Waktu nonton video Tango Hand in Hand For Nias (http://www.youtube.com/watch?v=Jdy2FdXO1ZM), untuk penulisan blog ini, ternyata diam-diam, anak saya, Andrew (7thn) memperhatikan dari belakang. Selang berapa lama muncul pertanyaan “Itu si Brian kenapa, Ma?” Saya pikir ini kesempatan untuk cerita tentang semangat berbagi.
Buat yang sudah punya anak balita pasti mengalami susahnya mengajarkan “sharing” alias “berbagi” kepada anak kita. Mainan dipinjam lima menit sama si kakak atau si adik saja anak bisa marah, apalagi kalau kita bilang akan diambil untuk diberikan kepada orang lain. Yap, mainan/buku bekas layak pakai. Kalau sudah ada yang baru, anak mau melepas yang lama? Ngga juga deh ternyata.
“Nias? Yang kena tsunami itu ya, Ma?”
“Iya. Makanya mereka butuh buku dan mainan, soalnya kan kemarin semuanya hanyut.”
(Sebenarnya mungkin ngga gitu sih, tapi ya gimana lagi yang masuk akal anak saya?)
“Jadi mereka ngga punya buku?”
“Ngga punya.”
“Ngga punya mainan?”
“Ngga punya.”
Anak saya terdiam. Mikir.
“Enak kan jadi kamu, mau beli mainan tinggal ke toko trus minta Mama beliin.”
“Trus kenapa kita yang harus kasih mainan sama buku ke mereka? Orang tuanya kok ngga perduli?”
Nah Loh!
Di situ saya jelaskan bahwa kehidupan mereka berbeda dengan yang kita jalani di sini. Mainan dan buku bukan kebutuhan yang terpenting untuk mereka karena dana yang ada digunakan untuk makan dan pengobatan. Ya seperti Brian itu contohnya. Bukannya ngga perduli, tapi ada hal-hal yang memang ngga bisa dilakukan sendirian. Karena itu mereka butuh bantuan orang lain, ngga bisa sendirian. Dan kita harus gotong royong ( #HandinHand) membantu mereka.
Alasan “kotak mainan kamu sudah penuh, kalo yang sudah tidak terpakai dikasi ke anak lain, kan kamu punya tempat untuk mainan baru,” biasanya ampuh untuk mengajak anak ‘membersihkan’ kotak mainan dan rak bukunya. Tapi buat saya yang lebih bagus lagi ya kalau kita memberi karena ingin melihat orang yang diberi bahagia.
“Ngga bisa beli mainan?”
“Kan uangnya habis buat beli makan.”
“Kalo aku kasi mainan mereka senang?”
“Ya senang dong. Kamu kalo dapat mainan senang ngga?”
“Senang.”
“Kalo liat orang lain yang kamu kasi mainan senang, kamu senang ngga?”
Dia terdiam lagi. Mikir lagi.
“Kayak waktu si Gracia ulang tahun trus aku kasi kado dia senang banget itu ya?”
“Ya gitu deh kira-kira.”
“Aku senang juga.”
“Trus Gracia yang kasih mainan satu apa banyak?”
“Banyak dong, kan dari teman sekelas.”
“Kamu kalo dapet mainan banyak senang ngga?”
“Senang banget.”
“Nah, makanya kita harus ikut perduli, soalnya kalo kita ikut kasi kan mainan mereka jadi banyak dan mereka jadi tambah seneng.”
“Iya ya Ma.”
Tuh kan kita harus ikut perduli dan berbagi. Karena memberikan sesuatu dengan ikhlas (dan bisa berguna bagi orangnya) kita juga bakalan senang. Kan waktu berniat memberi, kita pasti memikirkan si penerima. Toh suatu hari nanti aka nada giliran kita menerima kebaikan orang lain.
Buat yang sudah punya anak balita pasti mengalami susahnya mengajarkan “sharing” alias “berbagi” kepada anak kita. Mainan dipinjam lima menit sama si kakak atau si adik saja anak bisa marah, apalagi kalau kita bilang akan diambil untuk diberikan kepada orang lain. Yap, mainan/buku bekas layak pakai. Kalau sudah ada yang baru, anak mau melepas yang lama? Ngga juga deh ternyata.
“Nias? Yang kena tsunami itu ya, Ma?”
“Iya. Makanya mereka butuh buku dan mainan, soalnya kan kemarin semuanya hanyut.”
(Sebenarnya mungkin ngga gitu sih, tapi ya gimana lagi yang masuk akal anak saya?)
“Jadi mereka ngga punya buku?”
“Ngga punya.”
“Ngga punya mainan?”
“Ngga punya.”
Anak saya terdiam. Mikir.
“Enak kan jadi kamu, mau beli mainan tinggal ke toko trus minta Mama beliin.”
“Trus kenapa kita yang harus kasih mainan sama buku ke mereka? Orang tuanya kok ngga perduli?”
Nah Loh!
Di situ saya jelaskan bahwa kehidupan mereka berbeda dengan yang kita jalani di sini. Mainan dan buku bukan kebutuhan yang terpenting untuk mereka karena dana yang ada digunakan untuk makan dan pengobatan. Ya seperti Brian itu contohnya. Bukannya ngga perduli, tapi ada hal-hal yang memang ngga bisa dilakukan sendirian. Karena itu mereka butuh bantuan orang lain, ngga bisa sendirian. Dan kita harus gotong royong ( #HandinHand) membantu mereka.
Alasan “kotak mainan kamu sudah penuh, kalo yang sudah tidak terpakai dikasi ke anak lain, kan kamu punya tempat untuk mainan baru,” biasanya ampuh untuk mengajak anak ‘membersihkan’ kotak mainan dan rak bukunya. Tapi buat saya yang lebih bagus lagi ya kalau kita memberi karena ingin melihat orang yang diberi bahagia.
“Ngga bisa beli mainan?”
“Kan uangnya habis buat beli makan.”
“Kalo aku kasi mainan mereka senang?”
“Ya senang dong. Kamu kalo dapat mainan senang ngga?”
“Senang.”
“Kalo liat orang lain yang kamu kasi mainan senang, kamu senang ngga?”
Dia terdiam lagi. Mikir lagi.
“Kayak waktu si Gracia ulang tahun trus aku kasi kado dia senang banget itu ya?”
“Ya gitu deh kira-kira.”
“Aku senang juga.”
“Trus Gracia yang kasih mainan satu apa banyak?”
“Banyak dong, kan dari teman sekelas.”
“Kamu kalo dapet mainan banyak senang ngga?”
“Senang banget.”
“Nah, makanya kita harus ikut perduli, soalnya kalo kita ikut kasi kan mainan mereka jadi banyak dan mereka jadi tambah seneng.”
“Iya ya Ma.”
Tuh kan kita harus ikut perduli dan berbagi. Karena memberikan sesuatu dengan ikhlas (dan bisa berguna bagi orangnya) kita juga bakalan senang. Kan waktu berniat memberi, kita pasti memikirkan si penerima. Toh suatu hari nanti aka nada giliran kita menerima kebaikan orang lain.
Jadi, tunggu apa lagi?
It’s simple to lend a helping hand and give them a smile.
Donasikan buku dan mainan layak pakai ke kantor Tango Wafer, Jl Lingkar Luar Barat Kav 35-36, Cengkareng, Jakarta Barat 11740
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.