Showing posts with label One Day One Post. Show all posts
Showing posts with label One Day One Post. Show all posts

20 August 2025

Satu Hobi, Satu Circle. Jadi Punya Banyak Cerita

Salah satu besti yang saya miliki adalah seorang mantan rekan sekantor, yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari anak saya. Begitu pun saya, usianya lebih muda beberapa tahun dari ibunya. Di geng ex- teman sekantor yang ini, hanya saya yang lahir di tahun 80an. Jadi kalau kita hangout, kayak mamak-mamak jagain anak-anaknya.

“Tapi nggak kelihatan kok, Kak.”
Begitu kata mereka. Terima kasih lho.

Circle yang ini bertemu cukup rutin. Sebulan sekali. Biasanya makan di restoran yang saya belum pernah dengar namanya, tapi tiba-tiba viral di media sosial. Setelah viral, 3-4 bulan kemudian, circle saya yang sesama millenial ini bakal heboh. Lalu, terkejut karena saya sudah ke sana.

Setiap circle ada maknanya. Dan kebetulan pertemanan saya ada banyak kelompoknya. Saya punya circle pertemanan hobi seperti Detektif Conan, Harry Potter, Kpop dan lain sebagainya. Lalu ada circle pertemanan blogger. Circle para penulis fiksi amatir. Saya juga punya pertemanan sesama ibu tunggal yang saling support dan berdaya bersama. Saya juga masuk di circle gereja dan berusaha aktif di banyak kegiatan yang ada. Bahkan, boneka Panda saya juga punya circle sendiri yang isinya boneka semua.

Saking beranekaragamnya circle pertemanan saya, kalau saya pergi berkegiatan biasanya saya ditanya “sama teman yang mana lagi ini?”


14 July 2025

Jadi Kangen Pelihara Kelinci

“Kalo pelihara kelinci, harus siap patah hati.”
Ini selalu jadi pesan saya bagi mereka yang bertanya. Kelinci ini binatang peliharaan yang lucu dan banyak yang tertarik memeliharanya karena terlihat mudah. Bisa dipelihara di rumah, dan sekilas terlihat harmless alias tidak merepotkan. Lalu, setelah kelincinya ada di rumah, barulah kita sadar bahwa semua ini hanya kamuflase di depan.

Salam kenal Dari Waco

Jadi, ketika memutuskan untuk mengadopsi kelinci, siapkan mental bahwa si kelinci bisa tiba-tiba berpulang, meskipun kita sudah memberikan yang terbaik. Patah hati berkali-kali, dan tendensi menyalahkan diri sendiri biasanya terjadi. Ketika godaan untuk mengadopsi kelinci lucu yang menggemaskan datang, coba pikir sekali lagi. Siapkah untuk patah hati?

Kelinci mengajarkan saya bahwa hidup itu dijalani saja setiap hari dengan senang hati. Kelinci-kelinci yang saya pelihara, keluarganya, dan kelinci lain yang saya kenal punya sejuta alasan untuk meninggalkan dunia. Mulai dari keselek makanan, sakit karena lingkungan yang kotor, sakit ketularan kucing liar yang lewat dekat kandangnya, kena jamur anjing tetangga, berantem sama tikus, berantem sama kucing, kedinginan, kepanasan, kebanyakan makan, masalah pencernaan, kaget, stress dan lain sebagainya.

Kalau kelinci mudah mati, berarti kita wajib memberikan yang terbaik setiap hari. Karena, besok bisa saja dia sudah tidak ada.

Namun, terlepas dari semua hal yang bikin sedih, ada banyak hal menyenangkan yang membuat saya akhirnya tetap memelihara kelinci. Walau dititipkan ke rumah orangtuanya si kelinci.

Yang pertama: Kelinci tidak merepotkan.

Lho, katanya tadi susah memelihara agar tidak mati? Iya, betul, tapi sehari-harinya, kelinci ini tidak merepotkan. Seperti kucing, kelinci ini mandi sendiri. Jadi dia bersih. Almarhum Sentaro adalah kelinci rumah yang super bersih. Tidurnya di kamar saya dan tidak pernah pup sembarangan. Pup dan pipis selalu di kamar mandi, dekat selokan pembuangan air. Dia tidak mau makan dan pup di tempat yang sama. Jadi, kalau saya kasih makanan di kamar mandi, dia akan bawa ke luar makanannya.

Sayangnya, tidak semua kelinci begini karena kelinci saya yang berikutnya, mendiang Kichi, adalah kelinci yang jorok, cuek dan berantakan. Sering bertengkar dengan saya hanya masalah dia tidak “cuci kaki” setelah main di luar dan jejak cokelat bertebaran di lantai rumah yang warnanya putih itu.

Yang kedua: Kelinci biayanya murah.

Yes, banyak yang bilang sebaliknya. Tapi, kelinci saya main di taman, makan rumput, hay dan snack home made. Sesekali ada sih makan pelet, tapi biayanya tidak semahal makanan anjing atau kucing. Karena tidak main ke luar rumah, dan bertemu binatang lain, jadi kelincinya ya tidak vaksin atau steril. Makanya jadi rentan sakit, bahkan ketika papasan sama kucing liar yang lewat di tembok, besoknya tiba-tiba jadi jamuran. Kelinci saya juga tidak ada yang beli baju atau punya kandang mewah sih. Malah, Sentaro tidak punya kandang dan tidurnya di ranjang saya.

Yang ketiga: Kelinci tidak butuh perhatian sepanjang waktu.

Cocok buat saya yang cuek. Mereka asyik sendiri bermain, dan banyak menghabiskan waktu buat tidur di siang hari. Kalau saya pulang kantor, mereka akan menyambut dan minta makan. Downside-nya, mengajak bermain kelinci ini agak challenging karena mereka sulit dilatih. Ya, setidaknya kelinci-kelinci yang saya pelihara adalah kelinci yang asyik sendiri. Bukan yang seperti anjing bisa dilempar bola lalu dikejar.

Kangen sebenernya untuk pelihara kelinci sendiri, tapi punya pets adalah sebuah tanggung jawab besar. Kita tidak bisa meninggalkan kelinci lebih dari 24 jam tanpa pengawasan karena mereka jarang bisa mengontrol makanan. Mereka juga hewan pengerat, kalau ditinggal sama kursi rotan, kayu bahkan tembok, semua bisa habis digigitin.


"Kamu Manggil?"


14 December 2024

Sejuta Impian 2025

2025 mau apa?

Pertanyaan sulit bagi saya yang tiba-tiba jobless karena PHK di akhir 2024. Cari uang dong. Cari pekerjaan lagi. Itu yang pertama terlintas di pikiran. Namun, ternyata mencari pekerjaan di usia 40 tahun ini tidaklah mudah. Yang lebih muda saja harus melalui belasan interview dan ghosting dari berbagai perusahaan. Saya? Mengirim lamaran, lalu tidak ada kelanjutannya. Balasan yang saya terima biasanya berupa permohonan maaf karena saya tidak sesuai dengan yang mereka cari.

Biasanya ini gara-gara gaji.

Anyway, setelah berpikir ke sana dan sini, ada beberapa ide bagaimana saya mau menjalani 2025. Apa saja?

  • Kuliah lagi. Saya ingin belajar tentang Public Policy, Public Administration terutama soal Non-Profit Management dan Fundraising. Saya sering menemukan lowongan di NGO yang berujung gagal melamar karena kualifikasi pendidikan yang tidak memadai. Di usia 40 ini, saingan saya kebanyakan punya S2. Saya hanya punya S1 yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saya sekarang. Sulit bersaingnya.
  • Menggaji diri sendiri. Kalau cari kerja susah, kenapa saya tidak coba menggaji diri sendiri? Bagaimana caranya? Fundraising untuk Yayasan tempat saya jadi relawan sekarang jadi kami punya sumber dana tetap dan bisa menggaji staff. Atau buka usaha laundry di daerah. Hanya saja, merintis sesuatu berarti saya harus punya dana cadangan yang cukup untuk hidup selama usaha saya belum membuahkan hasil. 
  • Cari pekerjaan baru. Iya, ini tetap ada dalam agenda. Tapi saya lebih banyak pesimisnya. Jadi, yang saya lakukan sekarang adalah fokus ke pekerjaan freelance, tapi ada beberapa. Repot memang, tapi setidaknya tetap ada penghasilan tetap dan bisa menabung.
  • Green Card Lottery atau hal sejenisnya. Pindah ke luar negeri adalah impian utama saya. Karena di beberapa negara, umur tidak menjadi halangan seseorang untuk bekerja. Asalkan mau bekerja, dan masih kuat bekerja fisik, pasti bisa dapat penghasilan. Opportunity untuk bekerja freelance dengan kemampuan spesifik yang saya miliki sekarang ini juga lebih banyak. Idealnya sih opsi ini yang diambil, tapi berhasil tidaknya bergantung pada undian yang ada di luar kuasa saya.

Kichi (Kiri) Dan Waco (kanan)

Saya yang senang bekerja dan berkegiatan justru merasa bahwa santai-santai ini berbahaya. Jangan sampai terlena karena ada banyak hal yang sebenarnya bisa dan harus dikerjakan.

  • Saya ingin traveling, pergi nonton konser dan healing. Tapi, ya tidak bisa hanya traveling saja dong. Kenapa tidak saya mencoba cari pekerjaan di Korea? Siapa tahu ada yang tidak mementingkan umur dan bisa saya lamar.
  • Saya ingin membereskan rumah. Ada banyak barang “peninggalan” keluarga dan kedua orang tua yang sebenarnya bisa berguna bagi orang lain. Saya ingin membereskan dan menyumbangkan yang masih layak. 
  • Saya ingin pelihara kelinci lagi. Ini yang paling sulit untuk dilakukan. Soalnya saya ingin traveling, dan akan sulit meninggalkannya di rumah sendirian. Punya binatang peliharaan berarti punya tanggung jawab lebih. Apalagi kelinci ini rentan sakit dan mudah meninggal. Harus benar-benar siap mengurusnya.

Satu-satu kita coba capai mimpi. Semoga 2025 jadi tahun yang baik buat saya. 


30 November 2024

Ternyata Anak Saya Juga Gen Z

 “Mama ini bagaimana sih, aku kan Gen Z.”

Protes Dudu sering terjadi ketika saya komen soal kelakuan anak Gen Z. 

“Loh, emang Gen Z itu tahun berapa?” 

Pertanyaan saya malah membuat dia tambah kesal. Haha. Yah, habis gimana dong. Saya berpikir Gen Z ini adalah teman-teman di kantor, yang senang bicara mental health dan jajan kopi kekinian. Anak-anak di tim saya yang kerja keras di weekdays, tapi weekend-nya having fun gila-gilaan. Senang belajar hal baru, FOMO dan gampang overthinking. 

Kadang saya berpikir Gen Z seperti kelinci. Foto hanya pemanis.

Kalau ditanya apa yang saya dapatkan dari interaksi dengan Gen Z, ini adalah jawabannya: 

Mental Health itu bukan penyakit yang harus disembunyikan.

Generasi yang ini lebih berani dan terbuka soal kesehatan mental mereka. Dosis obat anti-anxiety, rekomendasi psikolog dan psikiater jadi bahan diskusi seperti makanan dan restoran. Dari mereka jugalah, saya memahami bahwa psikiater memang dibutuhkan dan dapat membantu memecahkan masalah. 

Ketika Mama diagnosa kanker dan sulit berkomunikasi, saya memanggil psikiater rumah sakit untuk berkunjung dan memberikan obat. Hasilnya, Mama jadi sempat pamit dan ngobrol sebelum akhirnya berpulang. Mental Health awareness berguna bukan hanya bagi anak muda, tetapi juga orang tua. Post-power syndrome bagi pekerja pensiun atau lansia aktif yang terkena penyakit berat dan harus bed rest. Ini semua sering membutuhkan bantuan mental health expert, dan saya belajar dari para Gen Z ini untuk tidak mengabaikan kemungkinan ini. 

Overthinking dulu Insecure kemudian. 

Saya langsung merasa overthinking saya normal. Beberapa rekan dan kenalan yang Gen Z. memiliki kemampuan overthinking yang membuat saya jadi overthinking juga. Ini saya yang “normal” atau saya memang kurang memikirkan segala sesuatunya dengan baik? 

Overthinking bukan hal positif jika dilakukan secara berlebihan, tapi ini sebenarnya adalah self-defense mechanism yang dimiliki manusia untuk meminimalisir resiko. Atau setidaknya begitulah yang saya pikirkan. Yang penting jangan sampai kedua hal ini menghambat saya dalam berkembang dan belajar. 

Work-Life Balance itu Penting

Kerja memang harus, tapi bersenang-senang juga jalan terus. Uang kalau hanya mengendap di tabungan juga buat apa? Meskipun ini bukan mindset general Gen Z, beberapa teman saya memilikinya. Gadget dicicil. Ketika cicilannya lunas, sebulan dua bulan kemudian tukar tambah dengan yang baru dan mulai mencicil lagi. Saya yang terbiasa membayar lunas semuanya jadi membandingkan gaya hidup saya juga. 

Menabung itu perlu. Banyak Gen Z yang saya kenal punya emergency fund cukup besar. Soalnya mereka pernah kena layoff dan faham resiko kerja di perusahaan startup. Yes, biasanya mereka kerja di startup karena tantangan dan gaji yang besar. Namun, pengeluaran mereka juga cenderung besar karena mereka suka pakai gadget terbaru. Beberapa juga menghabiskan uang di skincare dan liburan ke luar negeri. Intinya ya itu, ada alokasi dana untuk bersenang-senang. 

Menghadapi rekan kerja yang semakin hari semakin muda, bahkan saya pernah punya intern yang umurnya hanya beda beberapa tahun dengan Dudu, membuat saya berpikir bahwa saya semakin tua haha. Untungnya gap antar generasi biasanya tidak terlalu terasa, dan saya seringkali bisa menyesuaikan diri. 

Kuncinya hanya satu: mau berpikiran terbuka. 


17 November 2024

Sebuah Refleksi tentang Literasi Digital untuk Perempuan

 “Bisa dicek emailnya ya, Mbak.” 

Kalimat ini terdengar sederhana tapi tidak semua bisa melakukannya. Kok gitu? Iya, jadi sepanjang perjalanan saya mengurus komunitas, yang baru 3 tahun kemarin itu, saya menemukan bahwa literasi digital ini penting adaya.

Di sebuah hasil polling Apps Populix, sebagian besar responden bilang kalau mereka malas buka email karena terlalu banyak yang isinya promosi. Lalu muncul Gmail yang memisahkan email pribadi dan promosi atau Outlook yang punya folder “focused” untuk memfilter email langganan. Lah, ini berarti sebenarnya literasi digital kita sudah maju dong.

Mungkin.

Kenapa saya bilang mungkin? Soalnya kalau saya mengirimkan email zoom link event komunitas, banyak yang kebinggungan mencari folder spam/junk atau di mana bisa lihat email yang masuk ke “update”. Belum lagi kalau ternyata email di ponsel dan laptop tidak sync, jadi pas dicari ya emailnya tidak ditemukan. Jadi literasi digital bukan sekedar tahu cara membuka email. Tetapi juga memilah isinya dan menemukan pesan yang dicari.

Kenapa tujuannya perempuan? Sebenarnya ini ya karena dunia saya banyak berurusan dengan perempuan dan terbentur kemampuan mereka untuk memanfaatkan teknologi. Termasuk saya.

Ketika Dudu mendaftar kuliah menggunakan “Common App,” saya culture shock. Jaman dulu kita manual mengirimkan berkas lewat email atau pos. Sekarang dia mengisi semuanya secara online, sekolahnya mengupload nilai secara online juga dan decision dari kampus tujuan juga diberikan secara online. Cuma pakai satu app.

Ini, lho. Dari bayi sudah pegang komputer.

30 May 2024

Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Melakukan Sesuatu yang Disukai

“Kok elo umur kepala 4 masih nonton konser?”
Bukan cuma nonton konser, tapi mengejar idol sampai ke Korea.

“Lah, kalo lo nonton, Dudu ditinggal?”
Soalnya kalo diajak, dia tidur. Terus habis itu ngomel-ngomel sendiri karena mendingan di rumah main PS atau nonton Netflix.

“Kok tega ninggalin anak?”
Jangankan konser ke kabupaten sebelah, saya pernah nonton konser sendirian di Kuala Lumpur. Dudu ya sama opa omanya di rumah. 

Jalan hidup saya terbalik dengan kebanyakan orang. Ketika yang lain sibuk travelling, party, nonton konser dan mengejar idol-nya, saya sedang jadi ibu tunggal. Nah, sekarang ketika semua orang di sekitar saya sedang fokus berkeluarga, saya malah ada di lokasi konser idol Kpop bersama ribuan anak-anak yang umurnya tidak beda jauh dengan Dudu. Ada emak-emak nyasar yang terlambat ngefans sama Kpop. Eh, memangnya itu terlambat?

Akhirnya nonton konser CNBlue, meski beli tiket H-1.

“Kalo Dudu udah kuliah, lo mau apa?”
“Gue mau kuliah lagi, ambil S2.”

Saya memperhatikan kebingungan di raut wajah lawan bicara saya. Sudahkah terlambat untuk ingin mengambil S2, sekolah lagi mencari gelar yang sesuai passion saya? Banyak tawaran kuliah yang hadir di sepanjang karir saya. Namun jurusannya ya itu, bisnis, marketing dan sejenisnya. Sementara saya inginnya belajar antropologi, ethics atau social work. Tidak nyambung dengan pekerjaan sekarang. 

Apakah saya menyesal?

Sempat terlintas, seandainya saya lebih muda, tentu nonton konser sambil berdiri 3,5 jam bukan hal mustahil. Saya tidak perlu pegal-pegal pegal sampai tiga hari dan tumbang seharian hanya karena terlalu euphoria di konser. Atau mungkin, tidak perlu merasa ilfil ketika idol yang ada di panggung mulai gombal kepada penontonnya hanya karena usia mereka setidaknya 5 tahun lebih muda dari saya. Berondong. Tapi menikmati konser Kpop di usia ini, di mana sudah tidak sanggup antri berjam-jam, juga bukan sebuah keterlambatan.

Soalnya waktu semua orang sibuk dengan idol-nya, saya sibuk membesarkan Dudu. Jadi ya mau bagaimana lagi kalau pilihannya begitu?

Pertemuan saya dengan Idol Kpop yang termasuk terlambat itu membawa dampak besar dalam hidup dan mimpi saya. Di usia 30+, saya belajar lagi bahasa baru, bahasa Korea. Yang kalau dipikir-pikir tahun ini adalah tahun ke-7 tahun saya tekuni. Lalu tahun ini, saya juga mendaftar untuk jadi Honorary Reporter di Koreanet. Hanya karena saya kangen dengan kegiatan sebagai jurnalis, sekaligus ingin melakukan sesuatu sebagai fans Kpop. Belum lagi, akhir tahun lalu saya mulai mencoba menulis fiksi dengan lebih serius. Bisa ditebak, latar belakang dan karakter yang muncul ya lagi-lagi berhubungan dengan Kpop dan Korea. Belajar bahasa dan belajar menulis fiksi, semua di usia yang sepertinya kok terlambat. Soalnya teman-teman yang ikutan, semua umurnya lebih muda. 

Kalo nonton, yang diajak si boneka ini

Hal ini mungkin akan terjadi ketika kelak saya beneran kuliah S2. Teman-teman yang usianya lebih dekat dengan Dudu, masih muda-muda dan mungkin sanggup begadang menyelesaikan thesis. Daya ingat yang lebih kuat, lebih mudah menghafal waktu ujian. Kemampuan analisa yang lebih tajam karena belum lama terjeda dari masa kuliah yang sebelumnya. Tapi ini tentunya bukan alasan bagi saya untuk tidak jadi kuliah lagi. Justru mungkin saya akan lebih santai menjalani kuliah karena tidak ada beban karir yang menanti di ujung jalan. 

Memulai sesuatu belakangan, bukan berarti kita tidak bisa mengejarnya dengan senang hati. Ada kok, kebahagiaan yang hadir ketika kita berada selangkah lebih di belakang. Kita jadi punya waktu untuk mengamati jalan yang akan diambil dengan lebih jelas. Misalnya jadi lebih bisa mengatur prioritas ketika menonton konser. Atau jadi punya semangat dan motivasi lebih untuk mencapainya. Terutama kalau kita orangnya kompetitif. Bisa belajar lebih fleksibel juga. Sebagai ibu-ibu, tentunya saya harus berpikir ke mana Dudu harus saya titipkan kalau saya mau pergi nonton konser selama 4 jam? 

Terlambat atau tepat waktu, yang pasti, nikmati saja perjalanannya. Semua toh akan indah pada waktunya.


27 May 2024

Creating Healthy Boundaries Starts With Me

How often are we hesitating to say no to a request? Just because we want to prevent inconveniencing others. Or we want to be seen as this helpful person. How often are we doing things beyond our abilities? Just to prove that we're strong enough. Well, I'm sure you're not alone. I struggled with that too.

3 Things We Should Have to Create Healthy Boundaries:

  1. Self-Awareness
  2. Clear Expectation
  3. Communication

Self Awareness

Setting a healthy boundary starts with knowing who we are, what we want and what our preferences are. We need a clear understanding of our thoughts, emotions, and behaviors. How can we create a boundary when we don't know where to draw the line? So, it starts with self awareness. For example, we're not fond of smoke and alcohol. When our circle invites us to go clubbing or hanging out in a lounge, we can comfortably reject them and say we'll join next time they're in a coffee shop. When we have firm boundaries, know what we want and who we are, people come to respect our choices. 

Recognize the different roles we play everyday, healthy boundaries may vary depending on which hat we're wearing. As a mom, for example, healthy boundaries may be our limit, both physical and emotional. Knowing my patience limit may help me say “no” when needed. I can courageously reject additional responsibilities, admit I’m overwhelmed, take a break and ask for help as needed. Realize that we are responsible for how we feel, and we can’t blame others because they made us feel this way. This goes for the opposite, that we’re not responsible for other people’s emotions.

Clear expectation

This should be a two-way interaction. Expectations towards others and expectations to ourselves. An article published by Joe Sanok on Harvard Business Review, titled “A Guide to Setting Better Boundaries,” mentioned two types of boundaries. Hard boundaries are the one we can't compromise and soft boundaries where things are more flexible. Knowing whether it's hard or soft boundaries that we exercise will help us manage our expectations.

For example, a friend of mine has this rule of no smoking near her children. Upon the birth of her third child, she is asked to move back to her parents house to help care for them. It's also easier for her, who is considering going back to work. The problem is, her father is a rather heavy smoker. 

With a hard boundary regarding smoking, she knows that moving back is impossible. Her expectation of her father taking the cigarettes out to the porch every time he wants to smoke might not be fulfilled. Her father expects her to be lenient, while she expects her father to strictly follow the smoking rule. 

Soft boundaries might be about meeting time or what food to eat. Despite not agreeing to move back due to cigarette presence, her parents are still seeing their grandchildren. While they were with their grandparents, she couldn’t strictly enforce what they should eat. The menu is a soft boundary she could compromise.

Communicating clear expectation like this message

Communication

When we know ourselves, and have set a clear expectation, what’s left is communicating them to the outside world. Boundaries aren’t always as clear as a police line. People may not recognize them and accidentally trespass those lines. Therefore, we have to communicate our boundaries clearly. 

Expressing these boundaries needs some degree of assertiveness. Not everyone has this capability and is comfortable establishing boundaries without feeling aggressive or selfish. So, the first thing we do is stating the facts. In my friend’s case, she can say to her father that “I can’t tolerate smoking around children, therefore I can’t move back home unless you stop smoking.” Add an alternative if setting the boundary makes you feel bad. Something like, “but we can visit on weekends.”

As a mom, I can feel exhausted. When a fellow mom starts a conversation, and I don’t feel like listening to their problems, I should be able to say “As much as I want to help, I don’t have the capacity to listen to your problem right now. I’m really sorry.” The same with unsolicited advice. We have the right to reject them, after saying that we respect their opinion.

Boundaries are indeed important. 

I lost several friends due to the boundaries that I set to myself. Mostly because of communication and time boundaries. I don’t usually reply to chat right away. If it’s urgent and if you want a conversation, you should call. Or we can meet and have a chit chat at a cafe. Some of my friends disagreed and went overboard with my late reply. One of them went berserk over how I managed to add a new admin on a group chat I’m responsible for, while ignoring her request for a phone call. I just don’t have the energy to argue with her. I apologize if I made her uncomfortable, told her what she should have done and ignored her ever since. That’s where I drew the line. 

I don’t say what I did was right, but that’s my boundary. I know enough that responding to her negative energy will just exhaust me. I managed my expectations and told her what she could expect of me. Then I communicate those feelings and expectations. I’m done. I felt bad at first because I tend to be a people pleaser. But then, boundaries aren’t meant to include everyone anyway.


02 August 2023

Persiapan Nonton Konser di Usia (Hampir) 40

“Apakah seorang idol harus terus berkarir dan promosi di usia 40?”

Judul berita itu muncul di timeline sosmed saya. Kebetulan idol favorit saya, Super Junior, sudah sampai usia 40 tahun. Saya juga. Soalnya saya dan idol saya memang seumuran. Dudu sering komen soal per-konseran-ini karena sepertinya hanya saya mama-mama yang masih mengejar-ngejar Kpop Idol sampai ke negara tetangga.

Idol saya ini pernah bercanda, membuat konser yang penontonnya duduk semua karena “fans kita sudah tua.” Iya juga. Sementara para idol masih bisa nge-dance berjam-jam dan berlari-lari keliling panggung, para fansnya sudah jompo. Berdiri 3 jam sepanjang Supershow sudah tidak kuat. Apalagi setelah pandemi, badan jadi lebih tidak fit karena kebanyakan rebahan di rumah. 

Sepanjang pandemi, konser diadakan online. Menyaksikan SMTown Live di televisi di tahun baru sudah jadi tradisi beberapa tahun terakhir ini. Belum lagi konser online di beberapa platform yang bisa kita saksikan di layar komputer masing-masing hanya dengan membeli tiket. Idol terlihat lebih jelas, tidak perlu lelah antri masuk karena bisa sambil duduk, dan tidak perlu dandan rapih. Sebenarnya yang seperti ini ideal buat saya yang umurnya sudah mendekati kepala 4. Tapi jadi malu, ya. Masa artisnya sanggup, fans-nya kalah? Hahaha.

Nonton konser di TV tidak seseru nonton aslinya.

Apa yang harus disiapkan ketika mau nonton konser, sementara usia sudah semakin tinggi?

Pertama tentunya uang. 

Meskipun sekarang sudah punya tabungan, tapi pengeluaran dan tanggung jawab juga sudah semakin banyak. Jadi, agar dana konser tidak mengganggu cash flow, sebaiknya kita tetap memiliki pos terpisah untuk konser. Apalagi harga tiket konser kan biasanya juga tidak murah. Begitu juga dengan artis yang ingin didatangi konsernya. Saat ini, saya sendiri hanya membatasi dua artis yang konsernya bisa saya datangi karena keterbatasan dana: Super Junior dan Backstreet Boys. Karena pemberitahuan penjualan tiket konser biasanya mendadak, jadi saya punya tabungan khusus tiket konser yang tidak bisa diganggu gugat. Ketika tiket beserta harganya diumumkan, biasanya saya sudah punya uang untuk membeli. 

Kalau ada rejeki lebih, nonton konsernya sekalian liburan ke negara tetangga. Dudu? Ya dititipkan dulu di rumah adik saya yang kebetulan bermukim di sana haha.

Kedua, jaga kesehatan dan sadar diri. 

Sudah bukan anak kuliahan atau di awal karir yang masih berprinsip “you only live once,” jadi tentukan prioritas. Tidak perlu ikut jemput ke airport, stalking dan keliling kota demi papasan di jalan. Persiapkan diri nonton konsernya. Dari sisi kesehatan dan dari sisi kerjaan. Jangan sampai di hari konser, kita terpaksa lembur, atau sakit karena kebanyakan lembur di minggu sebelumnya. Jangan memaksakan diri ambil kelas yang berdiri kalau memang lebih nyaman duduk. Kalau seat sudah ada numbernya, tidak perlu datang terlalu pagi. Ini yang saya lakukan ketika menonton Super Junior KRY beberapa tahun lalu. Sudah ada seat number, jadi tidak perlu antri sejak pagi.

Ketiga, maksimalkan momen untuk ‘me time’. 

Sebagai seorang ibu, jarang-jarang saya punya waktu heboh sendiri. Dan biasanya ketika sedang ‘me time’ pun, saya tetap membuka handphone memantau keadaan sekitar. Nah, kalo konser, karena sibuk fangirling dan berusaha tidak terhimpit massa, jadi lupa sama yang namanya memeriksa chat. Yang ada handphone dimatikan sinyalnya agar tidak mengganggu atau habis baterai saat merekam aksi idol idaman. Ketika nontonnya di negara tetangga, saya sekalian “solo traveling” meskipun cuma setengah hari di Singapore dan hanya di sekitar tempat konser. Haha.

Jadi, apakah saya akan berhenti nonton konser di usia 40?

Well, sepertinya sih tidak. Kalau para idol saya belum berhenti berkarya, saya sih akan terus menabung untuk menonton konser. Sama waktu Backstreet Boys akhirnya world tour lagi dan nyampe di Jakarta dengan formasi lengkap, bahagianya bisa konser pakai uang gaji sendiri itu tidak terlukiskan. 


31 July 2023

Satu Catatan Berkesan Seorang Ibu-Ibu Banyak Mau

Membuka kembali buku harian lama berarti membaca kembali mimpi yang tertunda. 

Puitis ya hehe.

Satu cerita lama yang saya baca ulang adalah mimpi saya buat kuliah lagi. Ketika saya punya anak kemarin, yang namanya kuliah S2 jadi prioritas kesekian. Soalnya jurusan kuliah yang saya mau bukan jurusan yang akan membuat karir lebih maju atau jurusan komersil. Jurusannya dipilih karena saya ingin belajar ilmu itu. Makanya jadi hal yang tidak urgent. Lalu ketika si Dudu mau kuliah, kita pergi college shopping. Saya jadi keingetan kalau saya pernah punya mimpi mau kuliah lagi.

Ternyata selama bertahun-tahun ini, jurusan yang saya inginkan tidak berubah. Antara melanjutkan studi master di bidang Religious Studies atau Cultural Anthropology.

Ketika saya utarakan itu, sekeliling saya menanyakan kenapa saya tidak mau ambil MBA. Alasannya, saya sekarang bekerja di bidang marketing. Tentunya gelar MBA akan sangat membantu karir dan gaji, sehingga finansial saya bisa membaik juga. Lah, tapi itu tadi. Saya mau kuliah mengambil jurusan yang saya suka lalu mencari karir yang sesuai dengan jurusan tersebut. Bukan sebaliknya. Lalu karirnya bagaimana? 

Membuka kembali catatan lama, saya jadi sadar kalau memang saya belum memikirkan karir mau jadi apa kalau sudah lulus S2. Dan itu dulu, ketika saya baru lulus S1. Sekarang, setelah lebih dari 15 tahun malang melintang jadi karyawan dan berpindah karir dari jurnalis ke marketing, jadi kepikiran juga. Mau jadi apa kalo sudah S2?

Google jadi tujuan. 

What can you do with a Religious Studies degree?

Sebelum masuk ke karir, Religious Studies adalah jurusan yang mempelajari agama dan kepercayaan di seluruh dunia. Mempelajari hubungan kepercayaan (termasuk agama) dan aspek sosial, politik serta budaya. 

Melirik website karir di beberapa universitas, lulusan Religious Studies biasanya jadi guru atau researcher. Banyak yang menggabungkan jurusan ini dengan bidang studi lain seperti sosiologi, jurnalistik, pendidikan, hukum dan social work. Meskipun kebanyakan mengarah ke karir yang berhubungan dengan agama, seperti evangelist, tapi banyak juga pekerjaan lebih netral yang bisa dilamar. Misalnya, community outreach, yang berhubungan dengan komunitas, dan non-profit administrator, yang berhubungan dengan organisasi kemanusiaan. 

Bagaimana dengan Cultural Anthropology? 

Cultural Anthropology adalah jurusan yang berfokus pada aspek masyarakat dan budaya manusia, termasuk dengan perkembangannya. Kalau tinggal di Indonesia, rasanya jurusan ini menarik banget ya. Cultural Anthropology mempelajari interaksi manusia dan bagaimana “peraturan” serta norma dibuat. Bagaimana dengan karirnya? Bisa di bidang kemanusiaan, misalnya di dinas sosial, peneliti atau guru, di museum sebagai juru arsip, kurator hingga direktur museum. Bisa jadi ahli sejarah, program manager dan pindah sedikit ke HRD bidang people & culture.

Setelah melihat karir choice yang ada untuk kedua jurusan itu, saya malah makin mantap untuk mengejar studi lebih lanjut. Soalnya, karir yang ada, sesuai dengan passion saya sekarang di bidang komunitas dan organisasi non-profit. Banting setir lagi dong dari marketing. Yah, namanya juga mimpi yang tertunda. Sayangnya, mungkin di Indonesia, karir di bidang ini masih sangat jarang. Karir di Dinas Sosial dan organisasi non-profit memang kurang populer dan kalaupun ada, gaji yang didapat pastinya tidak sebanyak kalau berkarir di start-up. 

Makanya kalau saya menyebutkan jurusan-jurusan yang ingin saya ambil, banyak yang mengernyitkan dahi. Tapi, ya, kenapa nggak? Ada banyak jurusan di luar sana. Temukan yang memang sesuai kebutuhan dan keinginan. 

14 December 2022

Setiap Blog Post Ada Perjuangannya

“Gue mau jadi blogger dong kayak lo.”

Bukan sekali dua kali saya mendapat komentar seperti ini, karena teman yang melihat blog saya berdua Dudu. Namun memang konsistensi itu sulit. Lalu, setelah mengatasi rasa malas dan niat meluangkan waktu menulis, masih ada hal-hal lain yang harus dikerjakan sampai sebuah blog post yang baik itu ter-publish.


Blog buat saya adalah ‘reportase’, meskipun terkadang tulisannya opini atau pengalaman sendiri. Tapi yang ideal tetap saja perlu research atau setidaknya hadir event/ melakukan kegiatannya sendiri. Dan ketika dilakukan berdua anak, ternyata prosesnya tidak seindah hasil tulisannya haha.


Kok gitu?
Soalnya Blog ini melibatkan si anak yang berarti kalau bikin postingan ya menunggu mood si anak bagus, atau momen yang tepat. Tidak bisa posting setiap saat, setiap waktu juga.

Lalu, apa dong reportase yang berkesan?
Saya dan Dudu pernah ikutan acara launching susu UHT. Sebenarnya tidak ada kewajiban apa-apa dari acara tersebut, tapi saya merasa bahwa ceritanya seru dan bisa jadi cerita lebih panjang. Jadilah selesai acara tersebut, saya dan Dudu hunting kemasan susu UHT demi sebuah postingan yang lebih memuaskan target pribadi.

Perjuangannya lumayan. Saya meluangkan waktu seharian di akhir pekan untuk berburu bahan tulisan dan mengabadikan gambarnya. Tapi worth it banget, kan demi #DateWithDudu juga.

Yang tidak kalah berkesannya adalah ketika saya menulis tentang pengalaman journaling beberapa waktu lalu. Penuh perjuangan karena sebelum membuat postingan itu saya harus beneran journaling, bikin gratitude journal dan daily habit journal selama setidaknya sebulan penuh. Setelah itu, barulah saya tulis reportasenya. 

Bagaimana kabar teman-teman saya?
“Duh, gue mau update tapi malas menulis.”
“Ngedit foto ternyata lama ya.”
“Gimana sih caranya biar bisa rapih gitu tulisannya? Harus dari laptop ya?”
Nah kan. Hahahaha.

Ini bukan berarti saya tidak pernah malas. Buktinya blog ini juga bolak-balik vakum. Dengan makin besar-nya si Dudu plus pandemi yang di rumah aja itu, bingung mau menulis apa. Ada ide, malas mengejar fotonya, malas ngedit layoutnya. In the end, ya jangan biarkan rasa malas itu menghalangi postingan blog di depan mata sih.

Kalau tulisan tentang liburan sama Dudu gimana?

“Kebanyakan foto, lo enjoy jalan-jalannya nggak sih?”
Pertanyaan penasaran dari seorang teman yang bikin saya berpikir juga. Kalo liputan event kan kerja ya, wajar kalau foto sana sini, mencatat semuanya dan mengamati sekitar. Gimana kalau liburan, kan kita maunya enjoy tanpa beban. Eh, ini malah ada PR untuk bikin tulisan perjalanan.



Menulis perjalanan dan tidak melupakan detailnya adalah sebuah perjuangan juga. Untungnya sekarang internet bisa banyak membantu. Informasi tinggal di Google search aja lalu muncul semua jawabannya. Biasanya saya memfoto informasi, mengambil brosur atau menandai sebuah tempat di Google Maps. Lalu yang saya catat adalah rasa, kesan dan hal-hal yang terpikirkan saat berada di tempat tersebut. Mungkin celoteh si Dudu, mungkin ada milestones dia waktu kecil yang terjadi ketika jalan-jalan. Soalnya yang itu kan tidak ada di internet. Justru sayalah yang mau menuliskannya di internet.

Setiap tulisan adalah perjuangan.
Tapi yang bikin blogging jadi seru dan berkesan ya cerita keribetannya itu kan.

06 December 2022

Kumpulan Lagu Penyemangat Hari di Spotify Wrapped 2022

Spotify Wrapped tahun ini isinya sama lagi haha. Top artists saya tetap dia lagi dia lagi. Backstreet Boys dan/atau Super Junior di peringkat pertama dan kedua. Lalu yang ketiga L'Arc-en-ciel. Nomor Empat dan Lima yang baru: Lady Gaga dan Boyce Avenue. Agak kaget karena Linkin' Park nggak masuk.

Emang, lagu apa sih yang didengarkan berulang kali sampai masuk Spotify Wrapped? Segitu menginspirasinya buat seorang single mom?


You Say - Boyce Avenue

Lagu ini sebenarnya bukan punya Boyce Avenue. Tapi karena versi Lauren Daigle tidak bisa buat karaoke, alias suara saya tidak sampai, jadi versi Boyce Avenue inilah yang saya sering pasang di mobil.

Yang bikin lagu ini inspirational adalah bagian chorusnya yang bilang bahwa kita ini ada artinya. Kita punya meaning, dan ada yang selalu perduli sama kita. Jadi, lagu ini bagus karena mengingatkan saya bahwa ketika semuanya bubar, ada anak yang selalu membutuhkan keberadaan dan kasih sayang kita sebagai ibunya.
"What matters is what you think of me
In you I found my worth, my identity."

 

Stay Away - L'Arc-en-Ciel

Lagu ini nadanya ceria tapi liriknya kena. Kalau kata Google Translate, lagunya tentang menemukan kebebasan dan menyuruh masalah jauh-jauh aja dari kita. "I just wanna say I'm lucky" dan "I just wanna say I'm happy." Buat saya sih ini matra buat single mom banget

Lagu yang dirilis tahun 2000 ini ada cover version yang dinyanyikan oleh Daniel Powter (buat yang merasa kenal, dia ini yang nyanyi "cos you have a bad day…") dengan lirik yang senada. Intinya tentang percaya pada diri sendiri dapat membawa perubahan dalam hidup kita. Harus percaya bahwa jadi ibu tunggal ini kita kuat. "No looking back or second guessing, I think by now I've learnt my lesson. Feeling lucky, feeling lucky. Feeling really lucky."

Lady Gaga' songs

Lagu-lagu penyanyi bernama asli Stefani Joanne Angelina Germanotta ini selalu relatable. Mulai dari Poker Face sampai Sour Candy. Lagu terbarunya, Hold My Hand, yang dirilis buat Soundtrack film Top Gun: Maverick pas banget didengarkan kalau lagi overwhelmed kebanyakan urusan. Namanya single mom kan semua diurus sendirian lalu capek. Pengennya ada yang paham tanpa harus cerita.
"That fear that's inside you will lift, give it time
I can see everything you're blind to now
Your prayers will be answered, let God whisper how"

Bagian itu terutama, mengingatkan saya kalau pas semua rusuh dan bingung gimana lagi nih kok kayak nggak ada jalan keluar, bahwa tunggu aja ntar juga ada titik terangnya. Mungkin saya tidak bisa lihat karena lagi tenggelam dalam masalah. Give it time, nanti juga terjawab doanya.

Suju sama Backstreet Boys ya udahlah ya. Tiap tahun mereka muncul, rebutan peringkat pertama dan kedua di hati saya, eh Spotify Wrapped saya. Dan Backstreet Boys sudah menemani saya melewati masa remaja, patah hati, jatuh cinta, gagal move on, jatuh cinta lagi, lalu capek sendiri.

Skip.

Satu lagu yang masuh honorable mention adalah Just Because yang dinyanyikan Dido. Liriknya bagus dan beatnya asyik. Coba cek bagian ini:


"Just because everybody does it
Doesn't mean we need to
Just because everybody wants it
Doesn't mean we want it too (sing your song)
Just because everybody's talking
We don't need to share"

Cuma karena semua keluarga lengkap bapak-ibu, bukan berarti saya harus nikah juga. Cuma karena semua orang pengen liat saya punya pasangan, bukan berarti saya harus cari pacar. Cuma karena semua orang kepo dan bertanya-tanya, bukan berarti saya harus cerita.

Sing your song. Nyanyiin aja lagu saya sendiri, tidak usah pusing sama lirik lagu orang lain.

Udah gitu aja pokoknya. It's a wrap!

24 November 2022

Menjawab Penasaran Tentang Blogger Itu Apa Sih?

Title “blogger” biasanya saya gunakan ketika saya tidak ingin atau tidak bisa menyebutkan pekerjaan utama yang sedang dilakukan sekarang. Soalnya Blogger ini adalah satu “pekerjaan tetap” yang sudah saya lakukan sejak sebelum Dudu lahir. Bahkan beberapa kali, pekerjaan ini lah yang Dudu sebutkan ketika ditanya Mama-nya kerja apa.

Terus reaksinya gimana?


Yuk kita mulai bloggingnya

Generasi Opa-Oma

Kalau cerita ke generasi orde lama dan orde baru, misalnya orang tua dan om tante saya, ya kata “blogger” ini masih sangat asing. Jadi, kalau ditanya sama temannya Mama atau sama orang tua teman saya, awalnya saya bilang “jurnalis tapi punya website sendiri.” Lalu ketika saya tunjukin blog saya, mereka biasanya komentar “oh, penulis ya.”

Jadi Blogger adalah Penulis.

Yang jadi masalah adalah ketika mereka bertanya lebih lanjut, “terus kamu dapat uangnya dari mana?” Soalnya para oma-opa ini kurang paham soal endorsement, paid promote dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya bilang kalau ada brand yang kerjasama, kita dapat uang untuk menuliskan tentang produk mereka. Ya, kurang lebih sama seperti iklan.

Generasi Saya

Yang ini lebih mudah karena tidak perlu menjelaskan arti blogger dan diskusinya bisa lebih seru. Reaksi pertama biasanya bertanya, apa isi blognya. Lalu berujung minta alamat blog-nya karena penasaran dengan tulisannya, atau penasaran dengan Dudu. Lumayan dong, jadi nambah traffic. Yang lebih penasaran akan bertanya awal mula bikin blog, susah atau nggak, lalu berujung konsultasi tentang blogging.

Perjalanan setiap orang untuk jadi blogger itu berbeda. Ada yang menggunakannya untuk buku harian, seperti saya pada awalnya, dan ada yang memang ingin mendapatkan penghasilan. Tapi, satu yang pasti, blogging membutuhkan komitmen. Saya baru benar-benar menggunakan title “Blogger” ini setelah blog saya berjalan beberapa tahun. Dan tidak ada yang instan, kalau mau bangun audience dan dapat penghasilan. Ini yang perlu diingat ketika hendak memulai sebuah blog.

Kalau jadi blogger bisa kumpul-kumpul dan ketemu banyak teman baru

Generasi Dudu

Karena Dudu sudah tahu saya ini penulis, dan sebagai generasi yang lahir tahun 2000an, tentunya sudah familiar dengan kata “blog,” maka tidak sulit menjelaskan ke orang-orang seumurannya tentang blogging. Berbanding terbalik dengan generasi opa-oma yang merasa bahwa blogging ini super advanced technology, buat para anak ABG ini, blogging itu ketinggalan jaman.

Sekarang jamannya short video, yang tentunya lebih cocok untuk attention span mereka yang singkat.

Jadi, bagaimana menjelaskan kepada mereka yang awam tentang profesi blogger? 

Selain menunjukan wujud nyata si blog kepada mereka yang bertanya, saya biasanya cenderung menjelaskan apa yang saya lakukan dan biarkan mereka membuat definisinya sendiri. Blogger bisa jadi penulis untuk para opa-oma, atau citizen journalist buat teman-teman saya, ataupun journal online buat anak-anak remaja masa kini.

Kenapa blogging? Kenapa bukan vlog atau podcast?


Jawabannya ya karena saya adalah seorang penulis, jadi menuangkan sesuatu pasti dalam bentuk tulisan. Lebih bisa merangkai kata daripada mengucapkannya.

Menulis blog juga bisa jadi terapi murah dan mudah yang bisa dilakukan kapan saja oleh siapa saja. Soalnya blog ini mirip sama jurnal, bisa jadi tempat mencurahkan isi hati dan mengenal diri sendiri. Ada banyak journal prompts di luar sana yang bisa digunakan sebagai ide menulis, yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan mental health kita misalnya self-healing journal, forgiveness journal atau gratitude journal. Yang tematik seperti ini juga bisa dikelompokkan menjadi satu blog bertema.

Bagaimana dengan blog yang menghasilkan uang? Kalau isinya curhat ya tidak bisa dimonetisasi dong. Well, karena tujuan saya blogging ini curhat, alias berbagi cerita saya dan Dudu, saya tidak begitu ambil pusing dengan pendapatan sebagai blogger. Tapi bukan berarti saya tidak menjaga image blog agar konsisten dan selalu ter-update. Niche blog-nya jelas: parenting. Lalu idealnya sih, bisa update sekali sebulan.

Ada yang tertarik mencoba jadi blogger juga?

07 April 2022

Mengenal Jenis Jurnal dan Manfaatnya dalam Kehidupan Sehari-Hari

Konon, journaling itu baru terasa manfaatnya kalau konsisten. Jadi, sebulan kemarin saya coba untuk konsisten.

Ada dua jenis jurnal yang saya buat: Progress Tracker Journal, yang saya modifikasi jadi Daily Habit Journal, dan Gratitude Journal. Keduanya adalah oleh-oleh dari acara yang saya ikuti. Beda jurnal, beda isi, beda fungsinya juga. Coba kita telaah lebih jauh bedanya masing-masing jurnal.



Daily Habit Journal
Idealnya jurnal ini dibikin di buku tulis, digambar dan dikasih warna agar terasa personal. Saya bikin di Excel online, dan terbagi ke dalam beberapa kategori. Kenapa di Excel? Soalnya nggak punya spidol warna-warni yang memadai. Lagipula pilihan warnanya lebih banyak di excel juga kan. Ide untuk membuat Daily Habit Journal datang dari Progress Tracker Journal yang saya lihat di acara launching buku Empowered ME (Mother Empowers) oleh Puty Puar bulan lalu. Ada beberapa tipe jurnal lain yang dibahas di acara tersebut seperti Action Plan Tracker atau Wheel of Life, tapi Progress Tracker inilah yang paling do-able, alias mudah dilakukan untuk saya.

Kalau Progress Tracker lebih spesifik, misalnya ketika saya sedang belajar Bahasa Korea maka saya akan pakai tipe jurnal ini untuk melihat seberapa jauh ‘perjalanan’ saya. Namun karena saya masih building habit, alias membangun kebiasaan belajar Bahasa Korea secara rutin, jadi yang saya gunakan adalah Daily Habit Journal. Tujuan saya membuat Daily Habit Journal ini juga sedikit berbeda di bulan pertama, karena saya sebenarnya ingin melihat habit apa yang sudah terbentuk dan apa yang sulit dimulai

Dari Daily Habit Journal yang saya buat selama sebulan kemarin ini, saya melihat bahwa ada beberapa hal yang sudah mengalir dengan sendirinya. Seperti minum air putih setiap pagi. Atau menulis blog dan baca komik yang meskipun tidak teratur tapi sering dilakukan. Sementara masak dan stretching sudah masuk kategori tidak ada harapan, dan saya berencana mengganti kedua hal tersebut dengan habit lain yang mungkin lebih doable, seperti mulai menulis fiksi.

Daily Habit Tracker Journal saya di bulan Maret kemarin

Ketika kemarin saya evaluasi, saya mencoba mencari pola dan menemukan bahwa di akhir pekan, saya cenderung lebih tidak produktif haha. Lupa minum vitamin, ngeblog juga bolong, belajar juga tidak. Yang dilakukan di Sabtu-Minggu biasanya hanya baca komik dan rebahan. Wah, jadi kepikiran. Akhir pekan ini ‘me time’ dan sering dihabiskan untuk bepergian atau event komunitas. Tapi seharusnya ada hal-hal yang ingin tetap saya lakukan seperti ngeblog atau minum vitamin agar waktu yang digunakan berasa optimal.

Gratitude Journal

Yang ini saya bikin di buku catatan. Minimal menuliskan satu hal yang membuat saya bersyukur setiap hari. Kebiasaan ini dimulai ketika mengikuti workshop bertema “Gali Potensi Diri” dari Komunitas Single Moms Indonesia di bulan Februari. Mengusung tema ‘self love’, Gratitude Journal mengajarkan kita bersyukur atas kebahagiaan yang diterima hari itu. Kesempatan mengapresiasi dan berterima kasih pada diri sendiri. Cara ini lumayan berguna menetralisir hal-hal negatif yang terjadi di sekitar saya.

Gratitude Journal saya di bulan Maret

Saya menuliskan Gratitude Journal ini ketika hendak menutup laptop dan mengakhiri hari. Meskipun sebenarnya tidak ada waktu khusus untuk menuliskan jurnal ini, tapi ketika hari berakhir dan menuliskan 1-2 hal baik yang ingin saya syukuri hari itu, hati jadi lebih tenang. Mengakhiri hari dengan hal-hal baik. Menulis isi Gratitude Journal juga tidak perlu kebanyakan mikir. Bersyukur bisa dimulai dari hal kecil, misalnya bisa punya waktu mandi lebih lama atau kebagian hibah durian dari tetangga. Tidak perlu menunggu menang undian dulu untuk bisa menuliskan isi Gratitude Journal.

Gratitude Journal tidak saya evaluasi. Hanya saya baca ulang di akhir bulan agar menyadari bahwa bulan kemarin itu not so bad dan bulan depan bisa lebih optimis lagi. Dari peserta workshop kemarin itu, ada yang cerita kalau Gratitude Journal yang dijalankan membawa positivity dan optimisme dalam hidupnya, lalu ada saja rejeki yang datang. Wah, hebat!

Tapi selain kedua jurnal tadi, saya juga keep jurnal yang isinya curhatan kalau sedang galau. Haha. Yang itu fungsinya untuk materi buku fiksi saya suatu hari kelak. Lalu ada juga healing jurnal, yang biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan terhadap diri sendiri yang perlu dijawab. Misalnya “apakah yang membuatmu kecewa?” atau “apa yang membuatmu tidak bisa memaafkan diri sendiri?” Jenis jurnal yang terakhir ini tidak secara rutin saya gunakan, hanya ketika sedang dibutuhkan saja. Misalnya ketika habis patah hati. Eh?

Bisakah digunakan untuk anak?

Saya baru mau menyarankan ke Dudu untuk pakai tracker seperti ini. Tapi kalau untuk Dudu sepertinya lebih cocok yang digital atau bentuknya apps ya. Kalau untuk anak yang lebih kecil, bisa dijadikan permainan dan diberikan reward ketika berhasil dilakukan. Misalnya puasa. Bisa dibuatkan papan untuk ditempelkan stiker di hari-hari si anak berhasil puasa. Lalu di akhir bulan sama-sama dievaluasi dan kalau memang ada reward yang dijanjikan di awal ya bisa diberikan.

Wah, bisa jadi proyek liburan sekolah bersama Dudu nih!

Apapun jenis jurnalnya, yang penting adalah konsistensi dan evaluasi. Kalau tidak konsisten, agak sulit mencari pola di Daily Habit Journal dan biasanya impact Gratitude Journal juga kurang terasa. Jadi memang harus konsisten setiap hari.

25 March 2022

Sudut Andalan Buat Foto di Rumah

Di belakang rumah saya ada sepotong tembok biru. Tembok itu warnanya berbeda dengan seluruh rumah yang didominasi warna putih. Kenapa ada tembok biru itu, saya juga tidak begitu tahu. Yang jelas, sekarang tembok itu sering menjadi sudut andalan saya foto-foto di rumah.


Sejak pandemi, saya pulang ke rumah orang tua. Ini membuat saya memutar otak kalau harus foto, baik untuk ilustrasi blog, feed instagram atau lainnya. Soalnya dulu saya tinggal di apartemen yang satu komplek dengan mall. Jadi, kalau mau foto bisa turun ke area kolam renang, bisa ke taman, bisa ke fasilitas lainnya, atau bisa juga keliling komplek dan mencari coffee shop lucu. Sekarang hanya bisa di dalam rumah. Selain karena takut keluar gegara pandemi, saya juga kehilangan coffee shop lucu, taman yang cantik dan kolam renang yang walking distance.




Ada beberapa sudut rumah favorit yang sering jadi andalan saya untuk foto. Karena sering mencoba, saya jadi menemukan beberapa hal:
  • Kalau pas tempat tidur saya pakai seprai putih, ini bisa jadi background foto produk dan flat lay. Tapi kalau pas pakai warna lain ya tunggu seprai putihnya dicuci dan kering haha.
  • Cari spot rumput yang rimbun lalu dijadikan background juga.
  • Bisa memanfaatkan beragam background seperti tembok batu atau pintu garasi untuk spot foto.
Tapi tetap, favorit saya ya si tembok biru. Yang menyenangkan dari sudut ini adalah lokasinya yang di bagian belakang rumah dan outdoor. Jadi mau pagi, siang, ataupun sore, sudut ini mendapatkan sinar matahari yang banyak. Makanya kalau buat latar belakang foto-foto jadi pas, tidak perlu pusing sama pencahayaan. Sekarang warna biru si tembok sudah memudar, tapi kalau difoto masih bisa diakali dengan filter haha. Cita-citanya sih, ingin saya cat ulang. Tapi harus dicari tahu dulu ini warna biru apa, soalnya saya ingin tetap sama warnanya.

 

Bukan cuma tembok biru-nya, tapi batu-batu putih yang ada di bagian bawahnya juga menolong ketika butuh foto dengan latar belakang sedikit berbeda. Biasanya sering jadi penolong ketika saya mau foto buat sponsored post atau ketika Dudu mau ikutan lomba foto. Seakan-akan sedang di pantai atau di taman, padahal hanya di kebun belakang. Hehehe. Lalu, yang terkadang sering membuat saya mengeluarkan kamera handphone adalah rumput liar atau ilalang yang sering tumbuh di antara batu-batu tersebut.

Sudah terkubur batu, kok ya masih nekat muncul. Tapi, ini sebenarnya jadi inspirasi dan penyemangat juga kalau sedang tertimbun pekerjaan atau stress sama deadline. Ada ilalang tumbuh di bebatuan, masa saya tidak bisa survive sama kerjaan?

20 March 2022

Menjawab Pertanyaan dan Rasa Penasaran tentang Inner Child

“Kayaknya gue punya inner child belum selesai deh. Gimana cara menyelesaikannya ya?”

Topik yang muncul di salah satu grup WA baru-baru ini membuat saya penasaran juga. Apa itu inner child? Soalnya topik Inner Child ini memang lagi banyak jadi topik obrolan. Percakapan di WA pun jadi panjang.

“Kayaknya kita perlu tahu dulu inner child artinya apa.”
“Iya bener, lalu perlu dilihat apakah inner child kita terluka sebelum pergi healing-healing.”

Emang ada inner child yang tidak terluka? Lalu, healing-nya gimana?


Daripada banyak pertanyaan dan salah pengertian, saya langsung mendaftar acara #BincangISB yang berjudul “Bertemu dengan Inner Child,” yang diadakan pada Sabtu, 19 Maret kemarin. Acara yang menghadirkan Psikolog Diah Mahmudah S.Psi, dan Psikoterapis Dandi Birdy S. Psi, para founder Biro Psikologi Dandiah ini memberikan pencerahan tentang inner child.

Menurut Teh Diah, inner child ini adalah sosok anak kecil, yang memiliki sisi happy dan sisi unhappy pada orang dewasa di masa kini. Biasanya baru bisa disebut inner child pada orang yang sudah dianggap dewasa, pada usia minimal 21 tahun. Dalam psikologi, definisi inner child ini dijelaskan oleh John Bradshaw, salah satu tokoh di dunia psikologi dan penyembuhan yang menuliskan tentang inner child di bukunya “Homecoming: Reclaiming and Healing Your Inner Child,” sebagai pengalaman masa lalu yang belum atau tidak mendapatkan penyelesaian yang baik. Jadi bisa negatif bisa positif.

16 March 2022

3 Film Bertema Keluarga Rekomendasi Dudu

Karena saya akhir-akhir ini jarang nonton film, jadi blog post ini yang nulis si Dudu. Tadi siang saya minta dia menuliskan 3 film yang dia baru tonton akhir-akhir ini, ceritanya apa, moral of the story dan kenapa orang harus menonton film-film ini. Ini hasil tulisannya (dengan minimal edit dari Mamanya):

Encanto (2021)
Durasi: 1 jam 49 menit
Rating: PG

Encanto itu adalah film yang ada di Disney+, tentang keluarga yang masing-masing mempunyai kekuatan ajaib, kecuali satu anak bernama Mirabel, yang tinggal di rumah ajaib. Suatu hari rumah mereka mulai retak dan keluarga Mirabel mulai kehilangan kekuatanya. Ini membuat Mirabel mencari tau alasan mengapa hal ini terjadi. Film ini mempunyai tema keluarga dan memiliki pelajaran untuk kenapa melambangkan(1) seorang anak special bisa mempunyai dampak negative. Orang-orang seperti orang tua atau anak anak pun bisa menonton film ini, dan mendapatkan pelajaran yang berharga, dan mendengarkan lagu lagu yang mudah diingat dan mau didengarkan berkali kali kapan saja.


Black Widow (2021)
Durasi: 2 jam 13 menit
Rating: PG-13

Black Widow adalah film Marvel yang ada di Disney+ dimana Natasha Romanof a.k.a. Black Widow bersama keluarga tirinya melawan organisasi Red Room, di mana Natasha dilatih menjadi pembunuh. Dari deskripsi itu bisa diketahui film ini bertema keluarga. Loh kok temanya sama dengan film sebelumnya? He he he, interaksi Natasha sama keluarganya bagus dan benar-benar membuat kita peduli sama mereka, terutama interaksi adiknya Natasha Yelena. Meskipun menurutku film ini seharusnya dirilis duluan lebih tepatnya sebelum Endgame. Tapi selain itu filmnya ini menunjukan banyak hal baru untuk MCU, dan musti untuk ditonton kalau salah satu fans Marvel dan mempunyai Disney plus.


Turning Red (2022)
Duration: 1 jam 40 menit
Rating: PG

Turning Red itu film yang baru saja keluar di Disney+, di mana ada anak SD di China yang berubah menjadi panda merah besar saat mempunyai emosi kuat, dan dia bilang ini terjadi karena keturunan dia meminta kekuatan untuk menjaga desa dia. Film ini tentang menjadi dirimu sendiri dan jangan membuang dirimu sendiri hanya untuk membuat keluargamu senang, karena kamu itu orang kamu(2) sendiri. Kita ditunjukan seperti apa ibu yang percaya anaknya tidak pernah bersalah, dan mempermalukan anaknya(3), karena dia percaya dia melakukan hal yang benar. Film ini juga bisa menjadi tontonan anak anak dan orang tua untuk pelajaran untuk menjadi kamu sendiri(4).


Buat yang bingung dengan Bahasa Indonesia si Dudu, ini ada kamusnya:
(1) Labelling - alias memberi label
(2) You are who you are, kamu ya kamu
(3) Si ibu cenderung menyalahkan lingkungan di sekitar anaknya, namun tindakannya malah mempermalukan si anak.
(4)Maksudnya becomes who you are, alias menjadi diri sendiri.

(Cek cara melihat rating film di sini)

Entah karena nontonnya Disney+ atau memang anaknya selalu fascinated dengan hubungan keluarga, ini sebenarnya semua satu tema. Well, dari ketiga film ini, saya paling pengen nonton Black Widow, sih. Tapi ya, kemarin nonton Loki saja belum selesai.

13 March 2022

Cerita Nostalgia Tentang si Panda

Perkenalkan ini namanya Panda.
Teddy bear kesayangan, orang ke-3
yang menemani perjalanan saya dan Dudu.

“Mama, ini bukan seekor panda.”
“Iya Mama tau, tapi namanya Panda.”


Long story short, boneka yang konon saya miliki sejak usia 2 tahun, ini warnanya belang-belang. Dulu sih kelihatannya hitam putih. Jadi waktu kecil saya kira ini boneka seekor panda. Sejak itu, namanya Panda. Sejak itu pula, saya harus menjelaskan asal muasalnya karena setiap yang melihat pasti bertanya, “ini kan beruang.”

“Ya, tapi kan beruangnya dua warna, jadi mirip Panda.”
“Di bagian matanya nggak hitam.”
“Soalnya Panda yang ini tidak suka begadang.”
Sampai di sini, biasanya yang bertanya sudah menyerah untuk melanjutkan.

04 March 2022

Pentingnya Memahami Peranmu Hadir di Dunia

Siapa saya?

Kalau ditanya begitu ya jawabannya “Mama Dudu” hahaha. Di biodata, title “Mama Dudu” ini mutlak ada. Tapi sekarang Dudu sudah teenager, peran saya sebagai seorang Mama juga sudah tidak sesibuk dulu. Lalu sekarang, saya siapa?


Untuk saya, memahami peran dalam hidup ini penting. Karena biasanya saya lupa bahwa peran saya di dunia ada lebih dari satu. Kalau peran sebagai warga negara mungkin tidak sebesar atlet yang menyumbang medali emas, tapi sebagai Mama Dudu, peran saya paling besar. Malah cuma satu-satunya, soalnya si Dudu cuma punya satu ibu. Jadi, ketika saya merasa sebagai “remahan rengginang,” perasaan minder dan insecure itu tidak tahan lama. Soalnya saya suka rengginang sih, jadi emang sampai remahannya juga saya makan hahaha. Well, on a more serious note, mengenali siapa saya di adegan mana adalah hal penting karena hidup saya jadi lebih baik dan teratur. Kok bisa?