29 September 2021

Ibu di Era Digital: Berteman dengan Game dan Gadget

Akhir-akhir ini, bahasan yang lagi seru di circle pertemanan saya adalah 'kecanduan' gadget. Sekolah dari rumah atau yang resminya disebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) mewajibkan para siswa memiliki gadget dan akses Internet. Jadi, mau tidak mau anak-anak jadi memiliki gadget sendiri dan screen time jadi lebih banyak dari biasanya.

Saya, Mama yang tidak pernah mempermasalahkan penggunaan gadget anaknya, merasa bingung bagaimana mau sumbang suara untuk masalah ini. Tapi saya menyadari, adalah tantangan tersendiri buat para Mama untuk mengurangi ketergantungan gadget pada anak-anaknya. Terutama ketika gadget sudah menjadi kebutuhan utama untuk belajar. Lalu apa yang harus dilakukan para Mama, yang notabene adalah perempuan di era digital.
Salah satu moment favorit saya adalah saat main game berdua

Sebagai ibu yang memiliki pemahaman literasi digital, kita memiliki potensi besar untuk mendukung anak bersahabat dengan gadget. Tantangan pertama yang muncul biasanya adalah cepatnya teknologi berubah. Dari yang hampir tidak pernah video call hingga paham cara pakai filter di zoom. Apalagi kalau ternyata anak kita lebih canggih.

Ada yang bilang, tak kenal maka tak sayang. Jangan langsung kontra. Jangan panik dan memusuhi gadgetnya. Pahami dulu kebutuhan PJJ anak dan kenali teknologi yang dibutuhkan.

Selain karena PJJ, pandemi ini juga membatasi pilihan hiburan untuk anak. Yang biasanya bisa ke mall, sekarang hanya bisa bermain di rumah. Di tengah kesibukan sebagai ibu bekerja dan ibu professional, diskusi di circle pertemanan saya berkembang menjadi game online dan YouTube. Di sini selain teknologi yang berubah, ada tantangan lain yang harus dihadapi yaitu game-nya itu sendiri. Saya dan anak semata wayang saya punya interest yang sama, jadi mudah bagi saya untuk mendampingi anak main game atau nonton YouTube. Bagaimana dengan yang tidak sejalan?

Kata anak saya, si Dudu, “Main game untuk have fun. Untuk keluar dari kehidupan mereka dan menjadi sesuatu yang lebih keren di dunia lain.”

Dari rumah untuk dunia. Dunia lain, sih. Tapi bukan berarti kita tidak bisa cari tahu ada apa di sana. Kalau saya bisa bertanya tentang bagaimana hari si anak di sekolah hari ini, saya juga bisa bertanya sudah berhasil mancing ikan berapa di Genshin Impact hari ini. Sama juga dengan membatasi waktu main game. Waktu kecil saya merasa kesal karena ketika Mama saya kesal melihat saya main game, saya harus mematikan game saat itu juga. Sementara saya sudah dekat sekali dengan save point berikutnya dan harus mengulang jauh ketika saya main lagi.


Jadi ketika Dudu main game, dan saya mau dia berhenti, saya tidak langsung menyuruh dia berhenti. Saya pasti tanya, “ini kapan bisa di-save?” Setelah itu baru saya minta dia berhenti main. Dan Dudu selalu berhenti main setelah di-save. Karena sama dengan saya yang kalau sedang mood menulis, atau Mama saya ketika dia masak, kita tidak suka diganggu tengah-tengah. Ketika saya berusaha memahami hobi si Dudu, dia juga jadi lebih terbuka dan cerita banyak tentang kehidupannya di dunia nyata. 

Jadi, meskipun interestnya tidak sama, saya masih bisa menggunakan gadget dan game sebagai teman, yang membantu saya berkomunikasi dengan anak. Apalagi di era digital ini saya harus waspada karena akses menjadi mudah dan sebagai ibu bekerja, saya tidak bisa selalu mengawasi anak. Kalau bukan karena Dudu yang cerita, saya tidak tahu dia bertemu siapa di Co-Op Genshin Impact-nya, atau sedang ngobrol sama siapa di discord.

Tapi, gimana kalo kecanduan?
Kalau nasihat Dudu sih, “maybe tell them that playing games are fun but don't let it affect your real life. Sometimes you have to sacrifice what's fun with what's important.” 

Tulisan ini diikutkan di Sayembara Catatan Perempuan untuk Konferensi Ibu Pembaharu oleh Kelas Literasi Ibu Professional.

19 September 2021

Anti-Panik Saat Bertemu Deadline

Mama: Du, bagaimana kamu mengatur deadline?
Dudu: Deadline? What do you mean by deadline?
Mama: Kalau ada yang harus dilakukan dan di submit, bagaimana kamu tahu mana yang dikerjakan duluan? Yang penting atau tidak penting
Dudu: Saya kerjakan yang mudah lebih dulu, meskipun not important. Biar cepat selesai.
Mama: Lah, kalau begitu nanti yang sulit tidak keburu terselesaikan?
Dudu: Tapi yang selesai jadi bisa lebih banyak.

Hm… cara saya dan Dudu mengatur deadline alias tenggat waktu memang berbeda. Tapi sebenarnya ada tidak sih cara yang salah dan benar untuk managing deadlines?

1. Bikin to-do list
Saya jarang membuat to-do list secara tertulis. Karena biasanya kalau banyak yang harus dilakukan, yang ada malah waktunya habis untuk bikin to-do list. To-do list bisa menjadi distraction sendiri. Jadi, to-do list hanya saya buat ketika yang harus dilakukan benar-benar banyak sampai saya takut lupa, atau ketika hal-hal tersebut banyak detailnya hingga takut terlewatkan.


Kapan waktu yang tepat untuk membuat to-do list? Kalau saya pagi-pagi sebelum memulai hari. Sisihkan 10-15 menit untuk menuliskan apa yang harus dilakukan 1-2 hari ke depan. Menulis to-do list sebaiknya tidak disambi mengerjakan hal lain, apalagi sambil mengerjakan hal yang ada di to-do list itu sendiri. Begitu juga sebaliknya. Sebisa mungkin jangan menulis to-do list di tengah-tengah bekerja, karena biasanya malah jadi nambah to-do listnya. Haha.

06 September 2021

Menggunakan Podcast Sebagai Alat Bantu Belajar Bahasa Asing

Ketika lagu-lagu patah hati tidak lagi menarik untuk didengarkan, saya beralih ke podcast.

Banyak research yang menemukan bahwa penggunaan aplikasi seperti podcast pada proses belajar Bahasa asing membantu performa dan meningkatkan motivasi untuk menjadi fasih. Jadi, ketika saya hanya bisa mengikuti kelas Bahasa Korea 2x seminggu, dan tidak bisa menemukan waktu luang untuk mengulang pelajaran sebelum kelas berikutnya, saya beralih ke podcast.


Podcast adalah teman terbaik saya ketika menyetir mobil. Soalnya perjalanan 1-2 jam setiap pergi dan pulang kantor berarti extra time untuk saya belajar Bahasa. Tidak mengganggu konsentrasi karena hanya mendengarkan, dan tidak banyak berbeda dengan mendengarkan music. Pelajarannya pun disesuaikan dengan topik yang sedang dibahas di kelas, dan podcastnya dipilih sesuai dengan kemampuan.

Podcast yang sering saya putar adalah Talk to Me in Korean (TTMIK).

Di website TTMIK, para pengajar ini mendeskripsikan dirinya sebagai “orang –orang yang berkumpul untuk mewujudkan ide yang membantu orang-orang yang ingin belajar Bahasa Korea dengan cara yang praktis dan menyenangkan.” Dan mereka punya semuanya mulai dari Youtube, website, buku pelajaran dan sertifikasi kursus. Makanya ketika saya menemukan mereka punya podcast di Spotify, yang bisa diakses gratis, saya seperti menemukan harta karun. Soalnya saya bisa mendengarkan mereka di mobil.

So what are the courses available?

Talk to Me in Korean – Core Korean Grammar

Untuk yang baru belajar, seri Podcast ini cocok untuk didengarkan karena pelajarannya beneran mulai dari awal. Kurikulumnya juga dibagi berdasarkan tingkat kesulitan dan topik yang dipelajari. Saya sering memutar seri ini ketika di kelas kursus sedang membahas topik yang lumayan sulit dihafalkan atau dipahami. Misalnya belajar angka. Mendengarkan pelajaran angka setiap hari di mobil membantu saya menghafal angka lebih cepat dan tidak tertinggal pelajaran di kelas. Seri podcast ini juga berguna ketika saya ingin mengulang topik tertentu karena lupa. Setiap episode panjangnya sekitar 10-20 menit. Ada 10 level yang bisa didengarkan dan setiap levelnya ada 20-30 lesson yang bisa jadi pelajaran.