26 August 2017

Menyeduh Kopi Modern dan Tradisional di Jogjakarta

Motor mabur setunggal, setunggal, kalih…. Tilu lalu matur nuwun. Pengumuman berbahasa Jawa halus tersebut menjembatani bahasa Indonesia dan Inggris, berkumandang ketika saya menunggu bagasi di Bandara Adi Sutjipto pada 17 Agustus kemarin. Bahasa Jawa (halus) saya hanya sampai sekawan, tapi pengumuman yang saya tidak begitu ingat kalimat persisnya tersebut membuat saya tersenyum sendiri.

Hore, saya sudah berada di Jogjakarta.



Ada yang semangat banget mau ke Jogja pas 17 Agustus nih. Merdeka!
Ini kunjungan kesekian saya ke propinsi istimewa di selatan Jawa, dan kali ketiga Dudu mampir ke Jogjakarta. Tapi baru sekali ini saya menginjakkan kaki di Bandara Adi Sucipto. Maklum, dengan adanya keluarga yang tersebar di pelosok Jawa, saya sekeluarga lebih sering bepergian dengan mobil. Lewat jalan darat lebih seru. Tapi kalau tidak lewat udara, saya tidak akan terkagum-kagum sendiri dengan pengumuman penerbangan yang menggunakan bahasa daerah di sebuah airport internasional.

Tujuan saya ke Jogja juga sedikit berbeda. Kalau biasanya kami sekeluarga hanya berlibur, kali ini kami mengantar adik terkecil untuk bertemu calon keluarga barunya yang kebetulan berdomisili di Jogja. Tahun depan, Jogja akan menjadi bagian dari keluarga kami. Karena sudah cukup akrab dengan Borobudur, Malioboro dan Sendratari Ramayana, di kunjungan kali ini saya sengaja mencari sesuatu yang bukan tujuan wisata. Sesuatu yang baru, modern tapi tetap bercerita tentang Jogja.

Keluarga dan kopi, dua hal itu yang akhirnya membawa saya mampir ke tempat nongkrong seru di Jogja yang lengkap dengan kopi enak.


Dalam perjalanan ke Ullen Sentalu, supir kami menawarkan berbelok ke kopi klotok yang terkenal dengan pisang gorengnya. Belok masuk gang sempit sekitar 200 meter, sambil menyusuri sawah, Warung Kopi Klotok  terletak di ujungnya, di sebuah rumah joglo kayu yang tertutup pohon rindang. Konon tempat ini sudah ramai sejak pukul 7 pagi karena banyak yang datang untuk sarapan. Ketika kami hadir sekitar jam 11 siang itu pun, masih tetap yang kesulitan mencari tempat duduk. 





Untuk yang baru pertama datang ke Kopi Klotok, sistem pemesanannya agak membingungkan. Meskipun berada dalam satu rumah, kita harus melakukan pemesanan terpisah. Jika duduk di meja, sebaiknya mengingat nomor meja, karena saat memesan kopi, nasi, telur maupun pisang goreng kita wajib menyebutkan nomor meja. Kalau duduk di tikar di samping sawah kita cukup menyebutkan nama. Selain kopi yang ditulis di kertas menu, yang lainnya dipesan sendiri ke masing-masing dapurnya. Kopi dan pisang goreng akan diantar ke meja, sementara nasi lodeh dan telur diambil sendiri. Pemesanan pisang goreng maksimal 3 porsi (6 buah) per meja. Kalau habis baru boleh pesan lagi. Kopi Klotok tidak mengijinkan makanan dan minumannya untuk dibawa pulang. Semuanya harus dihabiskan di tempat. 


Konsep warung kopi yang ditawarkan ternyata juga termasuk harganya. Kopi hitam saya  harganya Rp. 5000/gelas. Disajikan dengan konsep tubruk di gelas warung, gilingan kopinya termasuk yang halus,. Selain kopi hitam, tentunya ada kopi susu, jahe, teh hingga es jeruk. Jadi Dudu bisa ikut pesan. Kata orang, yang paling terkenal adalah pisang gorengnya (Rp. 6500/porsi), dan Dudu bilang pisangnya enak. Kalau kita masing-masing makan 2, Dudu makan 4. Pisangnya manis dan gorengannya pas, namun jumlahnya terbatas karena ketika ingin pesan lagi, kita haru indent dulu, alias menunggu buah pisangnya datang diantarkan ke warung. Mungkin karena itulah pisangnya dibatasi dan tidak bisa dibawa pulang. Selain pisang ada nasi lodeh dan telur goreng karena tempat ini populer juga untuk sarapan dan makan siang.



Kami beruntung mendapatkan tempat duduk yang berada di tepi sawah, meskipun duduk di bagian dalam rumah pun mungkin sama serunya. Kopi Klotok buka hingga jam 10 malam, namun dengan menu yang disajikan, saya lebih merekomendasikan tempat ini untuk sarapan atau brunch sebelum melanjutkan ke wisata Merapi atau Ullen Sentalu. Nongkrong di “coffee shop” model begini membuat kegiatan favorit saya menjadi Jogja, menjadi Indonesia. Rasanya betah berlama-lama tapi kami harus melanjutkan perjalanan dan merelakan tempat duduk itu ke orang lain yang baru datang.

Warung Kopi Klotok ada di Jl. Kaliurang KM.16, Pakembinangun, Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55582

Kopi Klotok bukan satu-satunya café yang saya kunjungi di Jogja. Rekomendasi seorang teman membawa saya brunch di Epic Coffee, yang selain dekat dengan rumah tempat kami tinggal di Jogjakarta, tempatnya juga unik. Epic Coffee adalah salah satu coffee shop berkonsep modern yang menghadirkan menu western dari pastry, fish and chips hingga steak. Café ini, di luar prediksi saya, baru buka pukul 10 pagi dan hari itu, kami adalah pengunjung pertama.
Epic Coffee merupakan micro roastery yang juga menjual alat-alat membuat kopi, merchandise hingga kopi single origin. Tempatnya unik karena berbagi lokasi dengan galeri atau malah gudang furniture. Dudu langsung minta berkeliling, penasaran dengan desain yang unik dan sebuah meja dadu raksasa. Lalu ada pembatas ruang galeri dan café, yang dibuat dengan kursi-kursi yang disemen ke dalam tembok. Pengunjung bisa memilih tempat duduk, antara di ruangan utama yang merupakan bagian depan galeri furniture tersebut, atau di beranda. Beranda kiri terkesan seperti beranda rumah yang cocok untuk kumpul bersama teman dan keluarga karena mejanya besar-besar. Beranda kanan memberikan suasana taman yang asri, dan memanggil untuk digunakan sebagai tempat garden party.








Makanan yang disajikan juga enak. Di meja kami ada Rosemary Chicken, Egg Benedict, Croque Monsieur, Chicken Snitzel dan Fish and Chips. Semuanya sesuai ekspektasi. Melihat menunya, café ini mungkin lebih cocok buat lunch daripada brunch di akhir pekan, namun mengingat tempatnya yang tidak pakai AC, sepertinya kami datang di saat yang tepat. Kalau dibandingkan Kopi Klotok, tempat ini terbalik 180 derajat dengan sistem pemesanan modern menggunakan tombol bel untuk memanggil pelayan. 

Epic Coffee dan Epilogue Furniture ada di Jl. Palagan Tentara Pelajar No.29, Sariharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55581

Namun bukan berarti yang kekinian jadi lupa dengan keberadaannya di Jogja.

Saya segera menyadari bahwa coffee shop di Jakarta identik dengan freelancer yang dikejar deadline dan para karyawan kantoran yang melepas penat dari macet. Sementara di Jogja, coffee shop baik yang tradisional maupun yang modern, memberikan kesan santai serta kecerian berkumpulnya teman dan keluarga. Tapi itu mungkin karena saya adalah seorang turis yang datang ketika akhir pekan haha.

Jogja memang istimewa. Jogja yang ada di ingatan saya memang identik dengan budaya. Jogja itu juga yang diingat si Dudu, yang waktu itu masih balita dan mengantuk, antusias menonton Sendratari Ramayana. Tapi perjalanan kali ini memberikan warna baru untuk Daerah Istimewa Jogjakarta, memaksa saya untuk melihat Jogja dari sisi berbeda. Sisi seorang peminum kopi yang senang karena menemukan suasana unik di tengah liburannya. Sentuhan modern, yang membuat saya jadi tidak kangen Jakarta, tapi tanpa meninggalkan kesederhanaannya. Tetap Jogja. Tetap Indonesia.

2 comments:

  1. Ah, yang tradisional kadang memang lebih nikmat ya Ma

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bangettt hahaha. Aku betah di Kopi Klotok. Kalo ngga rame bisa nambah pisang goreng terus.

      Delete

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.