Sudah puluhan kali melewati 17 Agustus, namun entah kenapa tidak ada acara berkesan yang muncul di kepala. Ketika sekolah dulu, 17-an identik dengan upacara. Baik ikutan secara langsung di sekolah atau nonton TV. Lalu ketika mulai bekerja, maknanya mulai hilang karena saya seringnya bekerja di tanggal merah. Pertama ketika bekerja sebagai wartawan, harus menghadiri event 17-an dan menuliskan reportasenya. Lalu saya pindah ke e-commerce, di mana kemerdekaan ini adalah waktunya promosi dan diskon belanja. Ujung-ujungnya ya 17an dihabiskan dengan bekerja.
Karena bukan tim aktif lomba, saya juga jarang berpartisipasi di perlombaan selain yang ada di sekolah. Sekolahan Dudu yang internasional juga tidak terlalu punya perayaan 17 Agustus yang meriah. Lalu momen berkesannya apa?
Setelah browsing foto, ternyata ada dua momen yang unik di perayaan 17 Agustus sepanjang hidup saya.
Momen pertama adalah jalan-jalan. Kita pernah naik pesawat pas 17 Agustus. Haha. Jadi spesial karena Halim Perdana Kusuma waktu itu dihias dengan bendera merah putih. Dudu juga ikutan excited dengan semangat kemerdekaan, mau saja disuruh foto-foto pakai ikat kepala merah putih. Yang lebih memorable-nya lagi, karena kita penerbangan dari Halim Perdana Kusuma, semua pesawat delay. Baru bisa terbang setelah pesawat tempur selesai acara 17an. Airportnya ramai tapi tidak ada yang protes.
Jadi tambah spesial karena perjalanan kita saat itu adalah ke Jogjakarta untuk lamaran adik saya, sekaligus survey lokasi pernikahannya. Seru!
Momen yang kedua adalah ketika secara random, kami sekeluarga memutuskan untuk mengadakan Korean BBQ di rumah. Saat itu masih pandemi dan PPKM masih lumayan ketat. Kami memesan peralatan BBQ mulai dari kompor gas, panggangan, daging dan bumbu dari toko online. Lalu, mulai mencari side dish dari restoran favorit yang untungnya berhasil survive selama pandemi. Setelah lockdown dan kemudian PPKM, 17an tahun itu terasa lebih merdeka.
Berkumpul bersama keluarga, menikmati hidangan setelah sekian lama terperangkap di rumah masing-masing selama pandemi.
Harapan untuk Indonesia
Almarhum Papa selalu bilang kalau orang tambah tua jadi tambah kuno. Kalah cepat dengan teknologi dan perkembangan zaman. Semakin ketinggalan dalam hal ilmu. Mau belajar pun, sudah tua dan otak terkadang sudah tidak mampu. Sulit, tapi bukan berarti tidak bisa.
Nenek saya yang usianya 92 tahun masih bisa belajar belanja online. Sekarang dia bisa browsing aplikasi e-commerce dan shopping sendiri. Tante saya yang usianya 70an punya instagram sendiri. Meskipun masih sering terjebak hoax yang beredar di grup keluarga, namun para lansia ini mau maju dan belajar dengan caranya.
Saya berharap Indonesia juga begitu.
78 tahun bukan usia muda. Indonesia akan terus bertambah tua. Namun bukan berarti negara ini akan jadi gaptek, kolot dan terjebak nostalgia. Manusia berubah. Zaman dan teknologi jadi maju. Saya berharap Indonesia mau belajar mengerti, mau menerima edukasi sebelum menghakimi. Jangan takut akan sesuatu yang baru, lalu membatasi kreativitas dengan alasan melindungi generasi penerus bangsa. Sebaiknya Indonesia belajar memahami, dan bersama-sama mencari solusi yang tepat.
Jangan jadi nenek-nenek yang merasa internet itu ancaman. Teman bule cucunya sebagai keturunan kompeni yang harus dicurigai. Sulit menerima ketika anak cucu punya moral compass yang berbeda akibat mudahnya akses eksposure ke negara asing.
Semoga Indonesia bisa semakin bijak menyikapi transformasi dalam negeri. Mampu merangkul perbedaan yang ada dan setia pada semangat bhineka tunggal ika. Keras tak harus benci. Jangan sampai anak cucu pergi dan tak kembali, lalu Indonesia terpaksa menghabiskan masa tuanya di panti jompo. Jadilah sosok yang bijak seiring bertambahnya usia, orang tua yang mencintai dan dicintai.
Ah, kalau menulis begini jadi mellow sendiri. Saya memiliki love-hate relationship dengan tanah air tercinta. Yang sudah banyak berkontribusi pada hidup saya, tapi banyak juga memberikan kekecewaannya.