16 November 2010

Untuk Sebuah Piala

Kalau bicara gain moment, yang pertama muncul di benak saya adalah piala pertama Andrew. Kenapa? Karena piala tersebut merupakan hasil perjuangan seorang anak balita untuk mendapatkan apa yang diincarnya selama setahun terakhir.



Waktu Andrew 2 tahun, saya iseng-iseng mengikutkan dia lomba foto. Eh, dia kok terpilih sebagai finalis? Sejak itu, saya jadi semangat mengikutkan dia di lomba-lomba yang lainnya. Ada yang berhasil sih, tapi lebih banyak gagalnya.

Seiring dengan bertambahnya umur, bertambah pula keingintahuan Andrew tentang lomba yang diikutinya. “Lomba apa, Ma? Andrew harus apa, Ma? Kok, antrinya lama, Ma?” Waktu pertama fashion show, disuruh ganti baju saja menangis. Disuruh berjalan di panggung hanya senyum malu-malu. Sekarang dia semangat naik panggung, bisa sabar antri menunggu giliran dan bisa diarahkan agar bergaya.

Tapi, muncul masalah baru: dia sering menangis kecewa jika kalah. Waduh!

Usut punya usut, ternyata Andrew menangis karena tidak dapat piala. Saya sampai bingung karena kok anak 3 tahun sudah mengerti piala? Ternyata dia diam-diam sering memperhatikan piala kami sekeluarga yang dipajang Papa di rumah. Masing-masing anggota keluarga paling tidak punya satu yang dipajang. “Di rumah, cuma Andrew yang nggak punya piala,” jawabnya di sela isak tangisnya.

Ketika untuk kesekian kalinya dia tidak berhasil lagi, Andrew mogok ikut lomba. Kemenangan yang menghasilkan barang, uang ataupun piagam tidak digubrisnya. Yang diinginkannya hanya satu: memajang piala hasil lombanya di samping milik kami semua. Kami sempat kewalahan menghadapi kekecewaannya. Papa saya sampai ingin membelikan Andrew sebuah piala supaya dia tidak kecewa lagi, dan tidak menangis lagi kalau kalah. Tapi ide tersebut saya tolak mentah-mentah. Suatu hari nanti Andrew pasti dapat piala dari hasil kemenangan sendiri, bukan kemenangan yang dibeli. Yang penting sakarang adalah bagaimana memotivasi anak batita ini supaya mau ikut lomba lagi. Kalo tidak ikut lomba kan mana bisa dapat piala?

Enam bulan kemudian pada perayaan Hari Kartini di sekolahnya, saya sengaja melibatkan dia untuk memilih sendiri baju daerah yang akan dipakainya agar dia lupa dengan lomba itu sendiri. Benar saja, Andrew jadi bersemangat memilih kostumnya. “Andrew mau pakai baju Bali, Ma!” katanya. Hari H datang dan Andrew sudah sibuk mau pakai bajunya sejak bangun tidur. Saya jadi khawatir. Bagaimana kalau kali ini dia tidak berhasil mengalahkan rasa putus asa itu?

Satu jam sebelum tampil Andrew ngantuk.

“Andrew, kalo dibangunkan pas gilirannya, jangan marah ya?”
“Oke, Ma!” sahutnya, lalu dia merebahkan kepalanya ke pangkuan saya dan tidur. Sepuluh menit sebelum gilirannya, dia saya bangunkan. Sambil mengusap-usap mata, saya membetulkan kostumnya.
“Andrew, kalau kalah jangan menangis ya. Kita coba lagi.”
Dia mengangguk sambil menguap, “Iya, Ma. Kita coba lagi.”
“Kamu ingat yang kita sudah latih kemarin?”
“Ingat, Ma.”
“Mama di depan ya, nanti jangan lupa senyum!” Dia tersenyum dan saya melepasnya kepada guru kelasnya yang datang untuk mengumpulkan anak yang akan tampil.

Sore itu saya melihat anak saya berbaris dan bergaya melawan 60 anak lain seusianya dengan kostum daerah yang bagus-bagus. Saya langsung pesimis, Andrew kan cowok, mungkin gak ya menang lawan anak perempuan kalau fashion show? Setelah anak terakhir turun panggung, juri masih harus berunding menentukan pemenang. Saya mengulang lagi kata-kata saya sambil mengganti kostum Andrew yang menurutnya gatal. “Andrew kalau kalah tidak apa?” “Tidak menangis, Ma. Nanti kita coba lagi.” Paling tidak, dia sudah mengerti.

Begitu juara diumumkan, dia tegang. Saya tegang, opa-nya tegang, sampai susternya pun ikut tegang. Juara tiga dipanggil, ternyata nama Andrew yang disebut. Andrew melihat nomor pesertanya dengan tidak percaya. “Ma, Andrew ya? Andrew juara ya, Ma? Andrew dapat piala ya, Ma?” Dia segera berlari ke panggung dengan senyuman lebarrrrrrrr sekali. Senyuman kemenangan.

Terus, sekarang apa? Sepulang lomba, dia segera meletakkan pialanya di samping piala-piala yang ada. Lalu dia mulai bertanya, yang mana piala siapa. Begitu saya sebutkan satu persatu dia yang tadinya semangat jadi terdiam.

“Kenapa, Andrew?”
“Piala Mama lebih besar.”
“Ya, besar kecil sama saja.” Saya coba menghiburnya.
“Piala Om Jordan ada satu dua tiga…” dia menghitung sampai tujuh. “Andrew punya cuma satu Ma. Andrew mau dapat 10, Ma. Mau menang dari Om Jordan!”

Memenangkan sebuah piala mengajarkan Andrew tentang arti perjuangan. Tapi ternyata seiring dengan berakhirnya perjuangan mendapatkan piala, dia menemukan hal lain yang harus diperjuangkan: mendapatkan lebih banyak piala. Sepertinya sekarang, motivasi Andrew untuk menang tidak ada habisnya. Adik saya, yang memang paling jenius di keluarga dan pialanya paling banyak, hanya tertawa waktu saya beri tahu.

“Silahkan.” Katanya.
“Oke, Om! Andrew pasti kalahin Om!” kata Andrew, menerima tantangan Om-nya. Selamat berjuang, Andrew!

Entry ini diikutkan Writing Competition "Capture Your Gain Moment" dari majalah Parents Guide Indonesia... dan berhasil masuk sebagai finalis. *bersyukur*

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.