11 August 2025

Merelakan Tidak Selalu (lebih) Buruk

Masuk bulan ke-9 saya “pengangguran” alias terpaksa jadi freelancer, yang namanya keuangan pasti amburadul. Godaan terbesar jadi seorang pekerja lepas adalah membatasi project yang diambil sesuai dengan kemampuan. Apalagi, selama ini, saya selalu punya kantor.

Mendapat tema “Adil bersikap ketika menerima rezeki” di salah satu event menulis blog yang saya ikuti membuat saya berpikir kembali tentang definisi “adil.” Yang diajarkan kepada saya sejak kecil adalah “adil itu bukan berarti dibagi sama rata, tapi dibagi sesuai kebutuhan.” Jadi, adil itu sama dengan tidak maruk. Karena kita mengambil hanya sesuai dengan kebutuhan kita.

Inilah yang kemudian saya terapkan di kehidupan sekarang. Soalnya, Adil pada diri sendiri berarti adil pada orang lain juga.

Yang tersulit untuk bersikap adil pada diri sendiri adalah menentukan kapan harus berhenti. Saya tipe yang mengutamakan orang lain, misalnya anak atau keluarga, dan cenderung aktif meski mengaku introvert. Jadi saya selalu punya waktu, apalagi kalau menyangkut cuan. Akhir-akhir ini, ketika hidup berubah dari pekerja kantoran menjadi lepasan, hal ini jadi masalah besar karena saya mencoba mengambil semua yang di depan mata agar semua pengeluaran bisa terbayarkan. Tadinya, ketika ada satu gaji bulanan tetap, yang namanya side job tidak jadi prioritas utama. Hanya bersyukur ada rejeki lebih. Namun, saat ini, ketika pemasukan tetap tidak lagi ada, semua yang bisa menghasilkan, saya ambil.


Ternyata ada limitnya. Saya terpaksa belajar merelakan.