01 March 2022

Kesabaran yang (Harus) Ada Batasnya

Ketika melamar kerja, selalu ada satu pertanyaan yang membuat (hampir) semua orang mengambil jeda sebelum menjawabnya: “apa kelebihan dan kekurangan kamu?” Tidak jarang yang kemudian menyebutkan kekurangannya dulu dan kemudian berhati-hati menyebutkan kelebihannya karena takut disangka sombong.

Begitu juga dengan tulisan ini, ketika saya mendapat tema “Review kelebihanmu yang tak dimiliki orang lain.” Satu poin yang menunjukkan bahwa saya lebih unggul, extra effort yang dilakukan untuk mencapai sesuatu karena kesulitan yang mungkin orang lain tidak alami. Reaksi pertama saya adalah sama seperti Dudu di iklan Morinaga tahun 2010 itu: “Aduhhhh, apa ya?”


Kalau ngomongin kelebihan, kayaknya nggak ada deh yang unik bagi diri saya sendiri. Saya pribadi percaya kalo here’s nothing new under the sun. Tapi ada a few things yang sering di-mention orang di sekeliling saya, yang saya anggap sebagai kelebihan atau strong points yang saya miliki. Meskipun kalau dipikir lagi, atau dari sudut pandang berbeda, hal-hal ini bisa menjadi kelemahan juga.

Kata orang, saya “sabar.”
Kenapa sabar bisa menjadi kelebihan? Di tengah zaman serba instan ini, semua orang maunya hasil langsung jadi dan langsung kelihatan. Kalau kalah cepat, kehilangan kesempatan. Tapi saya percaya bahwa ada hal-hal yang memang kita harus tunggu, harus disabarin dulu baru kelihatan hasilnya. Kenapa? Karena tidak semua pace-nya sama. Ada yang lebih cepat, ada yang lebih lambat. Sama kan kayak minum kopi, ada yang instan langsung larut kalau diaduk dan ada juga yang tubruk harus ditungguin ampasnya turun baru bisa diminum.

Sabar jadi kelebihan ketika saya berhasil belajar hal baru. Soalnya otak kreatif anak bahasa ini perlu waktu untuk mengurai persoalan yang berbasis logika. Bisa, tapi emang rada lama. Kalau saya tidak sabar, persoalan ini sudah saya tinggalkan atau oper saja ke orang lain yang memang lebih cepat menyelesaikan masalahnya. Ujung-ujungnya saya tidak belajar apa-apa. Tapi kalau sabar, saya belajar memahami masalahnya, menyelesaikannya sendiri, belajar sesuatu dan akhirnya bisa bangga sama diri sendiri.

Sabar juga penting dalam perjalanan saya sebagai orang tua. Kalau ditanya kenapa Dudu bisa mandiri, kuncinya adalah sabar (atau mungkin karena saya cuek). Misalnya soal makan. Jaman Dudu kecil dulu, saya biarkan dia coba semua makanan. Saya makan, dia juga makan, dan tentu saja namanya juga bayi ya, waktu yang diperlukan untuk menghabiskan makanan adalah jauh lebih lama dari saya yang orang dewasa. Kalau saya tidak sabar, saya akan langsung suapin aja. Cepat habis, tidak berantakan dan cepat selesai. Tapi anaknya jadi tidak belajar makan sendiri. Jadi, lebih baik sabar dan menunggu dia selesai sambil mengerjakan hal lain. Sekarang kan enak, Dudu jadi bisa mengerjakan semuanya sendiri.

Sabar dong kalo disenyumin begini
Waktu Dudu sudah besar sedikit, dia belajar goreng telur sendiri. Menunggu Dudu mecahin telur, yang pakai ada kulitnya kecampur, lalu nyalain kompor, menuang minyak, goreng telurnya. Haduh, kalau tidak sabar bisa saya ambil alih. Tapi ya, nanti Dudu tidak bisa goreng telur.

Begitu pula menghadapi rekan kerja yang senangnya buru-buru menyelesaikan semuanya, lalu in the end salah dan jadi harus mengulang lagi. Atau anak buah fresh graduate yang baru pertama kerja, dan banyak nanya. Sabarin aja. Hadapi semua dengan senyuman. Selama damage-nya masih terukur dan saya juga tidak merasa dirugikan atau dimanfaatkan.

“Tapi elo tuh terlalu sabar.”
Begitu protes teman saya.

Mungkin memang sabar saya lebih panjang dari orang kebanyakan, tapi tetap ada batasnya kok dan untuk hal-hal yang saya benar-benar peduli saja. Atau hal-hal yang memang ada di luar kendali seperti misalnya pesawat delay atau abang gojek yang belum datang padahal sudah kelaparan.

Pandangan saya begini, kalau dengan sabar saya bisa menemukan shortcut untuk digunakan atau mendapatkan cerita lebih lengkap sehingga bisa bertindak lebih bijak, kenapa saya harus gegabah? Kalau dengan sabar, saya bisa menjaga pertemanan dan menghindari konflik tidak perlu, kenapa saya harus buru-buru? Good things come to those who wait. Termasuk end credit scene film yang munculnya setelah kita sabar menunggu semua credit roll itu selesai.

Ada satu research dari National Bureau of Economic Research yang mempelajari tentang “efek sabar yang berlebihan,” dan menyebutkan bahwa terlalu sabar juga tidak baik untuk kesehatan mental kita. Selain itu terlalu sabar juga membuka kemungkinan untuk kita kehilangan kesempatan atau timing yang pas, dan membuat kita rentan dimanfaatkan orang. Tapi tidak ada ukuran standar untuk sebuah kesabaran karena semuanya kembali ke diri kita sendiri. Seberapa sabar saya juga berbeda dengan standar kebanyakan orang. Yang penting adalah bagaimana membuat “sabar” ini jadi hal berguna untuk diri dan masa depan saya.

Kalau kata Jack Reacher, “Waiting is a skill like anything else.”
And it’s a skill worth having.

2 comments:

  1. Ajarin saya untuk bisa sabar dong mbak...:)

    ReplyDelete
  2. Sabar harus sesuai porsinya ya, biar gak hilang kesempatan dan dimanfaatin orang

    ReplyDelete

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.