05 September 2016

Train To Busan, Sebuah Film Zombie yang Berkesan

Kita selalu berpisah jalan ketika Dudu sibuk dengan zombie dan T-virus, sementara Mama setengah mati berusaha mengerti itu boyband K-pop menyanyi lagu apa. Minggu ini keduanya bergabung jadi satu di Train to Busan.

Menyaksikan trailer film ini ketika nonton Detective Conan, kita berencana nonton di Sweetbox lagi. Jadilah malam Minggu kemarin kita kembali ke Slipi Jaya untuk ngedate. “Aku harap film ini ada subtitle bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Kalau tidak aku tidak tahu mereka bicara apa.” Lha sama juga dengan Mama.


Train to Busan bercerita tentang seorang single dad (Gong Yoo) yang mengantarkan putrinya (Kim Soo Ahn) untuk bertemu sang ibu. Perceraian mereka, di mata si anak, adalah karena sang ayah terlalu sibuk bekerja hingga melupakan keluarganya, termasuk kebahagiaan si anak. Bahkan pada awalnya, untuk mengantarkan si anak ke Busan pun, ayahnya tak ada waktu. Perjalanan dengan kereta yang seharusnya hanya 1 jam itu berubah jadi seharian plus pertarungan melawan zombie yang tanpa sengaja naik ke gerbong kereta dan menginfeksi semua orang.



Tidak seperti Resident Evil yang punya Alice atau The Walking Dead dengan Rick Grimes dan Daryl Dixon, Train To Busan tidak punya superhero dengan senjata api. Kesemua survivor ini sama rata, manusia biasa yang ingin survive dengan caranya masing-masing. Insting manusia vs insting si zombie. Tidak ada misi membasmi zombie karena tujuan mereka adalah selamat sampai Busan dan mencari pertolongan. Zombienya keren, tipe yang bisa lari dan rusuh macam di World War Z. Dan di tengah kekacauan itu, masing-masing penumpang masih harus berurusan dengan masalah keluarga. Si pemain baseball SMA (Choi Woo Sik) yang jatuh cinta, awalnya jual mahal ketika si cewek (Sohee Wonder Girls) nembak lalu berbalik menyesalinya setelah ada zombie outbreak. Suami istri kocak yang bertengkar di awal film, si istri (Jung Yu Mi) mengurung diri di kamar mandi, karena sang suami (Ma Dong Seok) memang tipe yang asal dan tak pikir panjang padahal mereka sedang menantikan anak pertama. Lalu ada kakak-adik, sepasang nenek-nenek yang tak terpisahkan. Yang terakhir adalah karakter yang paling disebelin Dudu, dan terus disumpahin biar cepat mati digigit zombie: seorang bapak bos perusahaan transportasi.


Zombienya bsa lari
Di film dengan durasi 2 jam ini, kita tidak fokus ke senjata tapi lebih ke jalan ceritanya. Drama. Maka itu buat saya, Tran to Busan sebenarnya bukan film untuk zombie. Anak-anak yang suka film seram mungkin bisa diajak nonton karena kulit si zombie dijamin lebih halus dan mulus daripada kita-kita yang nonton. Dibandingkan zombie di Amerika, yang ini “sama sekali tidak seram,” kata Dudu. Anak yang sebesar Dudu akan bertanya tentang hubungan antar manusia. Kenapa si bos perusahaan itu jahat dan egois, kenapa tokoh utama bercerai dari istrinya, kenapa ABG pemain baseball tidak langsung terima tembakan si ceweknya, dan seribu pertanyaan lagi yang muncul dalam perjalanan pulang.

Orang dewasa memiliki sudut pandang yang berbeda dengan anak-anak, dan sepanjang film kita bisa melihat “kekacauan” yang tejadi dari sudut pandang si ayah dan si anak. Satu dialog antara ayah dan anak di film itu, setelah si anak menawarkan kursi pada seorang nenek di kereta setelah serangan zombie pertama, beberapa kali terdengar pada percakapan saya dan Dudu. Begini kurang lebih dialognya:
Mama: Kamu ngapain sih, terlalu baik ngurusin orang.
Dudu: Kan orang itu butuh ditolong.
Mama: Lain kali tidak usah kepo nolongin orang. Nanti kita sendiri yang repot.

Dudu ikut senang ketika si bos koporat yang mengesalkan itu dipukul dan ikut sedih ketika si anak SMA yang tersisa harus melawan teman-temannya yang sudah terinfeksi demi menyelamatkan para survivor. Sebelah kanan kiri saya juga heboh teriak “lari!” “tutup pintunya!” “Yah, dia nginjek kaleng deh.” Membuat saya yakin film ini mampu membawa penonton ikut naik kereta. 

Penampakan Sohee Wonder Girls di Train To Busan
Satu hal yang terngiang terus adalah percakapan antara para laki-laki yang terjebak di WC saat menghindari para zombie. Si calon Papa yang terus menyindir tokoh utama yang terlihat gagal sebagai ayah pada bagian pertama film mengeluaran statement tidak terduga: “Your daughter would understand why you worked so hard when she’s older.” Yang dilanjutkan dengan satu kalimat ironis tentang memang takdir seorang Papa untuk jadi “penjahat” dalam hubungan rumah tangga karena tidak pernah di rumah.

Terkadang saya ingin nonton film Korea, tanpa terganggu wajah pemeran utama (pria) yang tetap mulus dan berhidung mancung, padahal sudah melawan zombie satu kereta. But I guess that’s the charm of Korean movie. Kalau saya dan Dudu jadi ngedate ke Korea suatu hari nanti, kita akan naik kereta ke Busan.

7 comments:

  1. wah saya kok engga minat sekali ya film korea, tapi kalau film semacam godzila dan pasific rim suka banget, yang aksi2 lah, hehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini sebenernya semacam World War Z sih Mas. Soalnya saya juga hampir ga pernah nonton drama haha. Tapi memang genrenya beda sih sama Godzila dan Pacific Rim.

      Delete
  2. Aku berani gak ya nontonnya, kalo zombie suka serem

    ReplyDelete
  3. gagal fokus dengan panggilan anaknya, sama dengan panggilan saya dulu di kantor. Dudu hihihi :)
    Dan kalo ngeliat cowok Korea yang tetap steady meskipun abis bejibaku dengan zombie. Hmmm keknya piye gitu ya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh beneran Mba? Haha samaan dong.
      Kayaknya emang film Korea ciri khasnya begitu deh. Tetep keren meskipun kiamat. Tapi film ini sih emang ceritanya bagus banget.

      Delete

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.