12 December 2015

My December: Reward itu Hadiah atau Sogokan

“Santa Claus dan Tuhan,” jawab Dudu cepat ketika saya bertanya apa yang mengingatkan dia akan bulan Desember. “Selain itu ada banyak hadiah juga. Aku jadi senang.” Hadiah yang datang di bulan Desember adalah sebuah reward dari Santa Claus untuk kita yang sudah berkelakuan baik selama setahun belakangan, dan sogokan (alias motivasi) agar kita tetap menjadi anak baik satu tahun ke depan.

Karena itu begitu mendapat tantangan bertemakan Desember dari Duniabiza, saya langsung terpikir untuk ngobrolin hadiah. Apalagi, Desember kali ini ada yang lebih spesial. Soalnya sogokan saya berhasil memotivasi Dudu belajar ujian. Hah? Sogokan?

Membuka hadiah dari Santa Claus

Nama lainnya “reward.” Sesuatu yang biasanya keluar dari mulut orang tua dalam bentuk kalimat seperti ini: “kalau kamu dapat nilai bagus, Mama akan belikan iPad.” Atau untuk anak yang lebih kecil biasanya berbunyi, “kalau kamu diam nanti Papa belikan es krim.”

Karena si Dudu dari tahun ke tahun nilainya selalu mengkhawatirkan maka semester ini saya terpaksa menggunakan metode reward/sogokan ini untuk si anak kelas 4 SD. Emang apa bagusnya sih sistem reward ini?

Ada yang mengatakan bahwa motivasi ekstra ini dapat berguna bagi si anak karena memacu mereka untuk bekerja lebih keras. Well, sesuatu yang memang diinginkan (seperti game atau bahkan uang) memang dapat memberikan semangat lebih bagi si anak. Orang dewasa juga sama haha. Kalau hadiahnya besar, kadang-kadang semangat ikut lomba jadi lebih tinggi. Sebagai pengelola situs pengumpul info lomba anak, saya mau tidak mau jadi menyadari faktor hadiah ini, ketika banyak pengunjung yang bertanya “hadiahnya apa ya, Min?” 

Ini juga reward -- tapi dibeli dari uang sendiri
Kirabo Jackson, asisten professor ekonomi di Cornell berargumen pada sebuah jurnal pendidikan yang dikutip oleh The New York Times, bahwa reward dapat memacu anak untuk bekerja sedikit lebih keras dan menemukan bahwa mereka ternyata mampu menyelesaikan soal-soal tersebut. Metode yang mereka pelajari dan perasaan berhasil ini akan terus terbawa oleh anak meskipun reward sudah menghilang.

Tapi banyak juga orang tua yang tidak setuju karena sistem ini dapat berbalik menjadi senjata makan tuan bagi orang tua dan anaknya. Orang tua harus terus menyediakan hadiah yang diinginkan anak, jika tidak nilainya bisa kembali jelek. Anak juga terbiasa mendapatkan sogokan, dan ditakutkan ketika tumbuh besar jadi ketergantungan dengan adanya reward untuk setiap hal yang dilakukan. Beberapa penelitian yang dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan kecenderungan ini. Jadi bagaimana nih?

Saya akhirnya tetap menggunakan sistem reward ini. Meskipun Dudu protes.
Dudu: Mama sekarang pakai sogokan.
Mama: Habis kamu nilainya jelek terus, kalau begini kan jadi ada motivasinya. Buktinya kamu pass tuh nilainya.
Dudu: Tapi aku lebih suka Mama yang dulu. Yang memberikan hadiah begitu saja. Mama sekarang berubah.
Mama: Kamu juga berubah.
Dudu: Berubah bagaimana?
Mama: Jadi besar. Jadi sekarang Mama pakai cara lain.
Dudu: Memang apa untungnya buat Mama kalau nilaiku bagus sampai Mama mau berikan sogokan?
Mama: Untungnya ya kamu naik kelas. Jadi Mama ngga bayar uang sekolah dua kali. Mendingan bayar sogokan yang murah.
Lalu Dudu protes karena tahu sogokannya “murah.” Haha.

Reward tidak melulu dalam bentuk uang atau barang.
Ada beberapa cara agar sistem reward ini efektif.
  • Jangan dalam bentuk uang. Saya selalu menghubungkan uang dengan pekerjaan. Dan untuk mendapatkan pekerjaan harus sekolah yang benar dengan nilai yang bagus. Jadi uang adalah long-term reward untuk nilai bagus.
  • Linda Gambrell, seorang pengajar di bidang pendidikan dari Clemson University menyarankan sogokan yang berhubungan dengan apa yang ingin dicapai. Misalnya berjanji membelikan buku yang baru jika anak berhasil menyelesaikan membaca satu buku.
  • Jangan lupa memuji. Terkadang kita terlalu fokus pada rewardnya sampai lupa bahwa anak sebenarnya membutuhkan pengakuan dari orang tuanya bahwa dia berhasil. Kali ini, saya sibuk memuji Dudu kalau dia “berhasil” dan “ternyata hebat juga.” Jadi dia semangat. 
  • Gunakan secara strategis. Dudu yang suka science tidak pernah saya sogok untuk menjadi berhasil di science. Tapi English yang dia sebal dan selalu struggle membutuhkan motivasi ekstra untuk berhasil. Reward dan sogokan ini muncul sebagai rasa penghargaan bahwa dia sukses mempelajari hal yang tidak dia suka dan memberikan hasil yang baik di raport.
  • Ajarkan bahwa “keberhasilan” adalah reward. Jadi tidak melulu dalam bentuk barang yang dapat dilihat dan dipegang. Keberhasilan melewati satu level di game, sama berharganya dengan keberhasilan melewati satu tes di sekolah.
So, are you naughty or nice?

==========================
“Inilah cerita Desember & Me, Mana Ceritamu?”

6 comments:

  1. Wah... baru tau kalau reward juga ada teorinya.... thanks sharingnya Mbak Nina, inspiratif bahannya....:D ilmu baru.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Inspirasinya dari tema giveaway-mu lho Mba. Terima kasih juga sudah berkunjung ya :)

      Delete
  2. Reward memang bisa bikin anak lebih semangat. Yang penting rewardnya nggak minta yang terlalu mahal aja, bisa bokek mama-papanya, hihihih :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar hahaha... aku biasanya nego reward di awal dan reward diberikan setelah orang tuanya gajian haha

      Delete
  3. Salam kenal Mbak Nina. Bermanfaat banget nih postingannya. Hihihi. Akhir-akhir ini lagi ditodongin anak maenan jadi kepikiran buat jadiin sogokan eh baca post ini. :D
    Semoga saksyes giveawaynya Mbak. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you Mas Dani Rachmat. Ngadepin anak emang banyak triknya nih.:)

      Delete

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.