11 February 2018

Ikutan Trending di Dunia Blogging

Paling enak itu jaman dulu, belum banyak yang ditemukan. Coba kalau Alexander Graham Bell hidup di jaman sekarang, dia pasti pusing melihat benda ciptaannya malah menjauhkan yang dekat bukan mendekatkan yang jauh. Padahal mungkin dulu dia menciptakan telepon supaya komunikasi lebih mudah. 

Jadi blogging itu gini ya Om, Tante...
Graham Bell menciptakan telepon, sesuatu yang baru pada masanya. Dan sampai sekarang, secanggih-canggihnya ponsel, tetap saja merupakan pengikut trend komunikasi. Iya sih, ada tambahan fitur A, teknologi B dan lain sebagainya. Tapi pada intinya kan benda tersebut tetap sebuah telepon (meskipun fungsi yang paling sering dipakai adalah Whatsapp dan Instagram).

Blogging juga begitu, terutama setelah banyak yang menyadari bahwa “profesi” ini menjanjikan. Banyak yang latah punya blog (terutama kategori lifestyle) dan mendadak jadi blogger. Ikutan trend. Tidak salah dong? Well, it’s okay to follow but we do have to create something that’s uniquely ours. Sebutan simplenya “identitas”. Sama seperti brand ponsel yang sering datang menghampiri para blogger itu. Ada yang kameranya bagus, ada yang punya fitur waterproof, ada yang tahan banting, dan lain sebagainya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan supaya kita bukan cuma ikut-ikutan? Well, saya bukan ahlinya dalam bidang ini karena saya ngeblog mainly untuk diri sendiri dan sejujurnya tidak yakin juga soal setting the trend ini. Tapi blog alay saya sudah terpublish sejak awal 2000an jaman saya kuliah, dan sejak Dudu lahir tahun 2006 saya rutin ngeblog tentang parenting. Blog alaynya saya tutup hahaha. Dan ini yang selalu saya lakukan ketika saya meragukan “identitas” blog saya sendiri di tengah maraknya profesi blogger.

Tujuan Ngeblog

When in doubt, ask yourself: mau dibawa ke mana tulisan kita? Saya ngeblog untuk diri sendiri, karena senang nulis dan mau menulis sesuka hati. Bagus kalau blog ini bisa digunakan untuk mengabari keluarga yang beda benua akan perkembangan anak saya. Maka itu blog parenting pertama saya menggunakan bahasa Inggris. Sampai satu hari saya kerja di majalah berbahasa Inggris dan lelah menulis dalam bahasa asing. Blog saya jadi berbahasa Indonesia. Sekalian latihan.

Tujuan ngeblog pun berubah, dari sekedar menuangkan isi otak dan memberi kabar menjadi ajang latihan menulis dalam bahasa Indonesia. I still write and blog a lot faster in English though.

Find out why you blog and stick to your reason. Lama-lama akan jadi identitas blogmu dan identitasmu juga.

Don’t Try Too Hard

Kalau memang bukan kamu banget, tidak perlu memaksa jadi bagian dari trend. Maksudnya begini, kadang saya melihat job datang satu gelondongan dan langsung disambut oleh para blogger. Hore ada rejeki. Saya juga senang kalau kebagian job. Namun kalau ada satu topik yang membuat saya pusing menuliskannya, sudahlah jiwanya tidak ketemu, topiknya kurang paham dan saya harus research jauh lebih banyak dari menginterview seorang sosialita, saya lebih baik melepaskan trending job tersebut. Iya sih, semua orang lagi heboh menuliskannya dan kita jadi ketinggalan trend. But I believe blogging is like fashion. Kalau lagi trend sepatu warna kuning telur, saya juga tidak bakal ikutan beli dan pakai kan.

Trying too hard to fit with the trend is going to cost you. Bukan cuma blogging, di kehidupan sehari-hari juga rasanya begitu. 

Invent Things That Matters

Hal-hal yang saya ciptakan, seperti hastag #DateWithDudu dan konsep jalan-jalan/ngedate ibu & anak ini, penting untuk saya. Buat orang lain mungkin tidak ada gunanya. Atau mungkin mereka lebih cocok konsep family trip yang lengkap dengan sang ayah. Lihat ke sekeliling kita, apa yang penting dan apa yang bisa jadi trending? Tapi ingat bahwa konsep itu harus relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Jangan sampai demi menciptakan trend/branding hastag #BahagiainOrangTua, kita jadi memaksa Mama dan Papa untuk wajib ikutan nampang di blog kita.

Terbalik.

Harusnya kalau memang Mama-Papa suka muncul jadi bagian hidup (dan blog) kita, baru manfaatkan itu jadi branding kita.

What if things that matters to me only matters to me? Well, saya percaya audience akan selalu ada. Meskipun niche. Kalaupun tidak ada yang benar-benar senasib, pasti ada orang yang tertarik dengan apa yang kita ceritakan karena pada dasarnya manusia itu makhluk sosial alias kepo.

Hahahaha.

2 comments:

  1. Iya, Nina, I like to call you by your nickname, it remind me to my beloved daughter who lives far away from Ciputat/Pamulang where I live. Bener juga, kenapa harus pusing-pusing mikirin job kalo topiknya gak nyangkut di benak kita. Setuju deh. My regards to your Dudu.

    ReplyDelete
  2. Aku menulis karena awalnya suka baca cerita sehari2nya para bloggers (duluuuu), jadi pengin ikutan dan sekalian latihan cerita.

    Lama-lama keterusan, dan sempat hampir terbawa arus yang tren itu, tapi gak nyaman sendiri. Jadi yaa kalau dapat kerjaan, biasanya ambil yang aku paham aja :D

    ReplyDelete

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.