Saya, Mama yang tidak pernah mempermasalahkan penggunaan gadget anaknya, merasa bingung bagaimana mau sumbang suara untuk masalah ini. Tapi saya menyadari, adalah tantangan tersendiri buat para Mama untuk mengurangi ketergantungan gadget pada anak-anaknya. Terutama ketika gadget sudah menjadi kebutuhan utama untuk belajar. Lalu apa yang harus dilakukan para Mama, yang notabene adalah perempuan di era digital.
Salah satu moment favorit saya adalah saat main game berdua |
Sebagai ibu yang memiliki pemahaman literasi digital, kita memiliki potensi besar untuk mendukung anak bersahabat dengan gadget. Tantangan pertama yang muncul biasanya adalah cepatnya teknologi berubah. Dari yang hampir tidak pernah video call hingga paham cara pakai filter di zoom. Apalagi kalau ternyata anak kita lebih canggih.
Ada yang bilang, tak kenal maka tak sayang. Jangan langsung kontra. Jangan panik dan memusuhi gadgetnya. Pahami dulu kebutuhan PJJ anak dan kenali teknologi yang dibutuhkan.
Selain karena PJJ, pandemi ini juga membatasi pilihan hiburan untuk anak. Yang biasanya bisa ke mall, sekarang hanya bisa bermain di rumah. Di tengah kesibukan sebagai ibu bekerja dan ibu professional, diskusi di circle pertemanan saya berkembang menjadi game online dan YouTube. Di sini selain teknologi yang berubah, ada tantangan lain yang harus dihadapi yaitu game-nya itu sendiri. Saya dan anak semata wayang saya punya interest yang sama, jadi mudah bagi saya untuk mendampingi anak main game atau nonton YouTube. Bagaimana dengan yang tidak sejalan?
Kata anak saya, si Dudu, “Main game untuk have fun. Untuk keluar dari kehidupan mereka dan menjadi sesuatu yang lebih keren di dunia lain.”
Dari rumah untuk dunia. Dunia lain, sih. Tapi bukan berarti kita tidak bisa cari tahu ada apa di sana. Kalau saya bisa bertanya tentang bagaimana hari si anak di sekolah hari ini, saya juga bisa bertanya sudah berhasil mancing ikan berapa di Genshin Impact hari ini. Sama juga dengan membatasi waktu main game. Waktu kecil saya merasa kesal karena ketika Mama saya kesal melihat saya main game, saya harus mematikan game saat itu juga. Sementara saya sudah dekat sekali dengan save point berikutnya dan harus mengulang jauh ketika saya main lagi.
Jadi ketika Dudu main game, dan saya mau dia berhenti, saya tidak langsung menyuruh dia berhenti. Saya pasti tanya, “ini kapan bisa di-save?” Setelah itu baru saya minta dia berhenti main. Dan Dudu selalu berhenti main setelah di-save. Karena sama dengan saya yang kalau sedang mood menulis, atau Mama saya ketika dia masak, kita tidak suka diganggu tengah-tengah. Ketika saya berusaha memahami hobi si Dudu, dia juga jadi lebih terbuka dan cerita banyak tentang kehidupannya di dunia nyata.
Jadi, meskipun interestnya tidak sama, saya masih bisa menggunakan gadget dan game sebagai teman, yang membantu saya berkomunikasi dengan anak. Apalagi di era digital ini saya harus waspada karena akses menjadi mudah dan sebagai ibu bekerja, saya tidak bisa selalu mengawasi anak. Kalau bukan karena Dudu yang cerita, saya tidak tahu dia bertemu siapa di Co-Op Genshin Impact-nya, atau sedang ngobrol sama siapa di discord.
Tapi, gimana kalo kecanduan?
Kalau nasihat Dudu sih, “maybe tell them that playing games are fun but don't let it affect your real life. Sometimes you have to sacrifice what's fun with what's important.”
Tulisan ini diikutkan di Sayembara Catatan Perempuan untuk Konferensi Ibu Pembaharu oleh Kelas Literasi Ibu Professional.