“Mama ini bagaimana sih, aku kan Gen Z.”
Protes Dudu sering terjadi ketika saya komen soal kelakuan anak Gen Z.
“Loh, emang Gen Z itu tahun berapa?”
Pertanyaan saya malah membuat dia tambah kesal. Haha. Yah, habis gimana dong. Saya berpikir Gen Z ini adalah teman-teman di kantor, yang senang bicara mental health dan jajan kopi kekinian. Anak-anak di tim saya yang kerja keras di weekdays, tapi weekend-nya having fun gila-gilaan. Senang belajar hal baru, FOMO dan gampang overthinking.
Kadang saya berpikir Gen Z seperti kelinci. Foto hanya pemanis. |
Kalau ditanya apa yang saya dapatkan dari interaksi dengan Gen Z, ini adalah jawabannya:
Mental Health itu bukan penyakit yang harus disembunyikan.
Generasi yang ini lebih berani dan terbuka soal kesehatan mental mereka. Dosis obat anti-anxiety, rekomendasi psikolog dan psikiater jadi bahan diskusi seperti makanan dan restoran. Dari mereka jugalah, saya memahami bahwa psikiater memang dibutuhkan dan dapat membantu memecahkan masalah.
Ketika Mama diagnosa kanker dan sulit berkomunikasi, saya memanggil psikiater rumah sakit untuk berkunjung dan memberikan obat. Hasilnya, Mama jadi sempat pamit dan ngobrol sebelum akhirnya berpulang. Mental Health awareness berguna bukan hanya bagi anak muda, tetapi juga orang tua. Post-power syndrome bagi pekerja pensiun atau lansia aktif yang terkena penyakit berat dan harus bed rest. Ini semua sering membutuhkan bantuan mental health expert, dan saya belajar dari para Gen Z ini untuk tidak mengabaikan kemungkinan ini.
Overthinking dulu Insecure kemudian.
Saya langsung merasa overthinking saya normal. Beberapa rekan dan kenalan yang Gen Z. memiliki kemampuan overthinking yang membuat saya jadi overthinking juga. Ini saya yang “normal” atau saya memang kurang memikirkan segala sesuatunya dengan baik?
Overthinking bukan hal positif jika dilakukan secara berlebihan, tapi ini sebenarnya adalah self-defense mechanism yang dimiliki manusia untuk meminimalisir resiko. Atau setidaknya begitulah yang saya pikirkan. Yang penting jangan sampai kedua hal ini menghambat saya dalam berkembang dan belajar.
Work-Life Balance itu Penting
Kerja memang harus, tapi bersenang-senang juga jalan terus. Uang kalau hanya mengendap di tabungan juga buat apa? Meskipun ini bukan mindset general Gen Z, beberapa teman saya memilikinya. Gadget dicicil. Ketika cicilannya lunas, sebulan dua bulan kemudian tukar tambah dengan yang baru dan mulai mencicil lagi. Saya yang terbiasa membayar lunas semuanya jadi membandingkan gaya hidup saya juga.
Menabung itu perlu. Banyak Gen Z yang saya kenal punya emergency fund cukup besar. Soalnya mereka pernah kena layoff dan faham resiko kerja di perusahaan startup. Yes, biasanya mereka kerja di startup karena tantangan dan gaji yang besar. Namun, pengeluaran mereka juga cenderung besar karena mereka suka pakai gadget terbaru. Beberapa juga menghabiskan uang di skincare dan liburan ke luar negeri. Intinya ya itu, ada alokasi dana untuk bersenang-senang.
Menghadapi rekan kerja yang semakin hari semakin muda, bahkan saya pernah punya intern yang umurnya hanya beda beberapa tahun dengan Dudu, membuat saya berpikir bahwa saya semakin tua haha. Untungnya gap antar generasi biasanya tidak terlalu terasa, dan saya seringkali bisa menyesuaikan diri.
Kuncinya hanya satu: mau berpikiran terbuka.