31 May 2021

Mencoba Skincare Untuk Pemula

“Mama, tadi apa kata peramalnya?”
“Katanya Mama terlalu tomboy, perlu lebih feminin.”


Sebagai anak perempuan super cuek yang hobinya main console, rebahan dan baca komik, yang namanya perawatan muka ini ada di prioritas nomer sekian. Karena satu dan lain hal, saya ikut teman pergi ke semacam peramal, yang kemudian menasehati saya agar lebih feminine sedikit. Lebih dandan, jangan pakai warna gelap dan jangan terlalu cuek sama penampilan. Lalu kata si ‘orang pintar’, yang dapat dukungan dari lingkungan sekitar saya, sepertinya tidak ada yang salah dengan jadi sedikit lebih feminine.

Apalagi kalau menyadari bahwa boyband K-pop kesukaan saya itu punya skincare routine sampai 8 atau 10 step. Masa saya yang perempuan beneran, bisa kalah?

Tidak mungkin langsung 10 step sih memang. Jadi, bagaimana kalau dimulai dari yang super simple dulu: 3 step saja yaitu pembersih wajah, serum dan krim. Let’s start with Skincare, small changes.



Kebetulan Scarlett Whitening punya skincare juga, produk baru dalam bentuk cream untuk wajah. Ada dua macam yaitu Acne Series (yang warnanya ungu), dan Brightly Series (yang warnanya pink). Meskipun saya senang warna ungu, tapi karena kulit wajah saya tidak bermasalah jerawat dan lebih bermasalah dengan pori-pori besar, saya akhirnya mencoba Brightly Series yang lebih fokus untuk menyamarkan pori-pori, garis halus dan mengencangkan kulit wajah. Selain itu, Brightly Series juga meningkatkan kelembaban dan elastisitas kulit, membantu mencerahkan kulit dan memudarkan bekas jerawat. Jadi pas untuk kebutuhan saya.

Anyway, 3 step yang tadi apa saja?

Kiri-kanan: Step 1 (Facial Wash), Step 2 (Serum), Step 3 (Krim)

26 May 2021

Main Game bareng Anak Remaja, Main Game Apa?

Saya suka main console sama Dudu. Sama-sama penggila PS4, yang kalau sudah depan TV bisa sama-sama diamuk si Oma karena lupa mandi dan makan.

“Kamu ini males banget sih, main PS aja seharian.”
“Lho, menurut Mama, ini menurun dari siapa?”
Jreng, jreng!


Emangnya kita berdua ini main game apa sih?

Koleksi Game PS4 saya dan Dudu

Game PS tidak selamanya tembak-tembakan, seram dan sadis. Meskipun game macam God of War dan Final Fantasy VII yang menurut saya seru banget itu juga bukan game kids friendly. Bukan game yang akan lulus sensor emak-emak pada umumnya. Jadi di sini, saya memilih game yang, if I can argue, berfaedah bagi seorang Mama dan anaknya. Percaya atau tidak, ada banyak pelajaran tentang bagaimana cara jadi orang tua di game-game ini.


19 May 2021

Single Mom dan Parental Burnout

Pernah merasa lelah jadi orang tua? Saya pernah. Dan nggak seperti pekerjaan yang bisa ‘ditinggal’, jadi orang tua itu komitmen sepanjang jaman.

Bulan depan, saya 15 tahun jadi single mom. Takjub juga bisa bertahan segitu lama, padahal tidak sekali dua kali saya merasa capek, merasa sendirian dan kayaknya mau udahan aja. Seperti waktu saya nonton konser NKOTBSB tahun 2012 lalu. Anak saya masih 5 tahun, saya tinggal menggejar impian ketemu Nick Carter. Tentu saja kepergian itu diiringi “cibiran tetangga” dan “komentar tante” yang merasa saya egois.


Di tempat konser, saya bertemu banyak mama-mama seumuran yang tiba-tiba kembali jadi ABG. Dan percakapan mereka begini:

“Eh, anak gimana?”
“Gue titip laki gue lah.”


Kalau yang punya pasangan, anak bisa dioper. Kalo yang single mom kayak saya, ada siapa? Kalau ibu bekerja yang punya pasangan, uang bisa dipakai beli tiket konser. Ada pasangan yang bantu beli susu. Kalo saya, mau berbagi biaya sama siapa?

Eits, ini bukan berarti saya lantas sedih lalu lelah dengan keadaan dan pasrah ketika burnout. Soalnya, sama seperti burnout yang lainnya, parental burnout ini juga berbahaya. Lebih berbahaya malah, karena efeknya bisa ke anak.

Apa itu Parental Burnout? Psikolog Herbert Freudenberger mendifinisikan burnout sebagai "kondisi kelelahan mental dan fisik yang disebabkan oleh kehidupan profesional seseorang". Parental Burnout dijelaskan sebagai rasa lelah fisik, mental, dan emosional pada orang tua saat mengasuh anak. Hal ini terjadi ketika rasa lelah melebihi kebahagiaan mengasuh dan memiliki anak. Di tengah pandemi begini, ketika kita harus 24 jam bersama anak di rumah, parental burnout dapat terjadi.

Kebanyakan orang tua, termasuk saya, biasanya tidak berani mengaku karena akan menghadapi judgement dan tekanan masyarakat. Masa mengurus anak sendiri bisa burnout? Well, lihat ke diri sendiri dan akui kalau memang burn out. Burnout-nya memang sementara, tapi efeknya ke anak bisa selamanya. Trus gimana dong?

Ada beberapa hal yang saya lakukan:

27 April 2021

Mama ‘Me Time’: Menemukan Rutinitas Mandi Lebih Seru

“Ma, ini sabun?”
Dudu menemukan botol warna ungu di kamar mandi. Biasanya cuma ada sabun cair standard saja.
“Shower Scrub. Mirip sabun, tapi kalau pakai ini mandinya berasa lebih bersih.”

Bingunglah anak cowok semata wayang saya itu. Tiba-tiba Mama-nya jadi suka mencoba hal-hal baru. Haha.

(left to right) Scarlett Whitening Body Lotion Freshy, Brightening Shower Scrub Pomegranate & Body Scrub Romansa

Sejak Work From Home (WFH) setahun yang lalu, saya banyak mager-nya. Semua rutinitas jadi tidak spesial. Bangun tidur, mandi, bikin kopi lalu duduk di ruang tengah untuk bekerja. Kalau weekend, sesekali ke luar rumah bertemu teman atau ‘staycation’ ke rumah adik saya untuk ganti suasana. Meskipun jarang bertemu orang lain secara offline selain si Dudu, saya ternyata tetap butuh ‘me time’, break time dari bekerja biar nggak stress. Jadi, saya memutuskan untuk mengganti sabun dengan body care baru.

25 April 2021

Yang Ditunggu di Bulan Ramadan Itu Buka Puasa Bareng Teman

“Bukber, yuk!”

Ajakan yang datang di bulan Ramadan ini jadi kebiasaan paling seru, dan buat saya ini salah satu praktek nyata belajar toleransi. Meskipun yang selalu terjadi adalah jumlah yang puasa pada hari itu lebih sedikit daripada yang memang atau sedang tidak berpuasa. Atau malah tidak ada yang lagi puasa sama sekali.

“Hah, jadi yang puasa elo doang nih?”

Saya masih ingat kejadian bukber hampir satu dekade lalu, reuni teman kampus di Jakarta. Perdana kita bertemu lagi setelah lulus dan bekerja. Masing-masing mengenalkan, pasangan dan anaknya. Pas menjelang maghrib baru ketahuan yang hari itu puasa hanya satu orang.

“Ya, elo semua temenin gue buka puasa gitu ceritanya.” Jawab si temen ini sambil tertawa.

Bukber begini selalu bikin kangen

Kebiasaan pertama saya di Bulan Ramadan adalah bikin dan rajin ikutan acara buka puasa biar bisa ngumpul sama teman-teman. Meskipun ternyata satu geng lagi pada tidak puasa, dan kita tetap tidak makan sampai Adzan karena tidak enak sama orang-orang satu food court. Yang ini kejadian beberapa tahun lalu. Rencana bukber di food court Senayan City, datang terlalu mepet dan baru dapat tempat duduk setelah penuh perjuangan. Setelah makanan datang kita semua (termasuk Dudu) ngobrol sambil menunggu adzan.

“Makan aja dulu itu Dudu ntar laper,” kata salah satu teman.
“Eh, ga apa-apa. Ngga enak kan sama kalian yang puasa.”
Dari situ satu-satu mendadak mengaku kalau sedang tidak puasa.
“Jadi kita percuma saja menunggu?” Tanya Dudu.

Kebiasaan kedua saya di Bulan Ramadan adalah mengingatkan kepada Dudu tentang arti toleransi. Sejak kecil, Dudu sudah saya bawa pergi buka puasa. Jadi sudah tahu kalau dia harus menunggu beduk sebelum ikutan makan meskipun tidak puasa. Sudah paham juga kenapa teman-temannya ada yang berpuasa.

Tapi kejadian di food court Senayan City itu mengajarkan satu toleransi tambahan, bahwa “peraturan” menunggu beduk bukan cuma untuk yang satu meja. Tapi satu food court. Toleransi itu bukan hanya untuk teman-teman yang kita kenal, tapi juga orang asing. Jadi tahun-tahun berikutnya, kalau saya makan di depan umum, saya yang ditegur Dudu. Haha.

“Hore udah adzan, kita bisa makan!”
Teman-teman se-geng bukber saya langsung melahap habis makanan satu piring. Sementara saya sibuk dengan kolak.
“Lo kok makan kolak, sih?”
“Loh, bukan katanya berbukalah dengan yang manis?”

Yak, sukses jadi bahan tertawaan satu meja gegara kebiasaan ketiga saya: Makan kolak pas buka puasa.
Kolak Biji Salak favorit
(photo taken from Kompas Travel)

Tapi ini ini memang sudah dilakukan dari kecil sih. Buat saya, buka puasa itu kolak. Jadi meskipun tidak puasa, biasanya saya yang paling heboh cari kolak di tempat buka puasa. Kolak pisang, kolak ubi, atau yang sudah dimodifikasi pakai delima, sagu mutiara dan kolang-kaling. Dan ini berlanjut sampai saat saya bekerja di media. Pergi undangan buka bersama all-you-can-eat di hotel bintang lima. Saat rekan sejawat sudah heboh mengambil nasi kebuli, roast beef dan makanan lainnya, saya malah sibuk dengan semangkuk kolak.

“Katanya, kalau puasa kan perut seharian kosong, jadi nggak baik kalo langsung diisi makan berat. Makanya ada takjil,” jawab saya ketika seorang teman bertanya. Mengutip apa yang saya dengar dari teman lain beberapa waktu lalu.

“Tapi elo kan ga puasa.”

Ya, iya juga ya hahaha. Susah memang menghilangkan kolak dari waktu buka puasa. Apalagi kolak ubi kuning atau kolak biji salak.

Buka bersama jadi lebih sulit dilakukan di dua Ramadan terakhir karena pandemi. Buka puasa jadi banyak virtualnya dan di rumah, pas buka puasa jadi sepi. Chat kantor hening, grup WA juga tidak ada yang bersuara. Padahal kalau saya di kantor, jam 5 biasanya sudah ikut heboh “mau berbuka dengan apa hari ini?” lalu ikut sumbang suara. Sekarang, karena work from home, kalau adzan maghrib terdengar, saya mencari kegiatan lain. Jadi sepi.

Berharapnya sih Ramadan tahun depan sudah kembali normal dan semua kebiasaan ini bisa dilakukan lagi. Jadi saya bisa berburu kolak di restoran tempat bukber. Soalnya di tiap tempat itu kolaknya berbeda. Yang paling standard ini kolak pisang dan biasanya saya lebih senang beli di pinggir jalan. Lalu ada kolak biji salak atau candil. Yang ini saya agak picky karena susah mendapatkan kekenyalan yang tepat. Yang terbaru, si biji salak ini dibuat pakai ubi ungu jadi warnanya ungu. Yang ini biasanya saya cari di restoran atau food court di mall. Lalu ada kolak ubi biasa, yang hanya dipotong-potong tanpa jadi biji salak dulu, dan kolak singkong.

Duh, menulis blog post ini, jadi kepengen beli kolak.




24 February 2021

Belajar Bahasa Baru di Usia 30

Sering kita dengar bahwa anak-anak belajar bahasa lebih cepat daripada orang dewasa. Bahkan saat mengikuti kursus belajar bahasa Korea beberapa waktu lalu pun saya merasa bahwa saya tertinggal jauh dibandingkan teman-teman satu kelas yang rata-rata masih kuliah atau baru mulai bekerja.

30 adalah usia sebenarnya menjadi dewasa, setidaknya untuk otak kita. Ahli neuroscience dari Harvard, Leah H. Somerville, menulis di jurnal Neuron bahwa volume otak secara keseluruhan berkembang maksimal pada usia 10 tahun, dan otak bagian belakang berkembang sempurna di usia 20-an. Namun bagian otak depan masih membentuk jaringan baru hingga usia 30 tahun. Rasanya lega, soalnya saya masih bisa belajar bahasa Korea meskipun umur sudah mendekati kepala 4.

Saya vs Dudu pernah belajar bahasa Jawa

Kemampuan berbahasa asing penting karena dapat meningkatkan percaya diri, memperluas networking, menjadi nilai tambah saat melamar kerja serta meningkatkan kerja otak. Mark Antoniou, Psycholinguist dari Western Sydney University-Australia menulis di Annual Review of Linguistics, bahwa menguasai dan menggunakan setidaknya dua bahasa secara rutin dapat menunda timbulnya Alzheimer.

Di kelas-kelas kursus Bahasa Korea, saya sering jadi murid paling tua. Tapi dengan mengetahui teknik yang tepat, terutama setelah menyadari bahwa kemampuan penyerapan bahasa asing saya tentunya lebih lambat dari “anak-anak muda” ini, saya bisa mengikuti pelajaran dan akhirnya lulus les bahasa Korea dengan nilai tak kalah bagus.

Jadi, apa yang saya lakukan?

Berdamai dengan Ekspektasi

Saya terakhir belajar bahasa asing dengan benar ketika saya SMA. Belajar bahasa Perancis dan lulus ikut ujian standardisasi. Hanya dalam waktu 6 bulan ikut kelas intensif sudah bisa ngobrol kanan kiri. Hampir dua dekade kemudian, saya belajar bahasa Korea karena terjerumus ke dunia Kpop. Eh, kok susah. Ikut kursus sudah 6 bulan baru bisa dasarnya, tulisan Hangul saja tidak hafal-hafal. Apalagi menurut penelitian, untuk jadi fasih, sebaiknya mulai belajar bahasa sebelum usia 18 tahun. Saya auto merasa bodoh.

Idol favorit saya pernah acting jadi guru bahasa.

Ternyata ekspektasi saya ketinggian. Tadinya menyalahkan usia, tapi ternyata kesibukan juga turut menyumbang lambatnya perkembangan bahasa Korea saya. Les bahasa 2x seminggu, terkadang bolos karena lembur. Bikin PR last minute karena tidak sempat mengulang pelajaran di luar les. Tentu saja hasilnya tidak sebanding dengan jaman SMA yang bisa review lebih intense. Jadi, sebelum memulai belajar, lihat ke diri sendiri dan jadwal sehari-hari. Berapa banyak waktu yang ada untuk belajar bahasa asing dan sesuaikan ekspektasi kita.

Set Personalized Target

Ada dua macam target: jangka panjang dan jangka pendek. Ketika memutuskan untuk belajar bahasa Korea, saya punya mimpi harus bisa at least bertanya jalan kalau saya nyasar di Korea pas liburan suatu hari kelak. Target jangka panjang saya tidak ada waktunya. Target jangka pendek ada deadline-nya. Misal, saya harus bisa menghafal 10 karakter Hangul setiap minggunya. Dalam 1 bulan, saya harus menambah 10 kosakata baru.

Lebih seru lagi kalau target-target ini dibuat personalized. Saya follow social media penyanyi Kpop favorit saya dan saya punya target setidaknya dapat membaca postingan mereka yang dalam tulisan hangul tanpa melihat kamus. Ketika saya naik ke level berikutnya di tempat kursus, target saya menjadi ‘memahami postingan idol Kpop tanpa melihat kamus’.

Mencari jalan keliling Korea Selatan

Personalized target juga jadi motivasi tersendiri agar tidak mudah menyerah di tengah jalan karena ada reward yang didapatkan. Misalnya, dengan berhasil me-reply postingan idol favorit di media sosial dengan tulisan Hangul, saya merasa kesempatan untuk dipahami oleh sang idol jadi lebih besar. Atau ketika bisa merespon pertanyaan idol di konser tanpa harus menunggu penerjemah, rasanya sudah seperti dapat sertifikat kelulusan. Motivasi yang sama inilah yang membawa saya belajar bahasa Inggris saat SD dulu.

Belajar Secara Konsisten

Sudah set ekspektasi dan punya motivasi, sekarang saatnya tips belajar bahasa asing yang saya praktekan untuk mengejar ketertinggalan dengan teman-teman sekelas.

Yang pertama adalah mengulang tiap hari. Bekerja full-time dan sering lembur, menyisihkan waktu setiap hari untuk belajar adalah tantangan. Jadi instead of 30 menit fokus belajar setelah pulang kantor dengan keadaan lelah, saya menyisipkan 5-10 menit untuk review vocabulary lewat aplikasi belajar bahasa atau scrolling instagram idol Kpop saat jalan dari meja ke kamar mandi. Jaman masih WFO, saya menghabiskan perjalanan di mobil mendengarkan podcast belajar bahasa Korea di Spotify.

Aplikasi kesukaan saya buat belajar Bahasa Korea adalah memrise

Yang kedua, bergabung dengan komunitas di Facebook Group atau mengikuti media sosial komunitas sambil rajin memberikan comment dan interaksi. Kalau ada temannya, belajar jadi lebih mudah dan semangat. Yang terakhir adalah jangan lupa praktek. Menulis dan membaca bisa dari media sosial. Mendengar bisa lewat nonton IG Live atau Youtube idol Kpop. Kalau speaking? Saya mau tidak mau harus ikut kelas untuk bisa ngobrol. Sejak pandemi, banyak conversation class lewat zoom, yang bisa diikuti untuk latihan berbicara.

Buat saya yang lebih suka boyband daripada film, karaoke jadi cara paling efektif buat belajar bahasa. Karena saat karaoke, kita bisa belajar 2 hal sekaligus yaitu membaca dan melafalkan kata dengan benar.

Let me end this story with a happy ending.

Saya akhirnya jalan-jalan ke Korea, setahun setelah saya memutuskan untuk belajar bahasanya. Di sana saya berhasil bukan hanya bertanya jalan seperti target semula tapi bisa mengarahkan supir taksi di Seoul, menjelaskan masalah kepada petugas bandara di Jeju, memesan makanan serta membeli tiket bus di Sokcho yang penduduknya mayoritas tidak mengerti bahasa Inggris.


Akhirnya kami berdua mendarat juga di Korea - dan bisa praktek bahasanya

Intinya, jangan menyerah walaupun progress kita mungkin tidak secepat anak-anak remaja yang baru dengar sekali lagu Kpop bisa langsung hafal liriknya. Belajar bahasa baru sampai lancar di usia lebih dari 30 tahun itu mungkin karena memang tidak ada kata terlambat untuk belajar.

13 February 2021

Mengenalkan Peluang Kerja Green Jobs Kepada Anak Indonesia

Beberapa waktu lalu, saya dan Dudu ngobrolin cita-cita. Pertanyaan yang akan terus selalu ada. “Kamu mau jadi apa?” Waktu TK, Dudu mau jadi Nelayan (atau yang dia sebut Pemancing). Waktu SD pindah haluan jadi Youtuber Game karena dia suka main game. Spesifik banget ya. Sekarang sudah SMP malah tidak tahu mau jadi apa. 

Menyadari bahwa cita-cita seorang anak muncul dari hal-hal yang ada di sekelilingnya, saya merasa wajib mengenalkan konsep dan peluang green jobs kepada Dudu, anak saya yang sekarang sudah berusia 14 tahun ini. Soalnya, tak kenal maka tak sayang.
Mama: Mau coba di sektor green jobs?
Dudu: Apa itu green jobs?
Mama: Yang berhubungan dengan sustainability.
Dudu: Tukang sampah?
Mama: Nggak harus sampah sih.
Dudu: Kalau begitu petani?
Mama: Urban Farming dong. Kan di tengah kota, di atap rumah gitu keren.
Dudu: Itu tetap saja disebut dengan petani, Ma.

Petani kebun sendiri sedang panen jeruk

Perubahan cita-cita si Dudu yang lumayan drastis dari Nelayan jadi Youtuber ini tentunya tidak lepas dari perkembangan teknologi. Anak saya masih merasakan jaman Nokia 3310, ketika telepon ya kalo nggak buat telepon ya buat SMS sama main game snake. Sekarang Dudu yang SMP mau naik SMA ini belum punya cita-cita baru yang dia yakin pasti mau diikuti. Makanya, begitu saya mendengar tentang green jobs ini saya merasa harus ikut webinarnya dan memperkenalkan jenis pekerjaan ini ke Dudu.

30 January 2021

Iseng-iseng bikin Hot Chocolate di Musim Hujan

Resep hot chocolate yang ini dapatnya dari main Overcooked 2 di PS4 sama Dudu.

Dimulai dengan kita berdua yang ngedate-nya pindah jadi di rumah aja, main PS4. Karena saya WFH dan Dudu sekolah dari rumah, jadi saya install wifi di rumah. Jadi untuk pertama kalinya, kita berdua main PS4 pakai wi-fi. Awalnya sempat khawatir karena wifi akan membuka banyak hal termasuk game gratisan, forum dan menemukan teman baru lewat aplikasi PS Store. Takutnya seperti membuka kotak Pandora.

Tapi ternyata dengan adanya wi-fi ini, ada banyak level DLC gratisan yang bisa kita download dan saya jadi hemat karena untuk sementara waktu tidak perlu beli game PS4 baru. Beberapa level baru yang jadi pengisi kebosanan saya dan Dudu di akhir pekan adalah Winter Wonderland dan Chinese New Year. 


Kenapa kami berdua suka main Overcooked? Soalnya game ini bisa dimainkan berdua, atau sampai berempat kalau stick PS-nya ada 4. Jadi sekeluarga bisa main. Game yang mengedepankan team work bisa bikin saya dan Dudu makin kompak (atau malah berantem hehe). Bisa dibaca review lengkapnya di sini ya.

Yang jadi masalah buat saya adalah Dudu suka masak, tapi jarang punya kesempatan. Nah, game Overcooked ini biasanya lantas menginspirasi dia untuk mencoba masakan. Karena saya tidak bisa masak (selain roti bakar keju dan indomie) jadi pusing sendiri kalau Dudu mulai bilang “kita coba itu yuk, Ma.” Soalnya di game kan hanya campur-campur saja ya. Untungnya di Overcooked 2 versi Winter Wonderland ini, ada satu stage di mana kita harus buat hot chocolate.

Nah ini gampang. Sepertinya.

Bahan (menurut Overcooked):
  • Cokelat Masak (saya pakai dark chocolate)
  • Susu Putih (saya pakai UHT)
  • Mashmallow 

Cara memasak:
  • Panaskan cokelat hingga meleleh di panci. Jangan pakai api besar. Idealnya melelehkan coklat itu menggunakan dua panci, jadi tidak langsung kena api. Tapi untuk kali ini, saya menggunakan satu panci anti lengket.
  • Hangatkan susu di panci berbeda lalu campurkan ke panci berisi cokelat. Jangan masukkan susu dingin atau room temperature karena cokelatnya bisa menggumpal. Saya dan Dudu lebih suka cokelat yang banyak, jadi kita mencampurkan cokelat masak hingga setengah gelas lalu baru dicampur susu dan diberi marshmallow di atasnya.

Hasilnya berantakan haha. Tapi rasanya enak karena masak hot chocolate sepertinya susah untuk gagal. 


Lalu yang benar gimana? Karena penasaran, saya akhirnya Googling “homemade hot chocolate” dan menemukan beberapa cara.
  1. Susunya yang dipanaskan duluan. Setelah itu baru masukkan cokelat dan gula sambil diaduk-aduk.
  2. Pakai dua jenis coklat. Yang pertama coklat bubuk buat base-nya, dan tambahkan chocolate chip/cokelat masak kalau mau lebih kental adonannya. Wajib pakai susu biar creamy.
  3. Ada yang menyarankan pakai vanilla powder juga biar lebih enak.
Oke deh, next time kita coba masak lagi.