14 July 2025

Jadi Kangen Pelihara Kelinci

“Kalo pelihara kelinci, harus siap patah hati.”
Ini selalu jadi pesan saya bagi mereka yang bertanya. Kelinci ini binatang peliharaan yang lucu dan banyak yang tertarik memeliharanya karena terlihat mudah. Bisa dipelihara di rumah, dan sekilas terlihat harmless alias tidak merepotkan. Lalu, setelah kelincinya ada di rumah, barulah kita sadar bahwa semua ini hanya kamuflase di depan.

Salam kenal Dari Waco

Jadi, ketika memutuskan untuk mengadopsi kelinci, siapkan mental bahwa si kelinci bisa tiba-tiba berpulang, meskipun kita sudah memberikan yang terbaik. Patah hati berkali-kali, dan tendensi menyalahkan diri sendiri biasanya terjadi. Ketika godaan untuk mengadopsi kelinci lucu yang menggemaskan datang, coba pikir sekali lagi. Siapkah untuk patah hati?

Kelinci mengajarkan saya bahwa hidup itu dijalani saja setiap hari dengan senang hati. Kelinci-kelinci yang saya pelihara, keluarganya, dan kelinci lain yang saya kenal punya sejuta alasan untuk meninggalkan dunia. Mulai dari keselek makanan, sakit karena lingkungan yang kotor, sakit ketularan kucing liar yang lewat dekat kandangnya, kena jamur anjing tetangga, berantem sama tikus, berantem sama kucing, kedinginan, kepanasan, kebanyakan makan, masalah pencernaan, kaget, stress dan lain sebagainya.

Kalau kelinci mudah mati, berarti kita wajib memberikan yang terbaik setiap hari. Karena, besok bisa saja dia sudah tidak ada.

Namun, terlepas dari semua hal yang bikin sedih, ada banyak hal menyenangkan yang membuat saya akhirnya tetap memelihara kelinci. Walau dititipkan ke rumah orangtuanya si kelinci.

Yang pertama: Kelinci tidak merepotkan.

Lho, katanya tadi susah memelihara agar tidak mati? Iya, betul, tapi sehari-harinya, kelinci ini tidak merepotkan. Seperti kucing, kelinci ini mandi sendiri. Jadi dia bersih. Almarhum Sentaro adalah kelinci rumah yang super bersih. Tidurnya di kamar saya dan tidak pernah pup sembarangan. Pup dan pipis selalu di kamar mandi, dekat selokan pembuangan air. Dia tidak mau makan dan pup di tempat yang sama. Jadi, kalau saya kasih makanan di kamar mandi, dia akan bawa ke luar makanannya.

Sayangnya, tidak semua kelinci begini karena kelinci saya yang berikutnya, mendiang Kichi, adalah kelinci yang jorok, cuek dan berantakan. Sering bertengkar dengan saya hanya masalah dia tidak “cuci kaki” setelah main di luar dan jejak cokelat bertebaran di lantai rumah yang warnanya putih itu.

Yang kedua: Kelinci biayanya murah.

Yes, banyak yang bilang sebaliknya. Tapi, kelinci saya main di taman, makan rumput, hay dan snack home made. Sesekali ada sih makan pelet, tapi biayanya tidak semahal makanan anjing atau kucing. Karena tidak main ke luar rumah, dan bertemu binatang lain, jadi kelincinya ya tidak vaksin atau steril. Makanya jadi rentan sakit, bahkan ketika papasan sama kucing liar yang lewat di tembok, besoknya tiba-tiba jadi jamuran. Kelinci saya juga tidak ada yang beli baju atau punya kandang mewah sih. Malah, Sentaro tidak punya kandang dan tidurnya di ranjang saya.

Yang ketiga: Kelinci tidak butuh perhatian sepanjang waktu.

Cocok buat saya yang cuek. Mereka asyik sendiri bermain, dan banyak menghabiskan waktu buat tidur di siang hari. Kalau saya pulang kantor, mereka akan menyambut dan minta makan. Downside-nya, mengajak bermain kelinci ini agak challenging karena mereka sulit dilatih. Ya, setidaknya kelinci-kelinci yang saya pelihara adalah kelinci yang asyik sendiri. Bukan yang seperti anjing bisa dilempar bola lalu dikejar.

Kangen sebenernya untuk pelihara kelinci sendiri, tapi punya pets adalah sebuah tanggung jawab besar. Kita tidak bisa meninggalkan kelinci lebih dari 24 jam tanpa pengawasan karena mereka jarang bisa mengontrol makanan. Mereka juga hewan pengerat, kalau ditinggal sama kursi rotan, kayu bahkan tembok, semua bisa habis digigitin.


"Kamu Manggil?"


05 May 2025

Ngeblog Next Level? Siapa Takut?

Kalau ada blogger ngumpul buat bertukar cerita dan silaturahmi, hasilnya apa? Ya, blog post dong. Untuk mengisi blog yang berdebu, makanya pertemuan kemarin jadi tulisan.

Hubungannya apa? Well, 2025 ini entah kenapa saya nggak update blog utama. Hanya update di blog traveling karena ikutan challenge. Itu pun, kejar-kejaran dengan deadline. Blog yang ini berdebu. Draftnya ada beberapa tapi tidak pernah ter-publish. Ketika hadir di kumpul-kumpul blogger di rumah Founder ISB, Teh Ani Berta, ternyata bukan saya saja yang punya masalah “hiatus” ini.


Menjawab apa yang terjadi, saya mencoba merefleksikan dengan kondisi saat ini. Tahun 2025, saya resmi pengangguran. Pekerjaan nggak stabil berarti harus cari yang secara freelance. Freelance ini menyita waktu dan tenaga. Harus pitching, melamar, negosiasi, tambal sulam sana sini. Otomatis kegiatan yang tidak menghasilkan uang langsung jadi prioritas kesekian. Termasuk blogging. Apalagi privilege sebagai blogger sudah banyak berkurang dari zaman kejayaannya dulu.

Singkatnya, kalau dulu saya punya pekerjaan tetap serta gaji bulanan, jadi bisa curi-curi waktu ngeblog di saat istirahat, sekarang saya nggak punya waktu istirahat. Semua waktu yang tidak digunakan untuk cari uang adalah terbuang percuma.

Wajar kalau dengan berkurangnya semua privilege dan antusiasme di masyarakat, motivasi ngeblog juga jadi hilang. Ketika kumpul-kumpul kemarin, ini salah satu yang jadi topik bahasan kami selain bagaimana cara masak ikan tanpa bawang merah, mau S2 bidang apa, daun kenikir itu bisa dimakan, menghadapi anak remaja, nostalgia kompasiana dan sejuta topik lainnya yang urgensinya agak sedikit di bawah. Hahaha.

Ada beberapa poin yang saya bawa pulang dari diskusi informal sambil ngemil bolu dan cendol keju di dalam kaleng biscuit itu.

Ingat Kembali Alasan Awal kita Ngeblog

“Saya ngeblog karena saya suka nulis.” Pernyataan tersebut menjadi tamparan buat yang blognya mandeg seperti saya. Kalau memang ngeblog musiman, karena sumber uangnya dari sana, ya mau gimana lagi kalo jadi demotivasi. Nah, kalau yang memang blognya nggak monetized seperti saya? Alasannya apa? Kalau menyukai sesuatu kan seharusnya punya waktu.

Kalau alasan awalnya ngeblog karena uang gimana? Pamor blogger turun, nggak ada brand mau bayar post, terus diam saja, pasrah? Ya, nggak dong. Kita jemput bola, menjaga blog tetap aktif lalu bersama-sama membuktikan kalau kita ini masih eksis, masih relevan.

Fokus pada Niche yang Spesifik dan Sesuai Passion  Sekarang. Cari Inspirasi Baru.


Misalnya kalau dulu kita fokus traveling solo karena masih single, sekarang kita fokus ke parenting karena sudah berkeluarga. Dulu kita ngomongin anak, sekarang anaknya sudah besar, kita kuliah lagi. Jadi, blognya banyak membahas edukasi dan dunia pendidikan. Hidup berjalan dan cerita kita berganti. Rasanya sulit menulis yang tidak sesuai dengan keadaan sekarang, jadi ya jangan takut mencari niche atau fokus ke topik baru.


Creating awareness & Interaction

Jangan berhenti branding. Satu pertanyaan yang dilontarkan Teh Ani membuat saya jadi merenung. “Bagaimana caranya agar brand di luar sana tahu bahwa blogger masih ada?”

Salah satunya, yang muncul dari ajang diskusi, adalah dengan eksis lagi, konsisten ngeblog lagi dan memanfaatkan media sosial yang sekarang ada untuk sharing tentang blogging. Ngeblog next level ini bukan hanya tentang saya senang menulis. Tapi bagaimana kita membangun personal branding, meningkatkan awareness dan ketertarikan orang akan blog yang dimiliki.

Tentunya, tidak sendirian dong. Bergabung dengan komunitas blogger, komunitas menulis atau komunitas lainnya yang bergerak di bidang literasi untuk saling menyemangati dan membangun jaringan.

Pulang dari kumpul-kumpul, bukan cuma perut yang penuh karena kebanyakan ngemil, tapi hati dan pikiran juga penuh dengan ketemuan teman serta homework untuk membawa blogging ke level selanjutnya.

Who’s with me?

28 April 2025

Emang ngeblog itu masih relevan ya di 2025?

Pertanyaan inilah yang membawa saya mengikuti sebuah webinar tentang blogging dan travel blogging yang diadakan oleh DailySEO ID bersama komunitas ISB.

Live Webinar berjudul “Is Ngeblog Dead in 2025 bersama Mbak Istiana, seorang travel blogger ini membahas pengalaman ngeblog selama 10 tahun, strategi mendapatkan traffic dan tentunya monetisasi. Webinar yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu penuh dengan ilmu dan diskusi menarik tentang blogging dan relevansinya di 2025.

Bicara relevansi, satu hal yang saya salut dari Mbak Isti adalah keberaniannya mengganti niche blog dari Parenting ke travelling. Pengalamannya itu diceritakan di awal, saat berbagi cerita tentang perjalanan ngeblognya. Hal ini sebenarnya relevan dengan bagaimana kita membranding blog tersebut.


Pelajaran pertama yang saya dapatkan adalah menulis About Me dengan benar. Siapa saya? Blog ini menawarkan apa? Expertise apa yang saya punya? Memindahkan niche pun adalah langkah untuk menaikkan relevansi dan kredibilitas sebuah blog. Mengapa hal ini penting? Karena, biasanya orang juga melihat Siapa yang ada di balik sebuah tulisan. Misalnya Mbak Isti menulis tentang Parenting karena dirinya memang seorang ibu. Lalu, ketika berganti menjadi traveling, ya karena memang dia suka jalan-jalan bareng keluarganya.

14 December 2024

Sejuta Impian 2025

2025 mau apa?

Pertanyaan sulit bagi saya yang tiba-tiba jobless karena PHK di akhir 2024. Cari uang dong. Cari pekerjaan lagi. Itu yang pertama terlintas di pikiran. Namun, ternyata mencari pekerjaan di usia 40 tahun ini tidaklah mudah. Yang lebih muda saja harus melalui belasan interview dan ghosting dari berbagai perusahaan. Saya? Mengirim lamaran, lalu tidak ada kelanjutannya. Balasan yang saya terima biasanya berupa permohonan maaf karena saya tidak sesuai dengan yang mereka cari.

Biasanya ini gara-gara gaji.

Anyway, setelah berpikir ke sana dan sini, ada beberapa ide bagaimana saya mau menjalani 2025. Apa saja?

  • Kuliah lagi. Saya ingin belajar tentang Public Policy, Public Administration terutama soal Non-Profit Management dan Fundraising. Saya sering menemukan lowongan di NGO yang berujung gagal melamar karena kualifikasi pendidikan yang tidak memadai. Di usia 40 ini, saingan saya kebanyakan punya S2. Saya hanya punya S1 yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saya sekarang. Sulit bersaingnya.
  • Menggaji diri sendiri. Kalau cari kerja susah, kenapa saya tidak coba menggaji diri sendiri? Bagaimana caranya? Fundraising untuk Yayasan tempat saya jadi relawan sekarang jadi kami punya sumber dana tetap dan bisa menggaji staff. Atau buka usaha laundry di daerah. Hanya saja, merintis sesuatu berarti saya harus punya dana cadangan yang cukup untuk hidup selama usaha saya belum membuahkan hasil. 
  • Cari pekerjaan baru. Iya, ini tetap ada dalam agenda. Tapi saya lebih banyak pesimisnya. Jadi, yang saya lakukan sekarang adalah fokus ke pekerjaan freelance, tapi ada beberapa. Repot memang, tapi setidaknya tetap ada penghasilan tetap dan bisa menabung.
  • Green Card Lottery atau hal sejenisnya. Pindah ke luar negeri adalah impian utama saya. Karena di beberapa negara, umur tidak menjadi halangan seseorang untuk bekerja. Asalkan mau bekerja, dan masih kuat bekerja fisik, pasti bisa dapat penghasilan. Opportunity untuk bekerja freelance dengan kemampuan spesifik yang saya miliki sekarang ini juga lebih banyak. Idealnya sih opsi ini yang diambil, tapi berhasil tidaknya bergantung pada undian yang ada di luar kuasa saya.

Kichi (Kiri) Dan Waco (kanan)

Saya yang senang bekerja dan berkegiatan justru merasa bahwa santai-santai ini berbahaya. Jangan sampai terlena karena ada banyak hal yang sebenarnya bisa dan harus dikerjakan.

  • Saya ingin traveling, pergi nonton konser dan healing. Tapi, ya tidak bisa hanya traveling saja dong. Kenapa tidak saya mencoba cari pekerjaan di Korea? Siapa tahu ada yang tidak mementingkan umur dan bisa saya lamar.
  • Saya ingin membereskan rumah. Ada banyak barang “peninggalan” keluarga dan kedua orang tua yang sebenarnya bisa berguna bagi orang lain. Saya ingin membereskan dan menyumbangkan yang masih layak. 
  • Saya ingin pelihara kelinci lagi. Ini yang paling sulit untuk dilakukan. Soalnya saya ingin traveling, dan akan sulit meninggalkannya di rumah sendirian. Punya binatang peliharaan berarti punya tanggung jawab lebih. Apalagi kelinci ini rentan sakit dan mudah meninggal. Harus benar-benar siap mengurusnya.

Satu-satu kita coba capai mimpi. Semoga 2025 jadi tahun yang baik buat saya. 


30 November 2024

Ternyata Anak Saya Juga Gen Z

 “Mama ini bagaimana sih, aku kan Gen Z.”

Protes Dudu sering terjadi ketika saya komen soal kelakuan anak Gen Z. 

“Loh, emang Gen Z itu tahun berapa?” 

Pertanyaan saya malah membuat dia tambah kesal. Haha. Yah, habis gimana dong. Saya berpikir Gen Z ini adalah teman-teman di kantor, yang senang bicara mental health dan jajan kopi kekinian. Anak-anak di tim saya yang kerja keras di weekdays, tapi weekend-nya having fun gila-gilaan. Senang belajar hal baru, FOMO dan gampang overthinking. 

Kadang saya berpikir Gen Z seperti kelinci. Foto hanya pemanis.

Kalau ditanya apa yang saya dapatkan dari interaksi dengan Gen Z, ini adalah jawabannya: 

Mental Health itu bukan penyakit yang harus disembunyikan.

Generasi yang ini lebih berani dan terbuka soal kesehatan mental mereka. Dosis obat anti-anxiety, rekomendasi psikolog dan psikiater jadi bahan diskusi seperti makanan dan restoran. Dari mereka jugalah, saya memahami bahwa psikiater memang dibutuhkan dan dapat membantu memecahkan masalah. 

Ketika Mama diagnosa kanker dan sulit berkomunikasi, saya memanggil psikiater rumah sakit untuk berkunjung dan memberikan obat. Hasilnya, Mama jadi sempat pamit dan ngobrol sebelum akhirnya berpulang. Mental Health awareness berguna bukan hanya bagi anak muda, tetapi juga orang tua. Post-power syndrome bagi pekerja pensiun atau lansia aktif yang terkena penyakit berat dan harus bed rest. Ini semua sering membutuhkan bantuan mental health expert, dan saya belajar dari para Gen Z ini untuk tidak mengabaikan kemungkinan ini. 

Overthinking dulu Insecure kemudian. 

Saya langsung merasa overthinking saya normal. Beberapa rekan dan kenalan yang Gen Z. memiliki kemampuan overthinking yang membuat saya jadi overthinking juga. Ini saya yang “normal” atau saya memang kurang memikirkan segala sesuatunya dengan baik? 

Overthinking bukan hal positif jika dilakukan secara berlebihan, tapi ini sebenarnya adalah self-defense mechanism yang dimiliki manusia untuk meminimalisir resiko. Atau setidaknya begitulah yang saya pikirkan. Yang penting jangan sampai kedua hal ini menghambat saya dalam berkembang dan belajar. 

Work-Life Balance itu Penting

Kerja memang harus, tapi bersenang-senang juga jalan terus. Uang kalau hanya mengendap di tabungan juga buat apa? Meskipun ini bukan mindset general Gen Z, beberapa teman saya memilikinya. Gadget dicicil. Ketika cicilannya lunas, sebulan dua bulan kemudian tukar tambah dengan yang baru dan mulai mencicil lagi. Saya yang terbiasa membayar lunas semuanya jadi membandingkan gaya hidup saya juga. 

Menabung itu perlu. Banyak Gen Z yang saya kenal punya emergency fund cukup besar. Soalnya mereka pernah kena layoff dan faham resiko kerja di perusahaan startup. Yes, biasanya mereka kerja di startup karena tantangan dan gaji yang besar. Namun, pengeluaran mereka juga cenderung besar karena mereka suka pakai gadget terbaru. Beberapa juga menghabiskan uang di skincare dan liburan ke luar negeri. Intinya ya itu, ada alokasi dana untuk bersenang-senang. 

Menghadapi rekan kerja yang semakin hari semakin muda, bahkan saya pernah punya intern yang umurnya hanya beda beberapa tahun dengan Dudu, membuat saya berpikir bahwa saya semakin tua haha. Untungnya gap antar generasi biasanya tidak terlalu terasa, dan saya seringkali bisa menyesuaikan diri. 

Kuncinya hanya satu: mau berpikiran terbuka. 


17 November 2024

Sebuah Refleksi tentang Literasi Digital untuk Perempuan

 “Bisa dicek emailnya ya, Mbak.” 

Kalimat ini terdengar sederhana tapi tidak semua bisa melakukannya. Kok gitu? Iya, jadi sepanjang perjalanan saya mengurus komunitas, yang baru 3 tahun kemarin itu, saya menemukan bahwa literasi digital ini penting adaya.

Di sebuah hasil polling Apps Populix, sebagian besar responden bilang kalau mereka malas buka email karena terlalu banyak yang isinya promosi. Lalu muncul Gmail yang memisahkan email pribadi dan promosi atau Outlook yang punya folder “focused” untuk memfilter email langganan. Lah, ini berarti sebenarnya literasi digital kita sudah maju dong.

Mungkin.

Kenapa saya bilang mungkin? Soalnya kalau saya mengirimkan email zoom link event komunitas, banyak yang kebinggungan mencari folder spam/junk atau di mana bisa lihat email yang masuk ke “update”. Belum lagi kalau ternyata email di ponsel dan laptop tidak sync, jadi pas dicari ya emailnya tidak ditemukan. Jadi literasi digital bukan sekedar tahu cara membuka email. Tetapi juga memilah isinya dan menemukan pesan yang dicari.

Kenapa tujuannya perempuan? Sebenarnya ini ya karena dunia saya banyak berurusan dengan perempuan dan terbentur kemampuan mereka untuk memanfaatkan teknologi. Termasuk saya.

Ketika Dudu mendaftar kuliah menggunakan “Common App,” saya culture shock. Jaman dulu kita manual mengirimkan berkas lewat email atau pos. Sekarang dia mengisi semuanya secara online, sekolahnya mengupload nilai secara online juga dan decision dari kampus tujuan juga diberikan secara online. Cuma pakai satu app.

Ini, lho. Dari bayi sudah pegang komputer.

24 October 2024

Tahun Ini Adalah Tahun Ke-20 Saya Ngeblog

Tahun ini adalah tahun ke-20 saya ngeblog. Eh, sudah selama itu ya? Ya, Dudu saja sudah 18 tahun, jadi sebenarnya masuk akal sih.

Pada zaman itu, blogging hanyalah sebuah hobby atau diary online. Dan tujuannya blogging, selain curhat adalah untuk mendokumentasikan kegiatan sehari-hari Dudu. Makanya nama blognya juga Andrew and me. Dudu dan saya.

Seiring berjalannya waktu, blognya berubah. Saya pulang ke tanah air, Dudu semakin besar dan tulisan semakin banyak. Bukan hanya tentang parenting atau ide nge-date di Jakarta, tetapi juga tentang kehidupan saya sebagai single mom. Lalu, saya mulai ambisi. Ketika menulis sudah tidak lagi menjadi pekerjaan utama, blog saya mulai jadi penghasilan. Alias saya jadi blogger part-time yang happy ketika diundang liputan dengan kewajiban menulis. Namun, karena blog saya adalah blog gratisan, undangannya juga jadi terbatas.



Ambisi yang kedua adalah punya blog lebih dari satu. 

14 October 2024

Museum Forward and The Adaptive Way to Embrace Changes

Whenever I told people that I want to pursue a degree in Cultural Anthropology, people asked, “what do you want to do with it?” I had no clue. I just love the different cultures, different viewpoints, then eventually translated to arts and museums. I started to wonder how these preservation sites work, the curation and the marketing process. So, when a social media post about Museum Forward, the first international best practice forum on museums and heritage, appeared on my timeline, I signed up.

I attended the Museum Forward 2-day public conference which is an eye-opening matter when it comes to museums. Held at BJ Habibie Building, BRIN (National Research and Innovation Agency), the forum brings together museum and heritage practitioners from all over the world, every session presents an interesting subject. What do I bring home from spending two days among these experts?


Museums used to be pictured as a place to preserve artifacts or history for the future generation, and this is where the problem lies. You’ll see museums usually preserve something by limiting interaction with the objects, while they should have made it accessible. Things like traditional music instruments are more meaningful when it’s played, compared to being displayed in a museum. So, museums nowadays have to go beyond preservation, by becoming a cultural hub to conserve what we have for the future.

Some museums, like the Louvre at Abu Dhabi, are moving away from encyclopedic approach to narrative viewpoint. Manuel Rabaté, Director of Louvre Abu Dhabi, France-UAE, shared that to do this, we must “question what stories can we share with the visitors.” Encourage cultural dialogues by taking in global conversations, and make sure to find the best practices to be implemented. Don’t be afraid to learn from children's museums as they know what they are doing and who their target audiences are.

Then the questions are there: how do you create a new narrative?

Sharmini Pereira, Chief Curator Museum of Modern & Contemporary Art Sri Lanka, Colombo, shared what it means to have a modern and contemporary art museum in Sri Lanka, which is known more for its conflicts. She included artworks, programs and conversations to include everyone on different sides of the conflicts. Her narratives go around the conflict itself, with culture and history as the connecting elements.

A different approach came from Victor Cageao, General Coordinator of Conservation, Museo Nacional del Prado, Madrid. Showing the transformations at the museum, where originally, “Europe has the tendency to accumulate collections,” to the current simplistic look with best or curated items on display. Sculptures and paintings which used to be placed in separate rooms are now put together to create a dialogue. “It’s often said that the museum has improved a lot because it has changed little,” he said.

And no, “creating a new narrative doesn’t mean losing its identity,” he assured. One can incorporate other voices. For example, instead of displaying items only from a certain period, a museum may put together similar arts from different periods and places. A room where golden masks from around the world are seen side by side, may bring new narratives on masks and how they are connected to or very different from one another. Another way is to deepen the creative process, as in introducing the artists not just as part of the artworks displayed but as a person.

When day one is about best practices and perspectives, day two highlights collaborative approaches to museums and cultural heritage. What kind of collaborative approach? Indonesia Bertutur brings performances to museums, while Indonesian Heritage Society gathers up the communities for collaboration. M+, Hong Kong hosts experiences to encourage the younger generation to play an active role in protecting, developing and utilizing the cultural heritage.


Collaborative approach is also crucial in building the museum’s brand, which is a public perception of the museum. Some rules to brand-related:
  • You can’t satisfy everybody, so focus on differentiating yourself instead. How? You only get one idea; if you add “and,” the effectiveness evaporates. Narrow down the focus.
  • Add more human interaction because it deepens the belonging.
  • Pay attention to your museum’s communication through different channels like architecture, lighting and atmosphere, art arrangements or label and interpretation.
So, it was a fruitful session, on interesting topics. While I’m simply just a museum enthusiast, most insights are actually applicable in my industry of non-profit organization. How to do branding and what we should shout in our messages. The sessions got me to reflect on how I did my campaigns and developed my programs. Something to keep for 2025.