karena melewatkan kesempatan menikmati masa muda dengan keliling dunia.

Jika ada yang tanya 5 tahun yang lalu, saya pasti jawab jadi ibu di usia muda adalah mimpi terburuk saya. Tapi jika ada yang bertanya pada saya sekarang, jangan harap saya mau bertukar posisi dengan siapa pun. Tuhan sudah memberikan saya kesempatan kedua, dan saya akan pergunakan sebaik-baiknya, untuk jadi ibu yang baik, dan teman jalan-jalan buat anak saya.

Cerita ini diikutan Cita-Cinta Second Chance Story last minute sih, ternyata sempat masuk 3 besar dan jadi juara favorit. Iseng2-iseng berhadiah deh.

26 March 2011

This is my story: Time For A Master Graduation

Such a simple dream but such a hard thing to do.

Why? I’m 26, a mom of a 5-year-old boy, and the only one in my family who doesn’t have a master degree. My son was born when I was still in college, pursuing a bachelor degree at the time. Well, I did graduate with two bachelor degrees. It gave me the confidence to try a semester on a graduate program. Three months into it, I realized that toddler and thesis don’t go well together. Especially when you’re studying in a foreign country… alone. So, I gave in and went home.

But that’s old story. I’m proud of what I am. Thanks to the never ending support of my family and thanks to EF (www.englishfirst.co.id). I learnt English at EF since elementary school. I technically “graduated” from EF (I finished off all their regular levels), joined conversation class and took TOEFL class before flying off to Uncle Sam’s home pursuing a higher education.

However deep inside, I still want that higher degree (and a cooler graduation outfit). In 2030, I’ll be walking the path one more time, graduating with a master in Cultural Anthropology. By that time, my son will be finishing up his Doctorate if he stays in school. But, hey, it’s never too late to pursue your dreams, right?

Why the judges have to pick my story?

Well, because I think it’s never too late to learn something (or earning a degree). While joining EF Conversation class back in high school, I met an elderly lady who learnt English just to talk to her English-speaking, half-American grandson. That’s the spirit I want to share and I’m sure many will agree with me.




The story is also published on my FB: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150125984897690


02 February 2011

Betulin Aja!

"You Break It, We Fix It!" (Handy Manny)

Anak anda mungkin familiar dengan kalimat itu, yang sering terucap oleh salah satu tokoh kartun Disney. Jadi, kenapa tidak dijadikan acuan untuk berbagi?
Awalnya semua ini gara-gara anak saya datang menghampiri karena senapan kesayangannya rusak. Ujungnya hampir putus. “Ma, betulin dong.” Daripada beli yang baru saya coba mengelemnya kembali. Berhasil sih. Tapi beberapa lama kemudian, senapan tersebut rusak lagi. Saya coba selotip, eh copot juga. Hm… berarti, saya kurang oke nih memperbaikinya.

Nah, jadi kalau mainan rusak dapat diperbaiki dengan benar, mainan tersebut bisa jadi baru dong. Kenapa tidak mengumpulkan mainan bekas yang masih bisa diperbaiki lalu kita memperbaikinya sama-sama dengan benar? Mainan yang seperti baru itu kemudian bisa dikumpulkan dan disumbangkan kepada anak-anak yang membutuhkan. Dan kenapa berhenti dengan mainan? Buku juga bisa loh!

Keterlibatan Anak

Pertama, anak bisa diajak mengumpulkan mainan rusak tapi masih layak. Misalkan rattle yang sekrupnya lepas, atau mainan dengan baterai litium yang baterainya sudah harus diganti. Mainan-mainan tersebut kemudian dibawa ke sebuah workshop (bekerja sama dengan pihak yang ahli) yang mengajarkan anak bagaimana membetulkan mainan bersama-sama sehingga menjadi mainan yang bisa dimainkan kembali. Dengan begitu, anak diajarkan menyayangi mainannya, dan mengerti bahwa mainannya tidak harus selalu dibuang karena masih bisa dibetulkan.

Kedua, anak diajak berpartisipasi menyerahkan mainan bekas yang telah diperbaiki tersebut. Selain bisa bermain bersama, anak juga diajak mengenal siapa yang menerima mainan tersebut. Karena, sewaktu saya mengajak anak saya untuk menyumbangkan mainan ke drop box, sempat terlontar pertanyaan, “Ma, mainan ini untuk siapa?” Karena disumbangkan kepada sebuah yayasan, saya hanya bisa menjawab “kepada kakak/adik yang tidak mampu beli mainan.” Kalau anak diajak mengenal siapa yang menerima mainan, maka dia bisa tahu, “oh, mainan saya sekarang dimainkan kakak itu ya…”

Harapan

Dengan adanya projek ini, saya berharap:
  • Anak-anak bisa lebih menghargai mainan dan tidak selalu minta mainan baru karena yang lama lecet sedikit. Anak juga diajak berkarya dengan membetulkan mainan, sehingga anak bisa kreatif dan mandiri.
  • Anak jadi lebih merasa memiliki terhadap mainan tersebut dan bisa ikut bangga bahwa dia sudah membantu menyumbang. Kalau hanya mainan yang dibelikan orang tua terus disumbangin, mungkin anak akan lebih cuek. Tapi kalau dia ikut memperbaiki mainan itu, saya harap anak bisa lebih merasa bangga bahwa mainan yang dia perbaiki itu bisa berguna buat orang lain.
  • Anak bisa belajar berbagi secara berkelanjutan. Anak balita, yang bisa loyal kepada satu karakter animasi, bisa diajak mengenal siapa yang disumbang sehingga jika kelak dia ada mainan bekas lagi, dia bisa terpikir “oh iya, ada kakak/adik itu yang butuh mainan ya.” Dan tergerak menyisihkan mainannya untuk disumbang.

(Tulisan ini diikutsertakan Lomba Proyek Tango Spread Miracles. Ngga menang sih, tapi seneng aja bisa ikutan, soalnya ini yang pertama saya pernah kepikiran bikin "proyek berbagi")

30 January 2011

How Kids Sees The World

Overheard in my 4-year-old son Sunday School class
Teacher: (after an elaborate and action-packed story on David and Goliath) So, kids, who beat Goliath?
Boy: Power Rangers!

Teacher: (lining up the kids on a pretend train and started moving around the classroom) Let’s go to Sunday School, kids, make sure you don’t miss the train!
Boy: Yes! Because if you miss this one, you have to buy a more expensive ticket for the next one!

Teacher: Then, Jesus was born in a mager…
Girl: (in a panic tone) And what happened to the sheep? Where are they going to stay?

01 January 2011

Tron, Narnia and Rapunzel

Entah sejak kapan anak saya jadi hobi nonton, padahal setahun yang lalu dia masih takut gelap. Sekarang, sebulan bisa 3 kali ke bioskop! 3 film, 3 genre, 3 cerita

Rapunzel
Disney memang paling jago memikat anak kecil. Jalan cerita yang sederhana, tokoh baik/jahat yang jelas, animasi yang menarik dan tentu saja lagu-lagu yang mendukung. Pertamanya saya pikir ini film buat anak cewek. Udah menang kuis, eh ga bisa datang karena ada acara. Malah jadi nonton sendiri di satu hari Minggu. Saya dan Andrew suka film ini.


Tron
Stress nonton film ini...bagian menariknya cuman 20%. Mana Andrew bosan berat karena jalan ceritanya terlalu complicated (iyalah, orang buat remaja). Trus tengah2 dia minta pulang karena dikiranya film sudah mau selesai ("kan, Daddynya dah ktemu, Ma. Habis ini ngapain lagi?"). Saya juga bosan. Terlalu banyak ngobrol-ngobrol dan kurang actionnya. Bener-bener tertipu sama traillernya.




Narnia: The Voyage of The Dawn Trader
Nah, film ini baru oke. Genre fantasi yang biasanya saya ngga suka, jadi cerah begitu melihat King Caspian. Haha. Anak saya juga senang. Banyak adegan petualangan, melawan monster dan jalan ceritanya jelas "Mereka harus cari pedang, ya, Ma?"