30 March 2011

Perjalanan Keliling Dunia Babak Kedua




Test pack bertanda tanda positif membuat waktu serasa berhenti. Hah? Hamil?

Di saat seluruh keluarga, kerabat dan teman sibuk mengucapkan selamat, saya malah putus asa. Pasalnya, saya baru beberapa tahun lulus dari usia remaja, masih kuliah di Amerika, dan masih punya cita-cita keliling dunia. Terbayang dong, di saat teman seangkatan masih bisa gendong backpack sambil naik gunung, saya malah gendong bayi sambil belanja susu di supermarket? Aduhhh… ngga banget deh! Saat itu, detik itu, saya pikir kehidupan bebas saya sudah berakhir. Saya harus mengubur dalam-dalam hobi travelling saya ini. Tidak akan ada lagi roadtrip keliling California dan tinggal di hostel murah. Tidak akan ada lagi lari-lari dari Times Square mengejar subway terakhir saat malam pergantian tahun. Yang ada hanya sibuk mengganti popok bayi di rumah.

Ternyata saya salah besar.

Bulan-bulan pertama bersama si bayi memang berasa seperti akhir dunia. Jangankan keluar kota, keluar rumah saja susah! Waktu saya full time mengurus anak dan, jujur saja, saya sempat stress. Soalnya, saya bukan tipe yang betah di rumah berminggu-minggu. Saat dilarang mengemudi atau naik pesawat karena perut yang membuncit saja, saya sudah uring-uringan karena tidak bisa kemana-mana. Bahkan, pecah ketuban pun saya masih ke mall, makan… setelah itu baru ke rumah sakit. Pokoknya di dalam kamus saya, tidak pernah ada yang namanya duduk manis di rumah.

Lalu, kesempatan itu datang. Usia 5 bulan, tepat malam natal saya memutuskan untuk mengunjungi keluarga ipar saya di negara bagian lain.Perjalanan cukup memakan waktu dan menegangkan. Dari kota saya, saya harus naik travel 2 jam ke airport. Dilanjutkan dengan naik pesawat selama 4 jam. Dari airport, tempat tinggal ipar saya masih 1 jam lagi naik mobil. Total perjalanan ada 7 jam. Betah ngga ya anak saya? Dag dig dug jadinya.

Saya sempat browsing-browsing tentang bagaimana tips bawa anak bayi naik pesawat. Maklum, tinggal di negeri orang membuat saya tidak ada tempat bertanya selain internet. Sempat frustrasi dengan packing yang tidak selesai-selesai karena ternyata bepergian dengan bayi membuat barang bawaan jadi dobel. Belum lagi harus bawa carseat dan stroller. Bahkan sempat terpikir untuk membatalkan saja trip saya itu karena seminggu sebelum berangkat dokter menyatakan anak saya terkena infeksi telinga. Perubahan tekanan udara bisa menimbulkan rasa sakit dan beliau membekali saya dengan beberapa obat-obatan termasuk sebotol antibiotik.

Hari yang (tidak) dinanti pun tiba. Saya siap dengan koper dan car seat. Sepanjang perjalanan menuju airport, si bayi tidur dengan tenang. Kemudian kita check in dan masuk ke ruang tunggu. Dia mulai rewel sendikit, tapi mainan bisa menenangkannya. Begitu berjalan masuk ke kabin dan duduk di kursi, dia mulai meraih apa saja yang berada di dalam jangkauan tangannya. Beruntung kursi sebelah saya kosong. Saat pesawat siap di landasan, saya berikan dia empeng sesuai saran dokter anaknya. Ajaibnya, tidak ada acara menangis karena tekanan udara di kuping, baik pada saat lepas landas ataupun mendarat. Yang ada hanya seorang bayi yang sibuk merobek-robek dan membasahi majalah dengan air liurnya. Dan ketika 4 jam kemudian pesawat itu mendarat tanpa satu insiden pun, tanpa satu tangisan pun, saya merasa Tuhan memberikan saya kesempatan kedua.

Sejak itu, anak saya jadi partner berpetualang. Perlahan tapi pasti kekhawatiran saya tentang terjebak di rumah terhapuskan oleh kenyataan bahwa anak saya juga tidak betah di rumah. Usia 8 bulan, saya ajak dia road trip keliling California. Usia setahun, kami menambah daftar tujuan dengan mengunjungi beberapa negara bagian lain berdua saja dan menginap di hotel tak berbintang. Usia 1.5thn, anak saya sudah bisa bolak-balik Indonesia-Amerika tanpa ada masalah. Usia 3 tahun, kami pergi ke Thailand. Yang terakhir malah kita berdua jalan-jalan keliling Eropa Barat. Memang sih, agak sedikit berbeda dengan apa yang dulu saya bayangkan karena sekarang perjalanan saya lebih kepada menunjukkan dunia yang beraenak ragam ini pada anak saya.Perjalanannya tetap penuh kenangan kok. Yang paling penting, tak ada lagi penyesalan karena melewatkan kesempatan menikmati masa muda dengan keliling dunia.

Jika ada yang tanya 5 tahun yang lalu, saya pasti jawab jadi ibu di usia muda adalah mimpi terburuk saya. Tapi jika ada yang bertanya pada saya sekarang, jangan harap saya mau bertukar posisi dengan siapa pun. Tuhan sudah memberikan saya kesempatan kedua, dan saya akan pergunakan sebaik-baiknya, untuk jadi ibu yang baik, dan teman jalan-jalan buat anak saya.

Cerita ini diikutan Cita-Cinta Second Chance Story last minute sih, ternyata sempat masuk 3 besar dan jadi juara favorit. Iseng2-iseng berhadiah deh.

26 March 2011

This is my story: Time For A Master Graduation

Such a simple dream but such a hard thing to do.

Why? I’m 26, a mom of a 5-year-old boy, and the only one in my family who doesn’t have a master degree. My son was born when I was still in college, pursuing a bachelor degree at the time. Well, I did graduate with two bachelor degrees. It gave me the confidence to try a semester on a graduate program. Three months into it, I realized that toddler and thesis don’t go well together. Especially when you’re studying in a foreign country… alone. So, I gave in and went home.

But that’s old story. I’m proud of what I am. Thanks to the never ending support of my family and thanks to EF (www.englishfirst.co.id). I learnt English at EF since elementary school. I technically “graduated” from EF (I finished off all their regular levels), joined conversation class and took TOEFL class before flying off to Uncle Sam’s home pursuing a higher education.

However deep inside, I still want that higher degree (and a cooler graduation outfit). In 2030, I’ll be walking the path one more time, graduating with a master in Cultural Anthropology. By that time, my son will be finishing up his Doctorate if he stays in school. But, hey, it’s never too late to pursue your dreams, right?

Why the judges have to pick my story?

Well, because I think it’s never too late to learn something (or earning a degree). While joining EF Conversation class back in high school, I met an elderly lady who learnt English just to talk to her English-speaking, half-American grandson. That’s the spirit I want to share and I’m sure many will agree with me.




The story is also published on my FB: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150125984897690