Sebagai seorang ibu, tentunya saya bisa relate dengan statement dari narasumber talkshow “Perempuan dan Menulis” yang merupakan bagian Festival Perempuan Indonesia Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis 11 Tahun IIDN Berkarya bulan Mei lalu. IIDN yang didirkan di Bandung tahun 2010 oleh Indari Mastuti menghadirkan kegiatan kepenulisan setiap harinya di FB grup, dan juga mendukung anggotanya dengan menerbitkan antologi secara indie.
Menghadirkan dua perempuan penulis dengan latar belakang sarjana eksakta, talkshow ini memberikan padangan yang berbeda untuk saya dan kenapa saya, sebagai seorang perempuan, memilih untuk menulis. Dua narasumber yang hadir di Sabtu pagi itu memiliki banyak kesamaan. Kirana Kejora, seorang scriptwriter dan Founder Elang Tempur, dan Widyanti Yuliandari, Ketua Umum IIDN yang juga seorang writer dan blogger, bertemu dengan tulisan ketika sedang self-healing.
Masuk di jurusan yang bukan passionnya, Key, panggilan akrab Kirana Kejora, melepas keinginannya masuk sastra berhasil tamat dengan gelar insinyur demi memenuhi amanat ibunda. Tidak tanggung-tanggung bidang yang ditekuni adalah Kelautan. Dalam salah satu perjalanan risetnya ke Raja Ampat, Mbak Key merasa bahwa kok mubazir jika tidak dituangkan dalam tulisan. Dari setiap perjalanan risetnya kemudian lahirlah novel-novel yang berlatar belakang kekayaan alam dan budaya Indonesia. Novel-novel yang kemudian dijadikan film.
“Menulis itu self-healing. Bagi saya, 15-16 tahun lalu menulis itu obat sakit jiwa,” kenangnya saat berbagi pengalaman hidup di talkshow. “Daripada ‘sakit jiwa’ lebih baik menulis. Karena kalo jiwanya sehat, fisiknya bisa bekerja.”