24 October 2024

Tahun Ini Adalah Tahun Ke-20 Saya Ngeblog

Tahun ini adalah tahun ke-20 saya ngeblog. Eh, sudah selama itu ya? Ya, Dudu saja sudah 18 tahun, jadi sebenarnya masuk akal sih.

Pada zaman itu, blogging hanyalah sebuah hobby atau diary online. Dan tujuannya blogging, selain curhat adalah untuk mendokumentasikan kegiatan sehari-hari Dudu. Makanya nama blognya juga Andrew and me. Dudu dan saya.

Seiring berjalannya waktu, blognya berubah. Saya pulang ke tanah air, Dudu semakin besar dan tulisan semakin banyak. Bukan hanya tentang parenting atau ide nge-date di Jakarta, tetapi juga tentang kehidupan saya sebagai single mom. Lalu, saya mulai ambisi. Ketika menulis sudah tidak lagi menjadi pekerjaan utama, blog saya mulai jadi penghasilan. Alias saya jadi blogger part-time yang happy ketika diundang liputan dengan kewajiban menulis. Namun, karena blog saya adalah blog gratisan, undangannya juga jadi terbatas.



Ambisi yang kedua adalah punya blog lebih dari satu. 

14 October 2024

Museum Forward and The Adaptive Way to Embrace Changes

Whenever I told people that I want to pursue a degree in Cultural Anthropology, people asked, “what do you want to do with it?” I had no clue. I just love the different cultures, different viewpoints, then eventually translated to arts and museums. I started to wonder how these preservation sites work, the curation and the marketing process. So, when a social media post about Museum Forward, the first international best practice forum on museums and heritage, appeared on my timeline, I signed up.

I attended the Museum Forward 2-day public conference which is an eye-opening matter when it comes to museums. Held at BJ Habibie Building, BRIN (National Research and Innovation Agency), the forum brings together museum and heritage practitioners from all over the world, every session presents an interesting subject. What do I bring home from spending two days among these experts?


Museums used to be pictured as a place to preserve artifacts or history for the future generation, and this is where the problem lies. You’ll see museums usually preserve something by limiting interaction with the objects, while they should have made it accessible. Things like traditional music instruments are more meaningful when it’s played, compared to being displayed in a museum. So, museums nowadays have to go beyond preservation, by becoming a cultural hub to conserve what we have for the future.

Some museums, like the Louvre at Abu Dhabi, are moving away from encyclopedic approach to narrative viewpoint. Manuel Rabaté, Director of Louvre Abu Dhabi, France-UAE, shared that to do this, we must “question what stories can we share with the visitors.” Encourage cultural dialogues by taking in global conversations, and make sure to find the best practices to be implemented. Don’t be afraid to learn from children's museums as they know what they are doing and who their target audiences are.

Then the questions are there: how do you create a new narrative?

Sharmini Pereira, Chief Curator Museum of Modern & Contemporary Art Sri Lanka, Colombo, shared what it means to have a modern and contemporary art museum in Sri Lanka, which is known more for its conflicts. She included artworks, programs and conversations to include everyone on different sides of the conflicts. Her narratives go around the conflict itself, with culture and history as the connecting elements.

A different approach came from Victor Cageao, General Coordinator of Conservation, Museo Nacional del Prado, Madrid. Showing the transformations at the museum, where originally, “Europe has the tendency to accumulate collections,” to the current simplistic look with best or curated items on display. Sculptures and paintings which used to be placed in separate rooms are now put together to create a dialogue. “It’s often said that the museum has improved a lot because it has changed little,” he said.

And no, “creating a new narrative doesn’t mean losing its identity,” he assured. One can incorporate other voices. For example, instead of displaying items only from a certain period, a museum may put together similar arts from different periods and places. A room where golden masks from around the world are seen side by side, may bring new narratives on masks and how they are connected to or very different from one another. Another way is to deepen the creative process, as in introducing the artists not just as part of the artworks displayed but as a person.

When day one is about best practices and perspectives, day two highlights collaborative approaches to museums and cultural heritage. What kind of collaborative approach? Indonesia Bertutur brings performances to museums, while Indonesian Heritage Society gathers up the communities for collaboration. M+, Hong Kong hosts experiences to encourage the younger generation to play an active role in protecting, developing and utilizing the cultural heritage.


Collaborative approach is also crucial in building the museum’s brand, which is a public perception of the museum. Some rules to brand-related:
  • You can’t satisfy everybody, so focus on differentiating yourself instead. How? You only get one idea; if you add “and,” the effectiveness evaporates. Narrow down the focus.
  • Add more human interaction because it deepens the belonging.
  • Pay attention to your museum’s communication through different channels like architecture, lighting and atmosphere, art arrangements or label and interpretation.
So, it was a fruitful session, on interesting topics. While I’m simply just a museum enthusiast, most insights are actually applicable in my industry of non-profit organization. How to do branding and what we should shout in our messages. The sessions got me to reflect on how I did my campaigns and developed my programs. Something to keep for 2025.

09 August 2024

Sebuah Cerita Tentang Keputusan untuk Menunda

Awal tahun ini, Dudu dan saya mengambil sebuah keputusan besar untuk menunda kuliah. Alasannya karena keluarga.

Sebenarnya hal ini wajar, karena di sekeliling saya, dia bukan satu-satunya yang menunda kuliah. Penyebabnya juga banyak. Ada yang karena dana, ada yang ingin langsung mandiri dan ada yang memang mengambil pendidikan tinggi lainnya. Kasus Dudu juga termasuk yang ringan, soalnya menunda kuliahnya cuma 6 bulan, alias berencana masuk di Januari 2025. Yah, saya juga dulu ada “break” 6 bulan dari lulus SMA ke masuk kuliah. Alasannya malah lebih parah, saya capek belajar yang diharuskan dan mau senang-senang saja.

Bisa #DateWithDudu lagi

Jadilah, saya mengambil les Bahasa Perancis selama 6 bulan, sambil menunggu tanggal keberangkatan. Sekarang, Dudu mengambil kursus bahasa Mandarin sambil melanjutkan les gitar.

Jika memutuskan untuk tidak langsung masuk kuliah, bagaimana kita mengisi gap year? Well, ini yang kami lakukan:
  • Ambil kursus dan pelatihan. Karena sudah tidak ada kegiatan sekolah secara rutin, maka sekarang Dudu bisa ikut kelas dan pelatihan. Selain kursus bahasa asing dan les gitar, dia juga jadi sering ikutan workshop yang sesuai dengan jurusan kuliahnya kelak. Misalnya kalau ada kelas menulis script atau kelas tentang film. Kegiatan ini juga bisa jadi latihan untuk kuliah. Maksudnya latihan mengatur jadwal sendiri dan mengambil hanya kelas-kelas yang disuka.
  • Volunteer / Menjadi Relawan. Meskipun menarik, hal ini juga sedikit tricky. Banyak yang membuka posisi relawan namun mengharuskan pelamar sudah masuk kuliah. “Pengangguran” yang hanya punya ijazah SMA seperti Dudu sering kesulitan memposisikan diri. Sebulan terakhir ini, dia sedang gencar mendaftar jadi relawan di beberapa event yang sesuai dengan minatnya. Namun, belum ada yang berhasil diterima.
  • #DateWithDudu. Karena technically dia nganggur, kita jadi bisa nge-date lagi. Jadi waktu gap months ini bisa dipergunakan untuk quality time sebelum dia masuk kuliah. Kita jadi lebih sering mencoba restoran baru, pergi ke event barengan dan nonton film bersama. PRnya tinggal menuliskannya di blog.
  • ‘Me time’. Dudu jadi bisa melakukan hal-hal yang dia sukai seperti menamatkan game PS yang sudah lama ditundanya atau mabar bersama teman-temannya. Menulis script film yang kemarin tertunda karena belajar ujian dan menyelesaikan baca komik yang kemarin ditinggalkannya. Belajar masak untuk siap-siap hidup mandiri dan magang di coffee shop juga jadi pilihannya untuk ‘me time’. Kalau menurutnya, dia lega karena sebelumnya khawatir tidak akan sempat main PS4 lagi sebelum kuliah.

24 June 2024

Review Buku: Conscious Diet oleh dr. Yovi

Judul buku ini membuat saya berpikir dua kali. Conscious Diet. Memangnya selama ini kita tidak sadar ya kalau diet? Ternyata artinya lebih dari sekedar sadar bahwa kita sedang menjalani diet, melainkan sadar akan diri kita dan tujuan diet kita. Mengenali diri kita sepenuhnya agar diet yang dilakukan berhasil.

Buku Conscious Diet oleh dr Yovi

Buku setebal 101 halaman ini isinya padat dan praktis. Bukan hanya narasi tapi juga ada rumus BMI, kuis tipe tubuh dan rekomendasi pola diet serta olahraga yang bisa diikuti. Dan karena bukunya juga ringan, jadi bisa dibawa dalam tas untuk bacaan sembari menunggu, atau dijadikan bahan pembicaraan dengan teman.

Mengenali diri sendiri mulai dari mana? Buku Conscious Diet dimulai dengan Bab berjudul “Anda adalah Gaya Hidup Anda.” Pada Bab ini pembaca diajak berkenalan dengan kalori dan BMI. Membahas diet sebagai kalori masuk dan kalori keluar, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan hitung-hitungan simple kalori.

“Kenali jenis tubuhmu sebelum mulai diet,” saran dr. Yovi Yoanita, M.Kes (gizi) FAARM, ABRAAM, pengarang buku Conscious Diet pada acara “Brunch Date with dr Yovi” yang digagas oleh Female Digest di YClinic Bintaro beberapa waktu lalu.

“Brunch Date with dr Yovi” yang membahas tentang buku Conscious Diet ini

Bab 4 yang berjudul “Mengenal Diri, Mengenal Tipe Badan,” ada di halaman 75. Bab ini dimulai dengan kuis sederhana yang membantu kita mengenali apa tipe badan kita. Dari sini kita tahu diet apa yang cocok untuk kita jalani.

Saya jadi tahu bahwa tipe tubuh saya adrenal dan dianjurkan untuk melakukan olahraga yang tidak memicu stress, tidak mengurangi porsi makan secara drastis, dan menjaga kuantitas serta kualitas tidur.

12 June 2024

Rahasia Sukses Diet Itu Ada di Mindset

Pernah gagal diet? Tenang, kamu tidak sendirian. Banyak yang sudah semangat untuk diet, namun tetap saja ngemil tengah malam sambil nonton Drakor favorit dengan alasan reward. Saya tidak pernah mencoba diet, karena tahu akan gagal duluan dengan keribetan yang datang bersama pola makan sehat. Kemarin, saya mendapatkan sudut pandang baru tentang diet, yang mengajarkan bahwa diet bukan hanya menghitung kalori, tetapi juga cara memahami diri sendiri. Kok bisa?

“Brunch Date with dr. Yovi” bersama Female Digest (photo: Female Digest)

Pada hari Minggu, 9 Juni 2024 saya menghadiri acara “Brunch Date with dr. Yovi” yang digagas oleh Female Digest. Acara yang diselenggarakan di YClinic Bintaro ini dimulai dengan sharing session & bedah buku Conscious Diet oleh dr. Yovi Yoanita, M.Kes (gizi) FAARM, ABRAAM, lalu diikuti assessment pengembangan kepribadian ditinjau dari sisi kesehatan, clinic tour dan ditutup dengan makan siang bersama. Acara yang interaktif ini dihadiri sekitar 20 orang blogger dari Jabodetabek, semuanya antusias untuk sharing dan belajar lebih banyak tentang wellness.

Acara ini juga didukung oleh Radiant, yang mengenalkan produk probiotik serta peranannya dalam membantu menjaga berat badan. Apt. Sylvia Kartika Anggraini, S. Farm menjelaskan bahwa "penurunan berat badan itu harus diperbaiki dari berbagai sisi, misalnya apakah pencernaan saya bagus, supaya apapun yang kita makan itu penyerapannya bisa optimal atau apapun yang kita makan itu bisa dibuang sisanya dengan optimal." Di sinilah probiotik berperan.

Apt. Sylvia Kartika Anggraini S. Farm dari Radiant

Di acara ini, saya belajar bahwa diet bukan semata-mata mengurangi kalori biar cepat kurus. Biasanya orang yang mencoba diet akan terperangkap dalam lingkaran setan, yaitu merasa bentuk tubuh kurang ideal, melakukan diet, frustrasi, gagal diet dan tubuh kembali ke bentuk semula. “Diet itu bukan nggak makan, tetapi mengatur ulang pola makan,” kata dr. Yovi, lalu menjelaskan bahwa biasanya orang tidak bertahan karena memang dietnya salah. Lalu gagal dan kembali lagi ke awal, yaitu tidak happy sama tubuhnya sendiri.

Di sinilah pentingnya kita, sebagai yang punya wacana diet, untuk memahami diri sendiri. Apa bentuk tubuh kita? Lalu, BMI kita berapa? Alasan diet kita apa? Bukan hanya ingin kurus lalu auto mengurangi makan. Bedanya apa dengan diet biasa? Jika kita mengenal diri sendiri, mengurangi kalori yang berlebihan dapat dilakukan dengan tepat dan tanpa tekanan. Semuanya bisa ditemukan di buku Conscious Diet yang ditulis dr. Yovi.

11 June 2024

Cafe Inspirasi Latar Belakang Cerita Fiksi

Ini adalah sebuah cerita fiksi.

Awal tahun ini, saya memutuskan untuk membuat sebuah cerita dengan latar belakang cafe sebagai partisipasi dalam tantangan menulis 30 Hari Bercerita di Instagram. Cafe yang ada di bayangan saya adalah sebuah tempat sederhana, alias neighborhood coffee shop, yang terletak di suburban Midwest Amerika. Pengunjungnya adalah para mahasiswa yang sedang menimba ilmu, dan penduduk setempat di sana. Lalu keterusan dan cerita Fresh Start Cafe ini permanen ada di Instagram Fiksi saya.

Kenapa cafe? Selain karena cafe adalah tempat banyak orang bertemu, cafe juga bisa menghadirkan beragam makanan dan minuman yang unik. Saya tidak bisa masak. Tapi bisa membuat makanan dengan bantuan Bing haha.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan di cafe, mulai dari membaca buku, bertemu teman, belajar ujian, hingga mengerjakan tulisan. Setiap cafe punya ceritanya sendiri, dan cafe-cafe inilah yang menjadi inspirasi saya membangun Fresh Start Cafe.

30 May 2024

Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Melakukan Sesuatu yang Disukai

“Kok elo umur kepala 4 masih nonton konser?”
Bukan cuma nonton konser, tapi mengejar idol sampai ke Korea.

“Lah, kalo lo nonton, Dudu ditinggal?”
Soalnya kalo diajak, dia tidur. Terus habis itu ngomel-ngomel sendiri karena mendingan di rumah main PS atau nonton Netflix.

“Kok tega ninggalin anak?”
Jangankan konser ke kabupaten sebelah, saya pernah nonton konser sendirian di Kuala Lumpur. Dudu ya sama opa omanya di rumah. 

Jalan hidup saya terbalik dengan kebanyakan orang. Ketika yang lain sibuk travelling, party, nonton konser dan mengejar idol-nya, saya sedang jadi ibu tunggal. Nah, sekarang ketika semua orang di sekitar saya sedang fokus berkeluarga, saya malah ada di lokasi konser idol Kpop bersama ribuan anak-anak yang umurnya tidak beda jauh dengan Dudu. Ada emak-emak nyasar yang terlambat ngefans sama Kpop. Eh, memangnya itu terlambat?

Akhirnya nonton konser CNBlue, meski beli tiket H-1.

“Kalo Dudu udah kuliah, lo mau apa?”
“Gue mau kuliah lagi, ambil S2.”

Saya memperhatikan kebingungan di raut wajah lawan bicara saya. Sudahkah terlambat untuk ingin mengambil S2, sekolah lagi mencari gelar yang sesuai passion saya? Banyak tawaran kuliah yang hadir di sepanjang karir saya. Namun jurusannya ya itu, bisnis, marketing dan sejenisnya. Sementara saya inginnya belajar antropologi, ethics atau social work. Tidak nyambung dengan pekerjaan sekarang. 

Apakah saya menyesal?

Sempat terlintas, seandainya saya lebih muda, tentu nonton konser sambil berdiri 3,5 jam bukan hal mustahil. Saya tidak perlu pegal-pegal pegal sampai tiga hari dan tumbang seharian hanya karena terlalu euphoria di konser. Atau mungkin, tidak perlu merasa ilfil ketika idol yang ada di panggung mulai gombal kepada penontonnya hanya karena usia mereka setidaknya 5 tahun lebih muda dari saya. Berondong. Tapi menikmati konser Kpop di usia ini, di mana sudah tidak sanggup antri berjam-jam, juga bukan sebuah keterlambatan.

Soalnya waktu semua orang sibuk dengan idol-nya, saya sibuk membesarkan Dudu. Jadi ya mau bagaimana lagi kalau pilihannya begitu?

Pertemuan saya dengan Idol Kpop yang termasuk terlambat itu membawa dampak besar dalam hidup dan mimpi saya. Di usia 30+, saya belajar lagi bahasa baru, bahasa Korea. Yang kalau dipikir-pikir tahun ini adalah tahun ke-7 tahun saya tekuni. Lalu tahun ini, saya juga mendaftar untuk jadi Honorary Reporter di Koreanet. Hanya karena saya kangen dengan kegiatan sebagai jurnalis, sekaligus ingin melakukan sesuatu sebagai fans Kpop. Belum lagi, akhir tahun lalu saya mulai mencoba menulis fiksi dengan lebih serius. Bisa ditebak, latar belakang dan karakter yang muncul ya lagi-lagi berhubungan dengan Kpop dan Korea. Belajar bahasa dan belajar menulis fiksi, semua di usia yang sepertinya kok terlambat. Soalnya teman-teman yang ikutan, semua umurnya lebih muda. 

Kalo nonton, yang diajak si boneka ini

Hal ini mungkin akan terjadi ketika kelak saya beneran kuliah S2. Teman-teman yang usianya lebih dekat dengan Dudu, masih muda-muda dan mungkin sanggup begadang menyelesaikan thesis. Daya ingat yang lebih kuat, lebih mudah menghafal waktu ujian. Kemampuan analisa yang lebih tajam karena belum lama terjeda dari masa kuliah yang sebelumnya. Tapi ini tentunya bukan alasan bagi saya untuk tidak jadi kuliah lagi. Justru mungkin saya akan lebih santai menjalani kuliah karena tidak ada beban karir yang menanti di ujung jalan. 

Memulai sesuatu belakangan, bukan berarti kita tidak bisa mengejarnya dengan senang hati. Ada kok, kebahagiaan yang hadir ketika kita berada selangkah lebih di belakang. Kita jadi punya waktu untuk mengamati jalan yang akan diambil dengan lebih jelas. Misalnya jadi lebih bisa mengatur prioritas ketika menonton konser. Atau jadi punya semangat dan motivasi lebih untuk mencapainya. Terutama kalau kita orangnya kompetitif. Bisa belajar lebih fleksibel juga. Sebagai ibu-ibu, tentunya saya harus berpikir ke mana Dudu harus saya titipkan kalau saya mau pergi nonton konser selama 4 jam? 

Terlambat atau tepat waktu, yang pasti, nikmati saja perjalanannya. Semua toh akan indah pada waktunya.


27 May 2024

Creating Healthy Boundaries Starts With Me

How often are we hesitating to say no to a request? Just because we want to prevent inconveniencing others. Or we want to be seen as this helpful person. How often are we doing things beyond our abilities? Just to prove that we're strong enough. Well, I'm sure you're not alone. I struggled with that too.

3 Things We Should Have to Create Healthy Boundaries:

  1. Self-Awareness
  2. Clear Expectation
  3. Communication

Self Awareness

Setting a healthy boundary starts with knowing who we are, what we want and what our preferences are. We need a clear understanding of our thoughts, emotions, and behaviors. How can we create a boundary when we don't know where to draw the line? So, it starts with self awareness. For example, we're not fond of smoke and alcohol. When our circle invites us to go clubbing or hanging out in a lounge, we can comfortably reject them and say we'll join next time they're in a coffee shop. When we have firm boundaries, know what we want and who we are, people come to respect our choices. 

Recognize the different roles we play everyday, healthy boundaries may vary depending on which hat we're wearing. As a mom, for example, healthy boundaries may be our limit, both physical and emotional. Knowing my patience limit may help me say “no” when needed. I can courageously reject additional responsibilities, admit I’m overwhelmed, take a break and ask for help as needed. Realize that we are responsible for how we feel, and we can’t blame others because they made us feel this way. This goes for the opposite, that we’re not responsible for other people’s emotions.

Clear expectation

This should be a two-way interaction. Expectations towards others and expectations to ourselves. An article published by Joe Sanok on Harvard Business Review, titled “A Guide to Setting Better Boundaries,” mentioned two types of boundaries. Hard boundaries are the one we can't compromise and soft boundaries where things are more flexible. Knowing whether it's hard or soft boundaries that we exercise will help us manage our expectations.

For example, a friend of mine has this rule of no smoking near her children. Upon the birth of her third child, she is asked to move back to her parents house to help care for them. It's also easier for her, who is considering going back to work. The problem is, her father is a rather heavy smoker. 

With a hard boundary regarding smoking, she knows that moving back is impossible. Her expectation of her father taking the cigarettes out to the porch every time he wants to smoke might not be fulfilled. Her father expects her to be lenient, while she expects her father to strictly follow the smoking rule. 

Soft boundaries might be about meeting time or what food to eat. Despite not agreeing to move back due to cigarette presence, her parents are still seeing their grandchildren. While they were with their grandparents, she couldn’t strictly enforce what they should eat. The menu is a soft boundary she could compromise.

Communicating clear expectation like this message

Communication

When we know ourselves, and have set a clear expectation, what’s left is communicating them to the outside world. Boundaries aren’t always as clear as a police line. People may not recognize them and accidentally trespass those lines. Therefore, we have to communicate our boundaries clearly. 

Expressing these boundaries needs some degree of assertiveness. Not everyone has this capability and is comfortable establishing boundaries without feeling aggressive or selfish. So, the first thing we do is stating the facts. In my friend’s case, she can say to her father that “I can’t tolerate smoking around children, therefore I can’t move back home unless you stop smoking.” Add an alternative if setting the boundary makes you feel bad. Something like, “but we can visit on weekends.”

As a mom, I can feel exhausted. When a fellow mom starts a conversation, and I don’t feel like listening to their problems, I should be able to say “As much as I want to help, I don’t have the capacity to listen to your problem right now. I’m really sorry.” The same with unsolicited advice. We have the right to reject them, after saying that we respect their opinion.

Boundaries are indeed important. 

I lost several friends due to the boundaries that I set to myself. Mostly because of communication and time boundaries. I don’t usually reply to chat right away. If it’s urgent and if you want a conversation, you should call. Or we can meet and have a chit chat at a cafe. Some of my friends disagreed and went overboard with my late reply. One of them went berserk over how I managed to add a new admin on a group chat I’m responsible for, while ignoring her request for a phone call. I just don’t have the energy to argue with her. I apologize if I made her uncomfortable, told her what she should have done and ignored her ever since. That’s where I drew the line. 

I don’t say what I did was right, but that’s my boundary. I know enough that responding to her negative energy will just exhaust me. I managed my expectations and told her what she could expect of me. Then I communicate those feelings and expectations. I’m done. I felt bad at first because I tend to be a people pleaser. But then, boundaries aren’t meant to include everyone anyway.