Obrolan kok tentang sekolah? Hehehe. |
Lalu sekolah Nasional Plus. Bagus sih, cuma berat pelajarannya. Satu anak teman saya masuk sekolah nasional plus (soalnya kata “internasional” sudah tidak boleh digunakan lagi katanya) dan pelajarannya dobel. Ada Math ada Matematika. Ada IPA dan ada Science. Lah, bagaimana belajarnya itu? Belum lagi pelajaran seperti Agama, Bahasa Indonesia dan PPKN ada di kurikulumnya. Wah, bisa kasihan anaknya. Mau sekolah biasa, ya itu, kan sayang bahasa Inggrisnya yang sudah lancar. Belum lagi nanti anaknya shock karena sehari-hari sudah menggunakan bahasa Inggris. Ada juga anak teman saya yang sampai mogok sekolah hanya karena dia tidak lancar berbahasa Indonesia sehingga stress di SDnya yang menggunakan bahasa tersebut.
Belum selesai permasalahan sekolah ini, saya dan sepupu sudah harus bertukar tempat dengan tamu berikutnya. Kami bergeser dari meja makan dengan opor ayam, ke meja depan televisi dengan pudding dan kue kering. Sementara obrolan di meja makan berganti. Membahas sepupu saya yang lain, yang baru lulus kuliah S1 dan sedang dilemma antara bekerja dahulu atau melanjutkan ke S2 dengan mencari beasiswa. Masalahnya tentu saja antara ingin cepat kerja dan punya uang sendiri, dan standar pendidikan yang semakin tinggi. Ketika saya lulus kuliah dulu, S2 bukan hal yang wajib. Di jurusan saya malah ada nasihat untuk mencari pengalaman dan networking karena dua hal itu lebih penting daripada melanjutkan ke S2, kecuali jika saya ingin berkecimpung di dunia pendidikan alias jadi dosen atau researcher.
Sepupu saya kemudian semakin dilemma ketika mendengar gaji lulusan S1 yang katanya “hanya” sekitar 4-5 juta. Menurut saya itu angka yang fantastis untuk seorang fresh graduate tanpa pengalaman. Apalagi ketika masih bisa tinggal dengan orang tua dan berhemat biaya kos. Tapi ada sedikit ambisi untuk mencari beasiswa S2 untuk mengejar gaji 1-2 juta lebih banyak dan kesempatan bisnis sendiri daripada kerja ikut orang.
Ah rumitnya. Mau masuk SD pusing, lulus S1 juga pusing.
Tahun depan si Dudu masuk SMP. Begitu cerita saya di meja makan dengan opor ayam, yang hari itu ditambah sambal ulek homemade si tante yang ternyata enak juga itu.
Mau masuk mana? Masuk sekolah yang sekarang aja, habis sudah terlanjur kurikulum internasional mana mungkin pindah ke sekolah biasa? Kasihan anaknya harus mengejar bahan UN sambil belajar pelajaran kelas 6 kan. Sekarang saja Dudu sudah struggle untuk mendapatkan nilai lulus. Kalau ditambah belajar untuk UN apa tidak stress nanti anaknya?
Jangan terlalu dimanja. Saya cuma nyengir kalau ada yang komentar begitu. Bukan begitu, tante dan om sekalian, Dudu ini tidak hafal Pancasila dan tidak pernah dapat pelajaran dalam bahasa Indonesia. Kasihan kan kalau harus belajar ulang hanya karena dia tidak tahu bahwa jajaran genjang itu sama dengan parallelogram.
Ketika opor ayam di meja sudah habis, percakapan kami belum berakhir. Namanya juga kumpul keluaga, selalu ada yang dibicarakan. Dan sepanci besar opor ayam di rumah tante saya itu memang teman yang setia menemani obrolan kita setiap tahun.
Saya pun kalau udah bahas sekolah mikirnya panjang banget. Sekolah memang cocok-cocokan banget, ya :)
ReplyDeleteIya, kayaknya banyak banget faktor yang harus dipertimbangkan. Sampai pusing.
DeleteAhh, asiknya ya kalo dah ngobrol di meja apalagi disuguhin dengan opor ayam semua obrolan mulai dari sekolah dll keluar deh. Btw opornya dimakan dengan ketupat kan? haduuduu jam segini lapar jadi pengen opoor hihiii
ReplyDeleteIya dong sama ketupat. Meski Dudu makannya sama nasi hahaha
DeleteObrolan yang saling mengisi dan saling memberi wawasan :)
ReplyDeleteOpornya siapa yang masak Mba? :D
Dudu kecil gemesinnnnn
Yang masak tante aku Teh. Yang ini jago masak dan jago bikin kue. Tiap lebaran kita pasti ngumpul di rumahnya.
DeleteAku tertarik untuk tau tentang sistem pendidikan di Jepang. Katanya semua sekolah setara ya. Gak ada beda-beda. Gak kayak kita sekarang ada sekolah favorit atau unggulan.
ReplyDeleteEhm, tapi mungkin mereka juga punya sekolah international juga kali ya. Hehehe. Ngomongin sekolah aku jadi pusing. Padahal belom punya anak, tapi ngumpulin duitnya harus dari sekarang ya hehehehe.
Oh ya? Kok kayaknya menarik?
DeleteAduh, nabung buat anak itu katanya harus dari lahir. Anak lahir langsung ada tabungan pendidikan katanya sekarang.
Nina, sebaiknya mulai sekarang (belum terlambat) mengajak Dudu untuk berkomunikasi sekali-sekali di rumah dalam bahasa Indonesia. Gak ada salahnya, kan, dan gak gak ada ruginya. Santai aja ngajak ngobrolnya, ya, seperti kalau bunda ngajakin Cucu sekali-sekali berbahasa Inggris. Selebihnya serahkan kepada mereka pribadi, mau atau gak menggunakannya. Yang penting kita sudah membuka jalan baginya. Cucu bunda yang nomor dua sudah di Leed University, jebolan SMA BINUS BSD, Serpong. Begitu juga kadang gak ngerti bahasa Indonesia seperti Mamanya or keluarga lain. Tapi tetap Mamanya selalu mengajaknya berbahasa Indonesia ketika dia Liburan di Indonesia. Gituuu...
ReplyDeleteBunda hebat ih cucunya bisa sekolah di Leeds. Hehe.
DeleteSi Dudu bahasa aslinya Indonesia kok Bunda. Dia baru belajar Bahasa Inggris yang benar di usia 6thn (kelas 1 SD). Jadi Dudu ini sebenarnya native speaker Indonesia. Tapi karena sekolahnya internasional jadi pelajaran bahasa Indonesianya tidak mendalam amat. Hanya bisa untuk conversation, agak sulit kalau untuk membuat karangan atau essay gitu misalnya.
Duduuuuu ganteng dan imuuut banget!
ReplyDeleteDia akan jadi anak cowok yang pintar, berbakat dan rendah hati mbaaa
kindly visit my blog: bukanbocahbiasa(dot)com