13 May 2018

Book Review: Sad Girls by Lang Leav

“We all need to follow our intuition, even if it takes us down the wrong path. Otherwise, you’ll always be second-guessing yourself.”

Sepotong nasihat tersebut diberikan seorang publisher kepada tokoh utama yang bekerja menjadi seorang jurnalis di korannya. Audrey, sang tokoh utama, saat itu sedang galau dan memutuskan untuk resign dan pergi ke Colorado untuk memulai hidup baru. Sebuah perjalanan jauh mengingat setting cerita ini adalah Sydney, Australia.


Menyelesaikan buku karya Lang Leav ini jadi prestasi sendiri untuk saya, karena saya jarang baca buku yang terlalu cewek. But I think if I can finish this, then the book is not girly enough. Haha. Tokoh utamanya cewek, punya sahabat dekat cewek. Lalu konfliknya seputar pacar, ekspektasi orang tua dan mengejar mimpi. Lah, apa serunya? Yang membedakan buku ini dan mungkin buku-buku “coming-of-age” lainnya adalah di sini ada yang mati. Iya, mati. Dan karena saya selalu bilang kalau saya akan baca buku dan nonton film drama jika ada yang mati atau adegan tembak-tembakannya, saya meniatkan diri baca buku ini. 



Sad Girls
Pengarang: Lang Leav
Halaman: 362
Paperback
Tahun: 2017

Tapi sebelum lanjut, untuk yang sudah pernah baca puisi karya Lang Leav sebelumnya, jangan expect too much dari karya fiksinya. Baca saja, enjoy ceritanya dan abaikan bagian yang menurut kalian aneh.


Ceritanya apa?

Audrey mulai mengalami panic attack ketika salah seorang teman seangkatannya, Ana, ditemukan meninggal beberapa waktu setelah Audrey mengatakan sebuah kebohongan. Di pemakaman Ana, Audrey bertemu pacar Ana, Rad, dan terlibat dalam hubungan benang kusut karena (1) Audrey sudah punya pacar yang juga teman masa kecilnya, dan (2) mereka pergi berduaan saat jenasah masih disemayamkan.

Di samping masalah cowok, Audrey juga masih menghadapi masalah keluarga dan persahabatan dengan Candela dan Lucy. Kehadiran Candela yang “nakal” dan Lucy yang perfect membantu jalan cerita buku ini berubah jadi sinetron. Harap diingat bahwa Sad Girls ditulis dari sudut pandang seorang remaja perempuan yang berusaha menemukan jati dirinya – atau istilah kerennya “coming of age”.

Sebagai seorang mama 30 tahunan, saya sudah melewati semua kekacauan yang terjadi pada Audrey. Komentar pertama saya ketika menutup halaman terakhir buku ini adalah: “I wish I had known these things sooner.” Misalnya tentang hal-hal seperti panic attack atau depresi, yang sering dianggap sepele padahal membutuhkan pertolongan khusus. Atau seperti kisah mama-nya Audrey yang menyesali hidupnya karena harus membuang mimpi karena hamil tanpa rencana di usia muda dan tidak ingin anaknya mengulang “kesalahan” yang sama. Percakapan orang tua dan anak di buku ini mengajarkan keterbukaan, yang mungkin masih sulit diterapkan di Indonesia.

Ada tiga hal yang bisa jadi pelajaran bagi saya selalu yang punya mimpi jadi penulis ini.

Salah satu penulis yang diwawancara Audrey mengatakan ini: “I learned that writing is the consolation prize you are given when you don’t get the thing you want the most.” Banyak yang tidak setuju dengan pernyataan ini dan saya sempat bertanya pada diri sendiri. Untuk apa saya menulis? Dan jawabannya ya ternyata memang untuk hiburan dan menuliskan happy ending saya yang tidak mungkin terjadi di kehidupan yang sekarang. Atau ketika saya gondok sama satu cerita dan mulai gatel menulis fanfinction. Hahaha.

Next. 


“You still miss him, though. You know, missing someone can sometimes be the best thing for a writer.” Ucapan ini datang dari seorang tetangga Audrey ketika dia menyendiri di Colorado. Berhubungan dengan statement di atas, berapa banyak cerita dan puisi yang bisa kita tulis ketika kita putus cinta, gagal move on, kangen masa-masa SMA (nonton Dilan lagi? AADC?). Menulis tentang traveling karena kita kangen jalan-jalan ke sana lagi, kangen teman seperjalanan yang waktu itu?

“Writer takes things that are deeply personal and strip them down into words. That’s the thing about writers – on one hand everything is sacred to them, but, on the other, nothing really is.” Ini Rad yang bicara. Rad, seperti Audrey, juga seorang penulis. Bedanya, Rad berhasil mempublikasi satu buku di tengah cerita, sementara Audrey sampai halaman terakhir masih membuat saya bingung apakah bukunya jadi terbit. Menulis ini personal. Makanya blog jadi populer karena membawa sentuhan personal ke setiap postnya.

Last Thought

Kenapa judulnya Sad Girls? Entahlah. Saya sih sedih membaca buku ini, soalnya Lang Leav lebih banyak bercerita dengan nada curhat daripada menunjukkan apa yang terjadi seperti yang dilakukan Agatha Christie dan Lee Child. Tapi dua author kesayangan saya itu kan penulis cerita criminal misteri yang tidak mungkin menggunakan nada curhat ala remaja. Tapi memang buku ini banyak mengulas tentang kesedihan, dan bagaimana masing-masing tokoh mengatasi kesedihan mereka.

Termasuk quote andalan buku ini: 

"That's the thing, your first love isn't the first person you give your heart to - it's the first one who breaks it."


1 comment:

  1. Iii...sukak baanget baca Quote Andalannya. Emang bener sih ya begitu. Bunda mau nambahin aja "our first love is not always be our last love, lol...

    ReplyDelete

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.