15 June 2021

Perempuan & Menulis di HUT IIDN: Arti Tanggung Jawab terhadap Hasil Karya

Menulis buku itu seperti melahirkan anak. Sesuatu yang harus diperjuangkan, dibesarkan dan diberi asupan gizi.

Sebagai seorang ibu, tentunya saya bisa relate dengan statement dari narasumber talkshow “Perempuan dan Menulis” yang merupakan bagian Festival Perempuan Indonesia Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis 11 Tahun IIDN Berkarya
 bulan Mei lalu. IIDN yang didirkan di Bandung tahun 2010 oleh Indari Mastuti menghadirkan kegiatan kepenulisan setiap harinya di FB grup, dan juga mendukung anggotanya dengan menerbitkan antologi secara indie.


Menghadirkan dua perempuan penulis dengan latar belakang sarjana eksakta, talkshow ini memberikan padangan yang berbeda untuk saya dan kenapa saya, sebagai seorang perempuan, memilih untuk menulis. Dua narasumber yang hadir di Sabtu pagi itu memiliki banyak kesamaan. Kirana Kejora, seorang scriptwriter dan Founder Elang Tempur, dan Widyanti Yuliandari, Ketua Umum IIDN yang juga seorang writer dan blogger, bertemu dengan tulisan ketika sedang self-healing.

Masuk di jurusan yang bukan passionnya, Key, panggilan akrab Kirana Kejora, melepas keinginannya masuk sastra berhasil tamat dengan gelar insinyur demi memenuhi amanat ibunda. Tidak tanggung-tanggung bidang yang ditekuni adalah Kelautan. Dalam salah satu perjalanan risetnya ke Raja Ampat, Mbak Key merasa bahwa kok mubazir jika tidak dituangkan dalam tulisan. Dari setiap perjalanan risetnya kemudian lahirlah novel-novel yang berlatar belakang kekayaan alam dan budaya Indonesia. Novel-novel yang kemudian dijadikan film.

“Menulis itu self-healing. Bagi saya, 15-16 tahun lalu menulis itu obat sakit jiwa,” kenangnya saat berbagi pengalaman hidup di talkshow. “Daripada ‘sakit jiwa’ lebih baik menulis. Karena kalo jiwanya sehat, fisiknya bisa bekerja.”

Widyanti Yuliandari, Ketua Umum IIDN

Sementara Mbak Wid, panggilan kesayangan Ketua Umum IIDN ini, menemukan menulis saat bekerja jadi PNS di Bondowoso. Daerah yang sejujurnya saya hanya pernah dengar di cerita Lara Djongrang. Daerah yang super sepi dan jauh dari kota besar ini ternyata membuat Mbak Wid jadi menulis. Dari blog lalu bergabung dengan komunitas, dan akhirnya diberi kepercayaan mengurus IIDN.

Proses Menulis & Marketing Buku

Ketika saya memilih untuk menulis, berarti saya harus memikirkan segala sesuatunya. Begitu wejangan Mbak Wid. “Karena itulah IIDN memiliki event-event healing dengan pendampingan profesional karena tidak semua sampah emosi bisa dituangkan ke tulisan dengan sembarangan. Tidak semua tulisan kita itu untuk konsumsi publik,” lanjutnya. Sama seperti anak, kita juga tidak bisa sembarangan marah dan menumpahkan kekesalan kita pada anak di tempat umum kan?

Memilih untuk menulis bukan hanya sekedar merangkai huruf menjadi kata lalu kata menjadi paragraf. Termasuk awalnya gimana kita riset, yang langsung bikin saya panik haha. Tapi lalu Mbak Key menjelaskan bahwa “Periset itu berarti kita berdasarkan data ketika menulis. Jadi untuk ibu2 RT, pelaku UMKM, yang kita lihat, lakukan dan rasakan, itu juga riset.”

Kirana Kejora, Scripwriter & Founder Elang Tempur

Lalu juga termasuk bagaimana kita ‘menjual’ tulisan kita, menjaga tulisan kita agar selalu dapat memberikan yang terbaik. Intinya bertanggung jawab atas apa yang kita tulis. Mbak Key mencontohkan bagaimana dia pernah menarik buku dari peredaran karena menurutnya tidak membawa dampak baik untuk masyarakat. Menurutnya, “menulis sesuatu yang bisa dibaca anak dan cucu saya -- jadi menulis itu harus baik.” Jadi menarik buku yang kurang pantas dari pasaran pun termasuk bentuk pertanggung jawaban kita terhadap hasil karya.

Pelajaran menarik yang saya bawa pulang dari talkshow ini sebenarnya adalah ‘book marketing is part of writing process.’ Memasarkan sebuah buku adalah bagian dari menulis itu sendiri. Mengutip pernyataan Mbak Wid, “buku harus terlihat sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan, meskipun penulisnya pemula, tidak boleh asal-asalan.” Dan PRnya banyak, mulai dari soft branding di media social sebelum launching sampai mempromosikan buku secara konsisten setelah terbit.

Mimpi saya selalu berhenti di menulis buku. Belum sampai ke promosi. Jadi merasa tertampar. Karena kalau dipikir-pikir, marketing ini bukan hanya untuk buku. Tapi bisa untuk blog. Kita bukan hanya bertanggung jawab mengisi secara konsisten tapi juga mempromosikan blog ini biar ada pengunjungnya. Meskipun tentunya marketing sebuah blog tidak akan serumit marketing buku dalam bentuk cetak.

Ini jadi PR saya sekarang. Belajar marketing buku, pede sedikit dengan hasil karya sendiri dan mulai berani ‘pamer’ bahwa ini hasil tulisan saya. Kalau kata Mbak Wid di penghujung acara, “Menulis aja dulu, mulai aja dulu. Menulis itu membuka banyak sekali pintu kebaikan.” Dan habis itu tanggung jawab kitalah untuk menyebarkannya.

Yuk, bisa yuk!

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.