Kunci berdamai dengan diri sendiri adalah mencari tahu apa yang harus diketahui, melakukan apa yang harus dilakukan dan melepaskan apa yang memang bukan milikmu.
Terdengar pasrah tapi bukan.
Soalnya pelajaran itu saya dapat di kelas Buddhism yang saya ambil waktu kuliah dulu. Jadi ini salah satu pelajaran paling kompleks dan kalau disuruh bikin paper, saya bakalan berputar-putar lalu bingung sendiri dan akhirnya menyerah menjelaskan. Pokoknya ya gitu deh. Tapi ketika saya paham maksudnya, meskipun tidak bisa jelasin lagi ke orang lain, saya jadi lebih ikhlas sama hidup yang harus dijalani.
Sekarang, 13 tahun kemudian, bolehlah saya mencoba menjelaskan lagi untuk menjawab tantangan One Day One Post dari Komunitas ISB.
Mencari tahu apa yang harus diketahui mengacu kepada diri sendiri. Untuk tahu apa yang bikin marah, saya harus kenal diri saya sendiri. Menjawab pertanyaan "siapa saya?" biasanya menghasilkan jawaban yang tidak jauh dari kepribadian, pandangan hidup, perasaan, niat, dan kesadaran. Nah, ini semua harus disadari sebagai beban. Bagian ini agak kompleks karena memang ultimate goal dari ajaran Buddha yang ini adalah "selfless" alias bebas dari keterikatan duniawi tentang diri sendiri. Aduh nyerah jelasinnya.
Mungkin bisa pakai contoh begini: kita tahu niat kita baik dengan meminjamkan uang pada teman yang membutuhkan. Jadi awalnya kita tahu dan sadar bahwa kita memang punya niat meminjamkan kepada orang tersebut. Kita merasa harus meminjamkan karena teman memang butuh dan kita punya dananya. Jadi kita melakukan apa yang kita harus lakukan, yaitu meminjamkan uang. Tapi begitu kita tahu itu uang dipakai judi togel kita jadi kesel. Well, kalau sudah kita pinjamkan, pemakaiannya kan bukan urusan kita lagi. Jadi sebaiknya kita lepaskan apa yang harus kita lepaskan. Toh awalnya kan kita niat meminjamkan. Makanya niat itu ujung-ujungnya jadi beban.
Niat saya kan baik, kok akhirnya tidak happy ending?
Well, lihat niat sebagai niat. Bukan sebagai awal dari satu kisah berkepanjangan. Kita tahu niat kita meminjamkan uang, jadi seharusnya happy ending terjadi ketika kita benar-benar meminjamkan uang. Dan semuanya jadi lebih indah juga kan, kalau kita berhenti dan melepaskan apa yang ada di luar kemampuan kita?
Seringkali yang membuat saya marah adalah hal-hal yang tidak bisa saya kendalikan. Misalnya kalau saya kena macet di perjalanan pulang dari kantor. Padahal jalanan yang padat, kecelakaan dan lampu merah yang rusak ada di luar kuasa saya. Tetap saja saya frustrasi dan kesal kenapa itu semua ada di luar kuasa saya sampai saya bisa kena macet. Padahal kalau kita mau ikhlas bahwa kita memang terjebak macet, lalu memutar radio, mungkin semuanya jadi lebih baik. Atau kita bisa memutuskan mampir ke restoran bersama teman sambil menunggu macet. Kita tidak bisa mengendalikan macetnya, tapi kita bisa mengendalikan kegiatan kita di saat macet.
Dan ketika kita sadar bahwa kita tidak bisa mengendalikan macet lalu melepaskannya, maka kita bisa lebih lega dan fokus sama apa yang ada di sekeliling kita.
So, let me close this train of thoughts with a quote from Buddha:
"Holding on to anger is like grasping a hot coal with the intent of throwing it at someone else; you are the one who gets burned."