Mendapat tema “Adil bersikap ketika menerima rezeki” di salah satu event menulis blog yang saya ikuti membuat saya berpikir kembali tentang definisi “adil.” Yang diajarkan kepada saya sejak kecil adalah “adil itu bukan berarti dibagi sama rata, tapi dibagi sesuai kebutuhan.” Jadi, adil itu sama dengan tidak maruk. Karena kita mengambil hanya sesuai dengan kebutuhan kita.
Inilah yang kemudian saya terapkan di kehidupan sekarang. Soalnya, Adil pada diri sendiri berarti adil pada orang lain juga.
Yang tersulit untuk bersikap adil pada diri sendiri adalah menentukan kapan harus berhenti. Saya tipe yang mengutamakan orang lain, misalnya anak atau keluarga, dan cenderung aktif meski mengaku introvert. Jadi saya selalu punya waktu, apalagi kalau menyangkut cuan. Akhir-akhir ini, ketika hidup berubah dari pekerja kantoran menjadi lepasan, hal ini jadi masalah besar karena saya mencoba mengambil semua yang di depan mata agar semua pengeluaran bisa terbayarkan. Tadinya, ketika ada satu gaji bulanan tetap, yang namanya side job tidak jadi prioritas utama. Hanya bersyukur ada rejeki lebih. Namun, saat ini, ketika pemasukan tetap tidak lagi ada, semua yang bisa menghasilkan, saya ambil.
Ternyata ada limitnya. Saya terpaksa belajar merelakan.
Berbagi itu indah. Pekerjaan yang saya ambil sendiri, saya kerjakan berdua teman yang juga kehilangan pekerjaan. Penghasilan berkurang separuh, karena semua saya bagi dua sama rata, tapi saya lebih happy. Lebih punya waktu mengerjakan hal lainnya. Toh, kalau dikerjakan sendiri juga, hasilnya bisa jadi buruk dan tidak sesuai apa yang saya janjikan dengan klien di awal. Dengan begini, saya bisa berbagi rejeki sekaligus tidak mengecewakan klien.
Berani berkata “tidak” pada diri sendiri. Kalau diturutin, keinginan saya banyak. Bahkan setelah saya mengeliminasi banyak hal, saya masih punya sejuta bucket list yang ingin dilakukan. Yang kerap terdorong ke bawah adalah keinginan untuk istirahat. Berdiam sejenak, fokus mengerjakan hal yang disuka. Akhir-akhir ini, karena banyaknya hal yang harus dilakukan, dan tanggung jawab yang sudah terlanjur diambil, saya jadi tidak bisa menulis. Menulis fiksi, blogging, atau apapun yang membutuhkan kreativitas, jadi tidak bisa muncul. Alasannya cuma satu: lelah. Ini masih menjadi PR terbesar, untuk mengatakan “tidak mau” dan memaksa diri untuk di rumah saja, nonton comeback Kpop idol favorit saya.
Kalau memang bukan rejekinya, jangan diambil. Saat masih jadi karyawan, gajian itu rejeki tetap. Memang punya saya. Sekarang, saat job harus dicari dan diseleksi, saya menyadari bahwa tidak semua peluang yang datang itu rejeki saya. Ada juga yang datang ke tangan saya, untuk kemudian dioper ke orang lain. Jadi, saya hanya jadi perantara atau penghubung relasi. Bagaimana cara bedainnya? Saya biasanya melihat skill apa yang dibutuhkan dan apakah saya benar-benar bisa melakukannya? Kalau misalnya skill saya tidak mumpuni, meskipun tahu karena saya praktisi, biasanya saya oper ke orang lain yang lebih mampu dan background-nya lebih sesuai. Contoh, projek artikel SEO. Saya akan cari orang yang bisa koordinir dan diskusi strategi, lalu mundur jadi eksekutor walaupun menerima upahnya jadi lebih kecil.
Dengan merelakan beberapa hal, saya menemukan keseimbangan baru dalam hidup. Ini bukan tentang membatasi diri dari hal-hal yang tidak mampu saya kerjakan, tetapi soal berbagi kesempatan dan rezeki dengan orang lain. Daripada merasa rugi, saya justru merasa lebih bahagia dan puas karena dapat bekerja dengan lebih fokus, menjaga kualitas, dan tetap menjalin hubungan baik dengan klien. Pada akhirnya, merelakan tidak selalu (lebih) buruk. Terkadang, merelakan justru menjadi jalan untuk menemukan arti keadilan dan kebahagiaan yang sejati.
Dengan merelakan beberapa hal, saya menemukan keseimbangan baru dalam hidup. Ini bukan tentang membatasi diri dari hal-hal yang tidak mampu saya kerjakan, tetapi soal berbagi kesempatan dan rezeki dengan orang lain. Daripada merasa rugi, saya justru merasa lebih bahagia dan puas karena dapat bekerja dengan lebih fokus, menjaga kualitas, dan tetap menjalin hubungan baik dengan klien. Pada akhirnya, merelakan tidak selalu (lebih) buruk. Terkadang, merelakan justru menjadi jalan untuk menemukan arti keadilan dan kebahagiaan yang sejati.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.