16 August 2018

Tentang Menulis Sebuah Perjalanan

“It doesn’t matter if your writing is good, if your journey isn’t good, it’ll be hard to come out with a good travel writing.”

Begitu kata Agustinus Wibowo, seorang travel writer sekaligus penulis buku Ground Zero: When the Journey Takes You Home, di Travel Writing Workshop bersama The Jakarta Post Writing Center yang saya ikuti weekend kemarin. Setelah lama absen dari event dan kelas menulis, saya mulai sign up lagi. Kangen belajar, kangen ketemuan teman-teman baru.


Courtesy of The Jakarta Post Writing Center
Apa itu “Good Journey”? Harap diperhatikan bahwa good journey bukan berarti perjalanan mahal super mewah maupun perjalanan murah meriah ala backpacker. Yang memutuskan apakah sebuah perjalanan adalah good journey adalah kita sendiri. Dalam hal ini, saya dan Dudu. Ada 4 hal yang saya catat, yang bisa membuat perjalanan jadi sebuah good journey.
  1. With A Purpose. Tanyakan kepada diri sendiri “why did you travel?” Kenapa saya dan Dudu melakukan perjalanan ini? Apa misinya? Agustinus menggambarkan sebuah perjalanan seperti seorang detektif yang mencoba memecahkan sebuah misteri.
  2. Deep Experience. Bukan cuma apa yang tertangkap oleh kamera tapi juga cerita di baliknya. Misalnya pas ke Korea kemarin, mencari kafenya Super Junior Yesung itu dramanya pakai nyasar dan kelaparan segala haha.
  3. Communicate. Ngobrol sama orang, tanya jalan, dan cari tahu tentang daerah sekitar. Agustinus menyarankan supaya ketika mau travel, belajar Bahasa lokalnya. Tidak harus fasih. Basic greetings like hello and thank you will open many doors. Dan ini bukan hanya untuk traveling ke luar negeri. Di Indonesia sendiri ada banyak dialek lokal yang menarik untuk dipelajari.
  4. Do research. Browsing itu penting haha. Tapi research dari internet itu hanya dilakukan sebelum dan sesudah perjalanan. Pada saat kita ada di dalam perjalanan itu, cari tahu lebih banyak dari orang di sekitar kita, signposts atau museum. Cari sejarahnya dan cek lagi fakta-faktanya.
Kalau begitu, traveling jadi repot?
Well, karena tujuan saya ngeblog adalah meninggalkan ‘warisan’ buat Dudu kelak, jadi memang traveling jadi sedikit lebih repot karena saya harus mencatat dan mengambil banyak foto yang berfungsi sebagai pengingat. Menurut Agustinus, salah satu mitos tentang travel writing adalah menulis tentang liburan. Padahal travel yang dimaksud di sini bukan liburan santai seperti berjemur di pantai. Jadi intinya, kalo liburan ya liburan aja dulu.

Agustinus bercerita tentang perjalanannya ke suku Toraja
dan foto yang mengubah perspektifnya tentang pemakaman
So, what is travel writing?
“Travel writing focuses on place. Place is the main character. Take the reader to meet this character,” begitu jawab Agustinus.
Yang saya tangkap, travel writing ini seperti mengenalkan satu teman ke teman yang lain. Atau mengenalkan calon pasangan ke orang tua haha. Saya jadi paham. Ketika menceritakan satu perjalanan, fokusnya bukan saya dan Dudu yang hobi kelayapan tapi apa yang kami temui di perjalanan atau di tempat tujuan tersebut. Okelah, habis ini kita coba menulis dengan sudut pandang berbeda, mungkin bisa mengusir kejenuhan menulis yang sedang saya alami.

Travel Writing masuk ke dalam kategori creative non-fiction yaitu membuat sebuah fakta jadi menarik dengan memberikan sebuah cerita yang bisa membangun imajinasi pembaca. Fakta ada banyak di Google dan semua tempat sudah pernah didatangi dan diceritakan. Jadi memberikan cerita dan sentuhan personal bisa membuat travel writing kita berbeda dari penulis lain yang menceritakan tempat yang sama. Dan karena ini non-fiksi, kejujuran cerita adalah hal yang utama.

Ada tiga hal yang harus ada dalam travel writing:

  • Narrative (your journey). Isinya fakta dan detail perjalanan. Ke mana, berapa lama, tempatnya ada di mana. Ketemu siapa saja dan Fokus di What, Where, Who dan When
  • Description (your feeling). Isinya tentang bagaimana perasaan dan pengalaman kita. Fokusnya ada di How.
  • Contemplation (your meaning). Isinya menjawab pertanyaan kenapa kita melakukan perjalanan tersebut. Dan kenapa hal ini penting untuk kita bagikan kepada pembaca. Jadi fokusnya ada di Why.

Seoul Station - Foto yang jadi praktek travel writing. Bisa dilihat di caption instagram @DateWithDudu
Believe it or not, kita juga bisa nyasar saat menuliskan perjalanan. Keasyikan cerita lalu tulisannya ikut jalan-jalan tanpa tentu arah. Akhirnya jadilah satu tulisan panjang yang tidak ada intinya. Lalu bagaimana? Well, saya pribadi sering membuat coret-coret untuk menulis travel. Apakah ada postingan itinerary in general? Review hotel biasanya saya pisah. Lalu ada spesifik tempat wisata. Ribet sih, dan biasanya malah jadi tidak selesai. Haha. Ups.

Agustinus bilang “Don’t worry about writing rubbish after you have structure.” Tulisan pertama yang berantakan dengan mudah bisa diedit dan direvisi di era digital ini. Yang penting dimulai dulu tulisannya.

Iya nih mau mulai menulis lagi.

3 comments:

  1. Entah kenapa saya kalau jalan2 sering nggak ingat nulis... cuma ambil foto trus lupa nggak ditulis di blog. Mungkin memang nggak bakat jadi travel writer kali ya, hehe. Pengennya nulis yang pendek-pendek dan gampang-gampang aja.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang penting kan kenangannya hehe. Pendek juga bisa buat instagram Mba hehe.

      Delete
  2. Noted banget ini.

    Aku kalo nuLis cerita soal jalan jalan malah curhat.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.