02 September 2023

Makna Merdeka Bagi Ibu Tunggal

Tanggal 30 Agustus kemarin saya menghadiri Diversity, Equity and Inclusion (DEI) Summit yang diselenggarakan oleh Manulife Indonesia. Acara yang saya hadiri sebagai perwakilan Single Moms Indonesia ini membawa pesan “Bring DEI to Life.” 

Hubungannya apa sama merdeka?

Ada satu pesan yang saya dengar di DEI Summit pertama di Indonesia ini yang membuat saya berpikir tentang makna merdeka. Kira-kira begini: Coba bayangkan betapa tidak nyamannya kita ketika harus menyembunyikan sesuatu agar terlihat normal dan tidak dikucilkan oleh orang lain. Apa yang terjadi jika kita harus merahasiakan kondisi kita, dan struggling sendirian. 

Yang dibahas di DEI Summit kemarin lebih kepada disabilitas, terutama disabilitas fisik. Namun memang disebutkan bahwa disabilitas ini bukan hanya fisik tapi juga mental dan kondisi. Perbedaan bukan hanya apa yang terlihat langsung di depan mata. Misalnya seorang karyawan yang memiliki ADHD tentunya akan lebih sulit fokus dibandingkan rekan-rekannya yang tidak ADHD. Namun ADHD yang tidak berani diakui ini menghalangi kinerja dan menyebabkan karyawan tersebut dicap tidak perform. Begitu juga dengan status ibu tunggal. 

Banyak single mom yang menyembunyikan status mereka ketika melamar pekerjaan karena takut diperlakukan berbeda, misalnya diganggu rekan kerja atau atasan lawan jenis. Bisa juga malah jadi tidak diterima karena perusahaan khawatir mereka akan banyak ijin karena harus mengurus anak sendirian. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan equity dan melakukan inclusion untuk mereka yang berbeda.

Jadinya ya, para ibu tunggal ini belum merdeka. Bukan hanya dalam pekerjaan, namun juga dalam kehidupan sehari-harinya. Stigma yang muncul membuat mereka kurang nyaman menjadi diri sendiri, dan akhirnya stress karena harus terus berpura-pura. Padahal masih terluka. Karena itulah saya ingin menciptakan sebuah kondisi di mana para ibu tunggal ini bisa merdeka. 

Merdeka yang bagaimana?

Merdeka Keuangan

Bukan Financial Freedom yang sering jadi content dan goals banyak orang jaman sekarang itu. Tapi merdeka untuk mencari kerja, membuka usaha dan membiayai anak-anaknya. Bisa punya asuransi untuk anak dan keluarga tanpa terkendala status.

Merdeka Birokrasi

Tidak perlu pusing mengisi formulir pendaftaran sekolah anak atau hal-hal lain yang mengharuskan adanya orang tua lengkap. Dapat mencantumkan nama di ijazah anak tanpa harus berperang melawan ketentuan. Tidak perlu bingung atau khawatir ketika harus memilih status di kolom formulir.

Merdeka Berekspresi

Tidak harus takut bermedia sosial, nulis blog atau ngobrol dengan teman-teman. Tidak perlu berbohong soal status atau membuat alasan di mana sang ayah berada. Tidak perlu khawatir ketika berteman dengan lawan jenis atau ketika bepergian hanya bersama anak-anak.

Mungkin hal-hal di atas terdengar sederhana tapi besar maknanya bagi kami para single mom. Dulu di pekerjaan pertama saya, perempuan otomatis dianggap single. Jadi Dudu tidak bisa tercantum di asuransi kesehatan yang didaftarkan oleh kantor. Ketika saya bertanya, jawabannya sederhana, “anak-anak sudah ditanggung oleh kantor suami.” Ketika saya balik bertanya, “kalau seperti saya yang single mom?” Mereka terdiam. Tapi ya, memang sulit membuat pengecualian kalau hanya untuk saya.

Dudu memang hampir tidak pernah sakit. Tapi, ketika saya pindah ke kantor baru, saya selalu tanyakan apakah kantor mengakomodir asuransi untuk anak ibu tunggal. Kalau iya, meskipun akhirnya tidak terpakai, kan saya jadi merdeka dari pikiran harus bayar dokter.

Begitu juga dengan birokrasi. Akhir-akhir ini banyak yang bercerita tentang pencantuman nama ayah di ijasah anak, meskipun sang mantan suami sudah tidak berkontribusi dalam hidupnya. Alias, hilang tanpa jejak. Banyak ibu tunggal yang memperjuangkan namanya ada di ijasah anak karena selama ini harus sesuai akte lahir dan otomatis dicantumkan nama bapaknya. Peraturannya sudah ada, mungkin sosialisasinya yang kurang. Begitu berhasil memasang nama di ijasah anak, saya bayangkan rasanya mereka merdeka karena mendapat pengakuan sepadan atas perjuangan yang dilakukan.

Yang terakhir adalah yang paling sulit karena stigma masyarakat yang begitu kental. Merdeka dari stigma adalah perjalanan panjang yang perlu diperjuangkan. Beberapa teman saya merasa lega dan merdeka ketika hakim mengetuk palu, mengabulkan perceraian mereka. Lalu merasa benar-benar merdeka setelah nyaman dengan statusnya dan berani mempublikasikannya ke luar sana. Banyak dari mereka yang masih belum terbuka akan statusnya, karena khawatir akan pandangan orang lain.

Kehilangan sahabat yang takut suaminya direbut setelah ibu A berstatus janda. Kehilangan pekerjaan karena tekanan lingkungan yang mengucilkan atau atasan yang bertindak kurang sopan. Kehilangan kesempatan untuk aktualisasi diri karena orang tua khawatir akan pandangan tetangga. Akhirnya mengurung diri di rumah, membatasi pergaulan dan menutup media sosial. 

Semuanya terjadi. Dan makna merdeka buat saya, at least dalam konteks ibu tunggal, adalah bisa jadi diri sendiri, tanpa lingkungan yang menghakimi.


1 comment:

  1. Terima kasih atas tulisannya mom Ruth. Dengan tulisan ini, menyadarkan saya sekali lagi bahwa saya tidak sendirian dan ada banyak ibu tunggal yang bisa bertahan dengan statusnya.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.