14 July 2025

Jadi Kangen Pelihara Kelinci

“Kalo pelihara kelinci, harus siap patah hati.”
Ini selalu jadi pesan saya bagi mereka yang bertanya. Kelinci ini binatang peliharaan yang lucu dan banyak yang tertarik memeliharanya karena terlihat mudah. Bisa dipelihara di rumah, dan sekilas terlihat harmless alias tidak merepotkan. Lalu, setelah kelincinya ada di rumah, barulah kita sadar bahwa semua ini hanya kamuflase di depan.

Salam kenal Dari Waco

Jadi, ketika memutuskan untuk mengadopsi kelinci, siapkan mental bahwa si kelinci bisa tiba-tiba berpulang, meskipun kita sudah memberikan yang terbaik. Patah hati berkali-kali, dan tendensi menyalahkan diri sendiri biasanya terjadi. Ketika godaan untuk mengadopsi kelinci lucu yang menggemaskan datang, coba pikir sekali lagi. Siapkah untuk patah hati?

Kelinci mengajarkan saya bahwa hidup itu dijalani saja setiap hari dengan senang hati. Kelinci-kelinci yang saya pelihara, keluarganya, dan kelinci lain yang saya kenal punya sejuta alasan untuk meninggalkan dunia. Mulai dari keselek makanan, sakit karena lingkungan yang kotor, sakit ketularan kucing liar yang lewat dekat kandangnya, kena jamur anjing tetangga, berantem sama tikus, berantem sama kucing, kedinginan, kepanasan, kebanyakan makan, masalah pencernaan, kaget, stress dan lain sebagainya.

Kalau kelinci mudah mati, berarti kita wajib memberikan yang terbaik setiap hari. Karena, besok bisa saja dia sudah tidak ada.

Namun, terlepas dari semua hal yang bikin sedih, ada banyak hal menyenangkan yang membuat saya akhirnya tetap memelihara kelinci. Walau dititipkan ke rumah orangtuanya si kelinci.

Yang pertama: Kelinci tidak merepotkan.

Lho, katanya tadi susah memelihara agar tidak mati? Iya, betul, tapi sehari-harinya, kelinci ini tidak merepotkan. Seperti kucing, kelinci ini mandi sendiri. Jadi dia bersih. Almarhum Sentaro adalah kelinci rumah yang super bersih. Tidurnya di kamar saya dan tidak pernah pup sembarangan. Pup dan pipis selalu di kamar mandi, dekat selokan pembuangan air. Dia tidak mau makan dan pup di tempat yang sama. Jadi, kalau saya kasih makanan di kamar mandi, dia akan bawa ke luar makanannya.

Sayangnya, tidak semua kelinci begini karena kelinci saya yang berikutnya, mendiang Kichi, adalah kelinci yang jorok, cuek dan berantakan. Sering bertengkar dengan saya hanya masalah dia tidak “cuci kaki” setelah main di luar dan jejak cokelat bertebaran di lantai rumah yang warnanya putih itu.

Yang kedua: Kelinci biayanya murah.

Yes, banyak yang bilang sebaliknya. Tapi, kelinci saya main di taman, makan rumput, hay dan snack home made. Sesekali ada sih makan pelet, tapi biayanya tidak semahal makanan anjing atau kucing. Karena tidak main ke luar rumah, dan bertemu binatang lain, jadi kelincinya ya tidak vaksin atau steril. Makanya jadi rentan sakit, bahkan ketika papasan sama kucing liar yang lewat di tembok, besoknya tiba-tiba jadi jamuran. Kelinci saya juga tidak ada yang beli baju atau punya kandang mewah sih. Malah, Sentaro tidak punya kandang dan tidurnya di ranjang saya.

Yang ketiga: Kelinci tidak butuh perhatian sepanjang waktu.

Cocok buat saya yang cuek. Mereka asyik sendiri bermain, dan banyak menghabiskan waktu buat tidur di siang hari. Kalau saya pulang kantor, mereka akan menyambut dan minta makan. Downside-nya, mengajak bermain kelinci ini agak challenging karena mereka sulit dilatih. Ya, setidaknya kelinci-kelinci yang saya pelihara adalah kelinci yang asyik sendiri. Bukan yang seperti anjing bisa dilempar bola lalu dikejar.

Kangen sebenernya untuk pelihara kelinci sendiri, tapi punya pets adalah sebuah tanggung jawab besar. Kita tidak bisa meninggalkan kelinci lebih dari 24 jam tanpa pengawasan karena mereka jarang bisa mengontrol makanan. Mereka juga hewan pengerat, kalau ditinggal sama kursi rotan, kayu bahkan tembok, semua bisa habis digigitin.


"Kamu Manggil?"


05 May 2025

Ngeblog Next Level? Siapa Takut?

Kalau ada blogger ngumpul buat bertukar cerita dan silaturahmi, hasilnya apa? Ya, blog post dong. Untuk mengisi blog yang berdebu, makanya pertemuan kemarin jadi tulisan.

Hubungannya apa? Well, 2025 ini entah kenapa saya nggak update blog utama. Hanya update di blog traveling karena ikutan challenge. Itu pun, kejar-kejaran dengan deadline. Blog yang ini berdebu. Draftnya ada beberapa tapi tidak pernah ter-publish. Ketika hadir di kumpul-kumpul blogger di rumah Founder ISB, Teh Ani Berta, ternyata bukan saya saja yang punya masalah “hiatus” ini.


Menjawab apa yang terjadi, saya mencoba merefleksikan dengan kondisi saat ini. Tahun 2025, saya resmi pengangguran. Pekerjaan nggak stabil berarti harus cari yang secara freelance. Freelance ini menyita waktu dan tenaga. Harus pitching, melamar, negosiasi, tambal sulam sana sini. Otomatis kegiatan yang tidak menghasilkan uang langsung jadi prioritas kesekian. Termasuk blogging. Apalagi privilege sebagai blogger sudah banyak berkurang dari zaman kejayaannya dulu.

Singkatnya, kalau dulu saya punya pekerjaan tetap serta gaji bulanan, jadi bisa curi-curi waktu ngeblog di saat istirahat, sekarang saya nggak punya waktu istirahat. Semua waktu yang tidak digunakan untuk cari uang adalah terbuang percuma.

Wajar kalau dengan berkurangnya semua privilege dan antusiasme di masyarakat, motivasi ngeblog juga jadi hilang. Ketika kumpul-kumpul kemarin, ini salah satu yang jadi topik bahasan kami selain bagaimana cara masak ikan tanpa bawang merah, mau S2 bidang apa, daun kenikir itu bisa dimakan, menghadapi anak remaja, nostalgia kompasiana dan sejuta topik lainnya yang urgensinya agak sedikit di bawah. Hahaha.

Ada beberapa poin yang saya bawa pulang dari diskusi informal sambil ngemil bolu dan cendol keju di dalam kaleng biscuit itu.

Ingat Kembali Alasan Awal kita Ngeblog

“Saya ngeblog karena saya suka nulis.” Pernyataan tersebut menjadi tamparan buat yang blognya mandeg seperti saya. Kalau memang ngeblog musiman, karena sumber uangnya dari sana, ya mau gimana lagi kalo jadi demotivasi. Nah, kalau yang memang blognya nggak monetized seperti saya? Alasannya apa? Kalau menyukai sesuatu kan seharusnya punya waktu.

Kalau alasan awalnya ngeblog karena uang gimana? Pamor blogger turun, nggak ada brand mau bayar post, terus diam saja, pasrah? Ya, nggak dong. Kita jemput bola, menjaga blog tetap aktif lalu bersama-sama membuktikan kalau kita ini masih eksis, masih relevan.

Fokus pada Niche yang Spesifik dan Sesuai Passion  Sekarang. Cari Inspirasi Baru.


Misalnya kalau dulu kita fokus traveling solo karena masih single, sekarang kita fokus ke parenting karena sudah berkeluarga. Dulu kita ngomongin anak, sekarang anaknya sudah besar, kita kuliah lagi. Jadi, blognya banyak membahas edukasi dan dunia pendidikan. Hidup berjalan dan cerita kita berganti. Rasanya sulit menulis yang tidak sesuai dengan keadaan sekarang, jadi ya jangan takut mencari niche atau fokus ke topik baru.


Creating awareness & Interaction

Jangan berhenti branding. Satu pertanyaan yang dilontarkan Teh Ani membuat saya jadi merenung. “Bagaimana caranya agar brand di luar sana tahu bahwa blogger masih ada?”

Salah satunya, yang muncul dari ajang diskusi, adalah dengan eksis lagi, konsisten ngeblog lagi dan memanfaatkan media sosial yang sekarang ada untuk sharing tentang blogging. Ngeblog next level ini bukan hanya tentang saya senang menulis. Tapi bagaimana kita membangun personal branding, meningkatkan awareness dan ketertarikan orang akan blog yang dimiliki.

Tentunya, tidak sendirian dong. Bergabung dengan komunitas blogger, komunitas menulis atau komunitas lainnya yang bergerak di bidang literasi untuk saling menyemangati dan membangun jaringan.

Pulang dari kumpul-kumpul, bukan cuma perut yang penuh karena kebanyakan ngemil, tapi hati dan pikiran juga penuh dengan ketemuan teman serta homework untuk membawa blogging ke level selanjutnya.

Who’s with me?

28 April 2025

Emang ngeblog itu masih relevan ya di 2025?

Pertanyaan inilah yang membawa saya mengikuti sebuah webinar tentang blogging dan travel blogging yang diadakan oleh DailySEO ID bersama komunitas ISB.

Live Webinar berjudul “Is Ngeblog Dead in 2025 bersama Mbak Istiana, seorang travel blogger ini membahas pengalaman ngeblog selama 10 tahun, strategi mendapatkan traffic dan tentunya monetisasi. Webinar yang berlangsung selama kurang lebih dua jam itu penuh dengan ilmu dan diskusi menarik tentang blogging dan relevansinya di 2025.

Bicara relevansi, satu hal yang saya salut dari Mbak Isti adalah keberaniannya mengganti niche blog dari Parenting ke travelling. Pengalamannya itu diceritakan di awal, saat berbagi cerita tentang perjalanan ngeblognya. Hal ini sebenarnya relevan dengan bagaimana kita membranding blog tersebut.


Pelajaran pertama yang saya dapatkan adalah menulis About Me dengan benar. Siapa saya? Blog ini menawarkan apa? Expertise apa yang saya punya? Memindahkan niche pun adalah langkah untuk menaikkan relevansi dan kredibilitas sebuah blog. Mengapa hal ini penting? Karena, biasanya orang juga melihat Siapa yang ada di balik sebuah tulisan. Misalnya Mbak Isti menulis tentang Parenting karena dirinya memang seorang ibu. Lalu, ketika berganti menjadi traveling, ya karena memang dia suka jalan-jalan bareng keluarganya.