Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

20 August 2025

Satu Hobi, Satu Circle. Jadi Punya Banyak Cerita

Salah satu besti yang saya miliki adalah seorang mantan rekan sekantor, yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari anak saya. Begitu pun saya, usianya lebih muda beberapa tahun dari ibunya. Di geng ex- teman sekantor yang ini, hanya saya yang lahir di tahun 80an. Jadi kalau kita hangout, kayak mamak-mamak jagain anak-anaknya.

“Tapi nggak kelihatan kok, Kak.”
Begitu kata mereka. Terima kasih lho.

Circle yang ini bertemu cukup rutin. Sebulan sekali. Biasanya makan di restoran yang saya belum pernah dengar namanya, tapi tiba-tiba viral di media sosial. Setelah viral, 3-4 bulan kemudian, circle saya yang sesama millenial ini bakal heboh. Lalu, terkejut karena saya sudah ke sana.

Setiap circle ada maknanya. Dan kebetulan pertemanan saya ada banyak kelompoknya. Saya punya circle pertemanan hobi seperti Detektif Conan, Harry Potter, Kpop dan lain sebagainya. Lalu ada circle pertemanan blogger. Circle para penulis fiksi amatir. Saya juga punya pertemanan sesama ibu tunggal yang saling support dan berdaya bersama. Saya juga masuk di circle gereja dan berusaha aktif di banyak kegiatan yang ada. Bahkan, boneka Panda saya juga punya circle sendiri yang isinya boneka semua.

Saking beranekaragamnya circle pertemanan saya, kalau saya pergi berkegiatan biasanya saya ditanya “sama teman yang mana lagi ini?”


11 August 2025

Merelakan Tidak Selalu (lebih) Buruk

Masuk bulan ke-9 saya “pengangguran” alias terpaksa jadi freelancer, yang namanya keuangan pasti amburadul. Godaan terbesar jadi seorang pekerja lepas adalah membatasi project yang diambil sesuai dengan kemampuan. Apalagi, selama ini, saya selalu punya kantor.

Mendapat tema “Adil bersikap ketika menerima rezeki” di salah satu event menulis blog yang saya ikuti membuat saya berpikir kembali tentang definisi “adil.” Yang diajarkan kepada saya sejak kecil adalah “adil itu bukan berarti dibagi sama rata, tapi dibagi sesuai kebutuhan.” Jadi, adil itu sama dengan tidak maruk. Karena kita mengambil hanya sesuai dengan kebutuhan kita.

Inilah yang kemudian saya terapkan di kehidupan sekarang. Soalnya, Adil pada diri sendiri berarti adil pada orang lain juga.

Yang tersulit untuk bersikap adil pada diri sendiri adalah menentukan kapan harus berhenti. Saya tipe yang mengutamakan orang lain, misalnya anak atau keluarga, dan cenderung aktif meski mengaku introvert. Jadi saya selalu punya waktu, apalagi kalau menyangkut cuan. Akhir-akhir ini, ketika hidup berubah dari pekerja kantoran menjadi lepasan, hal ini jadi masalah besar karena saya mencoba mengambil semua yang di depan mata agar semua pengeluaran bisa terbayarkan. Tadinya, ketika ada satu gaji bulanan tetap, yang namanya side job tidak jadi prioritas utama. Hanya bersyukur ada rejeki lebih. Namun, saat ini, ketika pemasukan tetap tidak lagi ada, semua yang bisa menghasilkan, saya ambil.


Ternyata ada limitnya. Saya terpaksa belajar merelakan.

05 May 2025

Ngeblog Next Level? Siapa Takut?

Kalau ada blogger ngumpul buat bertukar cerita dan silaturahmi, hasilnya apa? Ya, blog post dong. Untuk mengisi blog yang berdebu, makanya pertemuan kemarin jadi tulisan.

Hubungannya apa? Well, 2025 ini entah kenapa saya nggak update blog utama. Hanya update di blog traveling karena ikutan challenge. Itu pun, kejar-kejaran dengan deadline. Blog yang ini berdebu. Draftnya ada beberapa tapi tidak pernah ter-publish. Ketika hadir di kumpul-kumpul blogger di rumah Founder ISB, Teh Ani Berta, ternyata bukan saya saja yang punya masalah “hiatus” ini.


Menjawab apa yang terjadi, saya mencoba merefleksikan dengan kondisi saat ini. Tahun 2025, saya resmi pengangguran. Pekerjaan nggak stabil berarti harus cari yang secara freelance. Freelance ini menyita waktu dan tenaga. Harus pitching, melamar, negosiasi, tambal sulam sana sini. Otomatis kegiatan yang tidak menghasilkan uang langsung jadi prioritas kesekian. Termasuk blogging. Apalagi privilege sebagai blogger sudah banyak berkurang dari zaman kejayaannya dulu.

Singkatnya, kalau dulu saya punya pekerjaan tetap serta gaji bulanan, jadi bisa curi-curi waktu ngeblog di saat istirahat, sekarang saya nggak punya waktu istirahat. Semua waktu yang tidak digunakan untuk cari uang adalah terbuang percuma.

Wajar kalau dengan berkurangnya semua privilege dan antusiasme di masyarakat, motivasi ngeblog juga jadi hilang. Ketika kumpul-kumpul kemarin, ini salah satu yang jadi topik bahasan kami selain bagaimana cara masak ikan tanpa bawang merah, mau S2 bidang apa, daun kenikir itu bisa dimakan, menghadapi anak remaja, nostalgia kompasiana dan sejuta topik lainnya yang urgensinya agak sedikit di bawah. Hahaha.

Ada beberapa poin yang saya bawa pulang dari diskusi informal sambil ngemil bolu dan cendol keju di dalam kaleng biscuit itu.

Ingat Kembali Alasan Awal kita Ngeblog

“Saya ngeblog karena saya suka nulis.” Pernyataan tersebut menjadi tamparan buat yang blognya mandeg seperti saya. Kalau memang ngeblog musiman, karena sumber uangnya dari sana, ya mau gimana lagi kalo jadi demotivasi. Nah, kalau yang memang blognya nggak monetized seperti saya? Alasannya apa? Kalau menyukai sesuatu kan seharusnya punya waktu.

Kalau alasan awalnya ngeblog karena uang gimana? Pamor blogger turun, nggak ada brand mau bayar post, terus diam saja, pasrah? Ya, nggak dong. Kita jemput bola, menjaga blog tetap aktif lalu bersama-sama membuktikan kalau kita ini masih eksis, masih relevan.

Fokus pada Niche yang Spesifik dan Sesuai Passion  Sekarang. Cari Inspirasi Baru.


Misalnya kalau dulu kita fokus traveling solo karena masih single, sekarang kita fokus ke parenting karena sudah berkeluarga. Dulu kita ngomongin anak, sekarang anaknya sudah besar, kita kuliah lagi. Jadi, blognya banyak membahas edukasi dan dunia pendidikan. Hidup berjalan dan cerita kita berganti. Rasanya sulit menulis yang tidak sesuai dengan keadaan sekarang, jadi ya jangan takut mencari niche atau fokus ke topik baru.


Creating awareness & Interaction

Jangan berhenti branding. Satu pertanyaan yang dilontarkan Teh Ani membuat saya jadi merenung. “Bagaimana caranya agar brand di luar sana tahu bahwa blogger masih ada?”

Salah satunya, yang muncul dari ajang diskusi, adalah dengan eksis lagi, konsisten ngeblog lagi dan memanfaatkan media sosial yang sekarang ada untuk sharing tentang blogging. Ngeblog next level ini bukan hanya tentang saya senang menulis. Tapi bagaimana kita membangun personal branding, meningkatkan awareness dan ketertarikan orang akan blog yang dimiliki.

Tentunya, tidak sendirian dong. Bergabung dengan komunitas blogger, komunitas menulis atau komunitas lainnya yang bergerak di bidang literasi untuk saling menyemangati dan membangun jaringan.

Pulang dari kumpul-kumpul, bukan cuma perut yang penuh karena kebanyakan ngemil, tapi hati dan pikiran juga penuh dengan ketemuan teman serta homework untuk membawa blogging ke level selanjutnya.

Who’s with me?

27 May 2024

Creating Healthy Boundaries Starts With Me

How often are we hesitating to say no to a request? Just because we want to prevent inconveniencing others. Or we want to be seen as this helpful person. How often are we doing things beyond our abilities? Just to prove that we're strong enough. Well, I'm sure you're not alone. I struggled with that too.

3 Things We Should Have to Create Healthy Boundaries:

  1. Self-Awareness
  2. Clear Expectation
  3. Communication

Self Awareness

Setting a healthy boundary starts with knowing who we are, what we want and what our preferences are. We need a clear understanding of our thoughts, emotions, and behaviors. How can we create a boundary when we don't know where to draw the line? So, it starts with self awareness. For example, we're not fond of smoke and alcohol. When our circle invites us to go clubbing or hanging out in a lounge, we can comfortably reject them and say we'll join next time they're in a coffee shop. When we have firm boundaries, know what we want and who we are, people come to respect our choices. 

Recognize the different roles we play everyday, healthy boundaries may vary depending on which hat we're wearing. As a mom, for example, healthy boundaries may be our limit, both physical and emotional. Knowing my patience limit may help me say “no” when needed. I can courageously reject additional responsibilities, admit I’m overwhelmed, take a break and ask for help as needed. Realize that we are responsible for how we feel, and we can’t blame others because they made us feel this way. This goes for the opposite, that we’re not responsible for other people’s emotions.

Clear expectation

This should be a two-way interaction. Expectations towards others and expectations to ourselves. An article published by Joe Sanok on Harvard Business Review, titled “A Guide to Setting Better Boundaries,” mentioned two types of boundaries. Hard boundaries are the one we can't compromise and soft boundaries where things are more flexible. Knowing whether it's hard or soft boundaries that we exercise will help us manage our expectations.

For example, a friend of mine has this rule of no smoking near her children. Upon the birth of her third child, she is asked to move back to her parents house to help care for them. It's also easier for her, who is considering going back to work. The problem is, her father is a rather heavy smoker. 

With a hard boundary regarding smoking, she knows that moving back is impossible. Her expectation of her father taking the cigarettes out to the porch every time he wants to smoke might not be fulfilled. Her father expects her to be lenient, while she expects her father to strictly follow the smoking rule. 

Soft boundaries might be about meeting time or what food to eat. Despite not agreeing to move back due to cigarette presence, her parents are still seeing their grandchildren. While they were with their grandparents, she couldn’t strictly enforce what they should eat. The menu is a soft boundary she could compromise.

Communicating clear expectation like this message

Communication

When we know ourselves, and have set a clear expectation, what’s left is communicating them to the outside world. Boundaries aren’t always as clear as a police line. People may not recognize them and accidentally trespass those lines. Therefore, we have to communicate our boundaries clearly. 

Expressing these boundaries needs some degree of assertiveness. Not everyone has this capability and is comfortable establishing boundaries without feeling aggressive or selfish. So, the first thing we do is stating the facts. In my friend’s case, she can say to her father that “I can’t tolerate smoking around children, therefore I can’t move back home unless you stop smoking.” Add an alternative if setting the boundary makes you feel bad. Something like, “but we can visit on weekends.”

As a mom, I can feel exhausted. When a fellow mom starts a conversation, and I don’t feel like listening to their problems, I should be able to say “As much as I want to help, I don’t have the capacity to listen to your problem right now. I’m really sorry.” The same with unsolicited advice. We have the right to reject them, after saying that we respect their opinion.

Boundaries are indeed important. 

I lost several friends due to the boundaries that I set to myself. Mostly because of communication and time boundaries. I don’t usually reply to chat right away. If it’s urgent and if you want a conversation, you should call. Or we can meet and have a chit chat at a cafe. Some of my friends disagreed and went overboard with my late reply. One of them went berserk over how I managed to add a new admin on a group chat I’m responsible for, while ignoring her request for a phone call. I just don’t have the energy to argue with her. I apologize if I made her uncomfortable, told her what she should have done and ignored her ever since. That’s where I drew the line. 

I don’t say what I did was right, but that’s my boundary. I know enough that responding to her negative energy will just exhaust me. I managed my expectations and told her what she could expect of me. Then I communicate those feelings and expectations. I’m done. I felt bad at first because I tend to be a people pleaser. But then, boundaries aren’t meant to include everyone anyway.


31 July 2023

Satu Catatan Berkesan Seorang Ibu-Ibu Banyak Mau

Membuka kembali buku harian lama berarti membaca kembali mimpi yang tertunda. 

Puitis ya hehe.

Satu cerita lama yang saya baca ulang adalah mimpi saya buat kuliah lagi. Ketika saya punya anak kemarin, yang namanya kuliah S2 jadi prioritas kesekian. Soalnya jurusan kuliah yang saya mau bukan jurusan yang akan membuat karir lebih maju atau jurusan komersil. Jurusannya dipilih karena saya ingin belajar ilmu itu. Makanya jadi hal yang tidak urgent. Lalu ketika si Dudu mau kuliah, kita pergi college shopping. Saya jadi keingetan kalau saya pernah punya mimpi mau kuliah lagi.

Ternyata selama bertahun-tahun ini, jurusan yang saya inginkan tidak berubah. Antara melanjutkan studi master di bidang Religious Studies atau Cultural Anthropology.

Ketika saya utarakan itu, sekeliling saya menanyakan kenapa saya tidak mau ambil MBA. Alasannya, saya sekarang bekerja di bidang marketing. Tentunya gelar MBA akan sangat membantu karir dan gaji, sehingga finansial saya bisa membaik juga. Lah, tapi itu tadi. Saya mau kuliah mengambil jurusan yang saya suka lalu mencari karir yang sesuai dengan jurusan tersebut. Bukan sebaliknya. Lalu karirnya bagaimana? 

Membuka kembali catatan lama, saya jadi sadar kalau memang saya belum memikirkan karir mau jadi apa kalau sudah lulus S2. Dan itu dulu, ketika saya baru lulus S1. Sekarang, setelah lebih dari 15 tahun malang melintang jadi karyawan dan berpindah karir dari jurnalis ke marketing, jadi kepikiran juga. Mau jadi apa kalo sudah S2?

Google jadi tujuan. 

What can you do with a Religious Studies degree?

Sebelum masuk ke karir, Religious Studies adalah jurusan yang mempelajari agama dan kepercayaan di seluruh dunia. Mempelajari hubungan kepercayaan (termasuk agama) dan aspek sosial, politik serta budaya. 

Melirik website karir di beberapa universitas, lulusan Religious Studies biasanya jadi guru atau researcher. Banyak yang menggabungkan jurusan ini dengan bidang studi lain seperti sosiologi, jurnalistik, pendidikan, hukum dan social work. Meskipun kebanyakan mengarah ke karir yang berhubungan dengan agama, seperti evangelist, tapi banyak juga pekerjaan lebih netral yang bisa dilamar. Misalnya, community outreach, yang berhubungan dengan komunitas, dan non-profit administrator, yang berhubungan dengan organisasi kemanusiaan. 

Bagaimana dengan Cultural Anthropology? 

Cultural Anthropology adalah jurusan yang berfokus pada aspek masyarakat dan budaya manusia, termasuk dengan perkembangannya. Kalau tinggal di Indonesia, rasanya jurusan ini menarik banget ya. Cultural Anthropology mempelajari interaksi manusia dan bagaimana “peraturan” serta norma dibuat. Bagaimana dengan karirnya? Bisa di bidang kemanusiaan, misalnya di dinas sosial, peneliti atau guru, di museum sebagai juru arsip, kurator hingga direktur museum. Bisa jadi ahli sejarah, program manager dan pindah sedikit ke HRD bidang people & culture.

Setelah melihat karir choice yang ada untuk kedua jurusan itu, saya malah makin mantap untuk mengejar studi lebih lanjut. Soalnya, karir yang ada, sesuai dengan passion saya sekarang di bidang komunitas dan organisasi non-profit. Banting setir lagi dong dari marketing. Yah, namanya juga mimpi yang tertunda. Sayangnya, mungkin di Indonesia, karir di bidang ini masih sangat jarang. Karir di Dinas Sosial dan organisasi non-profit memang kurang populer dan kalaupun ada, gaji yang didapat pastinya tidak sebanyak kalau berkarir di start-up. 

Makanya kalau saya menyebutkan jurusan-jurusan yang ingin saya ambil, banyak yang mengernyitkan dahi. Tapi, ya, kenapa nggak? Ada banyak jurusan di luar sana. Temukan yang memang sesuai kebutuhan dan keinginan. 

04 March 2022

Pentingnya Memahami Peranmu Hadir di Dunia

Siapa saya?

Kalau ditanya begitu ya jawabannya “Mama Dudu” hahaha. Di biodata, title “Mama Dudu” ini mutlak ada. Tapi sekarang Dudu sudah teenager, peran saya sebagai seorang Mama juga sudah tidak sesibuk dulu. Lalu sekarang, saya siapa?


Untuk saya, memahami peran dalam hidup ini penting. Karena biasanya saya lupa bahwa peran saya di dunia ada lebih dari satu. Kalau peran sebagai warga negara mungkin tidak sebesar atlet yang menyumbang medali emas, tapi sebagai Mama Dudu, peran saya paling besar. Malah cuma satu-satunya, soalnya si Dudu cuma punya satu ibu. Jadi, ketika saya merasa sebagai “remahan rengginang,” perasaan minder dan insecure itu tidak tahan lama. Soalnya saya suka rengginang sih, jadi emang sampai remahannya juga saya makan hahaha. Well, on a more serious note, mengenali siapa saya di adegan mana adalah hal penting karena hidup saya jadi lebih baik dan teratur. Kok bisa?

01 March 2022

Kesabaran yang (Harus) Ada Batasnya

Ketika melamar kerja, selalu ada satu pertanyaan yang membuat (hampir) semua orang mengambil jeda sebelum menjawabnya: “apa kelebihan dan kekurangan kamu?” Tidak jarang yang kemudian menyebutkan kekurangannya dulu dan kemudian berhati-hati menyebutkan kelebihannya karena takut disangka sombong.

Begitu juga dengan tulisan ini, ketika saya mendapat tema “Review kelebihanmu yang tak dimiliki orang lain.” Satu poin yang menunjukkan bahwa saya lebih unggul, extra effort yang dilakukan untuk mencapai sesuatu karena kesulitan yang mungkin orang lain tidak alami. Reaksi pertama saya adalah sama seperti Dudu di iklan Morinaga tahun 2010 itu: “Aduhhhh, apa ya?”


Kalau ngomongin kelebihan, kayaknya nggak ada deh yang unik bagi diri saya sendiri. Saya pribadi percaya kalo here’s nothing new under the sun. Tapi ada a few things yang sering di-mention orang di sekeliling saya, yang saya anggap sebagai kelebihan atau strong points yang saya miliki. Meskipun kalau dipikir lagi, atau dari sudut pandang berbeda, hal-hal ini bisa menjadi kelemahan juga.

Kata orang, saya “sabar.”

26 January 2022

Hore, Menang!

How do you measure winning? Apa itu menang?

Kalo kata KBBI ada beberapa arti. Yang pertama adalah mengalahkan musuh. Yang kedua adalah mendapatkan sesuatu, bisa hadiah dari sayembara ataupun reward setelah mengalahkan lawan. Yang ketiga adalah melebihi dari sesuatu, dan yang keempat adalah dinyatakan benar dalam sebuah perkara.

Lalu gimana bisa ada kemenangan kecil dan kemenangan besar? Gimana ngukurnya?

Di postingan sebelumnya, saya menulis kalau ikutan challenge membuat saya berhasil menulis fiksi dan mempublikasikannya di Wattpad. Padahal saya bukan penulis fiksi dan belum pernah menulis fiksi secara serius. Ini adalah sebuah kemenangan buat saya. Lalu entah gimana, “buku” yang isinya 3 bab itu dapat ranking #7 di kategori kecil. Tapi itu juga sebuah kemenangan buat saya. Lalu tadi pagi ada pesan masuk, yang bilang bahwa satu cerita fiksi yang saya tulis di situ terpilih jadi pemenang kontes yang diadakan oleh salah satu Wattpad ambassador. Ini beneran menang.

Menang perdana pakai tulisan nama pena

Besarnya sebuah kemenangan, ya kita sendiri yang tentukan karena faktornya juga banyak. Ada hadiah, ada lawan dan ada konteksnya. Semua kemenangan yang didapat dari menulis fiksi di atas adalah kemenangan besar. Bukan karena hadiahnya atau siapa yang dikalahkan, tetapi konteksnya. Menulis fiksi, bahkan cerpen, adalah sesuatu yang tidak pernah saya lakukan dan cenderung maju mundur mengerjakannya. Jadi, ketika berhasil meraih semacam apresiasi yang tidak diduga seperti kontes ini ya kemenangannya jadi terasa besar.

Proses menulis fiksi ini jadi sebuah prestasi tersendiri, karena saya berhasil mengalahkan ketakutan dan kekhawatiran tentang menulis cerita fiksi, bahkan akhirnya mendapatkan reward.

Sama dengan menulis in general. Berhasil menulis (hampir) setiap hari juga sebuah prestasi, karena yang dikalahkan adalah rasa malas diri sendiri.

So, semuanya balik lagi ke diri sendiri, what’s important for you? Apa yang saya anggap penting. Kemenangan yang saya anggap besar ini, sampai saya cerita ke semua orang, mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan teman-teman saya yang sudah berhasil menulis novel, bahkan bisa mendapatkan penghasilan tetap dari sana. Begitu juga dengan teman saya yang lain, yang cerita kalau berhasil untung banyak dari main saham dan habis itu kaget sendiri karena kemenangan dia ternyata tidak ada artinya buat saya yang belum paham investasi. Haha.

Winning is rather personal. Jadi saya juga berusaha tidak membandingkan “prestasi” saya sebagai ibu dengan emak-emak dan mama-mama lainnya. Saya berhasil membesarkan Dudu sendirian selama 15 tahun, berarti saya sudah menang. Dari apa? Tidak tahu juga sih, mungkin dari kekhawatiran diri sendiri atau dari stigma masyarakat. Tapi yang jelas bisa bilang, hore, saya menang!

19 May 2021

Single Mom dan Parental Burnout

Pernah merasa lelah jadi orang tua? Saya pernah. Dan nggak seperti pekerjaan yang bisa ‘ditinggal’, jadi orang tua itu komitmen sepanjang jaman.

Bulan depan, saya 15 tahun jadi single mom. Takjub juga bisa bertahan segitu lama, padahal tidak sekali dua kali saya merasa capek, merasa sendirian dan kayaknya mau udahan aja. Seperti waktu saya nonton konser NKOTBSB tahun 2012 lalu. Anak saya masih 5 tahun, saya tinggal menggejar impian ketemu Nick Carter. Tentu saja kepergian itu diiringi “cibiran tetangga” dan “komentar tante” yang merasa saya egois.


Di tempat konser, saya bertemu banyak mama-mama seumuran yang tiba-tiba kembali jadi ABG. Dan percakapan mereka begini:

“Eh, anak gimana?”
“Gue titip laki gue lah.”


Kalau yang punya pasangan, anak bisa dioper. Kalo yang single mom kayak saya, ada siapa? Kalau ibu bekerja yang punya pasangan, uang bisa dipakai beli tiket konser. Ada pasangan yang bantu beli susu. Kalo saya, mau berbagi biaya sama siapa?

Eits, ini bukan berarti saya lantas sedih lalu lelah dengan keadaan dan pasrah ketika burnout. Soalnya, sama seperti burnout yang lainnya, parental burnout ini juga berbahaya. Lebih berbahaya malah, karena efeknya bisa ke anak.

Apa itu Parental Burnout? Psikolog Herbert Freudenberger mendifinisikan burnout sebagai "kondisi kelelahan mental dan fisik yang disebabkan oleh kehidupan profesional seseorang". Parental Burnout dijelaskan sebagai rasa lelah fisik, mental, dan emosional pada orang tua saat mengasuh anak. Hal ini terjadi ketika rasa lelah melebihi kebahagiaan mengasuh dan memiliki anak. Di tengah pandemi begini, ketika kita harus 24 jam bersama anak di rumah, parental burnout dapat terjadi.

Kebanyakan orang tua, termasuk saya, biasanya tidak berani mengaku karena akan menghadapi judgement dan tekanan masyarakat. Masa mengurus anak sendiri bisa burnout? Well, lihat ke diri sendiri dan akui kalau memang burn out. Burnout-nya memang sementara, tapi efeknya ke anak bisa selamanya. Trus gimana dong?

Ada beberapa hal yang saya lakukan:

14 April 2020

Review & Reflection: Romance is A Bonus Book

Penasaran nonton drama yang satu ini karena tokoh utamanya seorang editor dan copywriter. Dan jarang-jarang ada drama Korea membahas struggle seorang single mom mencari kerja (dan cinta) lagi. Ini cerita tentang mengejar kesempatan kedua.

Tapi jujur, episode pertama bikin ngantuk setengah mati, soalnya drama bukan genre saya. Saya nontonnya Kingdom sama Voice haha. Atau film macam Fabricated City dan Secretly, Greatly yang kebanyakan konspirasinya. Tapi saya penasaran berat. Untungnya serial ini konfliknya stabil dan di setiap episode ada yang semacam cuplikan buku yang bisa ‘dibaca’. 
So, here we go:
Romance is A Bonus Book 

Cast: Lee Na-Young, Lee Jong-Suk 
Episode: 16 
Tahun Tayang: 2019 



Sinopsis:
Kang Dan-I adalah seorang mantan copywriter yang jadi ibu rumah tangga karena menikah dan punya anak. Sahabatnya, Cha Eun-Ho, adalah seorang penulis muda berbakat yang bekerja sebagai editor-in-chief di sebuah penerbitan buku ternama. Kemudian, Dan-I bercerai dan suaminya pergi tanpa meninggalkan uang. Dan-I yang harus mencari pekerjaan untuk bertahan hidup mengalami kesulitan karena telah lama vakum bekarir, sehingga dia secara diam-diam bekerja membersihkan rumah Eun-Ho. Akhirnya Dan-I mendapatkan pekerjaan sebagai admin staff di penerbitan bukunya Eun-Ho, yang setelah mengetahui kondisi sahabatnya itu memberikan tumpangan tempat tinggal juga.

26 March 2019

Mencari Arti Panggilan Mama

Kemarin sore, saya iseng bertanya sama Dudu, kenapa panggil ‘Mama’? Dan jawabannya simple: “I think that’s appropriate.”

Panggilan "Mama" dari Anak ini.
Sejak punya anak, saya otomatis bergelar ‘Mama Dudu’. Kalau ditanya kenapa panggilnya ‘Mama’ bukan Ummi, Bunda, Ibu, Mami, sejujurnya saya juga tidak tahu. It just happens. Sama seperti tugas dan tanggung jawab yang datang bersama panggilan itu. Saya tidak pernah memikirkan mau dipanggil apa. Sebutan ‘Mama’ datang karena saya memanggil orang tua saya dengan Mama-Papa, jadi otomatis keluarga dekat saya juga menggunakan title ‘Mama’ kepada saya.

Tapi saya iseng. Ada apa dibalik panggilan ini, selain lagu Spice Girls, acara penghargaan musik di Korea dan film horor yang dibintangi Jessica Chastain. Menurut Urban Dictionary, Mama adalah panggilan untuk (1) a very attractive woman; (2) the woman who brought you into this world; (3) a strong matriarchal figure who rules with an iron fist. Bukan sesuatu yang patut dibanggakan sih sepertinya, tapi boleh lah ya dibilang menarik meskipun saya yakin ini konotasinya lebih ke arah ‘negatif’ alias seksi. Hahaha.

07 February 2019

Tantangan Jadi Seorang Introvert Mom

Kalo saya mengaku Introvert, tidak ada yang percaya. Padahal berdasarkan test 16 kepribadian alias MBTI ( Myers–Briggs Type Indicator) itu, saya masuk kategori INFP (introversion, intuition, feeling, perception). Orang-orang di kategori ini termasuk idealis, selalu berusaha melihat kebaikan dari setiap orang atau kejadian, dan berusaha mencari jalan agar semuanya lebih baik. 



Apa pengaruhnya kepribadian ini buat peran saya sebagai orang tua? Menurut website 16personalities.com, orang tua yang berkepribadian INFP ini tipe yang hangat dan selalu mendukung anaknya. Biasanya mereka cenderung membiarkan anak bertumbuh dan mengeksplorasi tanpa banyak campur tangan. Anak-anak bisa mencari jati diri sendiri dengan bebas, walaupun masih dalam guidance yang ditetapkan orang tuanya. Biasanya rumah orang tua INFP ini cinta damai. Agak kurang sesuai sebenarnya karena saya dan Dudu kerjanya berantem melulu haha. 


10 October 2018

Blogging dan Impian Masa Depan

“Kenapa nge-blog?”Pertanyaan standar yang malah bikin bingung setelah sekian lama malang melintang di dunia blogging. 

Alasan kenapa saya ngeblog sama dengan alasan kenapa saya makan. Saya makan karena saya lapar, dan kalau tidak makan nanti maagnya kambuh. Saya ngeblog karena saya ingin menulis, dan kalau tidak nulis nanti saya stress. Semacam maag gitu. Jadi tidak konsentrasi mengerjakan hal lain, just because I felt the urge to write the thoughts I have in mind. Sama saja kan? Kalau lapar juga tidak punya energi untuk mengerjakan hal lain.


Menulis sudah jadi bagian dari hidup saya sejak SD. Meneruskan kuliah di jurusan jurnalistik, kemudian bekerja jadi wartawan, membuat menulis berubah dari hobi jadi beban studi dan pekerjaan. Di sinilah blog berperan. Ketika menulis jadi terbatas oleh banyak syarat & ketentuan, ngeblog menyelamatkan passion saya yang satu itu. Saya jadi bisa menuliskan hal-hal di luar yang disuruh editor atau yang dimandatkan masyarakat. Bahkan ketika saya sudah tidak lagi jadi kuli tinta, blog tetap setia menemani saya menuangkan ide dan curhatan hati.

I blog because I love to write. And I have to write those stuffs down. 

13 May 2018

Book Review: Sad Girls by Lang Leav

“We all need to follow our intuition, even if it takes us down the wrong path. Otherwise, you’ll always be second-guessing yourself.”

Sepotong nasihat tersebut diberikan seorang publisher kepada tokoh utama yang bekerja menjadi seorang jurnalis di korannya. Audrey, sang tokoh utama, saat itu sedang galau dan memutuskan untuk resign dan pergi ke Colorado untuk memulai hidup baru. Sebuah perjalanan jauh mengingat setting cerita ini adalah Sydney, Australia.


Menyelesaikan buku karya Lang Leav ini jadi prestasi sendiri untuk saya, karena saya jarang baca buku yang terlalu cewek. But I think if I can finish this, then the book is not girly enough. Haha. Tokoh utamanya cewek, punya sahabat dekat cewek. Lalu konfliknya seputar pacar, ekspektasi orang tua dan mengejar mimpi. Lah, apa serunya? Yang membedakan buku ini dan mungkin buku-buku “coming-of-age” lainnya adalah di sini ada yang mati. Iya, mati. Dan karena saya selalu bilang kalau saya akan baca buku dan nonton film drama jika ada yang mati atau adegan tembak-tembakannya, saya meniatkan diri baca buku ini. 



Sad Girls
Pengarang: Lang Leav
Halaman: 362
Paperback
Tahun: 2017

Tapi sebelum lanjut, untuk yang sudah pernah baca puisi karya Lang Leav sebelumnya, jangan expect too much dari karya fiksinya. Baca saja, enjoy ceritanya dan abaikan bagian yang menurut kalian aneh.

17 February 2018

Arti Film Perjuangan Untuk Anak Jaman Sekarang

Sebelum bertanya pada Dudu, saya mencoba mengingat kembali film perjuangan apa yang pernah saya tonton? Mungkin ada, tapi saya tidak ingat satu pun.

Astaga.

Lalu bagaimana saya expect Dudu untuk menonton film perjuangan? Mungkin satu-satunya yang bisa menghubungkan Dudu dengan “film perjuangan” adalah bagaimana para survival di The Walking Dead berjuang bebas dari kepungan zombie. Dudu mungkin aware bahwa bangsa Indonesia pernah dijajah Belanda. Tapi karena Dudu sekolahnya internasional, tidak pernah ada penekanan bahwa sejarah tersebut penting dan seharusnya menjadi bagian dari dirinya.


Atau tidak. 




Toh, Dudu bukan orang Indonesia. Kan dia keturunan sekutu yang ikut mengebom Hiroshima dan Nagasaki, lalu meratapi kapal-kapal yang tenggelam di Pearl Harbor. Mungkin sebenarnya perjuangan Martin Luther King Jr. lebih berfaedah buat sejarah Dudu kelak.

Kalau saya tidak ingat satu pun film perjuangan yang saya tonton, bagaimana saya mau mengkritisi atau memberi saran bagi para pembuatnya?

05 February 2018

Berdamai Dengan Diri Sendiri

Kunci berdamai dengan diri sendiri adalah mencari tahu apa yang harus diketahui, melakukan apa yang harus dilakukan dan melepaskan apa yang memang bukan milikmu.

Terdengar pasrah tapi bukan.

Soalnya pelajaran itu saya dapat di kelas Buddhism yang saya ambil waktu kuliah dulu. Jadi ini salah satu pelajaran paling kompleks dan kalau disuruh bikin paper, saya bakalan berputar-putar lalu bingung sendiri dan akhirnya menyerah menjelaskan. Pokoknya ya gitu deh. Tapi ketika saya paham maksudnya, meskipun tidak bisa jelasin lagi ke orang lain, saya jadi lebih ikhlas sama hidup yang harus dijalani.

Sekarang, 13 tahun kemudian, bolehlah saya mencoba menjelaskan lagi untuk menjawab tantangan One Day One Post dari Komunitas ISB.

Mencari tahu apa yang harus diketahui mengacu kepada diri sendiri. Untuk tahu apa yang bikin marah, saya harus kenal diri saya sendiri. Menjawab pertanyaan "siapa saya?" biasanya menghasilkan jawaban yang tidak jauh dari kepribadian, pandangan hidup, perasaan, niat, dan kesadaran. Nah, ini semua harus disadari sebagai beban. Bagian ini agak kompleks karena memang ultimate goal dari ajaran Buddha yang ini adalah "selfless" alias bebas dari keterikatan duniawi tentang diri sendiri. Aduh nyerah jelasinnya.

Mungkin bisa pakai contoh begini: kita tahu niat kita baik dengan meminjamkan uang pada teman yang membutuhkan. Jadi awalnya kita tahu dan sadar bahwa kita memang punya niat meminjamkan kepada orang tersebut. Kita merasa harus meminjamkan karena teman memang butuh dan kita punya dananya. Jadi kita melakukan apa yang kita harus lakukan, yaitu meminjamkan uang. Tapi begitu kita tahu itu uang dipakai judi togel kita jadi kesel. Well, kalau sudah kita pinjamkan, pemakaiannya kan bukan urusan kita lagi. Jadi sebaiknya kita lepaskan apa yang harus kita lepaskan. Toh awalnya kan kita niat meminjamkan. Makanya niat itu ujung-ujungnya jadi beban.

Niat saya kan baik, kok akhirnya tidak happy ending?

Well, lihat niat sebagai niat. Bukan sebagai awal dari satu kisah berkepanjangan. Kita tahu niat kita meminjamkan uang, jadi seharusnya happy ending terjadi ketika kita benar-benar meminjamkan uang. Dan semuanya jadi lebih indah juga kan, kalau kita berhenti dan melepaskan apa yang ada di luar kemampuan kita?

Seringkali yang membuat saya marah adalah hal-hal yang tidak bisa saya kendalikan. Misalnya kalau saya kena macet di perjalanan pulang dari kantor. Padahal jalanan yang padat, kecelakaan dan lampu merah yang rusak ada di luar kuasa saya. Tetap saja saya frustrasi dan kesal kenapa itu semua ada di luar kuasa saya sampai saya bisa kena macet. Padahal kalau kita mau ikhlas bahwa kita memang terjebak macet, lalu memutar radio, mungkin semuanya jadi lebih baik. Atau kita bisa memutuskan mampir ke restoran bersama teman sambil menunggu macet. Kita tidak bisa mengendalikan macetnya, tapi kita bisa mengendalikan kegiatan kita di saat macet.

Dan ketika kita sadar bahwa kita tidak bisa mengendalikan macet lalu melepaskannya, maka kita bisa lebih lega dan fokus sama apa yang ada di sekeliling kita. 

So, let me close this train of thoughts with a quote from Buddha:
"Holding on to anger is like grasping a hot coal with the intent of throwing it at someone else; you are the one who gets burned."

21 November 2017

The Bad Guy Wins Because He Gets The Girl

“Thor-nya kuat dan tampan. Thor juga pahlawannya. Tapi Mama sukanya Loki. I guess in the end, bad guy wins because he gets the girl,” komentar Dudu sepulang kita nonton Thor Ragnarok.

Lha, kok gitu, Du?

“Yah, habis Mama selalu ribut suka sama Loki.”



Gara-gara itu saya jadi berpikir kenapa Thor bisa kalah charming dari Loki. Well, di dunia drama Korea ada yang namanya second-lead syndrome. Mungkin di perfilman barat juga ada. Hahaha. Anyway, back to Thor. Secara keseluruhan film ini lucu banget. Lebih komedi daripada action, dan sebenarnya terasa kalau Marvel memaksakan beberapa adegan yang meskipun berhasil membuat satu bioskop tertawa ngakak, tapi sebenarnya tidak perlu-perlu amat ada di Thor Ragnarok. Jalan ceritanya sendiri ya, well, unfortunately buyar.

04 September 2017

Transit Dua Jam di EV Hive Satellite SCBD

Sebagai seorang pekerja kantoran, saya baru ganti wujud jadi blogger dan freelancer setelah jam kerja usai, atau di akhir pekan. Tapi bukan berarti saya tidak bisa ikut mendapatkan manfaat dari menjamurnya coworking space di Jabodetabek.

Di era teknologi sekarang ini, networking sudah menjadi satu kebutuhan tersendiri. Karena itulah coworking space hadir sebagai salah satu penunjang bisnis, baik startup maupun freelance, yang kita sedang kita jalankan.




Tempat apa? Coworking space? Begitu tanya beberapa orang teman ketika saya bercerita tentang plan mampir ke EV Hive minggu lalu. Meskipun ketika saya menyebutkan beberapa cabangnya seperti The Maja, JSC Kuningan dan Dimo Menteng semua langsung paham tempat apa yang dimaksud. Lalu muncul pertanyaan berikutnya: “itu bukannya buat event?” Meskipun sering ada event, tapi coworking space pada dasarnya adalah tempat bekerja, dimana kita bisa berbagi area kantor dengan banyak orang.

EV Hive Satellite SCBD

Hari itu saya pulang lebih cepat supaya bisa mampir ke EV Hive di Equity Tower lantai 8, suite 8A, SCBD Sudirman. Cabang terbaru EV Hive coworking space, yang diberi nama Satellite ini, memiliki ruangan cukup luas dengan jendela besar menghadap ke gedung-gedung tinggi di area SCBD dan membuat saya serasa memiliki kantor sungguhan di pusat kota.

02 September 2017

Tips Merubah Fanwar jadi Fangirling Bermanfaat

Ketika nonton konser Spotify on Stage 9 Agustus kemarin saya baru menyadari betapa tuanya saya sebagai fans K-Pop. Meskipun saya di situ karena Joe Jonas dan DNCE (itu juga tetep ketuaan sih kan angkatan saya Michael Learns to Rock), tapi saya takjub dengan semangat fans yang masih muda-muda ini, hadir dengan legal guardian, demi NCT 127 yang hanya menyanyikan segelintir lagu.

NCT 127 di Spotify on Stage

Di tengah kericuhan itu saya iseng mencolek anak setinggi bahu saya, yang kebetulan terdesak ke belakang bersama saya saat NCT 127 diumumkan akan hadir sesaat lagi.

“Dek, umur berapa?”

Si Adek bingung. Lalu ada anak perempuan lebih besar di sebelahnya yang tadi asyik main HP, lalu berhenti dan memandangi saya. Tapi si Adek akhirnya menjawab.

“Umur 11, Kak.”

Wait, si Adek ini seumuran Dudu, anak saya. Astaga.


Saya dalam hati tetap salut, sampai segitunya si adek datang demi NCT 127. It’s amazing what K-Pop Fans do to support their idol.

Tapi tunggu dulu, perjalanan jadi fans Kpop tidak melulu mulus. Ikut berebutan tiket Spotify on Stage, lalu tiket KBEE baru-baru ini, saya menyadari banyak yang bersitegang di media social. Alias, ribut. Yang tidak dapat tiket ada yang “menyarankan,” agar teman se-Fandomnya yang mampu untuk beli tiket Music Bank saja dan berhenti berebutan tiket gratisan. Yes, NCT 127 termasuk di line up Music Bank Jakarta tanggal 2 September. Dan sebagai fans yang baik memang seharusnya kita beli tiket dan mendukung performance artis kesayangan kita dong.

20 July 2017

3 Manfaat Menulis Reportase

Menulis karena ada imbalan. Saya sedikit banyak sudah pensiun dari konsep itu.

Seringkali ketika saya duduk di depan laptop dengan secangkir kopi, Dudu akan menghampiri dan bertanya, “Mama sedang cari uang ya?” Yes. Pekerjaan saya selama ini berkaitan dengan tulis menulis, seperti sudah ditakdirkan sejak SD ketika saya hobi menulis untuk majalah sekolah dan reportase tabloid. Bayarannya saat itu datang lewat wesel. Lalu saya lelah. Menulis yang seharusnya jadi hobi kok malah menjadi beban karena “dibayar” alias berubah jadi pekerjaan. Jadi saya mulai ngeblog agar bisa menulis sesuka hati tanpa bayaran.

Hadir di acara Indonesia Montessori. Harusnya cuma post IG malah jadi tulisan.
Siapa yang menyangka ternyata di tahun 2017 ini semuanya terbalik. Ketika media (terutama cetak) sudah mulai menurun dan blogger naik daun, saya mendapatkan banyak undangan event dan menghadiri banyak workshop baik tentang menulis, blogging maupun digital marketing yang jadi pekerjaan saya sekarang. Ada yang saya dibayar, ada yang tidak dan ada yang saya membayar. Semuanya saya tulis? Iya, terutama kalau memang sempat dan informasinya berguna bagi banyak orang. Yang paling sering adalah ketika saya menang kuis nonton bareng dari XYKids, karena nonton film jadi kegiatan nge-date kita berdua yang paling sering. Tidak ada kewajiban menulis, karena kita menang kuis, tapi karena biasanya menang kuis membuat kita nonton film duluan, review kita bisa berguna bagi orang lain yang ingin nonton film tersebut bersama anaknya.