Tahun ini adalah tahun ke-16 saya menjadi seorang ibu tunggal. Jadi Mama Dudu. Sapaan di atas sudah jadi identitas kedua buat saya. Identitas yang saya banggakan juga, meskipun kadang menimbulkan pertanyaan buat teman yang baru kenal. Soalnya sebagai single mom, saya suka terlihat single beneran. Haha. Terlihat happy-go-lucky belum punya anak, belum punya tanggungan. Masih senang-senang sendiri. Sampai kita tukeran IG. Lalu muncul pertanyaan pertanyaan beruntun karena akun IG saya namanya Date with Dudu.
Siapa Dudu? Anak gue. Anak lo umur berapa? 16 tahun.
Hah?
Saya hamil saat kuliah dan karena satu dan lain hal memutuskan untuk jadi seorang ibu tunggal. Ketika saya lulus, Dudu sudah berumur 1 tahun. Mulai dari kuliah sambil mengasuh bayi, lalu mencari kerja sambil membesarkan anak. Tahu-tahu anaknya sudah jadi remaja tahun ini, dan kita sudah melaluinya berdua saja. Saya tidak pernah punya pasangan lagi, si Dudu juga (katanya) belum mau pacaran karena masih mau main game. Hahaha.
Bahagia jadi berdaya
Kehadiran Dudu memberikan saya pelajaran bahwa tidak ada kata terlambat untuk bahagia, meskipun apa yang terjadi ini sebenarnya di luar rencana semula. Saya memulainya dengan menjadi seorang ibu tunggal berdaya. Apa itu? Berdaya, kalau dalam KBBI diartikan sebagai (1) berkekuatan; berkemampuan; bertenaga; dan (2) mempunyai akal (cara dan sebagainya) untuk mengatasi sesuatu dan sebagainya.
Status single mom di usia 21 tahun tidak menjadikan saya terlambat untuk mengejar mimpi dan melakukan hal-hal yang disuka, karena tinggal ditukar saja rencananya. Yang seharusnya dikerjakan pada umur 20-an, ya dilakukan di umur 30-an setelah anak lebih mandiri. Jadi, berdaya versi saya berarti menyadari bahwa saya punya kekuatan, kemampuan, tenaga dan akal untuk menjadi seorang ibu yang bahagia. Jangan sampai terjebak victim mindset alias berpikir bahwa saya ini korban yang tersandera anak dan takdir. Apalagi saya menjalani peran sebagai orang tua tunggal, semakin banyaklah alasan untuk jadi ibu berdaya.
Bahagia mengejar karir
Ketika Dudu masuk SD, saya pindah dari media ke e-commerce karena mengejar gaji yang lebih besar untuk kebutuhan hidup yang juga meningkat. Dunia e-commerce yang fast-pace mungkin tidak cocok buat seorang single mom usia 30-an seperti saya, bersaing dengan anak muda yang sebagian besar adalah fresh graduate berambisi. Bagaimana saya, yang fokusnya terbagi dengan anak, bisa mengejar karir di dunia ini?
Di sini, cara saya untuk mengatasi persaingan adalah dengan menunjukkan kemampuan. Menjadi seorang ibu berarti saya mampu bertanggung jawab atas kehidupan orang lain, dalam hal ini anak. Dan sebagai seorang single mom, saya mampu melakukan hal tersebut sendirian. Dudu adalah bukti ‘kesuksesan’ saya. Weekend saya memang buat nge-date sama Dudu. Tapi weekdays saya, bisa dipakai fokus mengejar karir dan mimpi di industri yang sekarang. Dan saya bahagia.
Bahagia melakukan hobi
Dudu yang semakin besar, berarti saya punya lebih banyak waktu untuk diri sendiri. Waktu ini saya gunakan untuk melakukan hobi, yang kemarin sempat terbengkalai. Misalnya dengan ikut les bahasa, nonton konser Kpop di Youtube, volunteer di komunitas, atau ikut online event. Loh, terus Dudu ditinggal? Yah, anak ABG ini sekarang lebih memilih main game sama teman-temannya dibandingkan nge-date sama Mama. Tapi karena pandemi ini membuat kita di rumah saja, saya masih berusaha makan siang dan makan malam bersama Dudu. Sekarang saya bahagia karena melakukan semua hal yang saya suka, tanpa kehilangan waktu bersama Dudu.
Kalau ditanya apa rasanya jadi seorang ibu, jawabannya saya adalah “seru”. Loh kok seru? Nggak susah? Mungkin ada susahnya, tapi saya lupa. Lebih banyak kenangan seru dan bahagianya. Yang diingat cuma sering traveling sama Dudu, sering keliling kota mencoba restoran baru dan pergi event seru. Kok bisa? Ya soalnya saya kan ibu tunggal berdaya. Hahaha.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.