24 October 2022

Menjawab Pertanyaan Anak Tentang Pinjol dan Cara Menghadapinya

Ketika sedang nonton episode terbaru Spy x Family sama Dudu hari Minggu kemarin, saya ditelepon sama seorang ibu yang mengaku dari pinjol bernama Akukaya. Ibu yang tidak sempat saya tangkap namanya ini menanyakan keberadaan seorang teman yang katanya mencantumkan nama saya sebagai kontak darurat. Nada suara si ibu yang khas dari daerah tertentu ini bikin percakapan jadi lebih menarik. Haha.

Biar nggak serius-serius amat, fotonya pake foto Dudu lagi angkat telepon

Yang unik, si ibu penagih pinjol ini pakai memperkenalkan diri terlebih dahulu. “Saya ibu xx dari Akukaya, Ibu kenalkah dengan yang bernama AABB?”

Setelah beberapa kali konfirmasi, barulah saya sadar kalau nama AABB ini terlalu umum, dan saya punya teman lebih dari 3 dengan nama yang persis sama seperti itu. Ketika si ibu pinjol menyebutkan alamatnya, saya tidak tahu teman-teman saya ini tinggal di mana. Bahkan ketika si ibu pinjol ini menyebutkan “Orangnya ini memakai hijab, Ibu?” Saya juga belum bisa memutuskan, yang mana yang dimaksud si ibu.

Hanya saja, siapapun yang dimaksud, saya sudah bertahun-tahun tidak bertemu mereka semua dan dulu sih semuanya tidak pakai hijab ya haha.
“Teman ibu ini mencantumkan nomor ibu ini sebagai kontak darurat. Dia meminjam uang lalu tidak membayar.”

“Ya terus?”

“Kita akan telepon Ibu untuk menyuruh teman Ibu untuk membayar hutangnya.”

“Ya, saya tidak bisa bantu apa-apa sih, Bu. Saya tidak tahu yang mana yang dimaksud. Dan semuanya sudah tahunan tidak kontak dengan saya.”

“Oh begitu?”

“Nomornya tidak bisa di-blok saja?”

“Nomor ini tidak bisa di-blok, Ibu?”
Nada suara si ibu ini selalu berakhir naik. Kayak artis yang kemarin pernikahannya ribut-ribut karena tanpa restu dari pihak orang tua perempuan itu. Jadi menarik.
“Kalau gitu saya laporkan saja ya.”

“Silahkan dilaporkan, Ibu, tapi nanti teman-teman saya akan tetap menelepon Ibu sampai teman Ibu lunas sudah hutangnya.”

“Oh ya nggak apa-apa sih. Kalau saya mood, nanti saya jelaskan lagi. Kalau nggak ya saya tutup aja teleponnya dan blok lagi.”

“Nomor ini tidak bisa di-blok, Ibu.”

“Oh, maksud saya nomor teman-teman Ibu yang saya blok kalau mereka telepon.”

“Oh iya silahkan, ibu.”

Aneh percakapannya mendadak jadi sopan haha.

Sepertinya karena saya cuek, si Ibu juga bingung sendiri. Toh, maksud dia menelepon sudah tersampaikan, dan saya tidak bisa membantu juga. Terus gimana? Mau mengancam juga, ya saya pikir itu SOP-nya mereka. Kalau mengganggu tinggal saya blok dan report.

Bagaimana mengajarkan konsep pinjol kepada anak?

Daripada pertanyaan si Ibu tersebut, lebih susah pertanyaan si Dudu.

Dudu: Pinjol itu apa?
Mama: Pinjaman online, jadi bisa hutang tapi bukan dari bank gitu kalau butuh uang.
Dudu: Lalu kenapa Mama ditelepon?
Mama: Jadi ada teman Mama yang pinjam uang, lalu tidak bayar. Katanya nomor Mama dicantumkan jadi kotak darurat. Lalu ya ditelepon.
Dudu: Terus bagaimana?
Mama: Ya, Mama tidak tau siapa yang dimaksud, kalau pun tahu juga terus benefitnya apa buat Mama? Kan si Pinjol tidak kasih Mama incentive untuk ikut bantu kejar-kejar client mereka bayar hutang. Mereka bayar orang-orang itu untuk telepon teman-teman si peminjam.

Dudu mengangguk-angguk saja sih sampai sini. Nonton lagi, lalu tahu-tahu bertanya,

Dudu: Itu bukannya data breach?
Mama: Ya, mau gimana lagi, memang pinjol kan begitu business modelnya. They lent some money but got access to your contacts. Just in case kamu tidak bayar, ya mereka bisa meneror teman-teman dan bikin kamu malu.

Bagaimana menghadapi pinjol?

Lalu saya posting kejadian ini di Facebook dan mendapatkan beberapa insight dari teman-teman.

  1. Bisa gunakan apps truecaller dan sejenisnya buat mendeteksi telepon dari nomor yang tidak dikenal. Apalagi kalau kita sudah pakai nomor ini sejak lama atau menggunakan nomor ini untuk point of contact online shop kita, networking dan sejenisnya, di mana potensi tersebar lumayan luas.
  2. Jangan langsung percaya sama si pinjol. Biasanya mereka menghubungi semua nomor yang ada di kontak tersebut dan bilang kalau dipasang sebagai nomor darurat, nomor penjamin dan sebagainya. Padahal tidak juga, ini hanya cara mereka untuk membuat kasusnya terdengar urgent.
  3. Kalau mendapatkan pesan lewat WA (bukan telepon langsung), segera blok dan report.
  4. Kalau terlanjur diangkat gimana? Ya kalau tahu ini pinjol, segera matikan dan blok nomornya. Atau ya, seperti saya tadi, tetap tenang lalu jawab tidak tahu. Para penagih ini memang bekerja sebagai penagih hutang. Mereka karyawan. Saya bukan karyawan pinjol jadi ya buat apa saya terlibat? Kecuali kalau ketika si teman saya bayar hutangnya, saya dapat incentive juga gitu karena bantuin nagih.
  5. Jangan takut kalau dapat message/ telepon dari tagihan pinjol milik “teman”. Kita tidak bisa mengatur apa yang dilakukan si pinjol dan apa yang dilakukan si teman, tapi kita bisa mengatur apa yang kita mau lakukan. Tutup aja teleponnya. Beres.
So, what we can do adalah bagaimana kita menyikapi situasi ini. Si temen bakal tetap pinjam uang, si pinjol tetap harus menagih, tapi kita tidak harus menjawab atau meladeni telponnya.

16 October 2022

Bikin Podcast Gimana Caranya?

Beberapa waktu lalu, ketika Dudu membuka sesi tanya jawab di grup Single Moms Indonesia, ada yang menyarankan untuk membuat podcast. Ini bukan pertama kalinya ada yang melemparkan ide bikin podcast kepada saya dan Dudu. Tapi sampai sekarang, ide ini belum terlaksana.

Padahal katanya bikin podcast gampang.

Ada teman saya yang punya podcast hanya dengan monologue iseng yang direkam. Lalu ada juga yang merekam obrolan berdua sahabatnya lalu diupload. Tidak pakai studio, tidak pakai peralatan profesional. Hanya pakai hape. Tanpa di-edit. Jadi, ini saya yang overthinking atau terlalu perfeksionis?

Pernahnya jadi penyiar Radio

Ketika ada seseorang yang meminta saya jadi project manager buat podcast-nya, saya mencari insight yang lebih serius tentang bagaimana seharusnya kita memulai sebuah podcast. Selain teknis, seperti equipment, ada beberapa hal yang memang perlu diperhatikan.

Misalnya bertanya pada diri sendiri, apa tujuannya bikin podcast? 


Apa yang kita mau share? Ada tidak audiencenya? Menjawab pertanyaan ini cukup mudah buat saya dan Dudu. Sama seperti status Facebook yang sering saya tuliskan, atau isi blog ini, podcast kami bisa jadi obrolan seru ibu dan anak tentang isi dunia. Tujuannya tentu saja berbagi, sharing tentang perspektif ibu dan anak. Audience-nya juga sudah pasti ada, karena sudah ada demand-nya. Banyak yang penasaran dan ingin mendengarkan dari sudut pandang anak namun tidak berani bertanya sama anak sendiri.

Setelah yakin bahwa kita mau memulai podcast, waktunya memilih nama.


Kalau saya, sudah pasti pakai #DateWithDudu. Karena memang sudah menjadi brandingan sejak awal. Namun bagaimana caranya memilih nama podcast? Kalau kita adalah publik figure terkenal, nama kita bisa langsung digunakan karena selain sudah punya fans militan yang akan mendengarkan, nama kita juga sudah menarik general public buat klik. 

Bagaimana kalau kita nobody alias bukan siapa-siapa. Nama podcast sebaiknya dicari yang catchy dan bikin orang penasaran namun masih sesuai konsep yang kita tetapkan. Apa niche podcast-mu? Bisnis? Lifestyle? Komedi? Bentuknya apa? Interview atau monologue atau ngobrol bareng co-host. Dari kedua hal tersebut, nama podcast bisa ditemukan. Kalau saya tidak menggunakan nama #DateWithDudu misalnya, mungkin saya akan memberikan nama "Podcast Bareng Anak" atau "Perspective Anak" atau "Oh, Ternyata Begitu" yang merepresentasikan isi podcast saya.

Terus bisa mulai?

Sebenarnya bisa, jika bikin podcast-nya buat happy-happy tanpa beban. Tapi jika ingin membuat podcast jadi sesuatu yang serius dan dimonetisasi, memulai episode nol atau episode pilot ini berarti sudah siap konsisten update episode secara berkala.

Ada yang bilang podcast ini mirip sama blog.


Saya sendiri menemukan setidaknya dua kesamaan, hal-hal yang saya kerjakan di blog ternyata bisa diaplikasikan ketika merencanakan sebuah podcast. Sama seperti ketika mau memulai one day one post, ketika hendak bikin podcast ya saya menuliskan 10 episode pertama yang mau saya rekam. Topiknya apa, mau membahas apa dan kira-kira perlukah saya mengundang pembicara lain. Semacam content plan beserta timelinenya.

Begitu juga dengan marketingnya. Sharing podcast itu ya per-episode. Sama seperti meninggalkan link blog ketika blogwalking atau sharing postingan di komunitas, yang saya share ya yang relevan dengan audience-nya. Sepertinya podcast juga sama. Setiap episode bisa jadi kesan pertama pendengarnya, dan setiap episode bisa di-share secara mandiri ke komunitas berbeda.

Jadi, kendalanya apa buat saya (dan Dudu)?

Yang pertama sekarang adalah waktu. Podcast membutuhkan komitmen berdua untuk bertemu, ngobrol, briefing, latihan dan akhirnya rekaman. Belum lagi kalau ternyata perlu editing, misalnya ada kata-kata kasar, nama orang lain yang tidak sengaja kesebut. Jadi, dibandingkan dengan blog, podcast tentunya membutuhkan investasi waktu yang cukup besar.

To recap apakah Podcast ini medium yang tepat untuk #DateWithDudu? Tujuan sudah ada, nama juga sudah dapat, yang belum tinggal menyediakan waktu untuk planning dan eksekusinya. Jadi, kayaknya belum sekarang deh.

04 October 2022

Dilema Ibu Tunggal Bekerja: Cari di Mana?

Cari kerja di mana?
Mom, gimana sih caranya ngelamar kerjaan?


Beberapa minggu terakhir, banyak pertanyaan begini masuk di inbox saya. Beberapa dari yang bertanya adalah (mantan) ibu rumah tangga yang ingin memiliki penghasilan tetap setelah menjadi seorang ibu tunggal. Beberapa lainnya punya pengalaman jualan online, jadi reseller tapi ingin mencoba peruntungan untuk bekerja dengan penghasilan tetap yang tentunya dirasa lebih menjamin kehidupan dirinya dan anak-anak.

Ini Dudu, ikut liputan opening Store LV di mall jaman saya masih jadi jurnalis

Saya menyadari bahwa mencari pekerjaan sebagai seorang ibu tunggal ini sulit. Beruntung waktu Dudu masih kecil, saya punya dua orang tua yang sangat supportive dan bisa mengantar si anak ke sekolah. Sehingga saya bisa fokus kerja cari uang. Lalu bagaimana saya melamar pekerjaan? Ada beberapa cara.

1. Referral teman. 

Kalo kata anak jaman sekarang ini "jalur ordal" alias sudah ada teman atau saudara yang bekerja di perusahaan tersebut, lalu kita masuk sebagai rekanannya. Ini cara paling gampang, apalagi kalau rekanan kita itu punya reputasi bagus di perusahaan tempatnya bekerja. Perusahaan merasa tidak perlu double check seketat orang asing karena ini kan referral karyawan sendiri. Temannya teman.

2. Lewat situs pencari kerja seperti JobStreet, JobsDB, Indeed, Glints dan sejenisnya. 

Kalau mau melamar lewat jalur ini sebaiknya siapkan CV yang mudah dibaca oleh sistem alias ATS friendly. Gimana caranya? Di Canva ada templatenya. Tidak paham cara pakai Canva? Ya intinya ATS friendly berarti tidak ada gambar maupun font yang sulit dibaca. Jadi gunakan font standar seperti Arial atau Times New Roman untuk membuat CVmu. Ingat, bikin CV jangan disingkat dan gunakan istilah yang umum untuk setiap section header misalnya "pengalaman kerja" atau "pendidikan". Meskipun bagus kalau bisa bikin CV dalam bahasa Inggris, jangan dipaksakan kalau memang tidak fasih. Lebih baik pakai bahasa Indonesia tapi CVnya tidak ada typo daripada bahasa Inggris tapi banyak salahnya. 

Kalau langganan newsletter dari situs pencari kerja biasanya kita akan dikirimkan email berisi lowongan sesuai keinginan kita setiap beberapa hari sekali. Ini sebenarnya bagus karena kita jadi terpacu untuk terus melamar kerja dan tidak menyerah.

27 September 2022

Do & Don’t Ketika Menginap di Hostel Bersama Anak

Salah satu pengalaman traveling yang paling berkesan buat saya dan Dudu adalah menginap di Hostel. Dari hostel kita banyak belajar, bukan hanya soal menginap di tempat baru tapi juga berbagi ruang dengan orang lain, menjaga keamanan barang dan tentunya lebih mendapat pengalaman bertemu dengan local culture.

Playdate di hostel

Hubungannya apa sama regenerative travel atau wisata berkelanjutan? Well, kalau dari kita berdua sih ada yang namanya tak kenal maka tak sayang. Wisata berkelanjutan ini kan erat hubungannya dengan bisnis dan usaha lokal, jadi ya minimal tinggal di hostel yang dijalankan oleh warga lokal. Selain memberikan pengalaman baru, tinggal di hostel juga menghemat budget. Bisa kok menemukan hotel murah terbaik yang ramah anak.

Di hostel juga kita akan lebih banyak berinteraksi dengan orang lain terutama saat bertemu di kamar mandi, ruang makan maupun ruang santai (biasanya tempat nonton TV). Ini adalah kesempatan untuk mengajarkan anak berinteraksi yang baik, cara ramah namun tetap waspada pada orang asing. Siapa tahu ada yang bawa anak juga, dan mendapatkan teman baru.

Bagaimana memberikan pengalaman menginap di hostel paling seru untuk anak?

  • Do book the whole room. Saya membooking hostel kalau pergi rame-rame. Waktu itu playdate travelling ala backpacker bersama beberapa keluarga lain. Total ada 3 ibu dan 5 anak. Kita book 1 kamar hostel dengan 4 bunk bed. Jangan lupa memastikan bahwa pihak hostel menerima tamu keluarga dengan anak-anak.

  • Do ajarkan tata kramanya. Misal tidak boleh ribut di lorong. Setiap anak dapat 1 loker, jadi mereka bertanggung jawab atas barang masing-masing. Kalau mandi di shared bathroom harus hati-hati dan menjaga barang-barang yang dibawa. Jangan sampai becek dan banjir karena kamar mandi ini digunakan oleh banyak orang.

21 August 2022

Hidup ini Bukan Kompetisi, Fokus Pada Diri Sendiri

Kamu kapan?
Gondok denger pertanyaan itu? Iya saya juga.


"Si A udah punya anak dua, kamu gak mau kasih adik buat Dudu?"
"Kenapa nggak nikah lagi aja kayak si B, kasian kan anakmu?"
Atau satu pertanyaan yang terlontar di komunitas saya, yang membuat saya berpikir untuk menuliskan postingan ini:
"Kok sepertinya saya lama banget move on dari mantan suami? Teman saya bahkan sudah menikah lagi dan bahagia. Apa yang salah dengan saya?"

Jawabannya, ya tidak ada yang salah.

Kan hidup ini bukan kompetisi.

Kompetisi pertama yang diikuti Dudu, nggak jadi juara 1

Okelah, kita tidak bicara soal ranking di sekolah atau performance di kantor. Tapi yang namanya healing, move on dan perjalanan hidup tidak bisa dipandang sebagai sebuah kompetisi. Menurut saya, setiap orang ada timeline-nya sendiri dan kita bisa memilih untuk menghindari kompetisi. Apalagi kalau berpartisipasi di kompetisi perjalanan hidup ini membuat kita makin down.

Bagaimana kalau orang terdekat kita yang sibuk 'mendaftarkan' kita ke kompetisi? Orang tua yang menjodohkan kita dengan anak temannya atau circle pertemanan yang selalu membahas anaknya sudah bisa apa seperti sebuah lomba parenting. Mau quit susah, mau ikut juga salah.

18 August 2022

Basic Skills for Boys: Belajar Tanggung Jawab

Seorang single mom dengan anak laki-laki mengutarakan kekhawatirannya tentang membesarkan anak tanpa figur Ayah. Flashback ke belasan tahun lalu, mungkin saya juga mengalami fase yang sama. Sebagai seorang single mom by choice, alias memilih untuk tidak menikah, sosok ayah untuk si Dudu ya tidak ada.

Tanggung jawab cuci mobil

Beruntung saya masih punya adik laki-laki dan almarhum Papa masih ada saat itu, masih sempat mendampingi Dudu hingga usia remaja. Sampai suatu hari Dudu bilang "Mama ini seperti ayah, kerjanya cari uang dan main game bersama saya. Yang jadi Mama itu Oma, soalnya Oma memasak dan mengurus rumah. Well, kenyataannya memang begitu sih. Walaupun rambut saya panjang dan saya lebih sering pakai rok ala Disney Princess, tapi saya tomboy. Saking tomboynya, sampai pernah dapat nasihat biar lebih feminin dikit dari seorang peramal nasib biar jodohnya segera mendekat.

Balik lagi ke soal figur ayah. Masih di percakapan yang sama dengan teman-teman sesama ibu tunggal, ada yang beropini kalau anak laki-laki harus diajarkan basic skills agar kelak dapat bertanggung jawab terhadap keluarganya saat menjadi seorang ayah kelak.

Kalau harapannya adalah agar anak laki-laki dapat jadi pria bertanggung jawab, ya berarti anak wajib diajarkan tanggung jawab. Caranya?

10 August 2022

Keseruan Quality Bonding Time di Oreo 110th Birthday Celebration

"Du, mau snack apa?"
"Oreo saja deh, Ma."

Dari kecil begitu. Salah satu snack yang bertahan dari bekal TK sampai sekarang anaknya sudah SMA ya Oreo. Ulang tahun kemarin mintanya Oreo Cheesecake. Kalau Mama beli kopi, dia pesan Oreo Milkshake. Kalau jalan-jalan, yang dibawa ya Oreo Mini. Oreo semua ya.

'bonding time' bareng Oreo

Oreo kemarin mengeluarkan varian baru spesial ulang tahun, Oreo Birthday Cake Flavor. Bungkusnya lebih berwarna-warni daripada Oreo Classic yang biasanya kita beli.

"Ini kue ulang tahun di dalam Oreo?"

Dudu bingung. Saya juga. Jadi kita beli buat mencoba. Ternyata rasanya enak juga. Masih biskuit Oreo Classic yang sama, bedanya hanya di bagian icing putih di tengah ada sprinkle-nya. Rasanya sedikit banyak memang seperti kue ulang tahun. Oh, enak juga.

"Harusnya Oreo bikin yang icingnya cheesecake ya, jadi kamu kemarin tidak usah beli kue," kata saya.
“Tapi bagaimana saya bisa menaruh lilin di atas Oreo?”



Yang berbeda dari bungkus Oreo Birthday Cake Flavor selain kemasannya yang lebih ceria adalah QR Code di bagian kanan bawah. Oh ternyata kalo di-scan bisa langsung masuk ke filter Instagram Oreo yang bentuknya augmented reality (AR). Filter ini memungkinkan kita untuk meniup lilin yang jumlahnya banyak itu untuk merayakan #UlangTahunOreo bersama-sama. Jadi kalau mau tiup lilin tidak perlu menaruh lilin beneran di atas biskuit Oreo-nya. Hahaha. Kembali lagi ke masalah birthday cheesecake, Oreo sebenarnya juga melakukan kolaborasi dengan beberapa F&B outlet seperti Bittersweet by Najla yang mengeluarkan dessert box spesial bertajuk Cookies and Cream Special Anniversary. Semua keseruan ini adalah bagian dari rangkaian perayaan berjudul #WishOreo110.

"Oreo-nya sedang berulang tahun ya, Ma?"
"Iya, ke-110."
"Ternyata Oreo sudah sangat tua ya."
Oreo masuk ke Indonesia di tahun 1994, saya masih SD. Sekarang sudah punya anak, dan Oreo masih ada di rumah saya.

Yang namanya ngemil, tidak bisa dipisahkan dari saya. Dan ternyata, kebiasaan ini menurun juga ke anak saya. Meskipun si Dudu tidak se-lebay saya kalau beli dan makan snack, tapi dia tetap ada jadwal ngemil rutin di sore hari. Apalagi kalau sedang #DatewithDudu di rumah alias main PS4 seharian pas weekend. Yang namanya cemilan jelas tidak boleh absen. Enaknya Oreo, karena dia snack manis, jadi bisa sekalian dianggap pengganti dessert. Selain itu, Oreo juga bisa jadi teman baik saya kalau sedang ngopi. Lebih cocok daripada snack asin atau snack micin.

Ulang tahun Dudu kemarin pakai Oreo Cheesecake


Meskipun Dudu baru berusia 16 tahun, kemarin perayaan ulang tahunnya tidak kalah seru dengan Oreo. Tahun ini sedikit spesial karena biasanya hanya dirayakan secara sederhana di rumah, tiup lilin dan makan bakmi goreng bersama keluarga. Soalnya ulang tahun Dudu jatuh di pertengahan Juli, di mana tahun ajaran baru dimulai. Mau merayakan bareng teman-teman sekolah juga jadi sulit. Namun kali ini saya memutuskan untuk mengajak teman-teman se-gengnya untuk pergi birthday trip ke Bandung. Pengalaman pertama bawa anak-anak ABG jalan-jalan dan menginap semalam. Meskipun mereka tidak kemana-mana alias semalaman main PS4 saja, tapi Dudu bilang dia senang. Yang penting quality bonding time-nya terwujud.


Quality time itu penting untuk membangun ikatan emosional, dan snacking alias ngemil bisa jadi faktor penting dalam melakukan bonding. Merayakan momen spesial seperti ulang tahun juga salah satu cara untuk mendapatkan quality time dengan orang-orang tercinta. Dalam hal ini ya termasuk ikutan berpartisipasi dalam rangkaian #WishOreo110 yang merupakan bagian dari selebrasi #UlangTahunOreo.

06 July 2022

Cara Merubah Mindset untuk Berkembang

Adalah suatu kebanggaan melihat rekan sekerja saya di Single Moms Indonesia, Sagita Ajeng, naik panggung mewakili komunitas di acara Grab Access hari Sabtu, 2 Juli kemarin. Acara yang berjudul “Building an Inclusive Digital Economy for Indonesia,” ini menggandeng para ibu tunggal untuk bergabung bersama Grab, baik sebagai merchant maupun driver. Harapannya, kesempatan kolaborasi yang diberikan oleh Grab Indonesia ini dapat dimanfaatkan oleh para ibu tunggal untuk semakin berdaya.


Dari menjalankan program ini saya belajar tentang mindset dan prioritas.

Di bulan-bulan awal saya mencoba volunteer di bagian Learning & Development komunitas Single Moms Indonesia, saya sempat frustasi sendiri. Bikin program, yang dateng cuma sedikit. Tapi kalau tidak ada program juga kapan majunya? Bikin workshop soft skill salah, hard skill juga tidak mempan. Bikin acara curhat dan gathering online pun banyak yang hanya sekedar daftar lalu hilang ketika hari H datang. Padahal segala cara untuk reminder sudah dilakukan. Yang ada saya penasaran. Apalagi ketika menyadari bahwa masalah ini bukan hanya ada di komunitas saya.

“Tidak ada gunanya kita offer kelas pengembangan diri, kalau yang diajakin ikutan belum punya mindset untuk berdaya.” Begitu kata salah seorang teman saya. Maksudnya gimana tuh? Ya, mindset si ibu tunggal ini masih meratapi nasib jadi ‘korban keadaan.’ Mempertanyakan kenapa hidup saya begini, dan bagaimana saya bisa hidup untuk esok hari. Menyalahkan sekeliling dan lupa bahwa untuk merubah nasib itu perlu dorongan dari diri sendiri. Proses semua orang beda-beda lamanya. Ada yang beruntung bisa cepat move on dan fokus untuk berkembang, ada juga yang membutuhkan waktu lebih untuk berduka.

Apa yang harus kita lakukan agar tidak nyaman menjadi korban keadaan, dan mampu bangkit untuk masa depan? Change our mindset. Merubah cara pandang. Mindset ini adalah cara pandang kita terhadap dunia luar. Misalnya kalau kita memandang dunia ini jahat dan kita selalu menjadi korbannya lantas ketakutan untuk keluar, ya selamanya kita ada di rumah dan pasrah menerima nasib. Ini victim mindset. Atau yang paling sering didengar adalah fixed mindset versus growth mindset. Yang pertama adalah pasrah dengan kemampuan (“saya bisanya hanya ini”), sementara yang kedua ini mau berkembang (“saya bisa belajar hal baru dan menjadi lebih baik”).

Para ibu tunggal dari Single Moms Indonesia yang gathering di acara Grab kemarin

Okelah, kalau begini, saya jadi paham kenapa terkadang sulit maju. Tapi, mendengar cerita inspiratif para Lady Grab yang naik panggung juga hari Sabtu kemarin itu, mau tidak mau kita semua jadi merubah mindset. Salah satu mitra pengemudi, yang juga seorang ibu tunggal, menceritakan kisahnya membiayai 2 orang anak. Satu diantaranya penyandang disabilitas cerebral palsy yang butuh perhatian setiap saat. Namun si ibu ini sudah tidak meratapi nasib dan menemukan bahwa dengan menjadi mitra Grab, beliau bisa mendapatkan penghasilan sekaligus menjaga anak-anaknya. Kalau ada kemauan ya ada jalan.

Bagaimana caranya merubah mindset?
  • Apresiasi diri sendiri. Celebrate small victories. Jangan terlalu sering melihat keluar lalu jadi minder. Bisa bangun pagi setiap hari buat kita yang sering depresi adalah kemenangan yang bisa dirayakan.
  • Be thankful. Ini terkadang susah karena kita sering fokus untuk apa yang menjadi kekurangan kita. Uang kurang banyak, waktu tidak ada. Coba dibalik mindsetnya jadi bersyukur masih bisa jajan atau masih punya waktu untuk anak-anak. Rasanya hidup jadi sedikit lebih enteng.
  • Mau belajar dan nikmati prosesnya. Seringkali saya tidak sabaran dan ingin semua muncul secara instant. Padahal proses belajar ini juga sebuah bagian dari hidup yang bisa kita nikmati. Soalnya, kalau maunya instant, lama-lama kita jadi malas belajar karena tidak sabar. Padahal dengan belajar, kita bisa membuka peluang baru, mendapatkan keterampilan baru. Intinya sih jadi punya growth mindset dan tidak pasrah pada keadaan.
Sarananya sudah ada, seperti Grab Access yang membuka peluang bagi para ibu tunggal untuk mendapatkan penghasilan. Sekarang tinggal mindsetnya.