02 January 2014

Beda Tinggi Beda Persepsi

Suatu hari, pada saat anak saya berenang, ada anak yang tenggelam. Menyadari hal itu, ayah si anak langsung nyemplung ke kolam renang untuk menolong anaknya. Begitu anaknya selamat si anak dimarahi karena kurang hati-hati padahal sudah berulang kali dinasehati soal berenang. 

Dari perspektif saya sebagai orang tua hal itu wajar terjadi. Anak yang harus kita “selamatkan” karena nekat melakukan apa yang kita larang. Tapi ternyata Andrew punya pandangan berbeda. “Kasian ya, Ma. Sudah tenggelam, dimarahi lagi sama ayahnya.”

Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga.
Tapi benar juga ya.






Banyak hal dalam hidup ini yang kita lihat dengan mata kepala kita sebagai orang tua ternyata berbeda dengan apa yang dilihat anak-anak kita di bawah sana. Ketika anak saya bayi, dokter anak saya memberi nasihat bahwa anak senang bereksplorasi. Kalau dia masukkan sepatu ke dalam mulut itu karena dia pengen tau rasa sepatu. Bukan karena dia mau makan sepatu. Kalau dia mencoret tembok, dia pengen tau apa yang terjadi bila temboknya berwarna... termasuk reaksi kita (yang biasanya ngomel).

Coba bayangkan yang ini. Seorang pengemis di jalan, dengan wujud mengenaskan meminta uang sambil menyodorkan topi. Anak saya otomatis kasian. Saya, karena sudah baca berita bahwa banyak pengemis menolak dikasi kerjaan layak sama pemerintah karena penghasilan mereka lebih dari UMR setempat, malas memberi pada pengemis. Buat anak saya yang belum mengerti politik dan pemerintahan, memberi kepada pengemis ya memberi kepada orang lain. Ngga beda.

Sekarang anak saya 7 tahun, sudah pinter ngeles, pinter ngejawab (yang sering dibilang ngga sopan sama generasi tua) dan saya belajar bertanya dulu sebelum marah. Soalnya anak saya punya motto “Kalo Mama cegah, saya tetap lakukan soalnya saya penasaran. Dimarahi itu soal belakangan.”

Andrew pernah mewarnai tembok kamar mandi dengan cat air (yang bikin papa saya stress), waktu saya tanya jawabannya enteng. “Lagi belajar campur warna, Ma.” Ya memang sih, di tembok itu ada merah dicampur biru, dicampur hitam... tapi kan... *sigh*

Sekali waktu dia kena. Kejepit pintu atau tersiram air. Saya tersenyum “syukurin.”
Dia protes, “kok syukurin? Mama ngga sayang sama aku ya?”
“Syukurin. Sapa suruh kamu ngga dengerin Mama. Sekarang kena akibatnya ya Mama ketawain deh. Apa mau dimarahin aja?”

Dia manyun. Saya tertawa.

Sudah jatuh tertimpa tangga ya, Du?

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.