30 adalah usia sebenarnya menjadi dewasa, setidaknya untuk otak kita. Ahli neuroscience dari Harvard, Leah H. Somerville, menulis di jurnal Neuron bahwa volume otak secara keseluruhan berkembang maksimal pada usia 10 tahun, dan otak bagian belakang berkembang sempurna di usia 20-an. Namun bagian otak depan masih membentuk jaringan baru hingga usia 30 tahun. Rasanya lega, soalnya saya masih bisa belajar bahasa Korea meskipun umur sudah mendekati kepala 4.
Saya vs Dudu pernah belajar bahasa Jawa |
Kemampuan berbahasa asing penting karena dapat meningkatkan percaya diri, memperluas networking, menjadi nilai tambah saat melamar kerja serta meningkatkan kerja otak. Mark Antoniou, Psycholinguist dari Western Sydney University-Australia menulis di Annual Review of Linguistics, bahwa menguasai dan menggunakan setidaknya dua bahasa secara rutin dapat menunda timbulnya Alzheimer.
Di kelas-kelas kursus Bahasa Korea, saya sering jadi murid paling tua. Tapi dengan mengetahui teknik yang tepat, terutama setelah menyadari bahwa kemampuan penyerapan bahasa asing saya tentunya lebih lambat dari “anak-anak muda” ini, saya bisa mengikuti pelajaran dan akhirnya lulus les bahasa Korea dengan nilai tak kalah bagus.
Jadi, apa yang saya lakukan?
Berdamai dengan Ekspektasi
Saya terakhir belajar bahasa asing dengan benar ketika saya SMA. Belajar bahasa Perancis dan lulus ikut ujian standardisasi. Hanya dalam waktu 6 bulan ikut kelas intensif sudah bisa ngobrol kanan kiri. Hampir dua dekade kemudian, saya belajar bahasa Korea karena terjerumus ke dunia Kpop. Eh, kok susah. Ikut kursus sudah 6 bulan baru bisa dasarnya, tulisan Hangul saja tidak hafal-hafal. Apalagi menurut penelitian, untuk jadi fasih, sebaiknya mulai belajar bahasa sebelum usia 18 tahun. Saya auto merasa bodoh.
Idol favorit saya pernah acting jadi guru bahasa. |
Ternyata ekspektasi saya ketinggian. Tadinya menyalahkan usia, tapi ternyata kesibukan juga turut menyumbang lambatnya perkembangan bahasa Korea saya. Les bahasa 2x seminggu, terkadang bolos karena lembur. Bikin PR last minute karena tidak sempat mengulang pelajaran di luar les. Tentu saja hasilnya tidak sebanding dengan jaman SMA yang bisa review lebih intense. Jadi, sebelum memulai belajar, lihat ke diri sendiri dan jadwal sehari-hari. Berapa banyak waktu yang ada untuk belajar bahasa asing dan sesuaikan ekspektasi kita.
Set Personalized Target
Ada dua macam target: jangka panjang dan jangka pendek. Ketika memutuskan untuk belajar bahasa Korea, saya punya mimpi harus bisa at least bertanya jalan kalau saya nyasar di Korea pas liburan suatu hari kelak. Target jangka panjang saya tidak ada waktunya. Target jangka pendek ada deadline-nya. Misal, saya harus bisa menghafal 10 karakter Hangul setiap minggunya. Dalam 1 bulan, saya harus menambah 10 kosakata baru.
Lebih seru lagi kalau target-target ini dibuat personalized. Saya follow social media penyanyi Kpop favorit saya dan saya punya target setidaknya dapat membaca postingan mereka yang dalam tulisan hangul tanpa melihat kamus. Ketika saya naik ke level berikutnya di tempat kursus, target saya menjadi ‘memahami postingan idol Kpop tanpa melihat kamus’.
Mencari jalan keliling Korea Selatan |
Personalized target juga jadi motivasi tersendiri agar tidak mudah menyerah di tengah jalan karena ada reward yang didapatkan. Misalnya, dengan berhasil me-reply postingan idol favorit di media sosial dengan tulisan Hangul, saya merasa kesempatan untuk dipahami oleh sang idol jadi lebih besar. Atau ketika bisa merespon pertanyaan idol di konser tanpa harus menunggu penerjemah, rasanya sudah seperti dapat sertifikat kelulusan. Motivasi yang sama inilah yang membawa saya belajar bahasa Inggris saat SD dulu.
Belajar Secara Konsisten
Sudah set ekspektasi dan punya motivasi, sekarang saatnya tips belajar bahasa asing yang saya praktekan untuk mengejar ketertinggalan dengan teman-teman sekelas.
Yang pertama adalah mengulang tiap hari. Bekerja full-time dan sering lembur, menyisihkan waktu setiap hari untuk belajar adalah tantangan. Jadi instead of 30 menit fokus belajar setelah pulang kantor dengan keadaan lelah, saya menyisipkan 5-10 menit untuk review vocabulary lewat aplikasi belajar bahasa atau scrolling instagram idol Kpop saat jalan dari meja ke kamar mandi. Jaman masih WFO, saya menghabiskan perjalanan di mobil mendengarkan podcast belajar bahasa Korea di Spotify.
Aplikasi kesukaan saya buat belajar Bahasa Korea adalah memrise
Yang kedua, bergabung dengan komunitas di Facebook Group atau mengikuti media sosial komunitas sambil rajin memberikan comment dan interaksi. Kalau ada temannya, belajar jadi lebih mudah dan semangat. Yang terakhir adalah jangan lupa praktek. Menulis dan membaca bisa dari media sosial. Mendengar bisa lewat nonton IG Live atau Youtube idol Kpop. Kalau speaking? Saya mau tidak mau harus ikut kelas untuk bisa ngobrol. Sejak pandemi, banyak conversation class lewat zoom, yang bisa diikuti untuk latihan berbicara.
Buat saya yang lebih suka boyband daripada film, karaoke jadi cara paling efektif buat belajar bahasa. Karena saat karaoke, kita bisa belajar 2 hal sekaligus yaitu membaca dan melafalkan kata dengan benar.
Let me end this story with a happy ending.
Saya akhirnya jalan-jalan ke Korea, setahun setelah saya memutuskan untuk belajar bahasanya. Di sana saya berhasil bukan hanya bertanya jalan seperti target semula tapi bisa mengarahkan supir taksi di Seoul, menjelaskan masalah kepada petugas bandara di Jeju, memesan makanan serta membeli tiket bus di Sokcho yang penduduknya mayoritas tidak mengerti bahasa Inggris.
Akhirnya kami berdua mendarat juga di Korea - dan bisa praktek bahasanya |
Intinya, jangan menyerah walaupun progress kita mungkin tidak secepat anak-anak remaja yang baru dengar sekali lagu Kpop bisa langsung hafal liriknya. Belajar bahasa baru sampai lancar di usia lebih dari 30 tahun itu mungkin karena memang tidak ada kata terlambat untuk belajar.