Beberapa waktu lalu saya ikutan acara klub buku dari Gagas Media. Membahas sebuah buku yang ditulis oleh salah seorang sahabat saya, Herdiana Hakim. Bukunya berjudul “Kota Lama dan Sepotong Cerita Cinta”, sebuah buku historical fiction dengan plot time travel yang membawa kita mengenal sosok Kartini.
Jujur saya belum pernah membahas buku. Meskipun tertarik dengan issue tentang perempuan, gender dan sejenisnya, saya jarang menuliskan tentang itu di sini. Yah, secara general kan blog ini tentang petualangan saya bersama si Dudu, jadi sudut pandang seorang ibu sudah mewakili gender dan perempuan. Hehehe. Tapi karena ini postingan hari Kartini, bolehlah kita meleset sedikit dari postingan yang biasanya.
Oh ya, Dudu tidak kenal Kartini. Waktu TK sih sering ikut lomba baju daerah pas hari Kartini. Tapi sekarang, sejak masuk sekolah internasional, dia sudah tidak dekat lagi dengan yang namanya sejarah dan budaya Indonesia. Mungkin nanti akan saya kenalkan kepada sosok perempuan Jepara yang satu ini.
Balik lagi ke klub buku. “Kota Lama dan Sepotong Cerita Cinta” menceritakan tentang petualangan Jenny, seorang perempuan modern yang tergolong sukses dengan karir di bidang IT. Perempuan tegar dengan jiwa kompetitif yang tinggi. Suatu kejadian mempertemukannya dengan Diana, anak HRD yang mengidolakan Kartini. Ketika masalah datang bertubi-tubi, Jenny menggunakan tur napak tilas Kartini yang diikuti Diana untuk lari dari semuanya. Yang ada, dia malah “lari” ke tahun 1900 dan bertemu dengan Kartini dan keluarganya. Nasib membawa Jenny menemukan kebahagiaan di masa Kartini dan membuatnya enggan kembali ke masa depan? Jadi, apakah si perempuan modern ini akan tinggal selamanya di jaman Kartini?
Apa yang membuat buku ini menarik? Kartini sebagai sosok perempuan terlalu modern untuk jamannya, bertemu Jenny yang beneran dari jaman modern. Dan mereka cocok karena mirip. Sama-sama alpha female kalau kata sang pengarang buku. Di klub buku sih saya tidak mengakui kalau saya juga alpha female (minus jiwa kompetitif yang tinggi karena dalam hal ini saya merasa lebih mirip tokoh Kardinah dan sikap “ya sudahlah” ala Bondan Fade2Black). Soalnya orang tua saya mengajarkan bahwa perempuan harus bisa berdiri dengan kedua kaki sendiri. Terbukti, saya sekarang seorang single parent dengan satu anak, hidup tenang-tenang saja berpetualang berdua dengan si Dudu.
Sosok yang menarik di buku ini, menurut saya, justru Kardinah. Adik Kartini yang lincah dan ceria, yang menikah duluan namun tidak melihat pernikahan itu sebagai beban. Di klub buku, ada perbincangan bahwa Kardinah-lah yang punya happy ending. Saya penasaran tapi jujur belum sempat research. Sosok Jenny mewakili perempuan modern masa kini yang kadang terjebak oleh stereotype perempuan modern, dan Kartini adalah perempuan modern yang terjebak dalam lingkungan tradisi. So which one are we?
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.