30 May 2024

Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Melakukan Sesuatu yang Disukai

“Kok elo umur kepala 4 masih nonton konser?”
Bukan cuma nonton konser, tapi mengejar idol sampai ke Korea.

“Lah, kalo lo nonton, Dudu ditinggal?”
Soalnya kalo diajak, dia tidur. Terus habis itu ngomel-ngomel sendiri karena mendingan di rumah main PS atau nonton Netflix.

“Kok tega ninggalin anak?”
Jangankan konser ke kabupaten sebelah, saya pernah nonton konser sendirian di Kuala Lumpur. Dudu ya sama opa omanya di rumah. 

Jalan hidup saya terbalik dengan kebanyakan orang. Ketika yang lain sibuk travelling, party, nonton konser dan mengejar idol-nya, saya sedang jadi ibu tunggal. Nah, sekarang ketika semua orang di sekitar saya sedang fokus berkeluarga, saya malah ada di lokasi konser idol Kpop bersama ribuan anak-anak yang umurnya tidak beda jauh dengan Dudu. Ada emak-emak nyasar yang terlambat ngefans sama Kpop. Eh, memangnya itu terlambat?

Akhirnya nonton konser CNBlue, meski beli tiket H-1.

“Kalo Dudu udah kuliah, lo mau apa?”
“Gue mau kuliah lagi, ambil S2.”

Saya memperhatikan kebingungan di raut wajah lawan bicara saya. Sudahkah terlambat untuk ingin mengambil S2, sekolah lagi mencari gelar yang sesuai passion saya? Banyak tawaran kuliah yang hadir di sepanjang karir saya. Namun jurusannya ya itu, bisnis, marketing dan sejenisnya. Sementara saya inginnya belajar antropologi, ethics atau social work. Tidak nyambung dengan pekerjaan sekarang. 

Apakah saya menyesal?

Sempat terlintas, seandainya saya lebih muda, tentu nonton konser sambil berdiri 3,5 jam bukan hal mustahil. Saya tidak perlu pegal-pegal pegal sampai tiga hari dan tumbang seharian hanya karena terlalu euphoria di konser. Atau mungkin, tidak perlu merasa ilfil ketika idol yang ada di panggung mulai gombal kepada penontonnya hanya karena usia mereka setidaknya 5 tahun lebih muda dari saya. Berondong. Tapi menikmati konser Kpop di usia ini, di mana sudah tidak sanggup antri berjam-jam, juga bukan sebuah keterlambatan.

Soalnya waktu semua orang sibuk dengan idol-nya, saya sibuk membesarkan Dudu. Jadi ya mau bagaimana lagi kalau pilihannya begitu?

Pertemuan saya dengan Idol Kpop yang termasuk terlambat itu membawa dampak besar dalam hidup dan mimpi saya. Di usia 30+, saya belajar lagi bahasa baru, bahasa Korea. Yang kalau dipikir-pikir tahun ini adalah tahun ke-7 tahun saya tekuni. Lalu tahun ini, saya juga mendaftar untuk jadi Honorary Reporter di Koreanet. Hanya karena saya kangen dengan kegiatan sebagai jurnalis, sekaligus ingin melakukan sesuatu sebagai fans Kpop. Belum lagi, akhir tahun lalu saya mulai mencoba menulis fiksi dengan lebih serius. Bisa ditebak, latar belakang dan karakter yang muncul ya lagi-lagi berhubungan dengan Kpop dan Korea. Belajar bahasa dan belajar menulis fiksi, semua di usia yang sepertinya kok terlambat. Soalnya teman-teman yang ikutan, semua umurnya lebih muda. 

Kalo nonton, yang diajak si boneka ini

Hal ini mungkin akan terjadi ketika kelak saya beneran kuliah S2. Teman-teman yang usianya lebih dekat dengan Dudu, masih muda-muda dan mungkin sanggup begadang menyelesaikan thesis. Daya ingat yang lebih kuat, lebih mudah menghafal waktu ujian. Kemampuan analisa yang lebih tajam karena belum lama terjeda dari masa kuliah yang sebelumnya. Tapi ini tentunya bukan alasan bagi saya untuk tidak jadi kuliah lagi. Justru mungkin saya akan lebih santai menjalani kuliah karena tidak ada beban karir yang menanti di ujung jalan. 

Memulai sesuatu belakangan, bukan berarti kita tidak bisa mengejarnya dengan senang hati. Ada kok, kebahagiaan yang hadir ketika kita berada selangkah lebih di belakang. Kita jadi punya waktu untuk mengamati jalan yang akan diambil dengan lebih jelas. Misalnya jadi lebih bisa mengatur prioritas ketika menonton konser. Atau jadi punya semangat dan motivasi lebih untuk mencapainya. Terutama kalau kita orangnya kompetitif. Bisa belajar lebih fleksibel juga. Sebagai ibu-ibu, tentunya saya harus berpikir ke mana Dudu harus saya titipkan kalau saya mau pergi nonton konser selama 4 jam? 

Terlambat atau tepat waktu, yang pasti, nikmati saja perjalanannya. Semua toh akan indah pada waktunya.


27 May 2024

Creating Healthy Boundaries Starts With Me

How often are we hesitating to say no to a request? Just because we want to prevent inconveniencing others. Or we want to be seen as this helpful person. How often are we doing things beyond our abilities? Just to prove that we're strong enough. Well, I'm sure you're not alone. I struggled with that too.

3 Things We Should Have to Create Healthy Boundaries:

  1. Self-Awareness
  2. Clear Expectation
  3. Communication

Self Awareness

Setting a healthy boundary starts with knowing who we are, what we want and what our preferences are. We need a clear understanding of our thoughts, emotions, and behaviors. How can we create a boundary when we don't know where to draw the line? So, it starts with self awareness. For example, we're not fond of smoke and alcohol. When our circle invites us to go clubbing or hanging out in a lounge, we can comfortably reject them and say we'll join next time they're in a coffee shop. When we have firm boundaries, know what we want and who we are, people come to respect our choices. 

Recognize the different roles we play everyday, healthy boundaries may vary depending on which hat we're wearing. As a mom, for example, healthy boundaries may be our limit, both physical and emotional. Knowing my patience limit may help me say “no” when needed. I can courageously reject additional responsibilities, admit I’m overwhelmed, take a break and ask for help as needed. Realize that we are responsible for how we feel, and we can’t blame others because they made us feel this way. This goes for the opposite, that we’re not responsible for other people’s emotions.

Clear expectation

This should be a two-way interaction. Expectations towards others and expectations to ourselves. An article published by Joe Sanok on Harvard Business Review, titled “A Guide to Setting Better Boundaries,” mentioned two types of boundaries. Hard boundaries are the one we can't compromise and soft boundaries where things are more flexible. Knowing whether it's hard or soft boundaries that we exercise will help us manage our expectations.

For example, a friend of mine has this rule of no smoking near her children. Upon the birth of her third child, she is asked to move back to her parents house to help care for them. It's also easier for her, who is considering going back to work. The problem is, her father is a rather heavy smoker. 

With a hard boundary regarding smoking, she knows that moving back is impossible. Her expectation of her father taking the cigarettes out to the porch every time he wants to smoke might not be fulfilled. Her father expects her to be lenient, while she expects her father to strictly follow the smoking rule. 

Soft boundaries might be about meeting time or what food to eat. Despite not agreeing to move back due to cigarette presence, her parents are still seeing their grandchildren. While they were with their grandparents, she couldn’t strictly enforce what they should eat. The menu is a soft boundary she could compromise.

Communicating clear expectation like this message

Communication

When we know ourselves, and have set a clear expectation, what’s left is communicating them to the outside world. Boundaries aren’t always as clear as a police line. People may not recognize them and accidentally trespass those lines. Therefore, we have to communicate our boundaries clearly. 

Expressing these boundaries needs some degree of assertiveness. Not everyone has this capability and is comfortable establishing boundaries without feeling aggressive or selfish. So, the first thing we do is stating the facts. In my friend’s case, she can say to her father that “I can’t tolerate smoking around children, therefore I can’t move back home unless you stop smoking.” Add an alternative if setting the boundary makes you feel bad. Something like, “but we can visit on weekends.”

As a mom, I can feel exhausted. When a fellow mom starts a conversation, and I don’t feel like listening to their problems, I should be able to say “As much as I want to help, I don’t have the capacity to listen to your problem right now. I’m really sorry.” The same with unsolicited advice. We have the right to reject them, after saying that we respect their opinion.

Boundaries are indeed important. 

I lost several friends due to the boundaries that I set to myself. Mostly because of communication and time boundaries. I don’t usually reply to chat right away. If it’s urgent and if you want a conversation, you should call. Or we can meet and have a chit chat at a cafe. Some of my friends disagreed and went overboard with my late reply. One of them went berserk over how I managed to add a new admin on a group chat I’m responsible for, while ignoring her request for a phone call. I just don’t have the energy to argue with her. I apologize if I made her uncomfortable, told her what she should have done and ignored her ever since. That’s where I drew the line. 

I don’t say what I did was right, but that’s my boundary. I know enough that responding to her negative energy will just exhaust me. I managed my expectations and told her what she could expect of me. Then I communicate those feelings and expectations. I’m done. I felt bad at first because I tend to be a people pleaser. But then, boundaries aren’t meant to include everyone anyway.


17 May 2024

Manfaat Mengambil Short Course untuk Blogger

Salah satu ‘me time’ favorit saya adalah belajar. Aneh ya? Well, saya senang ikutan kursus maupun webinar yang memberikan pengalaman dan pengetahuan baru. Biasanya saya mencari materi yang relevan dengan kehidupan dan passion saya. Sebagai seorang blogger dengan beragam tanggung jawab di luar dunia menulis, saya harus bijaksana memanfaatkan waktu 'me time' untuk memulihkan kreativitas saya.

Banyak solusi klasik seperti healing, minum kopi, atau mengubah suasana, setiap penulis memiliki pendekatan uniknya sendiri untuk mengatasi krisis kreativitas. Belajar juga bisa jadi ‘me time’ karena seringkali kegiatannya tidak bisa disambi. Kalau kata anak jaman sekarang namanya “mindful.” Meskipun pertemuan diadakan secara online, ketika belajar kita harus fokus menyimak, berinteraksi dengan guru dan murid, serta sepenuhnya berada di kelas. 

Efeknya agak sedikit mirip dengan membaca buku atau menonton film di bioskop, di mana kita memberikan perhatian penuh pada apa yang sedang kita baca atau tonton. Begitu kembali ke dunia nyata, pikiran kita lebih fresh

(Photo courtesy of Ani Berta)

Belajar Bahasa Inggris Online Bersama TBI Bandung

Kali ini, yang saya ikuti adalah “Blogger Short Course for Creative Writing” bersama The British Institute (TBI) Bandung dan Komunitas ISB. Kelasnya dilaksanakan secara online selama 3 hari berturut-turut pada pukul 10:00 hingga 12:00 WIB. Kenapa short course? Mengikuti short course dapat memberikan insight baru tanpa komitmen jangka panjang. Cocok bagi mereka yang sibuk, namun mencari kegiatan bermanfaat. Selain itu, short courses dengan topik spesifik dapat membantu saya me-refresh skill yang dimiliki.

Minggu ini, jadilah hari Senin saya dimulai dengan mengantar anak sekolah, lalu duduk manis depan laptop bersama secangkir kopi untuk mengikuti kelas. Kelasnya tidak terlalu besar, jadi belajarnya juga efektif. Di kelas yang saya ikuti di 13 - 15 Mei 2024 kemarin, ada 9 orang blogger yang berpartisipasi. Blogger yang biasanya hanya berinteraksi di WAG, sekarang bisa tatap muka dan ngobrol meski virtual

Hari pertama dimulai dengan perkenalan, lalu dilanjutkan dengan jalan-jalan ke South Africa. Hari kedua, kami semua membahas musik dan festival musik. Hari terakhir, topiknya street food. Di setiap kelas, belajar Bahasa Inggris dikemas dengan topik yang seru dan sesi interaktif yang mengajak setiap murid berpartisipasi. Pengenalan adjective atau kata sifat dan passive voice atau kalimat pasif, jadi lebih mudah diingat ketika dibawakan melalui topik-topik yang menarik.