25 April 2021

Yang Ditunggu di Bulan Ramadan Itu Buka Puasa Bareng Teman

“Bukber, yuk!”

Ajakan yang datang di bulan Ramadan ini jadi kebiasaan paling seru, dan buat saya ini salah satu praktek nyata belajar toleransi. Meskipun yang selalu terjadi adalah jumlah yang puasa pada hari itu lebih sedikit daripada yang memang atau sedang tidak berpuasa. Atau malah tidak ada yang lagi puasa sama sekali.

“Hah, jadi yang puasa elo doang nih?”

Saya masih ingat kejadian bukber hampir satu dekade lalu, reuni teman kampus di Jakarta. Perdana kita bertemu lagi setelah lulus dan bekerja. Masing-masing mengenalkan, pasangan dan anaknya. Pas menjelang maghrib baru ketahuan yang hari itu puasa hanya satu orang.

“Ya, elo semua temenin gue buka puasa gitu ceritanya.” Jawab si temen ini sambil tertawa.

Bukber begini selalu bikin kangen

Kebiasaan pertama saya di Bulan Ramadan adalah bikin dan rajin ikutan acara buka puasa biar bisa ngumpul sama teman-teman. Meskipun ternyata satu geng lagi pada tidak puasa, dan kita tetap tidak makan sampai Adzan karena tidak enak sama orang-orang satu food court. Yang ini kejadian beberapa tahun lalu. Rencana bukber di food court Senayan City, datang terlalu mepet dan baru dapat tempat duduk setelah penuh perjuangan. Setelah makanan datang kita semua (termasuk Dudu) ngobrol sambil menunggu adzan.

“Makan aja dulu itu Dudu ntar laper,” kata salah satu teman.
“Eh, ga apa-apa. Ngga enak kan sama kalian yang puasa.”
Dari situ satu-satu mendadak mengaku kalau sedang tidak puasa.
“Jadi kita percuma saja menunggu?” Tanya Dudu.

Kebiasaan kedua saya di Bulan Ramadan adalah mengingatkan kepada Dudu tentang arti toleransi. Sejak kecil, Dudu sudah saya bawa pergi buka puasa. Jadi sudah tahu kalau dia harus menunggu beduk sebelum ikutan makan meskipun tidak puasa. Sudah paham juga kenapa teman-temannya ada yang berpuasa.

Tapi kejadian di food court Senayan City itu mengajarkan satu toleransi tambahan, bahwa “peraturan” menunggu beduk bukan cuma untuk yang satu meja. Tapi satu food court. Toleransi itu bukan hanya untuk teman-teman yang kita kenal, tapi juga orang asing. Jadi tahun-tahun berikutnya, kalau saya makan di depan umum, saya yang ditegur Dudu. Haha.

“Hore udah adzan, kita bisa makan!”
Teman-teman se-geng bukber saya langsung melahap habis makanan satu piring. Sementara saya sibuk dengan kolak.
“Lo kok makan kolak, sih?”
“Loh, bukan katanya berbukalah dengan yang manis?”

Yak, sukses jadi bahan tertawaan satu meja gegara kebiasaan ketiga saya: Makan kolak pas buka puasa.
Kolak Biji Salak favorit
(photo taken from Kompas Travel)

Tapi ini ini memang sudah dilakukan dari kecil sih. Buat saya, buka puasa itu kolak. Jadi meskipun tidak puasa, biasanya saya yang paling heboh cari kolak di tempat buka puasa. Kolak pisang, kolak ubi, atau yang sudah dimodifikasi pakai delima, sagu mutiara dan kolang-kaling. Dan ini berlanjut sampai saat saya bekerja di media. Pergi undangan buka bersama all-you-can-eat di hotel bintang lima. Saat rekan sejawat sudah heboh mengambil nasi kebuli, roast beef dan makanan lainnya, saya malah sibuk dengan semangkuk kolak.

“Katanya, kalau puasa kan perut seharian kosong, jadi nggak baik kalo langsung diisi makan berat. Makanya ada takjil,” jawab saya ketika seorang teman bertanya. Mengutip apa yang saya dengar dari teman lain beberapa waktu lalu.

“Tapi elo kan ga puasa.”

Ya, iya juga ya hahaha. Susah memang menghilangkan kolak dari waktu buka puasa. Apalagi kolak ubi kuning atau kolak biji salak.

Buka bersama jadi lebih sulit dilakukan di dua Ramadan terakhir karena pandemi. Buka puasa jadi banyak virtualnya dan di rumah, pas buka puasa jadi sepi. Chat kantor hening, grup WA juga tidak ada yang bersuara. Padahal kalau saya di kantor, jam 5 biasanya sudah ikut heboh “mau berbuka dengan apa hari ini?” lalu ikut sumbang suara. Sekarang, karena work from home, kalau adzan maghrib terdengar, saya mencari kegiatan lain. Jadi sepi.

Berharapnya sih Ramadan tahun depan sudah kembali normal dan semua kebiasaan ini bisa dilakukan lagi. Jadi saya bisa berburu kolak di restoran tempat bukber. Soalnya di tiap tempat itu kolaknya berbeda. Yang paling standard ini kolak pisang dan biasanya saya lebih senang beli di pinggir jalan. Lalu ada kolak biji salak atau candil. Yang ini saya agak picky karena susah mendapatkan kekenyalan yang tepat. Yang terbaru, si biji salak ini dibuat pakai ubi ungu jadi warnanya ungu. Yang ini biasanya saya cari di restoran atau food court di mall. Lalu ada kolak ubi biasa, yang hanya dipotong-potong tanpa jadi biji salak dulu, dan kolak singkong.

Duh, menulis blog post ini, jadi kepengen beli kolak.




No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.