14 December 2024

Sejuta Impian 2025

2025 mau apa?

Pertanyaan sulit bagi saya yang tiba-tiba jobless karena PHK di akhir 2024. Cari uang dong. Cari pekerjaan lagi. Itu yang pertama terlintas di pikiran. Namun, ternyata mencari pekerjaan di usia 40 tahun ini tidaklah mudah. Yang lebih muda saja harus melalui belasan interview dan ghosting dari berbagai perusahaan. Saya? Mengirim lamaran, lalu tidak ada kelanjutannya. Balasan yang saya terima biasanya berupa permohonan maaf karena saya tidak sesuai dengan yang mereka cari.

Biasanya ini gara-gara gaji.

Anyway, setelah berpikir ke sana dan sini, ada beberapa ide bagaimana saya mau menjalani 2025. Apa saja?

  • Kuliah lagi. Saya ingin belajar tentang Public Policy, Public Administration terutama soal Non-Profit Management dan Fundraising. Saya sering menemukan lowongan di NGO yang berujung gagal melamar karena kualifikasi pendidikan yang tidak memadai. Di usia 40 ini, saingan saya kebanyakan punya S2. Saya hanya punya S1 yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saya sekarang. Sulit bersaingnya.
  • Menggaji diri sendiri. Kalau cari kerja susah, kenapa saya tidak coba menggaji diri sendiri? Bagaimana caranya? Fundraising untuk Yayasan tempat saya jadi relawan sekarang jadi kami punya sumber dana tetap dan bisa menggaji staff. Atau buka usaha laundry di daerah. Hanya saja, merintis sesuatu berarti saya harus punya dana cadangan yang cukup untuk hidup selama usaha saya belum membuahkan hasil. 
  • Cari pekerjaan baru. Iya, ini tetap ada dalam agenda. Tapi saya lebih banyak pesimisnya. Jadi, yang saya lakukan sekarang adalah fokus ke pekerjaan freelance, tapi ada beberapa. Repot memang, tapi setidaknya tetap ada penghasilan tetap dan bisa menabung.
  • Green Card Lottery atau hal sejenisnya. Pindah ke luar negeri adalah impian utama saya. Karena di beberapa negara, umur tidak menjadi halangan seseorang untuk bekerja. Asalkan mau bekerja, dan masih kuat bekerja fisik, pasti bisa dapat penghasilan. Opportunity untuk bekerja freelance dengan kemampuan spesifik yang saya miliki sekarang ini juga lebih banyak. Idealnya sih opsi ini yang diambil, tapi berhasil tidaknya bergantung pada undian yang ada di luar kuasa saya.

Kichi (Kiri) Dan Waco (kanan)

Saya yang senang bekerja dan berkegiatan justru merasa bahwa santai-santai ini berbahaya. Jangan sampai terlena karena ada banyak hal yang sebenarnya bisa dan harus dikerjakan.

  • Saya ingin traveling, pergi nonton konser dan healing. Tapi, ya tidak bisa hanya traveling saja dong. Kenapa tidak saya mencoba cari pekerjaan di Korea? Siapa tahu ada yang tidak mementingkan umur dan bisa saya lamar.
  • Saya ingin membereskan rumah. Ada banyak barang “peninggalan” keluarga dan kedua orang tua yang sebenarnya bisa berguna bagi orang lain. Saya ingin membereskan dan menyumbangkan yang masih layak. 
  • Saya ingin pelihara kelinci lagi. Ini yang paling sulit untuk dilakukan. Soalnya saya ingin traveling, dan akan sulit meninggalkannya di rumah sendirian. Punya binatang peliharaan berarti punya tanggung jawab lebih. Apalagi kelinci ini rentan sakit dan mudah meninggal. Harus benar-benar siap mengurusnya.

Satu-satu kita coba capai mimpi. Semoga 2025 jadi tahun yang baik buat saya. 


30 November 2024

Ternyata Anak Saya Juga Gen Z

 “Mama ini bagaimana sih, aku kan Gen Z.”

Protes Dudu sering terjadi ketika saya komen soal kelakuan anak Gen Z. 

“Loh, emang Gen Z itu tahun berapa?” 

Pertanyaan saya malah membuat dia tambah kesal. Haha. Yah, habis gimana dong. Saya berpikir Gen Z ini adalah teman-teman di kantor, yang senang bicara mental health dan jajan kopi kekinian. Anak-anak di tim saya yang kerja keras di weekdays, tapi weekend-nya having fun gila-gilaan. Senang belajar hal baru, FOMO dan gampang overthinking. 

Kadang saya berpikir Gen Z seperti kelinci. Foto hanya pemanis.

Kalau ditanya apa yang saya dapatkan dari interaksi dengan Gen Z, ini adalah jawabannya: 

Mental Health itu bukan penyakit yang harus disembunyikan.

Generasi yang ini lebih berani dan terbuka soal kesehatan mental mereka. Dosis obat anti-anxiety, rekomendasi psikolog dan psikiater jadi bahan diskusi seperti makanan dan restoran. Dari mereka jugalah, saya memahami bahwa psikiater memang dibutuhkan dan dapat membantu memecahkan masalah. 

Ketika Mama diagnosa kanker dan sulit berkomunikasi, saya memanggil psikiater rumah sakit untuk berkunjung dan memberikan obat. Hasilnya, Mama jadi sempat pamit dan ngobrol sebelum akhirnya berpulang. Mental Health awareness berguna bukan hanya bagi anak muda, tetapi juga orang tua. Post-power syndrome bagi pekerja pensiun atau lansia aktif yang terkena penyakit berat dan harus bed rest. Ini semua sering membutuhkan bantuan mental health expert, dan saya belajar dari para Gen Z ini untuk tidak mengabaikan kemungkinan ini. 

Overthinking dulu Insecure kemudian. 

Saya langsung merasa overthinking saya normal. Beberapa rekan dan kenalan yang Gen Z. memiliki kemampuan overthinking yang membuat saya jadi overthinking juga. Ini saya yang “normal” atau saya memang kurang memikirkan segala sesuatunya dengan baik? 

Overthinking bukan hal positif jika dilakukan secara berlebihan, tapi ini sebenarnya adalah self-defense mechanism yang dimiliki manusia untuk meminimalisir resiko. Atau setidaknya begitulah yang saya pikirkan. Yang penting jangan sampai kedua hal ini menghambat saya dalam berkembang dan belajar. 

Work-Life Balance itu Penting

Kerja memang harus, tapi bersenang-senang juga jalan terus. Uang kalau hanya mengendap di tabungan juga buat apa? Meskipun ini bukan mindset general Gen Z, beberapa teman saya memilikinya. Gadget dicicil. Ketika cicilannya lunas, sebulan dua bulan kemudian tukar tambah dengan yang baru dan mulai mencicil lagi. Saya yang terbiasa membayar lunas semuanya jadi membandingkan gaya hidup saya juga. 

Menabung itu perlu. Banyak Gen Z yang saya kenal punya emergency fund cukup besar. Soalnya mereka pernah kena layoff dan faham resiko kerja di perusahaan startup. Yes, biasanya mereka kerja di startup karena tantangan dan gaji yang besar. Namun, pengeluaran mereka juga cenderung besar karena mereka suka pakai gadget terbaru. Beberapa juga menghabiskan uang di skincare dan liburan ke luar negeri. Intinya ya itu, ada alokasi dana untuk bersenang-senang. 

Menghadapi rekan kerja yang semakin hari semakin muda, bahkan saya pernah punya intern yang umurnya hanya beda beberapa tahun dengan Dudu, membuat saya berpikir bahwa saya semakin tua haha. Untungnya gap antar generasi biasanya tidak terlalu terasa, dan saya seringkali bisa menyesuaikan diri. 

Kuncinya hanya satu: mau berpikiran terbuka. 


17 November 2024

Sebuah Refleksi tentang Literasi Digital untuk Perempuan

 “Bisa dicek emailnya ya, Mbak.” 

Kalimat ini terdengar sederhana tapi tidak semua bisa melakukannya. Kok gitu? Iya, jadi sepanjang perjalanan saya mengurus komunitas, yang baru 3 tahun kemarin itu, saya menemukan bahwa literasi digital ini penting adaya.

Di sebuah hasil polling Apps Populix, sebagian besar responden bilang kalau mereka malas buka email karena terlalu banyak yang isinya promosi. Lalu muncul Gmail yang memisahkan email pribadi dan promosi atau Outlook yang punya folder “focused” untuk memfilter email langganan. Lah, ini berarti sebenarnya literasi digital kita sudah maju dong.

Mungkin.

Kenapa saya bilang mungkin? Soalnya kalau saya mengirimkan email zoom link event komunitas, banyak yang kebinggungan mencari folder spam/junk atau di mana bisa lihat email yang masuk ke “update”. Belum lagi kalau ternyata email di ponsel dan laptop tidak sync, jadi pas dicari ya emailnya tidak ditemukan. Jadi literasi digital bukan sekedar tahu cara membuka email. Tetapi juga memilah isinya dan menemukan pesan yang dicari.

Kenapa tujuannya perempuan? Sebenarnya ini ya karena dunia saya banyak berurusan dengan perempuan dan terbentur kemampuan mereka untuk memanfaatkan teknologi. Termasuk saya.

Ketika Dudu mendaftar kuliah menggunakan “Common App,” saya culture shock. Jaman dulu kita manual mengirimkan berkas lewat email atau pos. Sekarang dia mengisi semuanya secara online, sekolahnya mengupload nilai secara online juga dan decision dari kampus tujuan juga diberikan secara online. Cuma pakai satu app.

Ini, lho. Dari bayi sudah pegang komputer.

24 October 2024

Tahun Ini Adalah Tahun Ke-20 Saya Ngeblog

Tahun ini adalah tahun ke-20 saya ngeblog. Eh, sudah selama itu ya? Ya, Dudu saja sudah 18 tahun, jadi sebenarnya masuk akal sih.

Pada zaman itu, blogging hanyalah sebuah hobby atau diary online. Dan tujuannya blogging, selain curhat adalah untuk mendokumentasikan kegiatan sehari-hari Dudu. Makanya nama blognya juga Andrew and me. Dudu dan saya.

Seiring berjalannya waktu, blognya berubah. Saya pulang ke tanah air, Dudu semakin besar dan tulisan semakin banyak. Bukan hanya tentang parenting atau ide nge-date di Jakarta, tetapi juga tentang kehidupan saya sebagai single mom. Lalu, saya mulai ambisi. Ketika menulis sudah tidak lagi menjadi pekerjaan utama, blog saya mulai jadi penghasilan. Alias saya jadi blogger part-time yang happy ketika diundang liputan dengan kewajiban menulis. Namun, karena blog saya adalah blog gratisan, undangannya juga jadi terbatas.



Ambisi yang kedua adalah punya blog lebih dari satu. 

14 October 2024

Museum Forward and The Adaptive Way to Embrace Changes

Whenever I told people that I want to pursue a degree in Cultural Anthropology, people asked, “what do you want to do with it?” I had no clue. I just love the different cultures, different viewpoints, then eventually translated to arts and museums. I started to wonder how these preservation sites work, the curation and the marketing process. So, when a social media post about Museum Forward, the first international best practice forum on museums and heritage, appeared on my timeline, I signed up.

I attended the Museum Forward 2-day public conference which is an eye-opening matter when it comes to museums. Held at BJ Habibie Building, BRIN (National Research and Innovation Agency), the forum brings together museum and heritage practitioners from all over the world, every session presents an interesting subject. What do I bring home from spending two days among these experts?


Museums used to be pictured as a place to preserve artifacts or history for the future generation, and this is where the problem lies. You’ll see museums usually preserve something by limiting interaction with the objects, while they should have made it accessible. Things like traditional music instruments are more meaningful when it’s played, compared to being displayed in a museum. So, museums nowadays have to go beyond preservation, by becoming a cultural hub to conserve what we have for the future.

Some museums, like the Louvre at Abu Dhabi, are moving away from encyclopedic approach to narrative viewpoint. Manuel Rabaté, Director of Louvre Abu Dhabi, France-UAE, shared that to do this, we must “question what stories can we share with the visitors.” Encourage cultural dialogues by taking in global conversations, and make sure to find the best practices to be implemented. Don’t be afraid to learn from children's museums as they know what they are doing and who their target audiences are.

Then the questions are there: how do you create a new narrative?

Sharmini Pereira, Chief Curator Museum of Modern & Contemporary Art Sri Lanka, Colombo, shared what it means to have a modern and contemporary art museum in Sri Lanka, which is known more for its conflicts. She included artworks, programs and conversations to include everyone on different sides of the conflicts. Her narratives go around the conflict itself, with culture and history as the connecting elements.

A different approach came from Victor Cageao, General Coordinator of Conservation, Museo Nacional del Prado, Madrid. Showing the transformations at the museum, where originally, “Europe has the tendency to accumulate collections,” to the current simplistic look with best or curated items on display. Sculptures and paintings which used to be placed in separate rooms are now put together to create a dialogue. “It’s often said that the museum has improved a lot because it has changed little,” he said.

And no, “creating a new narrative doesn’t mean losing its identity,” he assured. One can incorporate other voices. For example, instead of displaying items only from a certain period, a museum may put together similar arts from different periods and places. A room where golden masks from around the world are seen side by side, may bring new narratives on masks and how they are connected to or very different from one another. Another way is to deepen the creative process, as in introducing the artists not just as part of the artworks displayed but as a person.

When day one is about best practices and perspectives, day two highlights collaborative approaches to museums and cultural heritage. What kind of collaborative approach? Indonesia Bertutur brings performances to museums, while Indonesian Heritage Society gathers up the communities for collaboration. M+, Hong Kong hosts experiences to encourage the younger generation to play an active role in protecting, developing and utilizing the cultural heritage.


Collaborative approach is also crucial in building the museum’s brand, which is a public perception of the museum. Some rules to brand-related:
  • You can’t satisfy everybody, so focus on differentiating yourself instead. How? You only get one idea; if you add “and,” the effectiveness evaporates. Narrow down the focus.
  • Add more human interaction because it deepens the belonging.
  • Pay attention to your museum’s communication through different channels like architecture, lighting and atmosphere, art arrangements or label and interpretation.
So, it was a fruitful session, on interesting topics. While I’m simply just a museum enthusiast, most insights are actually applicable in my industry of non-profit organization. How to do branding and what we should shout in our messages. The sessions got me to reflect on how I did my campaigns and developed my programs. Something to keep for 2025.

09 August 2024

Sebuah Cerita Tentang Keputusan untuk Menunda

Awal tahun ini, Dudu dan saya mengambil sebuah keputusan besar untuk menunda kuliah. Alasannya karena keluarga.

Sebenarnya hal ini wajar, karena di sekeliling saya, dia bukan satu-satunya yang menunda kuliah. Penyebabnya juga banyak. Ada yang karena dana, ada yang ingin langsung mandiri dan ada yang memang mengambil pendidikan tinggi lainnya. Kasus Dudu juga termasuk yang ringan, soalnya menunda kuliahnya cuma 6 bulan, alias berencana masuk di Januari 2025. Yah, saya juga dulu ada “break” 6 bulan dari lulus SMA ke masuk kuliah. Alasannya malah lebih parah, saya capek belajar yang diharuskan dan mau senang-senang saja.

Bisa #DateWithDudu lagi

Jadilah, saya mengambil les Bahasa Perancis selama 6 bulan, sambil menunggu tanggal keberangkatan. Sekarang, Dudu mengambil kursus bahasa Mandarin sambil melanjutkan les gitar.

Jika memutuskan untuk tidak langsung masuk kuliah, bagaimana kita mengisi gap year? Well, ini yang kami lakukan:
  • Ambil kursus dan pelatihan. Karena sudah tidak ada kegiatan sekolah secara rutin, maka sekarang Dudu bisa ikut kelas dan pelatihan. Selain kursus bahasa asing dan les gitar, dia juga jadi sering ikutan workshop yang sesuai dengan jurusan kuliahnya kelak. Misalnya kalau ada kelas menulis script atau kelas tentang film. Kegiatan ini juga bisa jadi latihan untuk kuliah. Maksudnya latihan mengatur jadwal sendiri dan mengambil hanya kelas-kelas yang disuka.
  • Volunteer / Menjadi Relawan. Meskipun menarik, hal ini juga sedikit tricky. Banyak yang membuka posisi relawan namun mengharuskan pelamar sudah masuk kuliah. “Pengangguran” yang hanya punya ijazah SMA seperti Dudu sering kesulitan memposisikan diri. Sebulan terakhir ini, dia sedang gencar mendaftar jadi relawan di beberapa event yang sesuai dengan minatnya. Namun, belum ada yang berhasil diterima.
  • #DateWithDudu. Karena technically dia nganggur, kita jadi bisa nge-date lagi. Jadi waktu gap months ini bisa dipergunakan untuk quality time sebelum dia masuk kuliah. Kita jadi lebih sering mencoba restoran baru, pergi ke event barengan dan nonton film bersama. PRnya tinggal menuliskannya di blog.
  • ‘Me time’. Dudu jadi bisa melakukan hal-hal yang dia sukai seperti menamatkan game PS yang sudah lama ditundanya atau mabar bersama teman-temannya. Menulis script film yang kemarin tertunda karena belajar ujian dan menyelesaikan baca komik yang kemarin ditinggalkannya. Belajar masak untuk siap-siap hidup mandiri dan magang di coffee shop juga jadi pilihannya untuk ‘me time’. Kalau menurutnya, dia lega karena sebelumnya khawatir tidak akan sempat main PS4 lagi sebelum kuliah.

24 June 2024

Review Buku: Conscious Diet oleh dr. Yovi

Judul buku ini membuat saya berpikir dua kali. Conscious Diet. Memangnya selama ini kita tidak sadar ya kalau diet? Ternyata artinya lebih dari sekedar sadar bahwa kita sedang menjalani diet, melainkan sadar akan diri kita dan tujuan diet kita. Mengenali diri kita sepenuhnya agar diet yang dilakukan berhasil.

Buku Conscious Diet oleh dr Yovi

Buku setebal 101 halaman ini isinya padat dan praktis. Bukan hanya narasi tapi juga ada rumus BMI, kuis tipe tubuh dan rekomendasi pola diet serta olahraga yang bisa diikuti. Dan karena bukunya juga ringan, jadi bisa dibawa dalam tas untuk bacaan sembari menunggu, atau dijadikan bahan pembicaraan dengan teman.

Mengenali diri sendiri mulai dari mana? Buku Conscious Diet dimulai dengan Bab berjudul “Anda adalah Gaya Hidup Anda.” Pada Bab ini pembaca diajak berkenalan dengan kalori dan BMI. Membahas diet sebagai kalori masuk dan kalori keluar, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hitung-hitungan simple kalori.

“Kenali jenis tubuhmu sebelum mulai diet,” saran dr. Yovi Yoanita, M.Kes (gizi) FAARM, ABRAAM, pengarang buku Conscious Diet pada acara “Brunch Date with dr Yovi” yang digagas oleh Female Digest di YClinic Bintaro beberapa waktu lalu.

“Brunch Date with dr Yovi” yang membahas tentang buku Conscious Diet ini

Bab 4 yang berjudul “Mengenal Diri, Mengenal Tipe Badan,” ada di halaman 75. Bab ini dimulai dengan kuis sederhana yang membantu kita mengenali apa tipe badan kita. Dari sini kita tahu diet apa yang cocok untuk kita jalani.

Saya jadi tahu bahwa tipe tubuh saya adrenal dan dianjurkan untuk melakukan olahraga yang tidak memicu stress, tidak mengurangi porsi makan secara drastis, dan menjaga kuantitas serta kualitas tidur.

12 June 2024

Rahasia Sukses Diet Itu Ada di Mindset

Pernah gagal diet? Tenang, kamu tidak sendirian. Banyak yang sudah semangat untuk diet, namun tetap saja ngemil tengah malam sambil nonton Drakor favorit dengan alasan reward. Saya tidak pernah mencoba diet, karena tahu akan gagal duluan dengan keribetan yang datang bersama pola makan sehat. Kemarin, saya mendapatkan sudut pandang baru tentang diet, yang mengajarkan bahwa diet bukan hanya menghitung kalori, tetapi juga cara memahami diri sendiri. Kok bisa?

“Brunch Date with dr. Yovi” bersama Female Digest (photo: Female Digest)

Pada hari Minggu, 9 Juni 2024 saya menghadiri acara “Brunch Date with dr. Yovi” yang digagas oleh Female Digest. Acara yang diselenggarakan di YClinic Bintaro ini dimulai dengan sharing session & bedah buku Conscious Diet oleh dr. Yovi Yoanita, M.Kes (gizi) FAARM, ABRAAM, lalu diikuti assessment pengembangan kepribadian ditinjau dari sisi kesehatan, clinic tour dan ditutup dengan makan siang bersama. Acara yang interaktif ini dihadiri sekitar 20 orang blogger dari Jabodetabek, semuanya antusias untuk sharing dan belajar lebih banyak tentang wellness.

Acara ini juga didukung oleh Radiant, yang mengenalkan produk probiotik serta peranannya dalam membantu menjaga berat badan. Apt. Sylvia Kartika Anggraini, S. Farm menjelaskan bahwa "penurunan berat badan itu harus diperbaiki dari berbagai sisi, misalnya apakah pencernaan saya bagus, supaya apapun yang kita makan itu penyerapannya bisa optimal atau apapun yang kita makan itu bisa dibuang sisanya dengan optimal." Di sinilah probiotik berperan.

Apt. Sylvia Kartika Anggraini S. Farm dari Radiant

Di acara ini, saya belajar bahwa diet bukan semata-mata mengurangi kalori biar cepat kurus. Biasanya orang yang mencoba diet akan terperangkap dalam lingkaran setan, yaitu merasa bentuk tubuh kurang ideal, melakukan diet, frustrasi, gagal diet dan tubuh kembali ke bentuk semula. “Diet itu bukan nggak makan, tetapi mengatur ulang pola makan,” kata dr. Yovi, lalu menjelaskan bahwa biasanya orang tidak bertahan karena memang dietnya salah. Lalu gagal dan kembali lagi ke awal, yaitu tidak happy sama tubuhnya sendiri.

Di sinilah pentingnya kita, sebagai yang punya wacana diet, untuk memahami diri sendiri. Apa bentuk tubuh kita? Lalu, BMI kita berapa? Alasan diet kita apa? Bukan hanya ingin kurus lalu auto mengurangi makan. Bedanya apa dengan diet biasa? Jika kita mengenal diri sendiri, mengurangi kalori yang berlebihan dapat dilakukan dengan tepat dan tanpa tekanan. Semuanya bisa ditemukan di buku Conscious Diet yang ditulis dr. Yovi.