Melihat wajah saya yang bengong, Dudu bertanya kenapa.
Mama: Itu, si Jinny bajunya kenapa disensor. Jaman Mama nonton dulu kayaknya dia ngga apa-apa.
Dudu: Ya jelas dong, Ma, soalnya si Jinny ini termasuk seksi.
Oh Jinny seksi ya?
Ya namanya juga jin yang keluar dari kerang dengan pakaian gaya Princess Jasmine. Kalau Sandy-nya Spongebob dan Elsa-nya Frozen saja tidak lolos sensor, apalagi Jinny?
Cari gambar si Jinny ini susah bener, saya sampai screen capture sendiri dari Youtube. |
Terlepas dari sempatnya saya mengira ada masalah di TV saya karena kok tayangannya blur, saya jadi nonton Jinny oh Jinny lagi. Dulu sebelum Youtube melegenda dan munculnya sejenis Netflix dan Viu, tayangan di TV adalah satu-satunya hiburan. Untungnya pada jaman itu tidak semua sinetron kacau ceritanya. Saya pribadi lebih menyukai sinetron yang tidak berkelanjutan, alias satu episode habis, lalu minggu depan atau besoknya ada cerita petualangan baru dengan tokoh yang sama. Sampai sekarang juga begitu sih, makanya saya lebih banyak nonton film daripada sinetron. Jadi di jaman itu, jadwal menonton saya ya Jinny oh Jinny, Jin dan Jun, Saras 008, Pandji Manusia Milennium dan semacamnya. Untuk sinetron semacam Tahta, Noktah Merah Perkawinan, Tersanjung dan Tersayang, saya skip karena tidak sanggup mengikuti kesinambungan jalan cerita.
Bicara soal jalan cerita, Jenny Jusuf, seorang penulis scenario pernah berbagi pengalamannya menulis di sebuah workshop yang saya hadiri. Sebelum pindah menulis ke layar lebar, Jenny pernah bersentuhan dengan dunia sinetron bersama beberapa teman. “Saya hanya bertahan 3 bulan,” ujarnya sambil tertawa. Kok bisa? Penulisan skenario film layar lebar, menurut Jenny, memakan waktu 4-6 bulan untuk 100 halaman. Sementara untuk sinetron, Jenny dan teman-temannya sampai harus mengurung diri di hotel, menulis puluhan halaman dalam satu hari dan siap merevisi skenario ketika artis yang seharusnya syuting mendadak berhalangan hadir. Soalnya sinetronnya kejar tayang dan skenario yang ditulis pagi, bisa langsung dipakai syuting sore harinya.
Hal yang paling membuat saya sebal dari sinetron Indonesia, selain jalan cerita yang kerap terinspirasi drama luar negeri, adalah ketakutan mereka untuk mengakhiri sebuah serial yang sedang populer. Tidak seperti di Barat atau Korea yang meskipun shooting masih berlangsung dan ending dirahasiakan dari pemain, tapi ending itu sudah ada. Kita sudah tahu bahwa drama Korea kesukaan kita akan berakhir di episode 14, atau serial The Walking Dead akan rehat sampai season selanjutnya di musim mendatang. Ada rehat, ada jeda dan penonton tidak lupa. Kalau Sinetron Indonesia biasanya memaksa melanjutkan cerita walau badai menghadang. Tokoh utama mengundurkan diri, tinggal dibuat kecelakaan lalu operasi plastik dan kadang hilang ingatan. Sudah terlalu panjang? Fokusnya digeser ke generasi selanjutnya atau keluarga yang lain. Jinny oh Jinny juga sempat mengalami hal yang sama ketika si Bagus yang ceritanya belajar di luar negeri digantikan oleh Bagas. Herannya, penonton setia Sinetron Indonesia masih banyak jumlahnya, termasuk anggota keluarga saya.
Ketika browsing tentang Jinny oh Jinny, saya menemukan berita bahwa sinetron ini ada remakenya dengan pemain Bagus dan Jaka yang masih sama. Jinnynya sudah bukan lagi Diana Pungky tapi dimainkan aktris yang belum pernah saya dengar namanya. Ceritanya masih sama, seputar Jinny yang kabur dari negrinya (lagi-lagi karena mau dijodohkan) lalu menggunakan resep sinetron yang sama, wajah si Jinny di season baru ini berubah dengan alasan menyamar menghindari kejaran orang-orang dari negerinya.
Tapi dari sinetron semacam Jinny oh Jinny, saya belajar mentertawakan kejadian tidak penting dan mensyukuri hal-hal kecil dalam kehidupan. Dan kita jadi lupa kalau si Jinny itu seksi.
Cerita Jinny oh Jinny cukup sederhana. Jinny yang ditemukan Bagus kemudian tinggal bersamanya dan membantu Bagus dengan segala kemampuan sihirnya. Di kehidupan Bagus sendiri ada Jaka dan Pak Broto yang menambah kekacauan suasana. Tentu saja keberadaan si Jinny ini harus dirahasiakan dari semua orang. Kisah Jinny oh Jinny ini mengingatkan saya dengan komik Min Min.
Bicara soal jalan cerita, Jenny Jusuf, seorang penulis scenario pernah berbagi pengalamannya menulis di sebuah workshop yang saya hadiri. Sebelum pindah menulis ke layar lebar, Jenny pernah bersentuhan dengan dunia sinetron bersama beberapa teman. “Saya hanya bertahan 3 bulan,” ujarnya sambil tertawa. Kok bisa? Penulisan skenario film layar lebar, menurut Jenny, memakan waktu 4-6 bulan untuk 100 halaman. Sementara untuk sinetron, Jenny dan teman-temannya sampai harus mengurung diri di hotel, menulis puluhan halaman dalam satu hari dan siap merevisi skenario ketika artis yang seharusnya syuting mendadak berhalangan hadir. Soalnya sinetronnya kejar tayang dan skenario yang ditulis pagi, bisa langsung dipakai syuting sore harinya.
Hal yang paling membuat saya sebal dari sinetron Indonesia, selain jalan cerita yang kerap terinspirasi drama luar negeri, adalah ketakutan mereka untuk mengakhiri sebuah serial yang sedang populer. Tidak seperti di Barat atau Korea yang meskipun shooting masih berlangsung dan ending dirahasiakan dari pemain, tapi ending itu sudah ada. Kita sudah tahu bahwa drama Korea kesukaan kita akan berakhir di episode 14, atau serial The Walking Dead akan rehat sampai season selanjutnya di musim mendatang. Ada rehat, ada jeda dan penonton tidak lupa. Kalau Sinetron Indonesia biasanya memaksa melanjutkan cerita walau badai menghadang. Tokoh utama mengundurkan diri, tinggal dibuat kecelakaan lalu operasi plastik dan kadang hilang ingatan. Sudah terlalu panjang? Fokusnya digeser ke generasi selanjutnya atau keluarga yang lain. Jinny oh Jinny juga sempat mengalami hal yang sama ketika si Bagus yang ceritanya belajar di luar negeri digantikan oleh Bagas. Herannya, penonton setia Sinetron Indonesia masih banyak jumlahnya, termasuk anggota keluarga saya.
Ketika browsing tentang Jinny oh Jinny, saya menemukan berita bahwa sinetron ini ada remakenya dengan pemain Bagus dan Jaka yang masih sama. Jinnynya sudah bukan lagi Diana Pungky tapi dimainkan aktris yang belum pernah saya dengar namanya. Ceritanya masih sama, seputar Jinny yang kabur dari negrinya (lagi-lagi karena mau dijodohkan) lalu menggunakan resep sinetron yang sama, wajah si Jinny di season baru ini berubah dengan alasan menyamar menghindari kejaran orang-orang dari negerinya.
Tapi dari sinetron semacam Jinny oh Jinny, saya belajar mentertawakan kejadian tidak penting dan mensyukuri hal-hal kecil dalam kehidupan. Dan kita jadi lupa kalau si Jinny itu seksi.
Gak berani ambil resiko ya Mbak PH nya.
ReplyDeleteBtw, ckckck.. penulis scenario sinetron mesti banyak akal dlm situasi tertekan, ya. Demi agar sinetron terus jalan :)
Aku juga kaget sih pas denger Jenny Jusuf cerita itu. Ternyata segitu urgentnya skenario sinetron kejar tayang.
Deletesalah satu tontonan favorit juga nih dulu.
ReplyDeleteAku sih waktu disebutin sintron, entah kenapa keingetan ini. Dan Saras sbenernya haha.
Deletesmoga Eko DJ ditempatkan ditempat terbaik disisi Nya. Jinny ini lucu, walau belakangan aku baru tau kalau niru serial TV dari amerika taun 1960an.
ReplyDeleteAku sedih banget denger Eko DJ meninggal waktu itu... Secara fans Jinny of Jinny kan. Aku suka nonton juga sih serial Amerikanya, si I dream of Genie kalo ga salah ya judulnya.
DeleteSaya heran kenapa hanya film ini yg kena sensor yah. Kenapa Ucil dan Kentung di film Tuyul dan Mba Yul ga kena sensor, padahal mereka kan lebih terbuka :D
ReplyDeleteHahahaha. kalo Jin perempuan mungkin kena sensor.
Delete