17 March 2022

Kalah, Menang dan Cerita tentang Terbang

“Si Dudu masih mau lomba ya, Mom?”
“Iya nih.”
“Anak saya udah nggak mau, dia kecewa kemarin kalah.”

Dulu, Dudu sering ikut lomba. Lomba fashion show, lomba foto, casting, bahkan kompetisi jadi penyiar radio cilik. Kalau dia menang, saya ikut bangga. Soalnya biasanya, saya juga yang sepihak mendaftarkan anaknya setelah setengah memaksa, “kamu ikut lomba ini ya.” Hahaha. Tapi efeknya, kalau dia kalah, saya juga ikutan kecewa.

Kenang-kenangan lomba Kartini di TK 

Tapi, yang namanya kompetisi kan ada menang, ada kalah. Sebenarnya juga si Dudu banyakan kalahnya, sih. Sebagai emak-emak kompetitif (katanya), saya pernah ditanya gimana caranya mengajarkan anak agar tidak putus asa ketika kalah lomba.

Saya pakai perbandingan dengan ketika saya mau “terbang.”

Saya senang travelling, naik pesawat lalu terbang dan mendarat di tempat yang berbeda. Percaya nggak percaya, pas hamil si Dudu, saya pernah stress berat. Sampai ke psikolog kampus dan mulai journaling untuk menemukan penyebabnya. Ternyata jawabannya adalah “kurang sering terbang.” Saya yang tinggal di kota kecil pas kuliah, lalu sering terbang ke kota besar pas liburan semester, atau terbang pulang ke Indonesia. Karena hamil, saya memilih stay di kota saya, mengambil summer jobs atau liburan ke daerah yang bisa dicapai dengan mobil. Lalu saya stress. Hidup kurang seru kalau tidak “terbang.”

Emangnya, apa yang membuat terbang begitu special?

1. Terbang perlu persiapan

Ya persiapan fisik dan mental. Mau naik pesawat kan kita perlu packing, perlu pakai baju nyaman, perlu check in dan pasang seat belt. Pas pesawat mau take off juga lari dulu di runway. Begitu juga dengan berkompetisi. Liat dulu lombanya apa, daftar dulu dan siap-siap dulu. Sampai di sana juga harus cari tempat nyaman untuk menunggu. Lomba fashion show biasanya juga ada semacam GR atau pengarahan ke mana harus berjalan dan berapa menit waktu satu peserta di atas runway panggung. Apalagi kalau lomba sejenis penyiar cilik yang harus mengirimkan karangan atau video dulu. Semakin banyak lah persiapannya.

Persiapan mental ini maksudnya mempersiapkan anak untuk kalah dan menang. Mengajarkan anak tentang rasa kecewa, sedih, dan apa yang harus dilakukan kalau ternyata tidak menang. Dan sebagai ibu yang merasa anak saya nomor satu, saya sendiri pun harus siap kalau anak saya kalah. Ibarat anak burung kalau pertama terbang kan pasti tidak lancar ya. Yang perlu dipastikan di sini adalah kita siap memberikan yang terbaik di kompetisi.


2. Tetap waspada ketika sedang terbang

Hati-hati, terbang itu nagih. Mirip dengan terbang, berlomba membawa adrenalin rush, meskipun lombanya simple. Ada kesempatan menang, dapat hadiah, rasa deg-degan pas pengumuman. Bikin kita pengen ikutan terus. Kalau menang, perasaan ikut terbang. Kalau kalah jadi penasaran lalu ingin mencoba lagi. Yang harus diwaspadai adalah ketika kita sedang sering menang lomba, lalu lupa bahwa setiap lomba tidak sama. Bisa jadi di lomba berikutnya, bukan kita yang bawa pulang piala.

Jadi, saat terbang (alias berlomba), kita juga perlu waspada. Jangan sampai keasyikan terbang lalu lupa belok kanan kiri menghindari pohon yang ada di depan mata. Intinya sih jangan jumawa, alias jangan sombong kalau menang.

Ikutan Kompetisi "Aku Anak Jujur" yang diselenggarakan KPK

3. Siap jatuh

Tapi ini bukan berarti kita akan jatuh. Yang saya ajarkan kepada Dudu, kalau memang bisa nggak jatuh ya kenapa harus jatuh. Ketika sedang lomba, anything can happen dan mungkin ada di luar kuasa kita. Misalnya, ketika fashion show tiba-tiba jatuh di panggung padahal sudah hati-hati. Apa yang harus kita lakukan ketika hal-hal yang tidak terduga terjadi?

Siap jatuh berarti siap kalah meskipun sudah mempersiapkan yang terbaik. Dan perlu diingat siap jatuh bukan berarti pasrah. Kalau jatuh ya udah nasib gitu? Nggak dong. Pesawat ada parasutnya juga kan. Namun attitude “siap kalah” ini akan membuat kita lebih legowo ketika jatuh dan lebih cepat bounce back untuk terbang lagi di kompetisi berikutnya. Berlaku buat anak dan Mamanya.

4. Istirahat itu nggak apa-apa

Ketika ternyata jatuhnya sakit dan kita butuh waktu buat sembuh, ya stop aja dulu lombanya. Dudu juga pernah kecewa juga, meskipun biasanya saya yang lebih semangat kalau dia ikut lomba. Kecewanya lumayan panjang waktu itu, dan sempat ngambek nggak mau ikut lomba lagi. Jadi gimana? Well, terbang itu capek, lho. Burung yang migrasi saja butuh istirahat. Naik pesawat terus-terusan juga pegal dan penerbangan long haul biasanya ada transit juga kan. Jadi kenapa nggak stop dulu? Tidak ada yang salah dengan istirahat kok.

Manfaatkan waktu istirahat dengan ngobrol sama anak tentang lomba. Bagaimana perasaannya kalah lomba, share perasaan kita juga, ajak anak melihat ke belakang kalau ada prestasi jaman dahulu yang bisa dikenang. Hindari menjelekkan peserta lain saat ngobrol dengan anak, sebaiknya focus dengan apa yang bisa di-improve. Cari kegiatan lain agar tidak jadi “nganggur” karena biasanya diisi dengan kompetisi. Pastikan Kembali berlomba hanya ketika kita sudah siap.

5. Mendarat dengan selamat

Ada seorang ibu yang pernah curhat kalau dia sudah menyerah ikut lomba. Anaknya sering ikut kompetisi tapi tidak pernah menang, lalu dirasa sia-sia dan cuma bikin capek doang. Salah nggak? Ya, nggak apa-apa. Namanya terbang pasti pada akhirnya kita mendarat juga. Hanya saja, sebelum benar-benar menyerah, saya akan bertanya pada diri sendiri, “kenapa saya mengikutkan anak di lomba ini?” Apakah karena saya mau ikut nebeng tenar? Atau justru anaknya yang tertarik? Apakah selama ini menang/kalah begitu penting atau sebenarnya saya hanya ingin Dudu bisa bersosialisasi, pede tampil depan panggung dan bisa belajar hal baru?

Jangan sampai si anak mau terbang tapi kita yang malas antar jemput ke airport. Kan kasihan. Kalau anak ikutan kompetisi, tugas saya sebagai ibu ya mendukung, termasuk antar jemput dan investasi material pendukung.

Paling sering ya ikut kompetisi fashion & modelling kayak ini

Dengan cerita “terbang” ini, buat saya kompetisi seharusnya mengajarkan arti rendah hati ketika sedang di atas dan belajar menerima kekalahan ketika sedang di bawah. Bukan cuma si anak, tapi juga orang tuanya. Soalnya, tidak semua orang tua bisa menerima kalau anaknya bukanlah yang paling ganteng, paling cantik, paling pintar di luar sana. Padahal yang penting kan Dudu tetap yang paling ganteng buat saya.


“Kamu anak Mama paling ganteng.”
“Anak Mama kan hanya saya seorang.”
Oh, anaknya nggak bisa dikibulin…

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan komen. Mohon maaf untuk yang meninggalkan link hidup dan komen bersifat spam atau iklan akan dihapus.