Pantai Belitung favorit kita berdua. |
Jalan-jalan di negeri sendiri, kita sudah pasang mental "harap maklum" kalau kena getok harga atau objek wisata yang tak terurus. Tapi kalau bawa turis asing kan jadi malu. Sudah kena harga expat ternyata tidak sesuai harapan. Malu... karena ketika saya berkunjung ke Sentosa, objek wisata setempat mengenakan biaya resident kepada seluruh rombongan hanya karena salah satu dari kami punya kartu penduduk.
Sementara di Indonesia, saya memang bayar lokal, tapi tamu yang saya bawa tetap kena harga turis mancanegara. Rasanya pengen kabur tutup muka. Sampai suatu ketika seorang sahabat saya dari Eropa menanggapi perbedaan perlakuan di pemeriksaan bagasi Soekarno-Hatta saat kita berdua sama-sama pulang dari keliling Sumatra Barat, "Your country is beautiful, you don't have to apologize for the people and the bureaucracy. I still love your country."
*makin malu*
Jangan salah, saya (dan Andrew tentunya) senang menjelajah Indonesia. Portfolio kita juga sudah lumayan. Andrew senang Candi, Gunung dan Laut sementara saya senang keluar masuk museum dan melihat sejarah. Namun ketika saya bertanya pada Andrew, mau ke mana liburan kali ini, jawabannya selalu sebuah tempat di luar negeri. Yang paling sering disebutkan tentu saja Singapore. Kenapa? “Soalnya Singapore punya MRT, Singapore tidak macet dan kita bisa jalan kaki. Orang di Singapore juga tidak meludah dan buang sampah sembarangan lho, Ma.” Nah lho.
Sementara di Indonesia, saya memang bayar lokal, tapi tamu yang saya bawa tetap kena harga turis mancanegara. Rasanya pengen kabur tutup muka. Sampai suatu ketika seorang sahabat saya dari Eropa menanggapi perbedaan perlakuan di pemeriksaan bagasi Soekarno-Hatta saat kita berdua sama-sama pulang dari keliling Sumatra Barat, "Your country is beautiful, you don't have to apologize for the people and the bureaucracy. I still love your country."
*makin malu*
Jangan salah, saya (dan Andrew tentunya) senang menjelajah Indonesia. Portfolio kita juga sudah lumayan. Andrew senang Candi, Gunung dan Laut sementara saya senang keluar masuk museum dan melihat sejarah. Namun ketika saya bertanya pada Andrew, mau ke mana liburan kali ini, jawabannya selalu sebuah tempat di luar negeri. Yang paling sering disebutkan tentu saja Singapore. Kenapa? “Soalnya Singapore punya MRT, Singapore tidak macet dan kita bisa jalan kaki. Orang di Singapore juga tidak meludah dan buang sampah sembarangan lho, Ma.” Nah lho.
Salah satu foto jalan-jalan favorit kita adalah waktu pergi ke Candi Gedong Songo |
Padahal, kalau soal objek wisata, Indonesia boleh diadu. Namun ketika perjalanan saya membutuhkan stroller dan tempat ramah anak, semuanya berubah. Saya langsung pindah haluan menunjuk negara asal si Andrew, Amerika, sebagai salah satu yang terbaik. Bagaimana tidak? Trotoar yang lebar dan nyaman, rest area yang lengkap dengan informasi turis dan objek wisata gratis untuk anak-anak semuanya ada di sana.
Selain kebun binatang (dan taman), saya paling kangen sama Children Museums di negara Paman Sam. Museum yang dirancang dengan memikirkan sudut pandang anak-anak. Display yang setinggi anak kecil dan hal-hal sederhana yang menyenangkan sekaligus mengedukasi anak-anak yang datang bermain. Museum di sini bukan berarti sebuah gedung dengan kumpulan artifak kuno bersejarah tersimpan dalam lemari kaca, tapi sebuah taman bermain dengan banyak benda yang bisa dipegang dan dimainkan oleh anak-anak.
Tak kenal maka tak sayang, kalau kata orang, maka kita berdua tetap ngotot mau belajar mencintai (dan membanggakan) Indonesia dengan tetap jalan-jalan. Namun ketika biaya pergi ke Raja Ampat beda-beda tipis dengan biaya jalan-jalan ke London, maka saya harus memilih yang kedua. Bukan untuk membanggakan jumlah cap di paspor atau jumlah lembaran yang tertempel di halaman visa, tapi ya yang masuk di akal sajalah.
Selain kebun binatang (dan taman), saya paling kangen sama Children Museums di negara Paman Sam. Museum yang dirancang dengan memikirkan sudut pandang anak-anak. Display yang setinggi anak kecil dan hal-hal sederhana yang menyenangkan sekaligus mengedukasi anak-anak yang datang bermain. Museum di sini bukan berarti sebuah gedung dengan kumpulan artifak kuno bersejarah tersimpan dalam lemari kaca, tapi sebuah taman bermain dengan banyak benda yang bisa dipegang dan dimainkan oleh anak-anak.
Ini museum favorit Andrew yang ada di negara tetangga, Singapore Science Center |
Sebenanrnya tidak usah jauh-jauh ke luar Jawa juga bisa bertemu pantai yang indah seperti di Palabuhan Ratu ini |
Tak dapat dipungkiri, selagi kita berada di negara lain itulah kita jadi “brand ambassador“ negara tercinta ini dan saat itulah nasionalisme muncul. Saya harap saya tidak menyesatkan orang karena seorang Mama bermata sipit membawa anak separo bule lantas mengaku sebagai “orang Indonesia.”Tambah seru ketika teman saya yang hitam manis ikut bergabung dalam tim kami lalu kita bilang kalau kita semua tidak ada yang tinggal atau berasal dari Bali.
Rasa nasionalisme justru muncul di luar negeri ketika saya gemas menjelaskan kepada semua orang di belahan dunia lain itu bahwa di Indonesia selain Bali, masih ada Gili, Derawan, Sabang, Raja Ampat dan tempat-tempat Indah lainnya. Karena biarpun tidak senyaman negara tentangga, ketika kita berada di luar negeri pun, yang sering terpikirkan adalah negara sendiri.
Rasa nasionalisme justru muncul di luar negeri ketika saya gemas menjelaskan kepada semua orang di belahan dunia lain itu bahwa di Indonesia selain Bali, masih ada Gili, Derawan, Sabang, Raja Ampat dan tempat-tempat Indah lainnya. Karena biarpun tidak senyaman negara tentangga, ketika kita berada di luar negeri pun, yang sering terpikirkan adalah negara sendiri.
Tulisan ini disertakan dalam lomba ‘jalan-jalan nasionalisme’ yang diadakan Travel On Wego Indonesia
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.