17 February 2018

Arti Film Perjuangan Untuk Anak Jaman Sekarang

Sebelum bertanya pada Dudu, saya mencoba mengingat kembali film perjuangan apa yang pernah saya tonton? Mungkin ada, tapi saya tidak ingat satu pun.

Astaga.

Lalu bagaimana saya expect Dudu untuk menonton film perjuangan? Mungkin satu-satunya yang bisa menghubungkan Dudu dengan “film perjuangan” adalah bagaimana para survival di The Walking Dead berjuang bebas dari kepungan zombie. Dudu mungkin aware bahwa bangsa Indonesia pernah dijajah Belanda. Tapi karena Dudu sekolahnya internasional, tidak pernah ada penekanan bahwa sejarah tersebut penting dan seharusnya menjadi bagian dari dirinya.


Atau tidak. 




Toh, Dudu bukan orang Indonesia. Kan dia keturunan sekutu yang ikut mengebom Hiroshima dan Nagasaki, lalu meratapi kapal-kapal yang tenggelam di Pearl Harbor. Mungkin sebenarnya perjuangan Martin Luther King Jr. lebih berfaedah buat sejarah Dudu kelak.

Kalau saya tidak ingat satu pun film perjuangan yang saya tonton, bagaimana saya mau mengkritisi atau memberi saran bagi para pembuatnya?


Well, ketika mendengar kata “film perjuangan,” ada satu film berjudul “Lewat Djam Malam” yang tiba-tiba muncul di benak saya. Bukan film perjuangan melawan Belanda tapi tentang seorang mantan tentara bernama Iskandar yang kembali ke kehidupan warga sipil dan mendapatkan kesulitan untuk berbaur kembali karena idealism yang dimiliknya. Teman-teman seperjuangannya ada yang jadi germo, ada yang korupsi dan rata-rata hidup jauh dari nilai-nilai yang diperjuangkan selama menjadi tentara kemerdekaan melawan Belanda. Film yang dibuat tahun 1954 ini ditulis oleh Asrul Sani dengan Sutradara Usmar Ismail. 


Poster Lewat Djam Malam (imdb)
Menarik. Tapi bukan film yang saya ingin tunjukkan ke Dudu sih. Meskipun mungkin dia akan tertarik dengan tema begini dibandingkan jika dia harus nonton film perjuangan sejenis Kartini.

Apa pentingnya film yang menceritakan perjuangan pahlawan Indonesia untuk ditonton anak jaman sekarang? Kalau jawabannya sekedar menumbuhkan rasa nasionalisme, rasanya saya tidak jadi menyarankan Dudu nonton film begituan. Lebih baik dia nonton film semacam Resident Evil dan melihat Alice berjuang melawan zombie dan konspirasi untuk menemukan kembali masa lalu yang hilang dari ingatannya. Film perjuangan, menurut saya, harus mampu menunjukkan bahwa si tokoh utama punya tujuan masuk akal untuk diperjuangkan secara pribadi dan bukan cinta buta pada negara yang pastinya tidak masuk logika. Bukan berarti film perjuangan yang ada sekarang jelek lho, soalnya saya juga tidak pernah nonton dan yang saya pernah nonton tidak ada yang saya ingat. Tapi anak-anak jaman sekarang bukan yang akan terharu melihat pejuang Indonesia menghunus bambu runcing kepada tentara Belanda dengan laras panjangnya.

They will point out that it’s a dumb act instead.

Dudu pernah ikut acara Museum Ceria yang memperkenalkannya dengan seorang tokoh bernama “Pangeran Diponegoro,” yang patungnya di depan Taman Suropati Menteng disebutnya sebagai Zorro.

Di acara tersebut, Dudu belajar kisah hidup sang Pangeran dan perjuangannya melawan penjajah Belanda yang ingin menguasai Indonesia (atau sekadar menjaga tanah makam leluhurnya yang diambil paksa oleh Belanda? Ada banyak teori juga soal motivasi pahlawan yang satu ini). Saya yang mendampingi Dudu mengikuti cerita para kakak panitia acara jadi memahami logikanya dan kenapa saya harus merubah cara saya mengenalkan para pahlawan Indonesia ini kepadanya kelak.

Pertama, Pangeran Diponegoro disebut sebagai sosok yang dekat dengan rakyat dan sering main ke kampung dan hutan di sekitar istananya. Sebagai orang dewasa yang besar dengan pola pikir Indonesia, saya langsung melihat sang pangeran sebagai rendah hati. Dudu? Well, dengan tenangnya dia menunjukkan bahwa “itu kan jaman dulu, di istana si Pangeran tidak ada AC, jelas saja dia prefer di hutan yang sejuk dan banyak pohon.” Make sense.

Kedua, ketika Pangeran Diponegoro dijebak Belanda dan pasukkannya ditangkap semua oleh tentara Belanda bersenjata. Reaksi pertama saya sebagai orang Indonesia yang sudah dicekoki sejarah penjajahan selama berthaun-tahun adalah kesel. Ih, Belanda licik. Reaksi Dudu? “Kenapa Tentara Indonesia nyeker, Ma? Kalau tidak punya sepatu dan pakai tongkat begitu, jelas saja mereka kalah dengan musuhnya yang pakai senapan.” Seakan-akan memang wajar orang Indonesia mereka kalah karena teknologi (dan strategi) yang kalah maju. Logikanya begitu.

Sepertinya sebuah film perjuangan harus lebih dari sekedar cerita antara si baik (Indonesia) dan si jahat (Belanda) yang berperang dengan tidak imbang karena yang dikomentari Dudu hanya sampai “kasihan tentaranya tidak punya sepatu.” Insert personal reasons and intentions for the main heroes. Even Superman has his own personal reason on why he decided to save the world that isn’t his. Sekedar “cinta Indonesia” sudah bukan menjadi alasan lagi karena anak-anak sekarang (at least Dudu) sudah melihat terlalu banyak dunia luar dan kurang memiliki ikatan dengan tanah air Mamanya. 



Banyak cara belajar tentang perjuangan, salah satunya dengan ke museum
Mungkin jika Pangeran Diponegoro disebutkan marah karena tanah makam leluhurnya dikuasai Belanda seenaknya, atau karena rakyatnya dibantai oleh penjajah, perjuangannya akan lebih make sense buat Dudu. Daripada bilang bahwa Pangeran Diponegoro melawan Belanda karena memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Mungkin, lho.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.