30 September 2013

When A Boy Goes Running...

Ngga pernah jadi fans lari (kecuali terpaksa karena dikejar monster), saya tidak pernah terpikir mengikutkan anak saya di Jakarta Kids Run. Soalnya anak saya juga sebel banget sama lari dan sering diejek lambat oleh teman-teman sekelasnya. Tapi mikir demi mikir... saya nekat tanya juga apa Andrew (7thn) mau ikutan lari. Jawabannya santai, “boleh.”

Tiga klik kemudian, saya sudah mendaftarkan Andrew ikutan yang kategori 7-12thn. Untung sudah 7thn, kalo ngga bisa-bisa saya terbawa lari (karena yg 3-6thn lari bersama orangtua). Seminggu kemudian saya confirm ikutan. Sampe beli sepatu baru buat Andrew lari. Gaya banget ya. Habis beli sepatu baru baca detail Jakarta Kids Run. HAH 1,5km?

Running Day

Meski harus bangun subuh dan berangkat sebelum matahari terbit biar bisa cepet sampai, dapat parkir dan ngga terjebak car free day, kita happy banget. Jam 6.30 peserta registrasi ulang. Jam 7 pemanasan untuk lari. Anak-anak semua antusias mengikuti gerakan kakak instruktur. Habis pemanasan, kategori 7-12 tahun (kategori si Andrew) mulai lari. 





Medannya cukup menantang. Soalnya baru lari sudah turunan karena mulainya dari lobby fX. Kakak-kakak MC sudah mewanti-wanti supaya jangan rebutan sih (dan supaya orang tua yang semangat 45 mendokumentasikan moment ini minggir ke samping dan ngga menghalangi anak-anak mereka berlari).

"Larinya ke mana, Du?"
"Keluar ke jalan, trus lari di jalan raya, habis itu muterin taman yang besar banget dan naik balik lagi ke finish."
"Capek ngga?"
"Capek banget Ma, di tengah-tengah ada kakak bagi-bagi botol air. Trus botol minumku jatuh. Untung ada kakak yang baik dan ngambilin."
"Lah? Lagi lomba kok pake botol minum jatuh?"
"Kan aku cuma jatuh botol minum. Tadi ada kakak yang jatuh trus mama-nya dipanggil."

Dasar anak-anak.
I'm here, Mom! Can you see me?

Trus yang seru apanya?

“Larinya yang keliling-keliling gitu, Ma. Trus yang seru ya dapat air putih gratis.” Kata Andrew sambil ketawa. “Tapi aku senang dapat medali, bisa aku pamerin ke temen-temen. Asal... Mama ngga bilang-bilang kalo semua yang finish dapat medali.”

Andrew ngga menang. Ya selain karena memang ini pertama kali dia lari sejauh itu (plus dia salah satu yg termuda di kategorinya). Tapi dari awal, saya berpesan yang penting dia masuk garis finish. “Yang penting aku bukan yang terakhir, Ma.” Ya itu juga deh.




About Jakarta Kids Run
Diadakan dalam rangkaian Jakarta Sports Week untuk merayakan ulang tahun fX Sudirman yang ke-5, acara ini meliputi lomba lari anak-anak (kategori 3-6thn dan 7-12thn) dan strolling Mama (di mana para Mama antusias menghias strollernya).

26 September 2013

Hand In Hand: Together We Can

Waktu nonton video Tango Hand in Hand For Nias (http://www.youtube.com/watch?v=Jdy2FdXO1ZM), untuk penulisan blog ini, ternyata diam-diam, anak saya, Andrew (7thn) memperhatikan dari belakang. Selang berapa lama muncul pertanyaan “Itu si Brian kenapa, Ma?” Saya pikir ini kesempatan untuk cerita tentang semangat berbagi.



Buat yang sudah punya anak balita pasti mengalami susahnya mengajarkan “sharing” alias “berbagi” kepada anak kita. Mainan dipinjam lima menit sama si kakak atau si adik saja anak bisa marah, apalagi kalau kita bilang akan diambil untuk diberikan kepada orang lain. Yap, mainan/buku bekas layak pakai. Kalau sudah ada yang baru, anak mau melepas yang lama? Ngga juga deh ternyata.

“Nias? Yang kena tsunami itu ya, Ma?”
“Iya. Makanya mereka butuh buku dan mainan, soalnya kan kemarin semuanya hanyut.”
(Sebenarnya mungkin ngga gitu sih, tapi ya gimana lagi yang masuk akal anak saya?)
“Jadi mereka ngga punya buku?”
“Ngga punya.”
“Ngga punya mainan?”
“Ngga punya.”
Anak saya terdiam. Mikir.
“Enak kan jadi kamu, mau beli mainan tinggal ke toko trus minta Mama beliin.”
“Trus kenapa kita yang harus kasih mainan sama buku ke mereka? Orang tuanya kok ngga perduli?”

Nah Loh!

Di situ saya jelaskan bahwa kehidupan mereka berbeda dengan yang kita jalani di sini. Mainan dan buku bukan kebutuhan yang terpenting untuk mereka karena dana yang ada digunakan untuk makan dan pengobatan. Ya seperti Brian itu contohnya. Bukannya ngga perduli, tapi ada hal-hal yang memang ngga bisa dilakukan sendirian. Karena itu mereka butuh bantuan orang lain, ngga bisa sendirian. Dan kita harus gotong royong ( #HandinHand) membantu mereka.

Alasan “kotak mainan kamu sudah penuh, kalo yang sudah tidak terpakai dikasi ke anak lain, kan kamu punya tempat untuk mainan baru,” biasanya ampuh untuk mengajak anak ‘membersihkan’ kotak mainan dan rak bukunya. Tapi buat saya yang lebih bagus lagi ya kalau kita memberi karena ingin melihat orang yang diberi bahagia.

“Ngga bisa beli mainan?”
“Kan uangnya habis buat beli makan.”
“Kalo aku kasi mainan mereka senang?”
“Ya senang dong. Kamu kalo dapat mainan senang ngga?”
“Senang.”
“Kalo liat orang lain yang kamu kasi mainan senang, kamu senang ngga?”
Dia terdiam lagi. Mikir lagi.
“Kayak waktu si Gracia ulang tahun trus aku kasi kado dia senang banget itu ya?”
“Ya gitu deh kira-kira.”
“Aku senang juga.”
“Trus Gracia yang kasih mainan satu apa banyak?”
“Banyak dong, kan dari teman sekelas.”
“Kamu kalo dapet mainan banyak senang ngga?”
“Senang banget.”
“Nah, makanya kita harus ikut perduli, soalnya kalo kita ikut kasi kan mainan mereka jadi banyak dan mereka jadi tambah seneng.”
“Iya ya Ma.”

Tuh kan kita harus ikut perduli dan berbagi. Karena memberikan sesuatu dengan ikhlas (dan bisa berguna bagi orangnya) kita juga bakalan senang. Kan waktu berniat memberi, kita pasti memikirkan si penerima. Toh suatu hari nanti aka nada giliran kita menerima kebaikan orang lain.

Jadi, tunggu apa lagi? 
It’s simple to lend a helping hand and give them a smile.
Donasikan buku dan mainan layak pakai ke kantor Tango Wafer, Jl Lingkar Luar Barat Kav 35-36, Cengkareng, Jakarta Barat 11740

25 September 2013

From Plaid to Plain: Must-Have Items for My Boy

Kalo boleh jujur, judul lomba blog ini bikin ciut nyali… “Calling all Fashion Blogger”.  Ups, saya bukan fashion blogger. Hahaha. Tapi ya sudahlah. Saya terlanjur tertarik membaca topic dari Lomba Blog Centro kali ini dan ngotot pengen ikutan. Boleh dong ya.


Andrew's Style
When talking about fashion, I always talk about boys fashion. Kenapa? Soalnya saya punya dua adik cowok dan satu anak cowok (usia 7 tahun) yang suka menjadi korban kejahilan shopping saya. Fashion cowok juga relatif lebih simple karena itemsnya ngga banyak-banyak amat. Jadi, “10 MUST-HAVE ITEMS” when it comes to (little) boys’ fashion are:

1. Hat
I had to admit, I watched to many K-pop concerts. Soalnya topi mendadak jadi hal yang paling penting buat bergaya. Kalo cewek punya bando, jepit rambut warna warni, bandana keren… cowok ya punya topi.

2. Fancy shoes
When everything else fail, shoes will get you notice. Anak saya suka malas pake rompi, pake jaket, pake baju dobel-dobel dengan lengan digulung-gulung. Tapi kalo soal sepatu keren, dia juaranya... Baju boleh plain, tapi kalo sepatu oke, bakalan keliatan oke juga deh.

3. Cool belt and suspenders
Belt item Cuma buat kondangan dan sekolah. Sisanya harus pake yang colorful dong! Suspender emang agak repot buat anak-anak (anak saya suka protes juga kalo dipakein suspender) tapi setelah dipakai ternyata jadi keren.

4. T-shirt with cool graphics
Mulai dari Doraemon, Madagascar, semuanya ada. Cuma awas, pilih yang benar atau graphic t-shirt ini malah jadi piyama.

5. Different color pants
Item, biru, khaki, putih..... BOSAN! Jadi saya nekat beli celana warna hijau. One fashion stylist once told me “anak-anak itu mendingan pake yang colorful. Soalnya kelihatan fun.”

6. Plain T-shirt
Bisa buat rangkapan, bisa buat kaos biasa, bisa buat dalaman, bisa buat baju kembaran sama Mama. Just pick the bright and bold colors. Pake pink siapa takut? (serius, saya ada kaos pink buat anak saya di rumah).

7. Plaid shirt and bermuda
Kotak-kotak dan garis-garis kan ngga ada matinya. Tiap season pasti ada. So, stock aja di rumah kalau bosan sama celana jeans polos.

8. Polo
Dikala kemeja jadi ‘bahan bertengkar’ ibu dan anak karena nggak nyaman dan susah dipakai (banyak kancingnya), Polo shirt jadi penyelamat. Mau lebih gaya? Rangkapkan dua polo beda warna atau tambahkan plain/graphic t-shirt.

9. Glasses (for display only)
Kacamata bisa merubah penampilan seseorang. Sebaiknya sih Cuma buat gaya jadi bisa ganti-ganti... and since mata adalah salah satu hal yang orang notice dari anak saya, biasanya saya menghindari sunglasses.

10. Jeans
Hari gini, harus punya jeans. Soalnya jeans bisa dipasangin dengan apapun. Jeans pendek buat main lari-larian di taman. Jeans skinny buat jalan (akhirnya lari-larian juga sih) di mall... dan bikin anak kelihatan lebih tinggi dan kayak orang dewasa. Serasa bawa pacar deh hahaha...

21 September 2013

Men-SMURF Buku

Anak saya susah banget disuruh membaca. Guru TK-nya bilang dia susah konsentrasi. Kalau sedang diajarkan guru di depan, pikirannya suka melayang ke dunia khayalan di mana zombie bertarung melawan dinosaurus dan Power Rangers. 


Masuk SD saya pusing. Selain karena dia harus bisa baca, dia harus bisa baca bahasa Inggris. Sekolahnya mengharuskan setiap murid membawa satu buku untuk dibaca setiap pagi pada saat reading time sebelum masuk sekolah, dan sepulang sekolah saat mereka menunggu jemputan. Saya senang sih, soalnya membaca adalah salah satu hobi saya. Tapi anak saya yang susah konsentrasi itu mengeluh.

Sampai saya menemukan sekumpulan makhluk biru yang tinggal di rumah jamur.
Ini bukan pertama kalinya anak saya mengenal SMURF. Tahun lalu, waktu Smurf yang pertama diputar di bioskop kita nonton. Dia juga koleksi bonus manian murf dari salah satu resto cepat saji. Tapi saya serasa pengen teriak “Eureka!” waktu melihat komik Smurf di salah satu toko buku import.

“Ma, aku mau Smurf.” Andrew sudah mengambil salah satu buku dari rak.

“Itu bahasa Inggris loh. Emang kamu bisa baca?”

Lama dia menatap buku itu, mengambil yang sudah tidak ada plastiknya, melihat isinya dan menimbang-nimbang. Saya tinggal dia untuk berpikir sambil melipir ke bagian buku diskon hehe. Begitu kembali, saya menemukan dia membaca serius komik itu sambil duduk di lantai. Waduh.

Dalam hitungan menit, sebuah komik berjudul “Purple Smurf” sukses menjadi milik kami, eh milik Andrew maksudnya. Singkat cerita, Andrew yang awalnya hanya liat gambar, mulai bisa membaca tulisan “Pow” “Dor” dan sound effect lainnya. Dari situ mulai bisa membaca sepotong-sepotong dan melafalkan nama Smurf satu per satu. Dalam 3 bulan, saya bangkrut membelikan semua komik itu untuknya. Dia mulai bersaing dengan teman-teman sekelasnya, siapa punya Smurf apa dan heboh tukar-tukaran sampai wali kelasnya ngomel. Saat film Smurf 2 keluar, dia sudah habis membaca komik yang bahasa Inggris dan mulai mengkoleksi yang bahasa Indonesia.

Sekarang dia sudah kelas 2, komik sudah tidak boleh dibawa, jadi Smurfnya semua ditinggal di rumah. Belakangan ini Andrew mulai beralih ke gadget. Saya sampai kesal kalau memanggil dia ngga pernah nengok (aduh anak masa depan emang tobat deh). Suatu hari saya pulang bawa dua buku Smurf terbaru yang berbahasa Inggris.

“Apa itu Ma? Smurf baru?”
Dalam hitungan detik si gadget langsung dilupakan. Masalahnya, saya panggil juga tetep ngga nengok, tenggelam dalam komiknya. Komik itu sampai dibawa ke kamar mandi, ke meja makan demi menyelesaikan ceritanya. Habis itu masih dibaca ulang. Hh... dasar. Ya sudahlah kalo buku.

Tapi masalah baru muncul. Anak saya mulai bicara bahasa SMURF.
"Mama, tolong smurf-kan handukku."
"Mama, kita mau smurf ke mana?"
"Mama, Smurf yuk!"

Dan kemarin saya dapat laporan kalo ujian bahasa Inggrisnya FAIL lagi.
HADEUH!