Salah satu besti yang saya miliki adalah seorang mantan rekan sekantor, yang usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari anak saya. Begitu pun saya, usianya lebih muda beberapa tahun dari ibunya. Di geng ex- teman sekantor yang ini, hanya saya yang lahir di tahun 80an. Jadi kalau kita hangout, kayak mamak-mamak jagain anak-anaknya.
“Tapi nggak kelihatan kok, Kak.”
Begitu kata mereka. Terima kasih lho.
Circle yang ini bertemu cukup rutin. Sebulan sekali. Biasanya makan di restoran yang saya belum pernah dengar namanya, tapi tiba-tiba viral di media sosial. Setelah viral, 3-4 bulan kemudian, circle saya yang sesama millenial ini bakal heboh. Lalu, terkejut karena saya sudah ke sana.
Setiap circle ada maknanya. Dan kebetulan pertemanan saya ada banyak kelompoknya. Saya punya circle pertemanan hobi seperti Detektif Conan, Harry Potter, Kpop dan lain sebagainya. Lalu ada circle pertemanan blogger. Circle para penulis fiksi amatir. Saya juga punya pertemanan sesama ibu tunggal yang saling support dan berdaya bersama. Saya juga masuk di circle gereja dan berusaha aktif di banyak kegiatan yang ada. Bahkan, boneka Panda saya juga punya circle sendiri yang isinya boneka semua.
Saking beranekaragamnya circle pertemanan saya, kalau saya pergi berkegiatan biasanya saya ditanya “sama teman yang mana lagi ini?”
Masuk bulan ke-9 saya “pengangguran” alias terpaksa jadi freelancer, yang namanya keuangan pasti amburadul. Godaan terbesar jadi seorang pekerja lepas adalah membatasi project yang diambil sesuai dengan kemampuan. Apalagi, selama ini, saya selalu punya kantor.
Mendapat tema “Adil bersikap ketika menerima rezeki” di salah satu event menulis blog yang saya ikuti membuat saya berpikir kembali tentang definisi “adil.” Yang diajarkan kepada saya sejak kecil adalah “adil itu bukan berarti dibagi sama rata, tapi dibagi sesuai kebutuhan.” Jadi, adil itu sama dengan tidak maruk. Karena kita mengambil hanya sesuai dengan kebutuhan kita.
Inilah yang kemudian saya terapkan di kehidupan sekarang. Soalnya, Adil pada diri sendiri berarti adil pada orang lain juga.
Yang tersulit untuk bersikap adil pada diri sendiri adalah menentukan kapan harus berhenti. Saya tipe yang mengutamakan orang lain, misalnya anak atau keluarga, dan cenderung aktif meski mengaku introvert. Jadi saya selalu punya waktu, apalagi kalau menyangkut cuan. Akhir-akhir ini, ketika hidup berubah dari pekerja kantoran menjadi lepasan, hal ini jadi masalah besar karena saya mencoba mengambil semua yang di depan mata agar semua pengeluaran bisa terbayarkan. Tadinya, ketika ada satu gaji bulanan tetap, yang namanya side job tidak jadi prioritas utama. Hanya bersyukur ada rejeki lebih. Namun, saat ini, ketika pemasukan tetap tidak lagi ada, semua yang bisa menghasilkan, saya ambil.
Ternyata ada limitnya. Saya terpaksa belajar merelakan.