14 December 2024

Sejuta Impian 2025

2025 mau apa?

Pertanyaan sulit bagi saya yang tiba-tiba jobless karena PHK di akhir 2024. Cari uang dong. Cari pekerjaan lagi. Itu yang pertama terlintas di pikiran. Namun, ternyata mencari pekerjaan di usia 40 tahun ini tidaklah mudah. Yang lebih muda saja harus melalui belasan interview dan ghosting dari berbagai perusahaan. Saya? Mengirim lamaran, lalu tidak ada kelanjutannya. Balasan yang saya terima biasanya berupa permohonan maaf karena saya tidak sesuai dengan yang mereka cari.

Biasanya ini gara-gara gaji.

Anyway, setelah berpikir ke sana dan sini, ada beberapa ide bagaimana saya mau menjalani 2025. Apa saja?

  • Kuliah lagi. Saya ingin belajar tentang Public Policy, Public Administration terutama soal Non-Profit Management dan Fundraising. Saya sering menemukan lowongan di NGO yang berujung gagal melamar karena kualifikasi pendidikan yang tidak memadai. Di usia 40 ini, saingan saya kebanyakan punya S2. Saya hanya punya S1 yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saya sekarang. Sulit bersaingnya.
  • Menggaji diri sendiri. Kalau cari kerja susah, kenapa saya tidak coba menggaji diri sendiri? Bagaimana caranya? Fundraising untuk Yayasan tempat saya jadi relawan sekarang jadi kami punya sumber dana tetap dan bisa menggaji staff. Atau buka usaha laundry di daerah. Hanya saja, merintis sesuatu berarti saya harus punya dana cadangan yang cukup untuk hidup selama usaha saya belum membuahkan hasil. 
  • Cari pekerjaan baru. Iya, ini tetap ada dalam agenda. Tapi saya lebih banyak pesimisnya. Jadi, yang saya lakukan sekarang adalah fokus ke pekerjaan freelance, tapi ada beberapa. Repot memang, tapi setidaknya tetap ada penghasilan tetap dan bisa menabung.
  • Green Card Lottery atau hal sejenisnya. Pindah ke luar negeri adalah impian utama saya. Karena di beberapa negara, umur tidak menjadi halangan seseorang untuk bekerja. Asalkan mau bekerja, dan masih kuat bekerja fisik, pasti bisa dapat penghasilan. Opportunity untuk bekerja freelance dengan kemampuan spesifik yang saya miliki sekarang ini juga lebih banyak. Idealnya sih opsi ini yang diambil, tapi berhasil tidaknya bergantung pada undian yang ada di luar kuasa saya.

Kichi (Kiri) Dan Waco (kanan)

Saya yang senang bekerja dan berkegiatan justru merasa bahwa santai-santai ini berbahaya. Jangan sampai terlena karena ada banyak hal yang sebenarnya bisa dan harus dikerjakan.

  • Saya ingin traveling, pergi nonton konser dan healing. Tapi, ya tidak bisa hanya traveling saja dong. Kenapa tidak saya mencoba cari pekerjaan di Korea? Siapa tahu ada yang tidak mementingkan umur dan bisa saya lamar.
  • Saya ingin membereskan rumah. Ada banyak barang “peninggalan” keluarga dan kedua orang tua yang sebenarnya bisa berguna bagi orang lain. Saya ingin membereskan dan menyumbangkan yang masih layak. 
  • Saya ingin pelihara kelinci lagi. Ini yang paling sulit untuk dilakukan. Soalnya saya ingin traveling, dan akan sulit meninggalkannya di rumah sendirian. Punya binatang peliharaan berarti punya tanggung jawab lebih. Apalagi kelinci ini rentan sakit dan mudah meninggal. Harus benar-benar siap mengurusnya.

Satu-satu kita coba capai mimpi. Semoga 2025 jadi tahun yang baik buat saya. 


30 November 2024

Ternyata Anak Saya Juga Gen Z

 “Mama ini bagaimana sih, aku kan Gen Z.”

Protes Dudu sering terjadi ketika saya komen soal kelakuan anak Gen Z. 

“Loh, emang Gen Z itu tahun berapa?” 

Pertanyaan saya malah membuat dia tambah kesal. Haha. Yah, habis gimana dong. Saya berpikir Gen Z ini adalah teman-teman di kantor, yang senang bicara mental health dan jajan kopi kekinian. Anak-anak di tim saya yang kerja keras di weekdays, tapi weekend-nya having fun gila-gilaan. Senang belajar hal baru, FOMO dan gampang overthinking. 

Kadang saya berpikir Gen Z seperti kelinci. Foto hanya pemanis.

Kalau ditanya apa yang saya dapatkan dari interaksi dengan Gen Z, ini adalah jawabannya: 

Mental Health itu bukan penyakit yang harus disembunyikan.

Generasi yang ini lebih berani dan terbuka soal kesehatan mental mereka. Dosis obat anti-anxiety, rekomendasi psikolog dan psikiater jadi bahan diskusi seperti makanan dan restoran. Dari mereka jugalah, saya memahami bahwa psikiater memang dibutuhkan dan dapat membantu memecahkan masalah. 

Ketika Mama diagnosa kanker dan sulit berkomunikasi, saya memanggil psikiater rumah sakit untuk berkunjung dan memberikan obat. Hasilnya, Mama jadi sempat pamit dan ngobrol sebelum akhirnya berpulang. Mental Health awareness berguna bukan hanya bagi anak muda, tetapi juga orang tua. Post-power syndrome bagi pekerja pensiun atau lansia aktif yang terkena penyakit berat dan harus bed rest. Ini semua sering membutuhkan bantuan mental health expert, dan saya belajar dari para Gen Z ini untuk tidak mengabaikan kemungkinan ini. 

Overthinking dulu Insecure kemudian. 

Saya langsung merasa overthinking saya normal. Beberapa rekan dan kenalan yang Gen Z. memiliki kemampuan overthinking yang membuat saya jadi overthinking juga. Ini saya yang “normal” atau saya memang kurang memikirkan segala sesuatunya dengan baik? 

Overthinking bukan hal positif jika dilakukan secara berlebihan, tapi ini sebenarnya adalah self-defense mechanism yang dimiliki manusia untuk meminimalisir resiko. Atau setidaknya begitulah yang saya pikirkan. Yang penting jangan sampai kedua hal ini menghambat saya dalam berkembang dan belajar. 

Work-Life Balance itu Penting

Kerja memang harus, tapi bersenang-senang juga jalan terus. Uang kalau hanya mengendap di tabungan juga buat apa? Meskipun ini bukan mindset general Gen Z, beberapa teman saya memilikinya. Gadget dicicil. Ketika cicilannya lunas, sebulan dua bulan kemudian tukar tambah dengan yang baru dan mulai mencicil lagi. Saya yang terbiasa membayar lunas semuanya jadi membandingkan gaya hidup saya juga. 

Menabung itu perlu. Banyak Gen Z yang saya kenal punya emergency fund cukup besar. Soalnya mereka pernah kena layoff dan faham resiko kerja di perusahaan startup. Yes, biasanya mereka kerja di startup karena tantangan dan gaji yang besar. Namun, pengeluaran mereka juga cenderung besar karena mereka suka pakai gadget terbaru. Beberapa juga menghabiskan uang di skincare dan liburan ke luar negeri. Intinya ya itu, ada alokasi dana untuk bersenang-senang. 

Menghadapi rekan kerja yang semakin hari semakin muda, bahkan saya pernah punya intern yang umurnya hanya beda beberapa tahun dengan Dudu, membuat saya berpikir bahwa saya semakin tua haha. Untungnya gap antar generasi biasanya tidak terlalu terasa, dan saya seringkali bisa menyesuaikan diri. 

Kuncinya hanya satu: mau berpikiran terbuka. 


17 November 2024

Sebuah Refleksi tentang Literasi Digital untuk Perempuan

 “Bisa dicek emailnya ya, Mbak.” 

Kalimat ini terdengar sederhana tapi tidak semua bisa melakukannya. Kok gitu? Iya, jadi sepanjang perjalanan saya mengurus komunitas, yang baru 3 tahun kemarin itu, saya menemukan bahwa literasi digital ini penting adaya.

Di sebuah hasil polling Apps Populix, sebagian besar responden bilang kalau mereka malas buka email karena terlalu banyak yang isinya promosi. Lalu muncul Gmail yang memisahkan email pribadi dan promosi atau Outlook yang punya folder “focused” untuk memfilter email langganan. Lah, ini berarti sebenarnya literasi digital kita sudah maju dong.

Mungkin.

Kenapa saya bilang mungkin? Soalnya kalau saya mengirimkan email zoom link event komunitas, banyak yang kebinggungan mencari folder spam/junk atau di mana bisa lihat email yang masuk ke “update”. Belum lagi kalau ternyata email di ponsel dan laptop tidak sync, jadi pas dicari ya emailnya tidak ditemukan. Jadi literasi digital bukan sekedar tahu cara membuka email. Tetapi juga memilah isinya dan menemukan pesan yang dicari.

Kenapa tujuannya perempuan? Sebenarnya ini ya karena dunia saya banyak berurusan dengan perempuan dan terbentur kemampuan mereka untuk memanfaatkan teknologi. Termasuk saya.

Ketika Dudu mendaftar kuliah menggunakan “Common App,” saya culture shock. Jaman dulu kita manual mengirimkan berkas lewat email atau pos. Sekarang dia mengisi semuanya secara online, sekolahnya mengupload nilai secara online juga dan decision dari kampus tujuan juga diberikan secara online. Cuma pakai satu app.

Ini, lho. Dari bayi sudah pegang komputer.

24 October 2024

Tahun Ini Adalah Tahun Ke-20 Saya Ngeblog

Tahun ini adalah tahun ke-20 saya ngeblog. Eh, sudah selama itu ya? Ya, Dudu saja sudah 18 tahun, jadi sebenarnya masuk akal sih.

Pada zaman itu, blogging hanyalah sebuah hobby atau diary online. Dan tujuannya blogging, selain curhat adalah untuk mendokumentasikan kegiatan sehari-hari Dudu. Makanya nama blognya juga Andrew and me. Dudu dan saya.

Seiring berjalannya waktu, blognya berubah. Saya pulang ke tanah air, Dudu semakin besar dan tulisan semakin banyak. Bukan hanya tentang parenting atau ide nge-date di Jakarta, tetapi juga tentang kehidupan saya sebagai single mom. Lalu, saya mulai ambisi. Ketika menulis sudah tidak lagi menjadi pekerjaan utama, blog saya mulai jadi penghasilan. Alias saya jadi blogger part-time yang happy ketika diundang liputan dengan kewajiban menulis. Namun, karena blog saya adalah blog gratisan, undangannya juga jadi terbatas.



Ambisi yang kedua adalah punya blog lebih dari satu. 

14 October 2024

Museum Forward and The Adaptive Way to Embrace Changes

Whenever I told people that I want to pursue a degree in Cultural Anthropology, people asked, “what do you want to do with it?” I had no clue. I just love the different cultures, different viewpoints, then eventually translated to arts and museums. I started to wonder how these preservation sites work, the curation and the marketing process. So, when a social media post about Museum Forward, the first international best practice forum on museums and heritage, appeared on my timeline, I signed up.

I attended the Museum Forward 2-day public conference which is an eye-opening matter when it comes to museums. Held at BJ Habibie Building, BRIN (National Research and Innovation Agency), the forum brings together museum and heritage practitioners from all over the world, every session presents an interesting subject. What do I bring home from spending two days among these experts?


Museums used to be pictured as a place to preserve artifacts or history for the future generation, and this is where the problem lies. You’ll see museums usually preserve something by limiting interaction with the objects, while they should have made it accessible. Things like traditional music instruments are more meaningful when it’s played, compared to being displayed in a museum. So, museums nowadays have to go beyond preservation, by becoming a cultural hub to conserve what we have for the future.

Some museums, like the Louvre at Abu Dhabi, are moving away from encyclopedic approach to narrative viewpoint. Manuel Rabaté, Director of Louvre Abu Dhabi, France-UAE, shared that to do this, we must “question what stories can we share with the visitors.” Encourage cultural dialogues by taking in global conversations, and make sure to find the best practices to be implemented. Don’t be afraid to learn from children's museums as they know what they are doing and who their target audiences are.

Then the questions are there: how do you create a new narrative?

Sharmini Pereira, Chief Curator Museum of Modern & Contemporary Art Sri Lanka, Colombo, shared what it means to have a modern and contemporary art museum in Sri Lanka, which is known more for its conflicts. She included artworks, programs and conversations to include everyone on different sides of the conflicts. Her narratives go around the conflict itself, with culture and history as the connecting elements.

A different approach came from Victor Cageao, General Coordinator of Conservation, Museo Nacional del Prado, Madrid. Showing the transformations at the museum, where originally, “Europe has the tendency to accumulate collections,” to the current simplistic look with best or curated items on display. Sculptures and paintings which used to be placed in separate rooms are now put together to create a dialogue. “It’s often said that the museum has improved a lot because it has changed little,” he said.

And no, “creating a new narrative doesn’t mean losing its identity,” he assured. One can incorporate other voices. For example, instead of displaying items only from a certain period, a museum may put together similar arts from different periods and places. A room where golden masks from around the world are seen side by side, may bring new narratives on masks and how they are connected to or very different from one another. Another way is to deepen the creative process, as in introducing the artists not just as part of the artworks displayed but as a person.

When day one is about best practices and perspectives, day two highlights collaborative approaches to museums and cultural heritage. What kind of collaborative approach? Indonesia Bertutur brings performances to museums, while Indonesian Heritage Society gathers up the communities for collaboration. M+, Hong Kong hosts experiences to encourage the younger generation to play an active role in protecting, developing and utilizing the cultural heritage.


Collaborative approach is also crucial in building the museum’s brand, which is a public perception of the museum. Some rules to brand-related:
  • You can’t satisfy everybody, so focus on differentiating yourself instead. How? You only get one idea; if you add “and,” the effectiveness evaporates. Narrow down the focus.
  • Add more human interaction because it deepens the belonging.
  • Pay attention to your museum’s communication through different channels like architecture, lighting and atmosphere, art arrangements or label and interpretation.
So, it was a fruitful session, on interesting topics. While I’m simply just a museum enthusiast, most insights are actually applicable in my industry of non-profit organization. How to do branding and what we should shout in our messages. The sessions got me to reflect on how I did my campaigns and developed my programs. Something to keep for 2025.

09 August 2024

Sebuah Cerita Tentang Keputusan untuk Menunda

Awal tahun ini, Dudu dan saya mengambil sebuah keputusan besar untuk menunda kuliah. Alasannya karena keluarga.

Sebenarnya hal ini wajar, karena di sekeliling saya, dia bukan satu-satunya yang menunda kuliah. Penyebabnya juga banyak. Ada yang karena dana, ada yang ingin langsung mandiri dan ada yang memang mengambil pendidikan tinggi lainnya. Kasus Dudu juga termasuk yang ringan, soalnya menunda kuliahnya cuma 6 bulan, alias berencana masuk di Januari 2025. Yah, saya juga dulu ada “break” 6 bulan dari lulus SMA ke masuk kuliah. Alasannya malah lebih parah, saya capek belajar yang diharuskan dan mau senang-senang saja.

Bisa #DateWithDudu lagi

Jadilah, saya mengambil les Bahasa Perancis selama 6 bulan, sambil menunggu tanggal keberangkatan. Sekarang, Dudu mengambil kursus bahasa Mandarin sambil melanjutkan les gitar.

Jika memutuskan untuk tidak langsung masuk kuliah, bagaimana kita mengisi gap year? Well, ini yang kami lakukan:
  • Ambil kursus dan pelatihan. Karena sudah tidak ada kegiatan sekolah secara rutin, maka sekarang Dudu bisa ikut kelas dan pelatihan. Selain kursus bahasa asing dan les gitar, dia juga jadi sering ikutan workshop yang sesuai dengan jurusan kuliahnya kelak. Misalnya kalau ada kelas menulis script atau kelas tentang film. Kegiatan ini juga bisa jadi latihan untuk kuliah. Maksudnya latihan mengatur jadwal sendiri dan mengambil hanya kelas-kelas yang disuka.
  • Volunteer / Menjadi Relawan. Meskipun menarik, hal ini juga sedikit tricky. Banyak yang membuka posisi relawan namun mengharuskan pelamar sudah masuk kuliah. “Pengangguran” yang hanya punya ijazah SMA seperti Dudu sering kesulitan memposisikan diri. Sebulan terakhir ini, dia sedang gencar mendaftar jadi relawan di beberapa event yang sesuai dengan minatnya. Namun, belum ada yang berhasil diterima.
  • #DateWithDudu. Karena technically dia nganggur, kita jadi bisa nge-date lagi. Jadi waktu gap months ini bisa dipergunakan untuk quality time sebelum dia masuk kuliah. Kita jadi lebih sering mencoba restoran baru, pergi ke event barengan dan nonton film bersama. PRnya tinggal menuliskannya di blog.
  • ‘Me time’. Dudu jadi bisa melakukan hal-hal yang dia sukai seperti menamatkan game PS yang sudah lama ditundanya atau mabar bersama teman-temannya. Menulis script film yang kemarin tertunda karena belajar ujian dan menyelesaikan baca komik yang kemarin ditinggalkannya. Belajar masak untuk siap-siap hidup mandiri dan magang di coffee shop juga jadi pilihannya untuk ‘me time’. Kalau menurutnya, dia lega karena sebelumnya khawatir tidak akan sempat main PS4 lagi sebelum kuliah.

24 June 2024

Review Buku: Conscious Diet oleh dr. Yovi

Judul buku ini membuat saya berpikir dua kali. Conscious Diet. Memangnya selama ini kita tidak sadar ya kalau diet? Ternyata artinya lebih dari sekedar sadar bahwa kita sedang menjalani diet, melainkan sadar akan diri kita dan tujuan diet kita. Mengenali diri kita sepenuhnya agar diet yang dilakukan berhasil.

Buku Conscious Diet oleh dr Yovi

Buku setebal 101 halaman ini isinya padat dan praktis. Bukan hanya narasi tapi juga ada rumus BMI, kuis tipe tubuh dan rekomendasi pola diet serta olahraga yang bisa diikuti. Dan karena bukunya juga ringan, jadi bisa dibawa dalam tas untuk bacaan sembari menunggu, atau dijadikan bahan pembicaraan dengan teman.

Mengenali diri sendiri mulai dari mana? Buku Conscious Diet dimulai dengan Bab berjudul “Anda adalah Gaya Hidup Anda.” Pada Bab ini pembaca diajak berkenalan dengan kalori dan BMI. Membahas diet sebagai kalori masuk dan kalori keluar, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hitung-hitungan simple kalori.

“Kenali jenis tubuhmu sebelum mulai diet,” saran dr. Yovi Yoanita, M.Kes (gizi) FAARM, ABRAAM, pengarang buku Conscious Diet pada acara “Brunch Date with dr Yovi” yang digagas oleh Female Digest di YClinic Bintaro beberapa waktu lalu.

“Brunch Date with dr Yovi” yang membahas tentang buku Conscious Diet ini

Bab 4 yang berjudul “Mengenal Diri, Mengenal Tipe Badan,” ada di halaman 75. Bab ini dimulai dengan kuis sederhana yang membantu kita mengenali apa tipe badan kita. Dari sini kita tahu diet apa yang cocok untuk kita jalani.

Saya jadi tahu bahwa tipe tubuh saya adrenal dan dianjurkan untuk melakukan olahraga yang tidak memicu stress, tidak mengurangi porsi makan secara drastis, dan menjaga kuantitas serta kualitas tidur.

12 June 2024

Rahasia Sukses Diet Itu Ada di Mindset

Pernah gagal diet? Tenang, kamu tidak sendirian. Banyak yang sudah semangat untuk diet, namun tetap saja ngemil tengah malam sambil nonton Drakor favorit dengan alasan reward. Saya tidak pernah mencoba diet, karena tahu akan gagal duluan dengan keribetan yang datang bersama pola makan sehat. Kemarin, saya mendapatkan sudut pandang baru tentang diet, yang mengajarkan bahwa diet bukan hanya menghitung kalori, tetapi juga cara memahami diri sendiri. Kok bisa?

“Brunch Date with dr. Yovi” bersama Female Digest (photo: Female Digest)

Pada hari Minggu, 9 Juni 2024 saya menghadiri acara “Brunch Date with dr. Yovi” yang digagas oleh Female Digest. Acara yang diselenggarakan di YClinic Bintaro ini dimulai dengan sharing session & bedah buku Conscious Diet oleh dr. Yovi Yoanita, M.Kes (gizi) FAARM, ABRAAM, lalu diikuti assessment pengembangan kepribadian ditinjau dari sisi kesehatan, clinic tour dan ditutup dengan makan siang bersama. Acara yang interaktif ini dihadiri sekitar 20 orang blogger dari Jabodetabek, semuanya antusias untuk sharing dan belajar lebih banyak tentang wellness.

Acara ini juga didukung oleh Radiant, yang mengenalkan produk probiotik serta peranannya dalam membantu menjaga berat badan. Apt. Sylvia Kartika Anggraini, S. Farm menjelaskan bahwa "penurunan berat badan itu harus diperbaiki dari berbagai sisi, misalnya apakah pencernaan saya bagus, supaya apapun yang kita makan itu penyerapannya bisa optimal atau apapun yang kita makan itu bisa dibuang sisanya dengan optimal." Di sinilah probiotik berperan.

Apt. Sylvia Kartika Anggraini S. Farm dari Radiant

Di acara ini, saya belajar bahwa diet bukan semata-mata mengurangi kalori biar cepat kurus. Biasanya orang yang mencoba diet akan terperangkap dalam lingkaran setan, yaitu merasa bentuk tubuh kurang ideal, melakukan diet, frustrasi, gagal diet dan tubuh kembali ke bentuk semula. “Diet itu bukan nggak makan, tetapi mengatur ulang pola makan,” kata dr. Yovi, lalu menjelaskan bahwa biasanya orang tidak bertahan karena memang dietnya salah. Lalu gagal dan kembali lagi ke awal, yaitu tidak happy sama tubuhnya sendiri.

Di sinilah pentingnya kita, sebagai yang punya wacana diet, untuk memahami diri sendiri. Apa bentuk tubuh kita? Lalu, BMI kita berapa? Alasan diet kita apa? Bukan hanya ingin kurus lalu auto mengurangi makan. Bedanya apa dengan diet biasa? Jika kita mengenal diri sendiri, mengurangi kalori yang berlebihan dapat dilakukan dengan tepat dan tanpa tekanan. Semuanya bisa ditemukan di buku Conscious Diet yang ditulis dr. Yovi.

11 June 2024

Cafe Inspirasi Latar Belakang Cerita Fiksi

Ini adalah sebuah cerita fiksi.

Awal tahun ini, saya memutuskan untuk membuat sebuah cerita dengan latar belakang cafe sebagai partisipasi dalam tantangan menulis 30 Hari Bercerita di Instagram. Cafe yang ada di bayangan saya adalah sebuah tempat sederhana, alias neighborhood coffee shop, yang terletak di suburban Midwest Amerika. Pengunjungnya adalah para mahasiswa yang sedang menimba ilmu, dan penduduk setempat di sana. Lalu keterusan dan cerita Fresh Start Cafe ini permanen ada di Instagram Fiksi saya.

Kenapa cafe? Selain karena cafe adalah tempat banyak orang bertemu, cafe juga bisa menghadirkan beragam makanan dan minuman yang unik. Saya tidak bisa masak. Tapi bisa membuat makanan dengan bantuan Bing haha.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan di cafe, mulai dari membaca buku, bertemu teman, belajar ujian, hingga mengerjakan tulisan. Setiap cafe punya ceritanya sendiri, dan cafe-cafe inilah yang menjadi inspirasi saya membangun Fresh Start Cafe.

30 May 2024

Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Melakukan Sesuatu yang Disukai

“Kok elo umur kepala 4 masih nonton konser?”
Bukan cuma nonton konser, tapi mengejar idol sampai ke Korea.

“Lah, kalo lo nonton, Dudu ditinggal?”
Soalnya kalo diajak, dia tidur. Terus habis itu ngomel-ngomel sendiri karena mendingan di rumah main PS atau nonton Netflix.

“Kok tega ninggalin anak?”
Jangankan konser ke kabupaten sebelah, saya pernah nonton konser sendirian di Kuala Lumpur. Dudu ya sama opa omanya di rumah. 

Jalan hidup saya terbalik dengan kebanyakan orang. Ketika yang lain sibuk travelling, party, nonton konser dan mengejar idol-nya, saya sedang jadi ibu tunggal. Nah, sekarang ketika semua orang di sekitar saya sedang fokus berkeluarga, saya malah ada di lokasi konser idol Kpop bersama ribuan anak-anak yang umurnya tidak beda jauh dengan Dudu. Ada emak-emak nyasar yang terlambat ngefans sama Kpop. Eh, memangnya itu terlambat?

Akhirnya nonton konser CNBlue, meski beli tiket H-1.

“Kalo Dudu udah kuliah, lo mau apa?”
“Gue mau kuliah lagi, ambil S2.”

Saya memperhatikan kebingungan di raut wajah lawan bicara saya. Sudahkah terlambat untuk ingin mengambil S2, sekolah lagi mencari gelar yang sesuai passion saya? Banyak tawaran kuliah yang hadir di sepanjang karir saya. Namun jurusannya ya itu, bisnis, marketing dan sejenisnya. Sementara saya inginnya belajar antropologi, ethics atau social work. Tidak nyambung dengan pekerjaan sekarang. 

Apakah saya menyesal?

Sempat terlintas, seandainya saya lebih muda, tentu nonton konser sambil berdiri 3,5 jam bukan hal mustahil. Saya tidak perlu pegal-pegal pegal sampai tiga hari dan tumbang seharian hanya karena terlalu euphoria di konser. Atau mungkin, tidak perlu merasa ilfil ketika idol yang ada di panggung mulai gombal kepada penontonnya hanya karena usia mereka setidaknya 5 tahun lebih muda dari saya. Berondong. Tapi menikmati konser Kpop di usia ini, di mana sudah tidak sanggup antri berjam-jam, juga bukan sebuah keterlambatan.

Soalnya waktu semua orang sibuk dengan idol-nya, saya sibuk membesarkan Dudu. Jadi ya mau bagaimana lagi kalau pilihannya begitu?

Pertemuan saya dengan Idol Kpop yang termasuk terlambat itu membawa dampak besar dalam hidup dan mimpi saya. Di usia 30+, saya belajar lagi bahasa baru, bahasa Korea. Yang kalau dipikir-pikir tahun ini adalah tahun ke-7 tahun saya tekuni. Lalu tahun ini, saya juga mendaftar untuk jadi Honorary Reporter di Koreanet. Hanya karena saya kangen dengan kegiatan sebagai jurnalis, sekaligus ingin melakukan sesuatu sebagai fans Kpop. Belum lagi, akhir tahun lalu saya mulai mencoba menulis fiksi dengan lebih serius. Bisa ditebak, latar belakang dan karakter yang muncul ya lagi-lagi berhubungan dengan Kpop dan Korea. Belajar bahasa dan belajar menulis fiksi, semua di usia yang sepertinya kok terlambat. Soalnya teman-teman yang ikutan, semua umurnya lebih muda. 

Kalo nonton, yang diajak si boneka ini

Hal ini mungkin akan terjadi ketika kelak saya beneran kuliah S2. Teman-teman yang usianya lebih dekat dengan Dudu, masih muda-muda dan mungkin sanggup begadang menyelesaikan thesis. Daya ingat yang lebih kuat, lebih mudah menghafal waktu ujian. Kemampuan analisa yang lebih tajam karena belum lama terjeda dari masa kuliah yang sebelumnya. Tapi ini tentunya bukan alasan bagi saya untuk tidak jadi kuliah lagi. Justru mungkin saya akan lebih santai menjalani kuliah karena tidak ada beban karir yang menanti di ujung jalan. 

Memulai sesuatu belakangan, bukan berarti kita tidak bisa mengejarnya dengan senang hati. Ada kok, kebahagiaan yang hadir ketika kita berada selangkah lebih di belakang. Kita jadi punya waktu untuk mengamati jalan yang akan diambil dengan lebih jelas. Misalnya jadi lebih bisa mengatur prioritas ketika menonton konser. Atau jadi punya semangat dan motivasi lebih untuk mencapainya. Terutama kalau kita orangnya kompetitif. Bisa belajar lebih fleksibel juga. Sebagai ibu-ibu, tentunya saya harus berpikir ke mana Dudu harus saya titipkan kalau saya mau pergi nonton konser selama 4 jam? 

Terlambat atau tepat waktu, yang pasti, nikmati saja perjalanannya. Semua toh akan indah pada waktunya.


27 May 2024

Creating Healthy Boundaries Starts With Me

How often are we hesitating to say no to a request? Just because we want to prevent inconveniencing others. Or we want to be seen as this helpful person. How often are we doing things beyond our abilities? Just to prove that we're strong enough. Well, I'm sure you're not alone. I struggled with that too.

3 Things We Should Have to Create Healthy Boundaries:

  1. Self-Awareness
  2. Clear Expectation
  3. Communication

Self Awareness

Setting a healthy boundary starts with knowing who we are, what we want and what our preferences are. We need a clear understanding of our thoughts, emotions, and behaviors. How can we create a boundary when we don't know where to draw the line? So, it starts with self awareness. For example, we're not fond of smoke and alcohol. When our circle invites us to go clubbing or hanging out in a lounge, we can comfortably reject them and say we'll join next time they're in a coffee shop. When we have firm boundaries, know what we want and who we are, people come to respect our choices. 

Recognize the different roles we play everyday, healthy boundaries may vary depending on which hat we're wearing. As a mom, for example, healthy boundaries may be our limit, both physical and emotional. Knowing my patience limit may help me say “no” when needed. I can courageously reject additional responsibilities, admit I’m overwhelmed, take a break and ask for help as needed. Realize that we are responsible for how we feel, and we can’t blame others because they made us feel this way. This goes for the opposite, that we’re not responsible for other people’s emotions.

Clear expectation

This should be a two-way interaction. Expectations towards others and expectations to ourselves. An article published by Joe Sanok on Harvard Business Review, titled “A Guide to Setting Better Boundaries,” mentioned two types of boundaries. Hard boundaries are the one we can't compromise and soft boundaries where things are more flexible. Knowing whether it's hard or soft boundaries that we exercise will help us manage our expectations.

For example, a friend of mine has this rule of no smoking near her children. Upon the birth of her third child, she is asked to move back to her parents house to help care for them. It's also easier for her, who is considering going back to work. The problem is, her father is a rather heavy smoker. 

With a hard boundary regarding smoking, she knows that moving back is impossible. Her expectation of her father taking the cigarettes out to the porch every time he wants to smoke might not be fulfilled. Her father expects her to be lenient, while she expects her father to strictly follow the smoking rule. 

Soft boundaries might be about meeting time or what food to eat. Despite not agreeing to move back due to cigarette presence, her parents are still seeing their grandchildren. While they were with their grandparents, she couldn’t strictly enforce what they should eat. The menu is a soft boundary she could compromise.

Communicating clear expectation like this message

Communication

When we know ourselves, and have set a clear expectation, what’s left is communicating them to the outside world. Boundaries aren’t always as clear as a police line. People may not recognize them and accidentally trespass those lines. Therefore, we have to communicate our boundaries clearly. 

Expressing these boundaries needs some degree of assertiveness. Not everyone has this capability and is comfortable establishing boundaries without feeling aggressive or selfish. So, the first thing we do is stating the facts. In my friend’s case, she can say to her father that “I can’t tolerate smoking around children, therefore I can’t move back home unless you stop smoking.” Add an alternative if setting the boundary makes you feel bad. Something like, “but we can visit on weekends.”

As a mom, I can feel exhausted. When a fellow mom starts a conversation, and I don’t feel like listening to their problems, I should be able to say “As much as I want to help, I don’t have the capacity to listen to your problem right now. I’m really sorry.” The same with unsolicited advice. We have the right to reject them, after saying that we respect their opinion.

Boundaries are indeed important. 

I lost several friends due to the boundaries that I set to myself. Mostly because of communication and time boundaries. I don’t usually reply to chat right away. If it’s urgent and if you want a conversation, you should call. Or we can meet and have a chit chat at a cafe. Some of my friends disagreed and went overboard with my late reply. One of them went berserk over how I managed to add a new admin on a group chat I’m responsible for, while ignoring her request for a phone call. I just don’t have the energy to argue with her. I apologize if I made her uncomfortable, told her what she should have done and ignored her ever since. That’s where I drew the line. 

I don’t say what I did was right, but that’s my boundary. I know enough that responding to her negative energy will just exhaust me. I managed my expectations and told her what she could expect of me. Then I communicate those feelings and expectations. I’m done. I felt bad at first because I tend to be a people pleaser. But then, boundaries aren’t meant to include everyone anyway.


17 May 2024

Manfaat Mengambil Short Course untuk Blogger

Salah satu ‘me time’ favorit saya adalah belajar. Aneh ya? Well, saya senang ikutan kursus maupun webinar yang memberikan pengalaman dan pengetahuan baru. Biasanya saya mencari materi yang relevan dengan kehidupan dan passion saya. Sebagai seorang blogger dengan beragam tanggung jawab di luar dunia menulis, saya harus bijaksana memanfaatkan waktu 'me time' untuk memulihkan kreativitas saya.

Banyak solusi klasik seperti healing, minum kopi, atau mengubah suasana, setiap penulis memiliki pendekatan uniknya sendiri untuk mengatasi krisis kreativitas. Belajar juga bisa jadi ‘me time’ karena seringkali kegiatannya tidak bisa disambi. Kalau kata anak jaman sekarang namanya “mindful.” Meskipun pertemuan diadakan secara online, ketika belajar kita harus fokus menyimak, berinteraksi dengan guru dan murid, serta sepenuhnya berada di kelas. 

Efeknya agak sedikit mirip dengan membaca buku atau menonton film di bioskop, di mana kita memberikan perhatian penuh pada apa yang sedang kita baca atau tonton. Begitu kembali ke dunia nyata, pikiran kita lebih fresh

(Photo courtesy of Ani Berta)

Belajar Bahasa Inggris Online Bersama TBI Bandung

Kali ini, yang saya ikuti adalah “Blogger Short Course for Creative Writing” bersama The British Institute (TBI) Bandung dan Komunitas ISB. Kelasnya dilaksanakan secara online selama 3 hari berturut-turut pada pukul 10:00 hingga 12:00 WIB. Kenapa short course? Mengikuti short course dapat memberikan insight baru tanpa komitmen jangka panjang. Cocok bagi mereka yang sibuk, namun mencari kegiatan bermanfaat. Selain itu, short courses dengan topik spesifik dapat membantu saya me-refresh skill yang dimiliki.

Minggu ini, jadilah hari Senin saya dimulai dengan mengantar anak sekolah, lalu duduk manis depan laptop bersama secangkir kopi untuk mengikuti kelas. Kelasnya tidak terlalu besar, jadi belajarnya juga efektif. Di kelas yang saya ikuti di 13 - 15 Mei 2024 kemarin, ada 9 orang blogger yang berpartisipasi. Blogger yang biasanya hanya berinteraksi di WAG, sekarang bisa tatap muka dan ngobrol meski virtual

Hari pertama dimulai dengan perkenalan, lalu dilanjutkan dengan jalan-jalan ke South Africa. Hari kedua, kami semua membahas musik dan festival musik. Hari terakhir, topiknya street food. Di setiap kelas, belajar Bahasa Inggris dikemas dengan topik yang seru dan sesi interaktif yang mengajak setiap murid berpartisipasi. Pengenalan adjective atau kata sifat dan passive voice atau kalimat pasif, jadi lebih mudah diingat ketika dibawakan melalui topik-topik yang menarik. 

06 March 2024

Permainan Tentang Hidup: The Game of Life

Bagaimana jika seluruh perjalanan hidupmu dirangkum dalam sebuah permainan papan atau board game? The Game of Life, atau yang lebih dikenal dengan LIFE, mengajak pemainnya untuk menjalani hidup secara realistis. 

Perjalanannya dimulai dari apakah kita akan kuliah, atau langsung mulai bekerja. Kalau kuliah berarti kita akan berhutang, namun memiliki pilihan karir yang lebih luas. Sementara jika langsung bekerja, kita memiliki pilihan karir terbatas, namun tidak ada hutang yang harus dibayar. Setelah itu kita harus memilih rumah, menikah, punya anak, dan pensiun.

Permainan ini awalnya dibuat pada tahun 1860 oleh Milton Bradley. LIFE yang kita mainkan sekarang adalah versi modernnya, hasil desain dari Reuben Klamer and Bill Markham di tahun 1960. Pemain mengendarai mobil sendirian, mendaki gunung dan melewati lembah. Ketika menikah dan punya anak, penumpang mobil akan bertambah. 

Foto dari Amazon

Jaman sekarang, LIFE punya versi online dan versi aplikasi. Namun, yang saya mainkan bersama Dudu tetap versi board game offline karena lebih seru ketika dimainkan bersama. Apalagi ketika bermain dengan anak-anak remaja seumuran Dudu yang masih belum memulai Game of Life mereka. Bermain game ini mengajarkan bahwa hal tidak terduga bisa terjadi karena saat kita bekerja sesuai passion, gaji kita belum tentu mengikuti. Lalu kita jadi tidak bisa membayar rumah yang diidamkan. Belum lagi ketika mengendarai mobil, kita berhenti di titik “career change” atau “you’re fired” yang mengharuskan kita ganti pekerjaan dan gaji yang diterima. Atau ketika harus membayar sekolah sesuai jumlah anak yang dimiliki. Bisa juga rumah yang kita sudah cicil dan bangun ternyata hancur terkena badai, dan kita harus membangun ulang karena tidak membayar asuransi.

Rasanya seru melihat anak-anak usia remaja dan pra-remaja mulai memikirkan bagaimana membayar pajak. Mereka juga menghitung jumlah anak yang diinginkan karena takut membayar sekolah mahal. Harus menghitung apakah gaji yang dimiliki cukup untuk membayar cicilan rumah, mengembalikan hutang uang kuliah atau membeli saham. Semuanya seperti realita. Namanya juga The Game of Life.

Main Game of Life di rumah

Versi yang saya miliki masih sangat sederhana. Diterbitkan pada tahun 1991. Konon, LIFE yang baru sudah ada adopsi hewan peliharaan, dan versi-versi kolaborasi dengan tokoh populer seperti Hello Kitty, Star Wars, My Little Pony dan lainnya. 

Permainan ini seru untuk dibawa di pertemuan keluarga, terutama jika ada banyak anak remaja dan pra-remaja di acaranya. Orang tua tentunya bisa mendampingi, sambil memberikan petuah dan penjelasan kalau ada pertanyaan tentang perjalanan hidup. Buat orang tuanya gimana? Sekarang rasanya saya lebih mengerti permainan ini setelah melewatinya sendiri di kehidupan nyata, jadi yang bentuknya permainan tetap seru karena tidak memiliki konsekuensi di realita. Kesempatan untuk mengambil keputusan nekat seperti membeli saham, atau mengambil pekerjaan impian tanpa memusingkan gaji.


24 February 2024

Konferensi Perempuan Indonesia dan Akar Permainan Tradisional

Diadakan pada 9 - 11 Februari 2024 di Royal Orchid Garden Hotel and Condominium, Batu, Malang, Jawa Timur, Konferensi Perempuan Indonesia (KPI) offline masih mengangkat tema “Menguatkan Akar Gerakan Perempuan Indonesia”. Mendengar KPI diadakan secara offline tahun ini oleh Ibu Profesional, sebenarnya saya ingin ikut. Namun, karena lokasinya yang cukup jauh dari domisili saya saat ini, dan waktunya yang bertepatan dengan Chinese New Year, saya jadi hanya bisa memantau lewat beritanya. 

Yang membedakan kedua konferensi tentunya adalah pertemuan tatap muka dan sejumlah kegiatan seru yang diadakan di lokasi. Misalnya prosesi SARUNGAN (SAmbutan dan ngeRiUNG awalAN) yang mengawali kegiatan ini, di mana masing-masing peserta mengenakan kain tradisional yang dibawa dari rumah. 

Photo: Warta Jatim

Selain Sarungan, ada banyak kegiatan lain yang mengajak para peserta untuk kembali ke akarnya masing-masing. Sama dengan KPI Online yang diadakan pada 20-22 Desember 2023, ada Forest Walk yang dibuat peserta, bedanya kali ini peserta bisa beneran jalan-jalan melihat peta konsep yang dipajang di papan. 

Sesi Betengan yang dibawakan oleh Pak Dodik Maryanto, Founder dan Inisiator Komunitas Ibu Profesional bersama Istrinya Ibu Septi Peni Wulandari, memberikan pengetahuan sejarah pergerakan perempuan di Indonesia kepada para peserta. Di sesi Bekelan, para peserta mengumpulkan makanan khas daerah masing-masing di sebuah meja panjang sambil saling berkenalan satu dengan yang lainnya. 


Photo: Instagram KPI

Hari kedua, games Sapintrong yang dibawakan Fasilitator sekaligus Ketua Yayasan Ibu Professional, Dzikra Ulya mengajak peserta untuk maju merencanakan masa depan. Lalu diikuti sesi pembelajaran lainnya yang terinspirasi dari permainan tradisional seperti Congklak, Balapan, Galasin, Bakiak dan lain sebagainya. Bukan hanya membawa pulang ilmu, tetapi para peserta juga membawa pulang networking serta relasi baru dari konferensi tersebut. 

Melalui KPI, Ibu Septi mengajak para perempuan Indonesia untuk bersama-sama membangun ekosistem yang sehat melalui akar peran kita sebagai individu, sebagai bagian dari keluarga maupun sebagai anggota komunitas.

Yang menarik dari Konferensi Perempuan Indonesia ini, selain menggunakan permainan tradisional yang tentunya akrab dengan para peserta, peserta juga diajak bertukar layangan di akhir sesi. Kalau biasanya kita bertukar post-it, notes atau surat, sekarang bentuknya layangan. Kenapa layangan? Tentunya agar mimpi dan harapan para perempuan Indonesia ini dapat diterbangkan tinggi ke atas awan.

KPI Offline ini dihadiri oleh 130 peserta dari seluruh Indonesia dan luar negeri. 

Photo: Instagram KPI

Mengintip keseruan acara Konferensi Perempuan Indonesia, saya merasa bahwa pertemuan seperti ini memang diperlukan setidaknya setahun sekali. Kok begitu? Yang biasanya terjadi adalah kita sibuk dengan kegiatan dan gerakan masing-masing, lalu jalan terus tanpa perencanaan yang matang. Padahal, jika mengambil jeda lalu menelaah kembali akar gerakan, kita bisa membuat dampak yang lebih besar. Kenapa harus konferensi offline? Soalnya kalau online, biasanya saya suka tidak fokus. Namanya ibu-ibu kan multitasking ya. Nonton Netflix saja suka disambi kegiatan lain, bisa bahaya kan kalau materinya serius dan saya malah tidak bisa konsentrasi. Nah, kalau offline kan biasanya ponsel masuk tas dan bisa hadir secara penuh di acara.

Melihat jalannya acara yang menggunakan permainan tradisional itu, saya jadi paham kenapa tema itu yang dipilih. Waktu kecil, saya tidak punya gadget. Ponsel pertama saya adalah ketika saya kuliah. Otomatis ketika tumbuh besar, mainan saya adalah bekel, congklak, lompat karet dan layangan. Meskipun katanya layang-layang lebih banyak dimainkan anak laki-laki. Semua permainan ini akrab dalam diri saya, dan merupakan bagian dari akar gerakan saya juga. Seperti yang diingatkan pada KPI Online yang saya ikuti beberapa waktu lalu, untuk mengenali diri sendiri, saya harus banyak berinteraksi dengan diri sendiri. Salah satunya ya lewat permainan itu.

Konferensi Perempuan Indonesia diadakan setiap 2 tahun sekali. Karena terlewat tahun ini, sepertinya saya harus menunggu yang berikutnya diadakan. Semoga lain kali bisa ikutan.


11 February 2024

Pelajaran Menjadi Sempurna dari Doraemon: Nobita's Sky Utopia

Film Doraemon: Nobita's Sky Utopia adalah salah satu tontonan long weekend saya dan Dudu. Film yang sebenarnya ingin disaksikan di bioskop ini malah jadi tontonan rumah di Netflix. 

Salah satu ciri khas film Doraemon adalah adanya pelajaran hidup yang diambil, dengan cerita yang mudah dimengerti anak SD. Sekarang, nonton film Doraemon dengan Dudu yang sudah remaja, kesannya jadi sedikit berbeda. 

gambar diambil dari Youtube

Doraemon: Nobita's Sky Utopia
Durasi: 1 jam 47 menit

Mendengar dari Dekisugi tentang Sky Utopia, di mana semua orang bisa jadi sempurna dan baik hati, Nobita yang baru mendapat nilai nol, payah dalam olahraga dan selalu jadi korban kenakalan Giant, berharap bisa pindah ke sana. Impiannya agar jadi seorang anak sekolah yang sempurna.

Ketika akhirnya geng petualangan Nobita ini sampai di Sky Utopia dan tinggal di sana selama beberapa hari, Giant, Suneo dan Shizuka mulai berubah. Mereka mampu mengerjakan soal hitungan dengan lebih cepat dan tidak lagi kasar pada Nobita. Tetapi Nobita tetap saja payah. Pertengkarannya dengan Doraemon yang disebutnya robot payah, membuat Nobita menyadari bahwa ketidaksempurnaan bukanlah sesuatu yang buruk, jika kesempurnaan membuat kita kehilangan jati diri.

Filmnya bagus?

Menurut Dudu, meskipun message-nya keren, tapi filmnya sendiri kurang menarik. Soalnya penjahatnya langsung ketahuan dan tidak ada character development-nya. Hanya diberikan info sekilas bahwa sosok ini adalah si penjahat dan back story-nya dalam bentuk narasi singkat melalui monolog si penjahat sendiri.

Saya lebih mempermasalahkan ending yang gantung, karena sampai akhir, salesman penjual balon udara yang dibeli Doraemon secara cicilan itu tidak datang menagih hutangnya. Haha. Namun, ada beberapa momen kejutan di filmnya yang membuat ceritanya secara keseluruhan jadi menggugah hati.

Gambar diambil dari netflix

Yang bisa dibawa pulang dari film ini adalah pesan moral bahwa setiap anak itu berbeda. Meskipun terlihat tidak sempurna tetapi keunikan setiap anak inilah yang menjadikan mereka seorang manusia. Kalau semua sama ya jadinya robot dong. Robot saja berbeda-beda. Di sini, saya melihat bahwa meskipun ibunya Nobita selalu marah-marah soal nilai nol, tetapi dia tetap sayang dengan anaknya dan memikirkan anaknya. Begitu juga dengan Giant, Suneo, Shizuka, Nobita dan Doraemon. Meski sering bertengkar dan kasar, namun persahabatan mereka mampu melewati segalanya. Dan masing-masing menyayangi temannya apa adanya.

Jadi, kalau dituntut punya anak sempurna, saya jadi bertanya, kesempurnaan ini standard siapa?


15 January 2024

Oleh-oleh dari Konferensi Perempuan Indonesia 2023

Konferensi Perempuan Indonesia 2023 versi online, yang diselenggarakan oleh Ibu Profesional memang sudah berakhir. Banyak manfaat yang dibawa pulang dari kesempatan menghadiri tema Konferensi Perempuan Indonesia 2023, “Menguatkan Akar Gerakan Perempuan Indonesia,” ini.

Meskipun dilaksanakan secara online, keseruan acara KPI tidak berkurang karena dilaksanakan secara interaktif. Ada tanya jawab dan ada diskusi langsung antar peserta lewat chat dan pengisian peta konsep yang dilakukan secara bertahap setiap selesai acara.

Di bidang pendidikan ada sebanyak 75 peta konsep yang dibuat, lalu di bidang kesehatan ada 33 peta konsep. Selanjutnya di bidang ekonomi ada 16 peta konsep, bidang sosial budaya ada 6 peta konsep, dan di bidang lainnya ada 35 peta konsep yang terkumpul. Saya ada di “bidang lainnya” karena bingung mau menempatkan peta konsep saya yang berhubungan dengan pemberdayaan perempuan khususnya ibu tunggal ini di sebelah mana.



Selain peta konsep, ada juga padlet sinergi, yaitu diskusi dengan sesama peserta yang memiliki peta konsep di bidang yang sama. Bersinergi ini seru karena kita yang ada di dalam kelompok, merencanakan gerakan dan berdiskusi dalam waktu 3 jam saja. Kolaborasi ini menghasilkan 18 aksi yang siap dieksekusi. Meskipun dilaksanakan secara online, ternyata bisa juga membuat sebuah rencana nyata.